Untuk ditatanan normatif, pertama tuh memang harus ada aturan atau regulasi yang spesifik ya ketika mengatur kampanye politik di media sosial. Hai sahabat TCID, kalian sedang mendengarkan podcast Suara Akademia Ngobrol seru isu terkini bareng Akademisi Pemilu sudah sebentar lagi sahabat TCID dan sepertinya kalau sahabat TCID melihat di timeline social media Itu kelihatan banget sudah banyak manuver-manuver atau dalam tanda petik kampanye yang dilakukan oleh para politisi Nggak cuma personal Mungkin juga ada yang sedang membangun image di sosial media, itu tuh adalah partai. Ada yang terlihat sedikit lebih dekat dengan anak muda, ada yang bahasa jadi lebih santai gitu, dan kita jadi sedikit ke flashback gitu ke 5 tahun yang lalu, di tahun 2019 ketika memasuki tahun pemilu, sosial media, especially di Twitter dan juga Facebook itu gaduh banget gitu ya. Kita masih belum ngerti juga apakah sebenarnya memang kampanye di media sosial ini sudah diregulasi oleh KPU atau sebenarnya memang tidak ada aturan lah, jadi terkesannya gaduh banget gitu.
Beberapa waktu yang lalu, tanggal 11 April tahun 2023, tim dari The Indonesian Institute mengeluarkan sebuah riset mengenai suggestions bagaimana untuk regulasi kampanye di media sosial. Dan di Suara Kedemiya kali ini, kita bakal coba ngobrolin tentang... Apa yang teman-teman dari The Indonesian Institute teliti dan apa temuannya, apa suggestions-nya bareng sama Mbak Adinda Tendrayangke Boktar.
Halo Mbak Adinda, apa kabar Mbak? Kabar baik, Mas Arief, apa kabar? Alhamdulillah baik, Mbak Adinda. Mungkin pertanyaan pertama nih, apa sih yang membuat teman-teman The Indonesian Institute mulai mencoba untuk Mendeliti hal ini, Mbak, apakah berkaca dari 2019 atau mungkin Pilgub DKI beberapa tahun yang lalu juga yang akhirnya kita melihat sosmed kayaknya pada ribut banget ke bahasa politik, Mbak?
Oke, kalau ngomongin latar belakang, Mas Arief, sebenarnya kan penggunaan sosial media itu udah dari 2012 lah ya gencarnya sebenarnya. Dan kita tahu misalnya bahwa penetrasi internet di Indonesia, penggunaan medsos di Indonesia juga meningkat. Dan itu bisa dilihat dari data.
dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. Misalnya, sudah ada sekitar 201 juta pengguna internet di Indonesia, dan ini terjadi peningkatan, ini untuk jadinya 2020 hingga 2022. Lalu WhatsApp juga digunakan, juga meningkat, bisa 90-an persen. Dan ini juga menarik, kita melihat bagaimana penggunaan sosial media yang masif ini berpengaruh.
Ketika kita letakkan atau budukan dalam kampanye politik di media sosial. Kenapa tertarik? Ya karena kita tahu bagaimana dampak media sosial terhadap demokrasi kita.
Polarisasi yang terbentuk, konflik sosial, betapa baper-bapernya di masa-masa itu. Rasanya ini pendukungan yang lebih heboh dan yang berbahaya dari sisi itu adalah jangan lupa ada informasi atau berita bohong. Nah ini kan berbahaya gitu, dan ini melibatkan, ini cukup kompleks ya Mas Arief dan teman-teman DCID, jadi itu yang membuat kami tertarik juga untuk menelaannya, pertama sih yang di Indonesian Institute lihat adalah bagaimana sih pengaturannya, lalu bagaimana kita bisa memberikan rekomendasi yang bisa diterapkan oleh para penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, di pusat maupun di daerah, seperti itu.
