K. Malik Madani sering memberi kritik kepada santri-santri yang terlalu tekstual dalam memahami kitab.
Ulama Nusantara dulu memiliki dua keistimewaan:
Kafaah dalam penguasaan turas (teks klasik).
Kemampuan mengkontekstualisasi teks-teks Qur'an, hadis, dan kitab-kitab klasik.
Tradisi Intelektual Ulama Zaman Dulu
Ulama zaman dulu tidak kuliah, tapi memiliki cara berpikir yang hebat.
Contoh: Imam Syafi'i, penulis Arrisalah, dianggap seperti Aristoteles dalam filsafat.
Ulama dulu terkenal dengan kemampuan mengkontekstualisasi teks.
Kritik Terhadap Santri Masa Kini
Santri dan kiai pesantren yang hanya mengandalkan pendidikan pesantren, tanpa bersentuhan dengan dunia akademik, sering kali kurang dalam analisa sosial dan metodologi.
Contoh pribadi: K. Malik Madani yang tidak pernah kuliah tapi beruntung bisa belajar di PBNU.
K. Malik Madani sering mengkritik santri yang tekstualis dengan mengatakan bahwa mereka tidak mengikuti perkembangan zaman.
Pentingnya Kontekstualisasi Teks
Mengutip pandangan Imam al-Qarafi dalam al-Furuq: Ulama tidak boleh hanya tekstualis.
Ulama seperti Syekh Nawawi albantani mampu mengkontekstualisasikan teks klasik.
Contoh kasus zakat dari Syekh Nawawi albantani:
Mengikuti gurunya Imam Bajuri yang mengatakan cukup tiga asnaf (kelompok penerima zakat) dalam kondisi modern.
Dulu, Imam Syafi'i mewajibkan delapan asnaf, tapi kondisi zaman berubah.
Kalimat terkenal dari Syekh Nawawi: "Lau Syafi'i yuhayyan" (Jika Imam Syafi'i hidup lagi, dia akan sependapat dengan saya).
Kesimpulan
Ulama Nusantara dulu memiliki kemampuan luar biasa baik dalam penguasaan turas maupun dalam mengkontekstualisasi teks.
Santri masa kini diharapkan mampu mengikuti jejak ulama terdahulu dengan tidak hanya tekstualis, tetapi juga mampu mengkontekstualisasikan teks sesuai dengan kondisi zaman.