Intro Saya akan bercerita dikit tentang buku saya yang terbaru bersama Prof. Philip Kotler Buku ini baru di launch Desember yang lalu di MAC Plus Conference di Jakarta Intro dan diterbitkan oleh John Wiley dari Amerika. Buku-buku kita tidak semuanya John Wiley, ada yang John Wiley, ada yang McGraw-Hill, ada yang macam-macam, tetapi banyak oleh John Wiley. Dan dia dalam waktu singkat...
sudah 20 bahasa. Ini luar biasa ini. Karena mungkin ini the power of sequel.
Jadi karena marketing 3.0-nya 27 bahasa, tapi sudah 7 tahun, ini menjadi 20 bahasa dalam waktu cuma 5 bulan. Bahasa Indonesianya belum ada ini. Karena publisher yang mau... menerjemahkan bahasa Indonesia mesti beding di John Wiley sana.
Saya sendiri enggak bisa kasih hak. Yang 20 itu sudah ada. Nah, marketing 3.0 itu kenapa kok bisa 27 bahasa?
Karena inspirasinya mohon maaf dari Nabi Muhammad. Al-Amin, Al-Amin itu berarti bisnis tapi harus jujur. Biasanya kalau bisnis jangan jujur, kalau jujur jangan bisnis.
Ini paradoks yang kemudian diintegrasikan oleh Nabi Muhammad. Makanya sampai digelari Al-Amin. Mohon maaf loh, saya bukan muslim. Tapi saya mempelajari Al-Quran, ayat-ayat yang relevan dengan bisnis. Karena kita pernah dapat pekerjaan untuk rebranding syariah banking.
Oleh Bank Indonesia. 6 tahun yang lalu. Jadi saya mempelajari Al-Quran disitu.
Saya amaze dengan Nabi Muhammad. Beliau mengajarkan honesty. Human spirit itu.
Jadi kalau kita itu modalnya produk yang bagus. Kemudian kita persuade orang untuk beli. Kita bujuin pakai iklan dan sebagainya. Itu 1.0. Zaman dulu itu.
Kalau 2.0 itu dicari customer-nya. Dipelajari need and want-nya apa. Kemudian dibikin.
produknya. Tapi kalau 3.0 itu produk itu harus bagus, customer harus diketahui, tapi harus penuh dengan human spirit. Makanya terus kemudian ini bukti ramadhan nilalamin betul-betul.
Ramadhan nilalamin, mohon maaf untuk yang bukan muslim, ini orang non-muslim tapi mempromosikan Islam ini. Bahwa Dari Islam untuk universe, jadi akhirnya yang menerjemahkan ini mulai dari negara segala macam agama. Karena di dalam semua agama terdapat... ternyata memang kejujuran itu, trust itu, al-amin itu yang menjadi utama.
Jadi kita bilang bahwa kalau bisnis ini tidak disertai dengan kejujuran, repot. Nah sekarang masuk digital kan, marketing 4.0 buat digital. Digital ini kalau enggak ada kejujurannya bahaya, malah teknologi dipakai untuk nge-hoax. Betul enggak?
Untuk fake news, nah kalau orang politik itu menghalalkan semua cara, pokoknya menang. Tapi kalau orang bisnis jangan diru-niru kayak begitu. Ya harus Anda punya basic 3.0 dulu, ada museumnya di Bali. Karena orang Bali pun Terhita karana Terhita karana itu filosofi mereka Adalah keseimbangan antara God, nature, and people Sama Vertikal dan horizontal Habluminaloh, habluminanas kalau di Islam Vertikal dan horizontal, kalau di katolik aku katolik atas nama Bapak dan Putra dan Roh Kudus, kalau di Buddha katanya kita harus berbuat baik sama orang dulu supaya kita naik ke Nirwana sama sebetulnya, tingkat sufi, kalau belajar agama harus sampai sufi, kalau sampai tingkat syariat ya gegeran, cara doanya lain, cara makannya lain cara sembahyang, cara puasanya lain tapi kalau sampai tingkat sufi saya diajari Komarudin Didayat Islam itu peace and love love, peace and love. Dan ternyata dari Islam untuk seluruh universe, seluruh agama ya kayak begitu.