Oke, nah kalau kita berkaca dari hasil atau penelitian yang dilakukan dari teman-teman di Indonesian Institute nih Mbak, kalau misalnya kita melihat dari penggunaan medsos, dalam kampanye ini sebenarnya itu bakal lebih nguntungin kandidat nggak sih? Dan kalaupun emang nguntungin itu dalam hal apa Mbak? Nah, kita perlu lihat dulu nih media sosial itu membuat demokrasi itu jadi seperti apa sih ketika apalagi bicara soal komunikasi politik ya.
Jadi yang kita pahami misalnya di Indonesia itu tidak hanya ada kampanye yang sifatnya konvensional, yang misalnya nanti ada panggung, orang yang datang di forum-forum, tapi sejak ada media sosial kan gaduhnya atau kampanye-nya itu juga terjadi di beragam media sosial. Bahkan jangan salah kita nggak lihat di media sosial yang cuma postingan aja nih, tapi juga media sosial yang berbasis percakapan seperti WhatsApp group. Nah berbahayanya adalah memang... berita-berita bohong itu juga ditransmisikan lewat media-media sosial ini. Dan tentunya teman-teman termasuk Mas Arief juga paham bahwa media sosial itu kan mengaturnya tidak bisa sama ya.
Kalau kayak gini deh, ada spanduk di pohon, sisa dicabut. Nah kalau media sosial gimana coba nyabutnya? Sementara rekam jejaknya sudah lama dan tidak begitu saja bisa dicabut.
Bahwa sebenarnya tadi saya menyambung seperti yang disampaikan Mas Arief sebelumnya ya, seperti apa sih pengaturan yang ada. Bukannya tidak ada, tapi memang belum cukup memadai dan tidak cukup spesifik. Sehingga makanya tidak efektif ketika melakukan pengawasan dan pengaturan atau penindakan misalnya terhadap pelanggaran yang terjadi di media sosial. Karena bisa jadi gini, ada satu akun yang ribut banget menyebabkan masalah, padahal sebenarnya satu itu belum tentu akun yang resmi didaktarkan oleh peserta pemilu.
Karena kan ada batasan jumlah nih, misalnya 10 jumlah akun untuk setiap aplikasi. Atau bisa jadi akun itu memang sebenarnya akun simpatisan, atau bahkan akun orang yang iseng, atau akun siapapun yang merauh keuntungan dari kompetisi politik ini. Sehingga memang tidak semudah menandainya ketika ada pelanggaran di kampanye yang sifatnya konvensional.
Seperti itu. I see. So, basically nih Mbak, kalau kita berbicara regulasi, sebenarnya KPU sudah ngeh sama hal ini dong, kalau kampanye di itu, cuma belum komprehensif aja ngeliat dinamikanya yang cepat banget geraknya gitu ya Mbak ya? Iya, mereka juga sudah ada.
Dan sebenarnya KPU dan Bawaslu itu sudah banyak berbicara ya, satu sama lain ya, bersinergi gitu. Dan ini catatan temuan penelitian di Indonesian Institute juga, bahwa penting untuk menyemakan persepsi dari penyelenggara, pemilu dan pelikada soal kampanye politik di media sosial. Nah, mungkin satu nih yang saya bisa share, salah satunya ya, misalnya kayak di PKPU dia tidak menyebutkan soal citra diri. Sementara di Perbawaslu dia menyebutkan soal citra diri. Apa sih citra diri itu?
Misalnya kalau di PKPU itu hanya menyebutkan bahwa kampanye itu adalah soal visi, misi, dan program. Paling tidak tiga hal itu. Tapi di Perbawaslu dia menambahkan bahwa citra diri itu perlu dimasukkan juga dengan kegiatan kampanye.
Citra diri itu misalnya nih Mas Arief kandidat. Baru ketika ada postingan Mas Arief atau kegiatan kampanye, kelihatan ada logonya, ada gambarnya. Nah ini kan akan menarik ya, ketika misalnya nih ada postingan Mas Arief lagi naik sepeda. Itu kira-kira kampanye apa bukan? Mungkin buat Bawaslu itu sudah kampanye.
