Transcript for:
Sejarah dan Kepercayaan Sunda Wiwitan

Ternyata Sunda Wiwitan tidak sesederhana yang kita kira. Ternyata begitu banyak aliran terkait Sunda Wiwitan. Wah, apa saja kah itu? Sunda Wibitan menjadi ajaran yang dianggap sebagai tongkat sejarah, bukti persaudaraan antara Sunda dan Jawa.

Sunda Wibitan adalah ajaran agama dengan unsur menurut teisme purba, yang memiliki konsep kepercayaan tertinggi kepada Sang Pencipta yang Maha Kuasa yang tak berwujud, dan disebut Sang Hyang Kersa, yang setara dengan Tuhan Yang Maha Esa, di dalam ideologi Pancasila. Konsep tersebut juga terkait dengan kepercayaan kapitayan di Jawa. Beberapa versi yang mengatakan bahwa Sunda Wibitan berasal atau terkait dengan kapitayan itu disebabkan konsep yang tak berwujud tersebut.

Yang di dalam bahasa Sunda, Taya dalam kapitayan berarti teaya atau tidak ada. Pemahaman inilah yang membuat sebagian pihak menilai Sunda Jawa sangat terkait erat. Konsep tersebut juga kelak akan memudahkan menyerap ajaran-ajaran agama yang datang sesudahnya.

Terutama filosofi Hindu-Buddha dan konsep Tauhid dalam Islam. Beberapa dari mereka yang menolak agama-agama yang baru datang tersebut. lebih memilih menepi, masuk ke pedalaman, seperti yang akan kita bahas ke depan. Ajaran Sunda Wiwitan ini juga disebut-sebut sebagai kepercayaan pengujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur yang berkaitan dengan kekuatan alam. bersatu dengan alam yang dianut oleh masyarakat asli suku Sunda.

AIDS, tapi tidak serta-merta, bisa dilabeli animisme-dinamisme lho. Seperti disampaikan di awal, Sunda Bibitan justru monoteistik, dilengkapi dengan filosofi dan sistem kepercayaan, bersifat sosial kebudayaan. Seperti yang akan kita bahas ke depan. Penganut ajaran ini ditemukan di beberapa desa di Provinsi Banten dan Jawa Barat. Seperti ini.

seperti orang Kanakes di Kabupaten Lebak, Banten, dan bagian kecil orang Cipta Gelar di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Serba-serbi Sunda Wiwitan Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam Kitab Sang Hyang Siksa Kandang Karisian. Sebuah kitab yang berasal dari zaman Kerajaan Sunda, yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral.

aturan, dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan Kokolot Ketua Kampung Cikesik, orang Kanekes bukanlah penganut hidup dan Buddha, melainkan memiliki kepercayaan yang menghormati arwah leluhur. Hanya dalam perkembangannya, kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu dan sampai pada Islam. Dalam cerita para hyangan, kepercayaan ini disebut sebagai ajaran jati Sunda.

Sistem Kepercayaan Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa yang Maha Kuasa atau Nul Ngersa Aken yang Menghendaki. Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal, Tuhan yang Maha Esa. Batara Jatuh jagad penguasa alam, dan Batara Seda Niskala yang goib. Dia bersemayam di Buwana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu, Brahma, Wisnu, Siwa, Indra, Yama, dan lain-lain, tunduk kepada Batara Seda Niskala.

Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes. Buana Nyungcung, tempat bersemayam sang hiang kersa, yang letaknya paling atas. Buana Panca Tengah, tempat berdiam manusia di makhluk lainnya, letaknya di tengah. Buana Larang, neraka, letaknya paling bawah. Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah, terdapat 18 lapis alam, yang tersusun dari atas ke bawah.

Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut Kropak 630 bernama Alam Kahyang atau Mandalahyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyipohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu. Sanghyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buwana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes.

Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di Tanah Sunda. Pengertian Nurunkun menurunkan batara ini bukan melahirkan, tapi mengadakan atau menciptakan. Filosofi ajaran Sunda Wiwitan adalah dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu cara ciri manusia dan cara ciri bangsa. Cara ciri manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya.