Makanya laris Pak. Nah ini peringatan 3.0 itu, bahwa kalau sudah sampai digital hati-hati harus pakai human spirit. Makanya ini luaris ini. Ini buktinya Ramadan yang kedua ini.
Ini habis terus di Indonesia, saya enggak tahu di sini cuma ada berapa, kalau mau beli bisa di sini mungkin Terima kasih. Mau ketemu aku bisa tanda tangan disini ya. Nah saya kasih tau, laboratoriumnya bukan di Amerika ini, di Indonesia.
Diciptakan oleh orang Indonesia ini. Jadi kantor saya disini di lantai 8 kita sebutnya pesantren marketing. Aku kiainya ini, umur 70 ini udah. Hampir 70 aku. Nah semua yang kerja sama kita ini namanya santri.
Ini Iwan Setiawan ini. Santriku yang sekolah di Kellogg School of Management, 10 lulus MBA. Anakku juga 2-2 lulusan Kellogg School of Management, Philip Kotler. Nah, santri yang betul-betul mendalamin ini saya perkenalkan orangnya Nova. Ya, Yosa Nova, tepuk tangan.
Tak kasih tau, ini the woman behind the book. Jadi bukan dianggap ini Philip Kotler. Philip Kotler belum ketemu sama Nova, tapi nanti kita temukan. Bulan depan kita kirim ke Amerika untuk ikut Kelok Innovation Network supaya ketemu.
Ini loh sebetulnya yang ngerjain kita idenya. Jadi ini kampus Indonesia, konsep Indonesia yang diekspor ke seluruh dunia. Dan ini baru S1, UI, produk lokal dalam negeri. Teknik industri UI, Iwan Setiawan juga. Dulu S1 UI pada waktu menyelesaikan buku marketing 3.0, menyelesaikannya juga di Kelok sana, belum S2.
Belum S2, marketing 3.0 itu Iwan, sekarang sudah MBA Kelok. Tapi waktu itu masih S1 UI, ini juga UI Yosanova ini. Nah untuk selanjutnya coba.
Sekarang jangan saya terus yang ngomong supaya Anda percaya bahwa kita itu pesantren betul-betul ya. Tepuk tangan untuk Nova. Terima kasih Bapak atas kesempatannya.
Saya akan menjelaskan sekilas saja tentang buku marketing 4.0 seperti apa. Kalau mau tahu lebih jauh. bisa beli promosi sekalian. Oke kita masuk ya. Bapak Ibu kita disini pasti seringkali berapa ya seringkali menjalani kegiatan brand itu sulitnya bukan main.
Saya punya pengalaman ada salah satu brand manager yang klien saya sendiri yang pernah saya tangani saya bilang gini, Bu Saya ini brand equity nya itu udah tinggi loh, nilai saya itu brand equity nya itu udah tinggi sekali gitu. Kok tapi sales saya ini kok gak naik-naik juga? Jadi buat apa saya tahu brand equity gitu?
Apalagi kalau misalnya kita lanjut ke slide berikutnya, next. Nah seringkali kita lihat bahwa setiap bulan kita dapat KPI. KPI tentang brand awareness kita sudah berapa persen, sales kita berapa persen.
Terus pertanyaannya sekarang, so what? Kita tahu brand awareness kita 90 persen. Coba Bapak Ibu bayangkan Aqua, Toyota, Telkomsel, Pertamina, siapa di sini yang enggak tahu brand-brand itu?
Angkat tangan, yang baru dengar sekarang, pasti semuanya sudah pernah dengar semua. Hampir mungkin awarenessnya itu 100% Bapak Ibu, tapi kalau misalnya sudah 100% kita tahu indeksnya 100%, so what? Apalagi yang kita improve sebagai brand. Nah karena itu kita lihat bahwa indeks ini tidak bisa berdiri sendirian sebagai suatu KPI yang kita jalani sehari-hari.