Karena misalnya Mas Arief memang kandidat. Mas Arief mungkin bajunya warna partai tertentu dan orang tahu Mas Arief itu kandidat. Tapi buat KPU belum tentu itu adalah... dianggap kampanye dan itulah salah satu topik juga yang dibahas di peraturan mengenai kampanye ini oleh KPU dan Bawaslu soal mana yang masuk kampanye, mana yang masuk sosialisasi.
Nah ini kan menarik ya, kompleks banget. Jadi lumayan menarik nih ketika kita berbicara dinamika di sosial media. Ya, 2012 sampai dengan 2023 ini kan memang... Udah waktu yang lumayan lama ya mbak, udah ada satu dekade gitu. Dan kenapa sosial media akhirnya jadi sering banget dipakai sama partai politik ataupun juga tokoh politik nih mbak?
Apakah karena memang scoop dari pemilih yang memang dikatakan dari data banyaknya milenials gitu ya, orang-orang di usia 22-30 itu padat di sana semua, habitnya, jadi akhirnya mereka coba kampanye di situ? Atau kenapa akhirnya partai sekarang kayaknya mencoba untuk keeping up with the trends nih mbak? Yang jelas trens itu juga muncul karena perkembangan teknologi informasi juga ya.
Dan kita harus akui juga dengan adanya media sosial, ada efisiensi juga nih, ada kecepatan ketika ingin mengamplifikasi pesan. Akan beda nih kalau kita ngirimnya pakai surat gitu ya, sama misalnya ketika kita nge-tweet gitu. Dan apalagi nge-tweet ini adalah orang-orang yang berpengaruh gitu ya, misalnya influencer. Jangan lupa juga bahwa dalam dinamika politik termasuk kampanye politik di media sosial itu, kita kenal istilah pendengung.
Dan itu hanya satu, buzzer itu hanya satu dari sekian banyak aktor yang terlibat di dalamnya. Jangan salah juga, kita tahu juga nih ada akun bot gitu ya. Memang bukan yang ada programnya aja, tapi dia bukan akun yang real.
Dan itu akhirnya di amplifikasi oleh aktor-aktor yang lainnya. Kami pikir disini sebenarnya ketika politisi menggunakan... media sosial termasuk Marco selain merespon dari perkembangan zaman ya karena dia tahu betapa ini juga berpengaruh dan beberapa studi misalnya tentang pilkada di 2012 juga menunjukkan betapa berpengaruhnya media sosial misalnya terkait dengan exposure atau daya jangkau media sosial itu dilakukan oleh para kandidat. Dari situlah mulai bergulir gitu ya ada tim bayangan lah.
ada tim-tim yang menggunakan beragam akun, sehingga memang seperti yang Mas Arief bilang di awal, gaduhnya udah dari sekarang gitu ya, meskipun ini belum ada penetapan loh ya. Jadi ada hal seperti itu plus, ya iya kalau kita melihat apalagi 2024 kan, memang akan didominasi oleh anak muda yang bisa 60% dan mereka sangat... familiar dengan penggunaan media sosial.
Yang menjadi bahan pertimbangan dan juga menjadi kekhawatiran banyak orang adalah ketika masuk tahun politik, ketika masuk ke masa kampanye, Mbak Dinda, satu hoax, kedua hate speech, bahkan polarisasi, itu tuh bakal keulang lagi. 2019 udah ngeri banget lah kalau kita ngeliat di sosmed gitu ya Mbak ya. Apalagi kalau berkaca misalnya.