Welas asih, cinta kasih, unda usuk, tatanan dalam kekeluargaan, tata krama, tatanan perilaku, budi bahasa dan budaya, wiwaha yudha narada, sifat dasar manusia, yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya. Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut, maka manusia pasti tidak akan melakukannya. Prinsip yang kedua adalah cara ciri bangsa.

Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal, cara ciri manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam hal-hal tertentu, Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut didasarkan pada cara ciri bangsa yang terdiri dari rupa, adat, bahasa, aksara, budaya. Awalnya Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya.

Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua, yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain, yang bisa membahayakan diri sendiri. Akan tetapi karena perkembangannya untuk menghormati tempat suci dan keramat Kebuyutan yang disebut Sasaka, Tusaka Buwana, dan Sasaka Domas Serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen Maka, ajaran Sunda Bibitan mengenal banyak larangan atau tabu Tabu dalam bahasa orang Kanekes disebut buyut Paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci Mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam. Ya, Baduy Dalam, tempat luhur yang paling dikeramatkan oleh Sunda Bibitan.

Masyarakat Baduy sendiri masuk ke hutan, menjaga keaslian ajaran luhur hingga kini. Menarik kita bahas tersendiri terkait Baduy ini di lain kesempatan. Tradisi, dalam ajaran Sunda Wibitan, penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung, serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi. dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda, yang dikenal dengan nama perayaan Serentau.

Di berbagai tempat di Jawa Barat, Serentau selalu berlangsung meriah. dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan serentau dapat ditemukan di beberapa desa, seperti Sindang Barang, Kabupaten Bogor, Kanekes, Lebak Banten, Cipta Gelar, Kabupaten Sukabumi, Kampung Naga, Kabupaten Tasik Malaya, dan Cikugur, Kabupaten Kuningan.

Di Cikugur, Kabupaten Kuningan sendiri, merupakan salah satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda. Mereka yang ikut merayakan. serentakun ini datang dari berbagai penjuru Tenggeri. Nah, di Jugugur inilah munculnya agama Jawa Sunda atau Sunda Wibitan alias Madrais. Sementara di beberapa daerah Jawa Barat yang terdapat ajaran di samping Sunda Wibitan, yaitu buhun, kepercayaan yang diyakini oleh pemeluknya lebih tua dan asal-muasal Sunda Wibitan.

Aliran Madra'is beberapa pihak menganggapnya sama dengan Sunda Wibitan. Padahal Madra'is atau agama Jawa Sunda ini merupakan aliran baru, Sunda Wibitan, yang diresmikan pada abad ke-19. Madra'ismu disebut juga agama Jawa Sunda.

Jawa Sunda adalah aliran kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah kecamatan Cigugur Kuningan, Jawa Barat. Aliran yang justru berkembang dari sosok yang masih memiliki garis leluhur sampai pada sunan Gunung Jati. penyebar Islam di Tanah Jawa Barat, anggota Wali Songo.

Dia bernama Pangeran Madrais atau Kiai Madrais. Lahir di Susukan, Ciawi, Gebang, Cirebon. Catatan resmi Paseban Cigugur mengatakan bahwa ia lahir pada tahun 1822. Sosok yang dianggap kontroversial karena kelak ajarannya dianggap berlawanan dengan ajaran Islam. Sebab Madrais tumbuh sebagai santri di banyak pondok pesantren. Beberapa kata yang dianggap sebagai konsep ajarannya sendiri masih sangat terkait dengan Sunda Wibitan, Madra'is mengajak masyarakat di mana ia hadir tersebut untuk kembali pada ajaran leluhur.

Salah satu hal kontroversial yang muncul dari ajaran Madra'isme yaitu konsep mengkavanan pemeluknya yang telah meninggal dengan kain hitam. Beberapa pemeluknya kini meragukan sumber kisah yang dianggap penyimpanan tersebut dan menegaskan bahwa Madra'isme, aliran kepercayaan terkait Sunda Wibitan lainnya telah berdiri sendiri sebagai warisan kebudayaan di luar agama lainnya. Aliran buhun, kita tarik jauh sebelum aliran madrais muncul, telah terdapat aliran buhun.