Tapi kita butuh sesuatu yang langsung kelihatan impactnya ke sales. Kalau kita punya awareness 100% apa impactnya ke sales? Kalau kita punya awareness 80%, apa impactnya ke rekomendasi misalnya? Itu yang mau kita bahas bahwa di buku 4.0 ini, kita tidak hanya melihat indeks, tapi melihat insight.
Kalau misalnya kita tahu brand awareness dan segala macam itu kita tahu indeks, dengan kita tahu touch point dari customer itu lewat mana, kita akan tahu insight. Contoh saja seperti ini Bapak Ibu. Kalau saja kita tahu punya temuan, misalnya yang suka sama brand kita ada 80% dari jumlah populasi.
Lalu dari yang suka itu ternyata yang akhirnya beli 30%. Nah kalau misalnya kita punya tahu, punya insight bahwa ternyata cuma 30% orang yang tahu yang akhirnya beli, berarti kita costnya, kita punya budget, kita sudah punya ketahuan. Bahwa kalau kita budget 1M kurang lebih baliknya 30%, istilahnya begitu.
Tapi kalau misalnya kita cuma tahu brand awareness, so what? Seperti itu, tapi kalau misalnya kita KPI tiap bulan ya itu bolehlah dipunyain, enggak ada masalah. Next, silakan Pak. Jadi ingat ya, ada dua aliran brand, satu index, satu insight. Marketing 4.0 itu yang insight, kalau David Acker dan sebagainya yang index.
Jadi value-nya berapa dan sebagainya. Kita yang insight, artinya kalau dibawa dari awareness, jadi attitude, jadi act, jadi act again itu kayak apa gitu. Jadi customer path namanya.
Jadi jangan bingung ya. Oke. Iya, enggak apa-apa.
Terus-terus. Jadi sekarang ini kalau kita customer path itu berubah. Kalau dulu itu orang suka terus beli.
Kalau sekarang sebelum beli biasanya orang itu enggak langsung beli. Tapi tanya-tanya dulu. Review dulu, jadi Bapak Ibu jangan bangga kalau punya customer yang cinta banget sama brand Bapak Ibu, karena belum tentu dia beli. Perlu diberikan suatu platform untuk mereka cari lebih jauh, supaya mereka bisa beli.
Kayak pacaran aja Bapak Ibu, biasanya kalau kita naksir orang suka banget, kita pasti nanya dong nomor teleponnya berapa, namanya siapa. Itu menjadi tandanya tertarik, kalau nggak nanya... Mana tertarik, jadi jangan bangga.
Jadi sekali lagi, ini bukan aliran brand index, tapi brand insight. Insight itu kalau sebelum ada internet, itu 4A. Awareness, dari aware terus jadi attitude, act, act again.
Sekarang, sesudah ada social media dan sebagainya, supaya tercita attitude yang positif dari customer terhadap kita, itu melalui appealing, kalau kita enggak appealing enggak dianggap sama mereka. Dan kalau dia tanya-tanya harus kita layani. Kalau dulu kan kalau bisa enggak tanya dia. Dan definisi loyalitas di marketing 4.0 kita redefinisi. Bukan ekogen, kalau dulu ekogen berapa orang yang repeat.
Kalau sekarang selain repeat dia mesti advocacy. Kalau dulu namanya word of mouth. Word of mouth itu enggak bisa, word of mouth itu berat.
Sekarang lebih banyak kesempatan orang-orang untuk advocate. Anda nge-like, itu advocate. Anda upload foto, Anda senang sama satu makanan, wow, Anda upload, itu advocacy.
Nah ini tanda-tanda baru dari brand loyalty. Jadi dari 4A ke 5A, itu intinya. Ya, ayo. Ya, next. Nah, jadi kita sekarang ya moving to digital pak, dari traditional ke digital.
Jadi dari traditional yang 4A, jadi digital. Tapi ingat loh, buku kita tidak fanatik mengatakan Anda harus cuma pakai digital marketing. mengatakan di era digital ini kita harus bisa mengintegrasikan antara online dan offline antara style dan substance, style itu penting kalau Anda tidak punya style orang tidak akan akan diliwati begitu saja tapi substansi karena orang sekarang mau tahu substansinya dan yang terakhir antara mesin to mesin kamu Anda harus menggunakan tapi harus dicampur dengan human to human Jadi paradok-paradok-paradok ini harus diintegrasikan, ya silahkan.