Lihat timeline sekarang Arah-arahnya ada bawa-bawa ke sana nih Mbak Nah kalau misalnya kita berbicara soal regulasi Kayak gimana nih Mbak Bagaimana cara mengatasinya Apakah ada langkah tertentu yang bisa dilakukan Atau gimana gitu Mbak Dari aturan-aturan yang ada Seenggaknya yang terkait dengan Pemilu dan pilkada Untuk larangan sebenarnya sih Secara normatif sudah disebutkan dengan jelas ya Hmm misalnya yang tidak sarat, tidak bohong, dan sebagainya. Tapi memang kalau kita bicara kampanye politik di media sosial ini harus lebih dijelaskan lagi, karena lagi-lagi media sosial itu sangat dinamis. Misalnya kita tidak bisa menyamakan pembatasan iklan yang hanya 30 detik secara umum di media yang biasa dengan bayangin TikTok aja bisa 10 menit. Itu berarti aturannya tertidak... Sekali gitu, itu dalam konteks soal peraturannya.
Jadi sebenarnya dari sisi normatif bukannya tidak ada, ada. Tapi masih perlu dibuat lebih rigid, jelas, dan lebih komprehensif lagi. Karena itu kan sebenarnya bagian dari prinsip-prinsip hukum.
Penelitian kami pun juga mencoba mendasarinya dari teori peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum itu atau kerangka normatif bisa menjawab tantangan zaman ya. Lebih ke seperti itu, Mas Arief.
Jadi memang... pengaturannya itu memang perlu memperhatikan karakter dan langskap media sosial. Dan jangan sampai nih pengaturan ini malah membelegu kebebasan berekspresi kita.
Kita sudah punya aturan seperti undang-undang ITE, kita juga punya yang baru itu kan juga KUHP, perlindungan data pribadi, berikut dengan peraturan perundangan-undangan lainnya yang harus diperhatikan ketika mengatur kampanye politik di media sosial ini. Teriknya artinya di konten moderasi dong Mbak, karena kan sosial media semua orang bisa melakukan apapun yang memang mereka inginkan. Platform juga sepertinya kalau misalnya kita bicara Twitter benar-benar free speech ya, siapapun bisa mengeluarkan pendapatnya di situ. Dan batasan orang untuk memoderasi konten juga sepertinya butuh banyak banget nih Mbak.
So permasalahannya dimoderasi dong Mbak atau gimana nih? Moderasi itu satu dari sekian banyak. tantangan ya makanya dalam penelitian di Indonesian Institute ini kami juga mencatat bahwa pengaturan itu memang bukan hanya terbatas di media sosial tapi juga diperhatikan juga media sosialnya seperti apa karena kita tahu bahkan berita bohong itu juga muncul di media sosial berbasis percakapan gitu ya Mas Harif tapi dengan itu kami tidak mendorong agar lebih banyak regulasi bukan seperti itu karena jangan sampai regulasi itu menjadi bumerang untuk kebebasan berekspresi kita.
Makanya salah satu rekomendasi, kalau tidak salah dua ya maksudnya karena salah satu kami juga mendorong agar KPU mendorong transparansi dan akuntabilitas misalnya soal iklan kampanye. Nah ini sangat penting ya, jadi sesuai dengan peraturan yang ada, dia terdaftar, datanya dari mana, informasinya valid atau tidak. Tapi di sisi lain juga diimbangi oleh upaya pemerintah untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas di level tata kelola media sosial.
Jelas CII juga mencatat betapa ini juga akan menjadi hal yang sulit. Kenapa? Ya karena penyelenggara sistem elektronik itu kan juga punya peraturan dari negara asalnya ya. Dalam penelitian kami, kami juga mencatat bahwa misalnya ketika di Indonesia, misalnya masyarakat sipil, gak kundung misalnya dari kominfo, kepolisian, KPU, Bawaslu, mencatat ada permasalahan polarisasi atau berita bohong misalnya, Tidak bisa serta-merta PSN menurunkan konten tersebut, Mas Arief. Kenapa?