Buhun adalah ajaran kuno para leluhur Sunda, prahindu, dan sudah ada jauh sebelum agama-agama dari daratan Asia masuk ke Pulau Nusantara. Ajaran buhun yang murni tidak mengenal reinkarnasi, surga, neraka, ataupun moksa. Tetapi mereka mengenal tiga jenis kematian, yaitu paeh kasarat atau mati dengan sukma atau ruh, menjadi tumbal siluman.

Paeh Kakungkung atau Mati tetapi Sukmanya terperangkap di dalam Waruga atau Raka dan Sukmanya tersebut akan punah seiring mengusuknya Waruga atau Mati dalam Kepunahan dan Paeh Sawili Jengat atau Sukmanya keluar dari Waruga dengan selamat menuju alam khayangan yang dipercaya sebagai alam keabadian. Ajaran buhun murni atau biasa disebut kepercayaan jati buhun memiliki ajaran yang terdiri dari pikukuh-pikukuh atau ketetapan-ketetapan yang disampaikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Aliran dalam buhun.

Kepercayaan buhun ini terdiri dari beberapa aliran, berbeda dengan Sunda Wibitan sebagai aliran kepercayaan terbesar di Indonesia yang tersebar di beberapa wilayah selatan Banten dan Jawa Barat. Sedangkan untuk aliran kepercayaan buhun pada saat ini hanya dianut oleh beberapa orang saja yang tersebar di beberapa wilayah kecil di wilayah utara Jawa Barat Menurut Abdul Rojak, seorang peneliti kepercayaan Sunda menyebutkan bahwa agama Sunda Wibitan adalah bagian dari agama buhun Kepercayaan jati buhun dianut oleh beberapa orang di Babakan Cikau, Kabupaten Purwakarta Jati buhun dianggap sebagai sebagai aliran buhun murni dan dimurnikan dan dipercaya pernah tersebar mulai dari semenanjung Malaya, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Merujuk dari ditemukannya konsep Sang Hyang milik kepercayaan buhun di wilayah-wilayah tersebut.

Kepercayaan buhun di Kampung Salapan, Kabupaten Karawang terbilang unik. Kabupaten tersebut hanya ditempati sembilan rumah. yang dihuni oleh sembilan kepala keluarga. Salapan berasal dari bahasa Sunda yang artinya sembilan. Bila ada yang menikah atau bertambah keluarga baru, maka harus ada yang pindah dari kampung tersebut.

Hingga kampung tersebut hanya ditempati oleh sembilan rumah dan sembilan kepala keluarga. Kepercayaan buhun di kampung Salapan sudah sangat terpengaruh oleh ajaran Islam yang semakin berkembang di sekitarnya. Aliran kepercayaan Buhun Keranggan di Keranggan, Kota Bekasi, Jawa Barat sudah mulai terpengaruh oleh ajaran Hindu, Buddha, dan Islam sejak masa kejayaan Kerajaan Pajajaran.

Menurut keyakinan masyarakat setempat, tradisi Buhun mengandung arti ilmu kesaktian dan upacara sakral yang diwariskan secara turun-menurun oleh Prabu Siliwangi kepada orang-orang Keranggan. Ritual ini antara lain berupa upacara sedekah bumi yang diadakan setiap hari. setiap bulan apit atau dalam kalender hijriah disebut Zul Qaeda.

Tak hanya burun dan madrais, ternyata masih terdapat beberapa agran lain. Wah! Pada 17 September 1927, seorang tokoh kebatinan Mei Kartawinata, 1898 hingga 1967, mendapat wangsit di Subang untuk berjuang melalui pendidikan kerohanian dan berjalan ke Jepang.

dan pengobatan melalui perkumpulan perjalanan yang mengibaratkan hidup manusia seperti air dalam perjalanannya menuju laut dan bermanfaat sepanjang jalan. Mei Kartawinata kemudian mendirikan aliran kepercayaan perjalanan yang dikenal agama kuring atau agamaku dan pendiri partai permai di Ciparai, Kabupaten Bandung. Di Ciparai hingga kini terdapat bangunan serupa aula, tempat menghati. dan peraturan ibadat dari agama Kuring. Kartawinata juga menulis buku budidaya pada 1935 yang dijadikan kitab suci oleh para pengikutnya.