Jadi kita memperkenalkan dua metrik baru untuk teman-teman evaluasi yaitu PAR dan BAR. Ini dua metrik baru yang ada di buku kita, PAR dan BAR. Ya, PAR itu teman-teman adalah orang yang actually beli dibagi orang yang aware.
Nah gunanya adalah untuk melihat seberapa efektif iklan kita sebenarnya, seberapa efektif awarenessnya kita. 100% itu berubahnya jadi berapa yang beli sebenarnya? Jadi kalau yang aware 100, yang aware terhadap brand kita 100, yang beli cuma 30, itu berarti partnya cuma 0,3. Nah berapa yang advocate?
Yang advocate bisa 50, bisa 20. Kadang-kadang orang enggak beli tapi advocate. Luxury Good, saya enggak beli Ferrari, tapi saya bisa merekomend kepada orang kalau gue punya duit kayak lu, beli Ferrari. Jadi kadang-kadang yang advokasi itu bisa lebih gede daripada yang beli, tapi kadang-kadang lebih kecil. Aku beli, aku puas, tapi aku enggak berani advokat, atau aku males advokat, itu bar.
Jadi kita memberikan dua rasio baru untuk ukuran loyalty, par dan bar. Par dan bar ini teman-teman kalau par itu buat market share, kalau bar itu untuk growth. Karena kalau dilakukan dengan efisien dan efektif, orang yang aware bukan lagi dari kita saja. Tapi justru customer-customer kita yang mau membuat brand kita lebih aware.
Seperti itu. Jadi lihat kalau duit itu untuk yang sekarang. Kalau yang cuap-cuap itu untuk masa yang akan datang, untuk gurut. Nah sekarang jangan pandang enteng yang begini nih karena media sosial dan sebagainya.
Kalau dulu ngitungnya loyalty itu cuma jadi repeat, karena duit kan. Kalau sekarang repeatnya dihitung tapi juga ininya dihitung. Nah kalau misalnya kita medical check up teman-teman biasanya kan kita ada dua kolom ya kalau di medical check up.
Ada kolom satu itu nilai kita berapa, kolom dua itu standarnya yang bagus berapa. Nah di marketing patirik nol, botai ini adalah standar yang bagus. Artinya apa? Artinya kita bisa punya orang yang aware itu bisa langsung evocate kita. Kalau walaupun dia gak beli teman-teman itu brandnya berarti bentuknya.
Botai, dasi kupu-kupu kita sebutnya. Jadi efektif dan efisien seperti itu. Coba kita next. Nah tapi masalahnya ketika kita riset lebih jauh, enggak semuanya bisa berhasil bentuknya yang sempurna.
Beberapa klien, beberapa industri kita lakukan survei, bentuknya seperti ini teman-teman. Kita kenalkan sekilas saja. Ada empat bentuk yang umum.
Yang pertama adalah doorknob. Doorknob itu artinya adalah barangnya. Barang consumer, orang sudah tahu ekspektasinya seperti apa, jadi evokasi levelnya itu rendah. Orang enggak mau evokate untuk industri yang aduknya dornog.
Jadi consumer good kebanyakan dornog. Orang beli tapi enggak mau advocate. Ya, terus. Goalfish?
Kalau goalfish itu adalah industri yang bentuk produknya itu masih pada bingung semua. Jadi yang nanya itu banyak teman-teman. Kalau misalnya kita lihat. Asnya itu tinggi sekali, barangnya gak jelas itu apa. A3 nya tinggi, jadi orang masih bingung.
Tapi kalau yang kedua, yang pertama, door knob tadi kan asnya kecil, jadi dia gak as. Dan dia gak e-pocket. Dia gak as tapi dia beli, tapi sudah beli. Enggak, e-pocket.
