Hai sumur ada tapi tidak ada airnya sudah pernah coba bangun itu ya saya beli di Aris dan sudah satu juta beli air sebagian hai hai Jadi untuk mendapatkan satu jadikan ini aja, warga harus menunggu sampai seharian. Pada tahun 2015, Nusa Tenggara Timur resmi menjadi provinsi termiskin keempat di Indonesia setelah Papua, Papua Barat, dan Maluku. Keindahan alam Pulau Flores dan banyak destinasi wisata di provinsi ini dieluk-elukan oleh wisatawan dari seluruh dunia. Ironisnya, tingkat kesejahteraan penduduknya justru cenderung menurun dan membuat kenangan indah akan Pulau Flores menjadi buram.
Tahun lalu, tim Indonesiaku menuju ke wilayah terluar di utara Pulau Flores, yaitu kecamatan sekaligus Pulau Paluwe. Jaraknya sekitar 6 jam perjalanan menggunakan perahu dari kota Maumere. Pulau Paluwe sejatinya adalah tubuh gunung Rokatenda.
Gunung api ini menculang setinggi 3000 meter jika diukur dari dasar laut flores. Namun hanya setinggi 875 meter bila diukur. dari permukaan laut.
Ada lebih dari 10 ribu jiwa yang hidup dalam bayang-bayang gunung Rokatenda. Selain itu, masyarakat Paluwe juga mengalami keterbatasan dalam mengakses air bersih sepanjang tahunnya. Seperti apa kehidupan mereka? Kita akan melihat selengkapnya dalam Indonesia Kukal ini. Kecamatan Palwe memiliki 8 desa yang menjadi tempat tinggal dari hampir 12.000 orang.
Dengan luas 41 km persegi, terdapat 4 desa di wilayah pesisir dan 4 desa di area pegunungan. Seperti sebagian besar kontur alam di Nusa Tenggara Timur, wilayah tandus di Palwe membuat masyarakat harus menyiapkan bak penampung air hujan. Musim hujan hanya berlangsung selama 2 bulan, sementara 10 bulan dalam setahun, Paluwe mengalami kekeringan.
Desa Rokirole adalah salah satu tempat penyimpanan harta karun bagi masyarakat Paluwe. Ini sudah berapa lama? Air bersih menjadi hal yang paling berharga dalam kehidupan mereka. Tidak pernah disini bangun sumur kah?
Tidak pernah? Apa tidak bisa? Sumur ada tapi tidak ada airnya? Sudah pernah coba bangun itu ya?
Berarti kalau besok-besok dibangun pun tidak ada airnya juga ya? Hanya air tetesan ini ya, tetesan suling-suling ini. Coba saya coba Coba sedikit Bersih ini ya Iya air bersih Enak rasanya?
Iya. Mama setiap hari minum ini ya? Iya, tiap-tiap hari.
Rasanya seperti air mineral yang kita beli di kemasan, yang di kota-kota. Tapi memang lebih hangat ya mama ya? Iya, iya.
Jadi untuk masak ataupun minum biasanya warga ambil dari air sini. Iya. Tapi memang rasanya tidak ada bedanya.
Sejauh mata memandang, saya melihat jajaran batang bambu yang diikat dengan serabut kelapa. Lalu lalang penduduk yang mengambil air dari bambu ini menjadi pemandangan yang lazim di pagi dan sore. Hari-hari.
Sumber air ini sudah dimanfaatkan masyarakat sejak 40 tahun yang lalu. Hanya saja saat itu tak banyak warga yang tahu cara mengoptimalkan debit airnya. Setelah beradaptasi selama puluhan tahun, akhirnya warga mulai menggunakan bambu sepanjang belasan meter yang ditancapkan ke tanah dan disambung dengan bambu lainnya. Sejak 20 tahun terakhir, warga merasakan uap panas bumi mampu membantu mereka mendapatkan air bersih meski hanya untuk menghilangkan dahaga.
Air tetesan ujung bambu inilah yang dikumpulkan oleh masyarakat dalam satu jerigen selama 12 sampai 16 jam. Setiap pagi dan sore hari, perempuan dan anak-anak Rokirole memenuhi bukit ini. Air dari jerigen uap panas bumi ini utamanya mereka gunakan untuk minum dan memasak.
Tak terbayangkan oleh saya, bagaimana bisa satu jerigen ini memenuhi kebutuhan minum dan memasak untuk satu keluarga. Jika satu orang anggota keluarga meminum satu gelas saja dalam sehari, bisa dipastikan setengah jerigen sudah habis. Satu kepala keluarga hanya mendapatkan satu atau dua sumber uap panas bumi saja. Hal ini dikarenakan jumlah titik munculnya uap sangat terbatas.
Beli di bank. Beli juga? Oh gitu, berarti mama juga tetap harus keluarkan uang untuk beli-beli itu ya? Beli air. Pernah tidak ada air sama sekali?
Sekarang ini air tidak ada. Sekarang ini air makin sulit? Air.
Jadi ikan air di bak-bak sudah kering. Berapa lama ini kita tunggu airnya? Airnya besok pagi. Besok pagi?
Oh seharian berarti ya? Seharian. Jadi untuk mendapatkan satu jerigan ini aja, warga harus menunggu sampai seharian. Jadi biasanya mereka punya dua atau tiga jerigan di rumah, mereka ganti setiap pagi sampai sore. Dan untuk mendapatkan sekitar lima liter, mereka harus menunggu satu hari ya mama ya?
Satu hari untuk satu jerigan. Uap yang berasal dari panas bumi naik ke permukaan tanah dan diserap ke dalam batang bambu. Hasilnya lumayan, uap panas bumi menjadi butiran air yang tertampung dalam jerigen. Tak sampai hati melihat mereka begitu menghargai tiap tetes air yang mengisi jerigen-jerigen kusam.
Yang menarik, masyarakat Palowe yang sudah lanjut usia justru tidak mengandalkan uap panas bumi sebagai sumber air minum mereka. Warga lebih akrab dengan sumber air lain yang mereka andalkan sejak dulu. Mama Romana adalah salah satunya yang mengandalkan pohon pisang sebagai sumber air minum.
Ia pun mencungkil pangkal pohon pisang untuk mengeluarkan airnya ke bambu yang telah disiapkan. Jumlah air yang dihasilkan kurang lebih sama dengan uap panas bumi. Setiap warga yang mengandalkan air dari pohon pisang harus menurut.
Susah sekali ya. Kasiannya. Saya beli di Aris sudah 1 juta.
Beli air 1 juta? 10 drom. 10 drom itu ya? Itu hanya beberapa hari saja?
Iya, kerja rumah. Wilayah Paluwe adalah pemukiman padat penduduk. Masing-masing desa terdiri dari 100 sampai 200 kepala keluarga atau sekitar 1.500 orang. Dari jumlah itu, sudah terbayang bahwa debit air yang kecil harus dibagi untuk belasan ribu penduduk di sini. Berapa banyak mama beli sehari?
5 jerigen. 5 jerigen, 50 ribu satu hari? Satu hari. Satu bulan, satu juta. Luar biasa buat air aja ya.