Karena bisa jadi dalam beberapa pertimbangan mereka ini adalah free speech. Sementara di Indonesia kasusnya udah warna merah nih gitu misalnya. Nah ini menarik karena memang kami juga tidak mendorong agar selalunya ada intervensi berlebihan dari pemerintah. Karena makanya dalam riset ini kami mendorong adanya literasi digital yang melibatkan kolaborasi multi pihak.
Jadi tidak ada yang dominan Karena kita tahu tiap pihak itu punya kepentingan dan memang pengaturan-pengaturan ini juga bukannya tidak ada standar internasionalnya ya. Misalnya kalau akuntabilitas dan transparansi itu kan ada the Santa Clara Principles juga, lalu ada Manila juga yang misalnya mengatur soal intermediari di dalam konteks ini. Jadi ya kita juga berhati-hati nih memberikan rekomendasi kebijakan, jangan sampai itu membatasi kebebasan berekspresi.
kita. Nah tapi literasi digital itu sangat penting ya Mas Arief, karena dari catatan para narasumber penelitian kami, literasi digital atau literasi pemilu itu ya nggak berhenti di situ aja. Jadi ada aspek teknisnya, bukan hanya cara menggunakannya saja, tapi juga bagaimana orang bisa memahami bahwa ada konten-konten yang bisa dianggap melanggar peraturan perundang-undangan terkait.
Jadi ada literasi teknis secara digital, literasi pemilu. maupun literasi politik. Dan ini juga berlaku untuk penyelenggara pemilu. Karena kalau dari penyelenggaranya pemilu aja tidak punya persepsi yang sama, akan sulit nih kita menganggap penataan ini misalnya penting.
Bagaimana pengawasannya bisa efektif. Seperti itu. Kata kunci kampanye kan sebenarnya ada dua ya, Mbak Adinda ya.
Edukatif dan informatif nih. Kampanye yang seperti sifatnya edukatif dan informatif, sepertinya tidak terlalu disukai. Dalam tanda petik tidak trending di sosial media Yang trending selalu yang pokoknya ribut Traction-nya tinggi Komentar saling mencacinya tinggi Itu mostly akan mendapatkan traction Dan dapat perhatian sama netizen Nah berkaca dari situasi yang sekarang Hasil temuan dari teman-teman The Indonesian Institute juga How to make masa kampanye di 2024 ini Yang Dalam beberapa bulan ke depan akan segera dimulai, karena pembelian di bulan Februari gitu ya Mbak E, bisa menjadi lebih edukatif dan juga informatif nih Mbak. Apakah dimulai dari regulasinya dulu, atau melihat orang-orangnya dulu, atau memberikan pengertian kepada parpol, supaya kayak, udahlah nggak usah pakai cara yang kemarin-kemarin lagi, meskipun kayaknya efektif sih.
Ya, pasti ada tim cara cepat, cara lambat. Iya, betul. Nah, kitanya ada di sisi mana ya, kalau saya pribadi atau... mewakili TI dan hasil penelitian kami tentunya yang kami ingin dorong adalah pemilihan yang edukatif dan informatif. Dan dalam penelitian ini kami juga mendorong misalnya penyelenggara pemilu juga memberikan apresiasi nih untuk peserta pemilu yang melakukan kampanyenya secara edukatif dan informatif.
Saya ingin share aja nih, kami kan di TI juga ada sempat angkat persepsi politik anak muda nih sejelang 2024 gitu Mas Sharif dan teman-teman TCID. Dan satu hal yang menarik adalah mereka tuh ingin tahu lebih banyak soal visi, misi, dan program kandidat. Mereka ingin tahu lebih banyak soal profil kandidat dan profil Tarpol. Itu melegakan loh untuk ceritanya nih yang akan dominan menjadi pemilih 60-an persen di pemilu mendatang punya pemikiran seperti itu. Meskipun ini angket ya, bukan survei.
Tapi menurut kami ini catatan yang menarik dan seharusnya bisa ditangkap oleh Tarpol. Saya dan teman-teman TI dalam beberapa kegiatan juga berbagi hasil penelitian ini dengan partai politik dalam pertemuan mereka misalnya. Dan agar mereka juga paham kalau Anda ingin merebut pasar anak muda, jadi bicaralah dengan kebutuhan mereka.