Tapi kalau yang kedua, model gold face, itu masih tanya-tanya. Tapi sudah tanya-tanya terus turun. Ini ada model-model industri yang kayak begini.
Biasanya industri yang jasa jatuhnya di sini. Karena gak jelas produknya apa, jadi kita harus approach lebih personal. Yang jasa ya? Yang jasa biasanya begitu, B2B bisnis biasanya begini.
Markplus mungkin termasuk goldfish, karena susah dimengerti tuh. Apa bisnisnya Markplus ini? Tanya, tanya, tanya, tanya. Gak bisa dimengerti sekali teman-teman, kayak hari ini juga gak, pasti gak langsung bisa mengerti masuknya apa.
Dan sesudah X, sesudah beli sama kita belum tentu mau advocate. Kalau yang Trumpet? Yang Trumpet itu mereka biasanya gak beli tapi advocate. Ini laksirigut, yang beli dikit tapi bisa advocate loh. Aku enggak pernah beli Ferrari, tapi aku selalu advocate Ferrari.
Karena saya mau beli enggak punya duit gitu. Tapi selalu gue bilang, kalau gue punya duit kayak lo, gue beli Ferrari gitu. Nah ini model trumpet, funnel?
Kalau funnel biasanya yang zaman dulu tradisional funnel semua. Makin turun, makin turun. Consumer electronics misalnya. Jadi kita sudah melakukan selama dua tahun terakhir beberapa industri kita hitung par and bar ini.
Kalau kita enggak pernah melakukan ini, Philip Kotor enggak mau diajak ini, karena ini namanya dia kan. Jadi kita sekarang sudah sedang memakai mati-matian redefinisi loyalitas yang konsep asli Indonesia dikerjakan oleh orang-orang Indonesia ke luar negeri. Kita mengekspor konsep-konsep Indonesia ini ke luar negeri.
Jadi tolong ikut berdoa supaya pada satu ketika ini meledak betul-betul Sekarang sudah 20 bahasa dalam 5 bulan terakhir Ini faster than marketing 3.0 Kita terus kempen ke seluruh dunia Karena itu saya melakukan co-branding dengan Philip Kotler Bagaimanapun juga kita perlu co-branding dengan dia Dan kita perlu penerbit Amerika John Wiley Kalau tidak gitu repot Dia akan pergi ke Frankfurt Burg dia pergi ke book fair, book fair se-dunia. Kalau kita pasarkan sendiri ya repot. Kita harus tahu diri ya bagaimana.
Yang penting CR-nya itu jadi, CR-nya itu. Ayo terus. Nah ini obatnya apa sebenarnya? Jadi dari yang tadi bentuk yang sudah kita lihat teman-teman mungkin sudah bisa membayangkan ada di mana industri teman-teman berada. Nah kita di buku ini ada kira-kira solusinya harus ngapain.
Kalau kita punya masalah di attraction dan gak bisa meng-convert orang yang aware jadi suka sama kita, kita butuh human centric marketing. Kalau kita gak berhasil bikin curiosity, kita butuh content marketing. Selamat datang Mbak Tandria Beng, temukan tangan Mbak Tandria Beng, Komisaris Utama PT Pertamina. Ya, teruskan dikit.
Kalau kita sudah disukai, orang sudah nanya-nanya kita, tapi barang kita gak ada di pasaran, itu juga masalah. Maka itu kita perlu omni channel marketing. Terakhir, orang kalau ditanya, teman-teman, survei membuktikan bahwa alasan orang gak mau evoke adalah karena mereka gak tahu apa. apa yang mau di evoke, gak jelas, maka itu kita butuh yang namanya engagement marketing. ACCA gampangnya begitu, jadi kan tadi A1, A2, A3, A4, A5.
Kalau kita merasa kita punya masalah di appeal, kenapa kalau kita gak appealing berarti kita kurang atraktif dong. Kita mesti melakukan meningkatkan attraction kita, itu pakai cara human centric marketing. Tapi kalau kita punya masalah. Kok enggak as?
Orang sudah appeal tapi asnya kurang. Mesti konten marketing. Tapi kalau sudah as tapi kalau enggak act, yang act kurang.
Omni channel marketing. Kemudian yang terakhir, sudah act kok enggak advocate. Itu namanya engagement marketing.
Itu bisa dibaca nanti di bukunya. Oke, ini sedikit. Apa sekilas kira-kira boleh next?
Nah, bottleneck yang pertama adalah gimana cara kita create attraction. Kuncinya keywordnya satu, yaitu human. Bikin brand kita like a human.
Karena yang menikmati produk kita adalah human pada dasarnya. Buatlah brand kita jadi manusia. Kalau brand kita gagal jadi manusia, mereka enggak mau.
Mereka tidak akan. akan tertarik ya ini kuncinya dan supaya menjadi manusia itu 6 itu physicality, intellectuality, social ability, emotional ability, personal ability, moral ability ayo terus aja ya terus next content marketing content marketing ini pada dasarnya adalah gimana cara kita jualan ke customer tapi customer gak merasa dijualin maka itu butuh content marketing dua doang keywordnya teman-teman yaitu content creation sama content amplification bagaimana membuat supaya customer itu curious Ya, jadi mereka sudah appeal, tapi kok kurang curiosity-nya? Kita kurang orang tanya-tanya ke kita, kalau memang asnya kurang.
Ada dua cara, content creation sama content amplification, diperkuat. Bukan cuma pikirin isinya apa, tapi distribusinya harus di mana, intinya gitu. Kadang-kadang gagalnya di situ. Oke, next, sedikit lagi. Omni Channel.
Di channel intinya adalah kita harus integrate antara offline dan online. Dimana kalau sekarang yang paling crucial adalah mobile. Now economy, orang mau cepat.
Yang paling dipegang sama customer adalah handphonenya, smartphone. Jadi harus hadir smartphone. Yang terakhir adalah engagement marketing. Engagement marketing... Banyak teman-teman, ini hanya beberapa contoh saja.
Harus ada gamification, harus ada application dan segala macam. Terakhir takeaway-nya dari buku ini adalah, next. Ini key takeaway-nya, yang pertama adalah kita disini harus sadar dulu bahwa dunia itu berubah yang pertama.
Kalau kita sama-sama gak sadar, mau sampai kapanpun pikirkan matrix ya gak ada gunanya. Yang kedua adalah pikirkan matrix yang benar-benar relevan untuk kita apa. Karena tidak semua metrik, ada sawatnya.
Kita harus benar-benar pilih secara kreatif seperti apa. Yang ketiga adalah bottlenecknya harus diselesaikan secepat mungkin. Secepat mungkin. Oke, tepuk tangan untuk Nova.
Meeting Indonesia. baru S1 UI, tapi mau kita kirim ke Kelok untuk dapat S2 ini. Jadi kalau diuji sudah bisa nulis sama film kotor, barulah dikirim ke Kelok untuk dapat S2. Jadi bukan S2 dulu baru nulis, laboratorium di sini, pesantren marketing. Oke, ringkasannya.
Sekali lagi, brand ada dua aliran. Brand indeks itu David Acker rajanya, ada brand insight. Perjalanan customer untuk menuju loyal. Dulu 4A, sekarang 5A. Apa 4A itu?
Aware, kemudian attitude, act, act again. Sekarang aware, kemudian appeal, kemudian ask, kemudian act, dan advocacy. Nah kemudian untuk membuat 5 ini berhasil, ada ACCA, Attractive, Curiosity, kemudian Commitment, dan Affinity. Dan untuk mengukur produktivitas, efisiensi daripada duit yang kita buang, ada dua ukuran yaitu par and bar. Purchase action ratio, berapa yang beli dibanding berapa yang aware dan berapa yang advocate dibanding berapa yang aware.
Dan terakhir ada caranya, kalau kurang atraktif apa yang harus dilakukan, kurang juris apa yang dilakukan, kurang komitmen apa yang dilakukan, dan kurang terakhir. Kurang affinity, apa yang harus dilakukan? Oke, itu ya. Mudah-mudahan lumayan dapat. Jalan Jalan Men