Perkenalkan diri Anda maupun parpol dengan baik gitu. Kalau memang jalurnya lewat medsos, ya lewat medsos. Kita tidak bisa menghindari adanya kepentingan politik atau politik prak. Praktis nih ya Mas Arief dan teman-teman. Tapi setidaknya lewat peraturan yang ada, bagaimana penyelenggara pemilu juga bisa tegas dalam menegakkan aturan itu.
Karena sebenarnya di aturan itu juga sudah cukup clear ya. Artinya konten yang dilarang seperti apa, dan mungkin lebih mendorong jangan cuma yang negatif aja nih. Karena secara psikologis kan justru yang dilarang itu.
Jadi peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Jadi dorong, dorong. Aturan yang sifatnya positif ya.
Artinya misalnya ada partai atau kandidat tertentu, wah yang mereka tuh kampanyenya inovatif, informatif, edukatif. Ya boleh dong misalnya di websitenya atau medsosnya penyelenggara pemilu mengapresiasi itu. Dan itu menjadi insentif elektoral juga buat partai terkait. Sama juga nih, kalau yang melanggar, kami lebih mendorong rekomendasi yang sifatnya sanksi administratif gitu ya.
Mas Arief dan teman-teman, karena kita nggak mau bikin penjara penuh. Ya. Jadi kan kalau misalnya ada konferensi pers, tapi tentu dengan penilaian yang adil dan melibatkan, yang objektif maksud saya, yang melibatkan masyarakat sipil juga gitu.
Jadi kalau ada yang melanggar... Ya di posting, kayak kita zaman-zaman sekolah kan ada ya apresiasi, oh kamu yang terbaik hari ini. Jadi hal-hal seperti itu sebenarnya kan menyenangkan dan itu bisa membuat kita hopeful gitu loh. Ada parto dan kandidat yang masih oke nih untuk membuat demokrasi kita lebih baik gitu.
Oke, baik. Nah sekarang kita berbicara soal pendelitian dari teman-teman The Indonesian Institute nih Mbak. Ini kan yang baru dirilis. Kurang lebih sebulan yang lalu ya Mbak ya Siaran persnya untuk mengenai penelitian ini Mungkin ada detail-detail yang belum disampaikan kah Mbak Dari omrolan kita tadi nih Mbak Soal apa ya Suggestions dari teman-teman di Indonesian Institute nih Berbicara mengenai regulasi berkampanye di media sosial Dan di dunia internet Karena kalau kita berbicara Twitter, Instagram, Facebook, TikTok Sepertinya masih ada konten moderasinya, cuma WhatsApp nih Mbak, kadang-kadang jadi oh, jalur paling serem buat kampanye nih atau nerima informasi. Iya, iya.
Pertama yang harus dicatat juga sih kalau soal moderasi itu kan tiap PSE itu punya kebijakan sendiri ya. Mungkin ada beberapa hal yang akan melewati negosiasi yang alat gitu bahkan antara pemerintah dan PSE. Kita tahu juga dengan permen kominfo kemarin ya, yang nomor 5 2020... Soal PSE yang juga cukup gaduh saat itu.
Nah kalau kembali ke catatan penelitian kami, ada beberapa rekomendasi nih teman-teman dan Mas Sharif ya. Jadi kita melihat memang dalam penelitian ini, karena kami dari Lembaga Penelitian Kebijakan Publik, kami lihat dari dua aspek. Pertama aspek normatifnya, soal peraturannya. Dan kedua dari aspek kebijakannya. Nah kalau terkait dengan permasalahan yang ada, seperti yang tadi saya sampaikan, untuk ditatanan normatif pertama itu memang harus ada aturan atau regulasi yang spesifik ya ketika mengatur kampanye politik di media sosial.
Nah ini penting dibuat oleh penyelenggara pemilu, mereka punya kesamaan persepsi dan menyelaraskannya dengan peraturan-peraturan yang ada. Lagi-lagi patut diingat jangan sampai ini melanggar hak-hak sipil kita maupun kebebasan berekspresi kita. Kedua kami juga mendorong agar Bawaslu lebih meningkatkan atau menekan. pada sanksi administratif, termasuk tadi pengumuman secara publik, karena ini bisa memberikan edukasi terhadap publik, khususnya pemilih, termasuk juga bagian dari insentif atau preferensi elektoral juga ya, ketika mereka punya informasi yang cukup tentang hal yang baik atau praktik yang buruk yang dilakukan oleh peserta pemilu. Ketiga, nah sosialisasi kepeserta pemilu ini sangat penting gitu, dan tentu saja penyelenggara pemilu membutuhkan bantuan dari masyarakat sipil, termasuk teman-teman di media, kolaborasi dengan masyarakat sipil lainnya, akademisi dari berbagai bidang yang memang terkait dengan isu-isu pemilu dan demokrasi, dan memastikan itu harus inklusif ya.
Yang ketiga, yang penting juga, yang keempat maksud saya, KPI itu perlu mengatur standar tentang akuntabilitas. dan transparansi termasuk dalam pemanfaatan iklan. Jadi teman-teman, iklan ini adalah satu dari sekian banyak hal yang juga hangat dibicarakan.
Nah mungkin kalau yang tertarik tentang dana kampanye, kadang yang dilaporkan, ah sebenarnya kan bayangannya banyak yang keluar ya. Yang dilaporkan belum tentu sama. Apalagi kalau kita bicara soal iklan di media sosial yang belum tentu ada rekam sejak yang mudah untuk di tracking. Nah, kalau...
soal implementasinya sendiri memang kita mendorong adanya kesamaan persepsi dan ini memang dilakukan beberapa kali ada upaya-upaya dari KPU maupun Bawaslu pusat gitu untuk bertemu dan duduk bersama misalnya membicarakan soal PKPU kampanye jadi biar mereka juga sinkron nih gitu jangan sampai kalau yang sekarang ini kan peraturannya misalnya KPU itu PKPU hanya mengatur akun-akun yang didaftarkan ya Sementara Bawaslu dalam aturannya mengatakan bahwa Bawaslu juga mengatur akun-akun yang tidak didaftarkan. Berarti kan beda ya, padahal secara mandat undang-undang seharusnya ya Bawaslu mengikuti apa yang diatur oleh KPU, bahwa ada inisiatif terhadap hal itu memang baik, tapi kita juga perlu pahami ada keterbatasan sumber daya, baik KPU maupun Bawaslu dalam mengawasi media sosial, termasuk dalam dunia di kampanye politik. Selanjutnya lagi adalah perlu sosialisasi juga di perangkat KPU maupun Bawaslu baik di pusat maupun daerah. Jangan jadi kayak Chinese Whisperer nih, nanti dibisikin ABCD yang ternyata yang kejawab malah huruf-huruf sesudahnya.
Ini menjadi penting juga karena penelitian kami menggunakan konsep atau teori soal implementasi kebijakan di mana ada empat hal yang perlu dilihat, misalnya sumber daya, komunikasi, sikap, maupun struktur birokrasinya. Bayangkan, mau mengawasi media sosial tapi sumber dayanya nggak cukup, baik secara teknis. maupun secara pengetahuan.
Nah ini kan akan sulit ya. Nah selain itu juga perlu ada kolaborasi lagi-lagi meningkatkan kolaborasi dengan masyarakat sivil, kementerian, lembaga terkait gitu untuk mensosialisasikan peraturan yang ada. Dan lagi-lagi ini bukan hanya masyarakat saja, tapi juga peserta dan penyelenggara pemilu, dan juga literasi digital.
Lagi-lagi penelitian kami menekankan pentingnya literasi digital itu. Bukan hanya secara teknis, tapi juga literasi pemilu maupun literasi politik. Jadi kedua hal itu baik sisi normatif maupun implementasinya harus diperhatikan nih teman-teman.
Dan itu yang juga kami lakukan dalam penelitian-penelitian kebijakan publik di Indonesian Institute. Ya, pemilu sudah mulai gaungnya banyak ya. Jadi beware.
jangan asal menerima berita mentah atau yang rame-rame gitu, coba deh perhatikan lagi lebih detail, terutama grup WhatsApp hati-hati dengan link yang disebar gitu ya anyway, terima kasih banyak Mbak Adinda dari The Indonesian Institute ya Mbak buat berbagi dan juga penelitian dari penelitian yang sudah dilakukan sama teman-teman TII itu penelitian yang sangat bagus dan juga akhirnya itu sangat bagus untuk mengetahui buat banyak orang terutama Sobat TCIID apalagi nih Mbak yang TII lagi siapin nih Mbak, terutama buat pemilu nih Mbak Thank you Mas Syarif dan DCID. Ini juga kami sangat senang ya bisa diundang untuk sharing. Karena kami juga butuh bantuan teman-teman media untuk menyuarakan ini.
Apalagi ya, oh kami lagi angket nih, angket di tahun ini. Kalau yang tahun lalu kita udah tiga angket. Ada angket tahun ini yang saya juga sempat sharingnya ke Mas Syarif. Tapi ini untuk pemilih muda ya. Kita sesuai undang-undang kepemudaan yang maksimal 30 tahun.
Dan yang paling tidak sudah memiliki. Nah karena sekarang udah rame, capresnya udah ada, meskipun belum ditetapkan, cawapresnya lagi dicalonkan lebih rame lagi, nah kami juga meramaikan dengan mengajak teman-teman muda untuk mengisi angket ini. Jadi selain itu kami juga lagi ada policy assessment nih teman-teman, jadi ini adalah analisis kebijakan publik tengah tahun dari berbagai bidang yang TIYI lakukan, ya semoga si Juni ini selesai.
Dan lainnya kita juga punya diskusi-diskusi daring, baik di Indonesian Forum, Policy Talks, maupun inisiatif. Nanti agak akhir tahun, kami juga tengah mempersiapkan juga nantinya untuk Indonesia 2023. Jadi let's see, selain itu ya kita berkolaborasi seperti ini dengan teman-teman masyarakat titil, punya beberapa kerjasama juga dengan teman-teman akademisi di kampus, selain ya inisiatif-inisiatif lewat rilis. maupun opini lainnya sih lagi diseminasi hasil riset ini dan saya mewakili TI sangat senang sekali nih bisa sharing hasil riset kami mengenai penataan hukum tentang kampanye politik di media sosial. Oke, buat update-nya semua bisa cek di Instagram at indonesian.institute ya Mbak Dinda ya, betul ya?
Betul, dan ada bisa di portal di deindonesianinstitute.com bisa cek juga di app. Dan Twitter kami Dan bisa juga kalau ada yang mau ditanya-tanya Ke kontak at theindonesianinstitute.com Oke So feel free buat nge-reach out The Indonesian Institute dan juga The Conversation Indonesia Dalam rangka pemilu ini Kita juga sedang Mencari relawan untuk menjadi panel Ahli cek fakta pemilu 2024 Sobat PCID ya Kalau emang teman-teman Sudah menjadi dosen Atau jadi pendeliti gitu langsung aja Cek Instagram atau Twitter kami at Conversation IDN. Kita juga ngajakin buat akademisi, peneliti untuk bergabung di panel Ahli Cek Fakta Pemilu 2024 dari The Conversation Indonesia. Kalau begitu, it's a wrap for this episode.
Thank you so much sobat DCID yang sudah mendengarkan. Kita ketemu lagi di episode-episode berikutnya. Wassalamualaikum.