Ajaran yang memandukan sinkretisme antara ajaran Sunda Wibitan, Hindu, Buddha, dan Islam ini masih dianut oleh beberapa kalangan sampai sekarang. Persoalan administratif Banyak pihak mempersoalkan eksistensi ajaran kepercayaan-kepercayaan tersebut. Banyak dari mereka yang bersikeras menentang sebab ajaran-ajaran tersebut bahkan belum dapat dikatakan sebagai agama. Lalu, apa saja syarat untuk bisa disebut agama? Syarat untuk sebuah keyakinan, agama, atau kepercayaan didaftarkan kekejaksaan.

Punya kitab suci yang disucikan. Punya figur sensual yang disucikan. Nabi atau Pendiri, punya pengikut.

Namun saat ini menurut mantan kepala badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Prof. Dr. Haji Maccasin MH menjelaskan, Coba. Setidaknya ada empat persyaratan yang mesti dimiliki sebuah kelompok keyakinan agar nantinya diakui sebagai agama di Indonesia. Sar tersebut diantaranya, kelompok keyakinan memiliki ajaran yang berbeda dengan yang lain, memiliki sistem peribadatan yang berbeda, memiliki umat yang jumlah minimumnya masih dalam kajian, memiliki organisasi yang mewakili mereka berkegiatan, memiliki eksistensi ajaran-ajaran yang datang sebelum enam agama yang berbeda, yang kita kenal sendiri, kini mulai diakui eksistensinya secara administratif oleh negara.

Setidaknya memiliki kolom aliran kepercayaan di KTP dan KK. Hal tersebut sesuai putusan Mahkamah Konstitusi nomor 97 garis miring PUU strip 14 Romawi garis miring 2016 tentang pencantuman aliran kepercayaan dalam kependudukan. Eksistensinya di tengah masyarakat hari ini setidaknya sempat terjadi kles terhadap para penganut agama Sunda Wibitan seperti penyegelan area pemakaman para penganut Sunda Wibitan pada 20 Juli 2020 yang dilakukan petugas Satpol PP bersama sejumlah masa di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Penyegalan ini dilakukan lantaran bangunan pemakaman penganutan Sunda Wiwitan dianggap sebuah tugu oleh pemerintah setempat. karena adanya bangunan dari batu yang menjulang.

Sehingga perlu adanya surat IMB dan juga pemerintah setempat mencurigai para penganut Sunda Wiwitan menyembah batu. Salah satu tokoh penganut Sunda Wiwitan, Juwita Jati Kusuma Putri, menyatakan bahwa bangunan tersebut bukan tubuh, tidak digunakan sebagai tempat pengujaan ataupun sesembahan. Bangunan tersebut sejatinya adalah tempat pemakaman bagi penganut agama kepercayaan. Sunda Wiwitan yang sudah ada di sana selama bertahun-tahun.

Di mana ajaran Sunda Wiwitan sendiri sudah lebih dulu ada, bahkan sebelum agama lain masuk ke tanah Sunda. Bisa dikatakan, kalaupun terdapat ketegangan konflik, hal itu terkait sengketa penirian tempat ibadah, persoalan yang juga kerap masih terjadi di antara pemeluk agama lainnya, proses dialog dan pengaruh agama lain pada kepercayaan Sunda Wiwitan, dan beberapa aliran di sekitarnya. membuat para penganut paham masing-masing semakin berbaur.

Menurut budayawan Sunda sekaligus mantan Bupati Purwakarta, Kang Deddy Mulyadi, pertentangan seringkali datang justru dari masyarakat mendatang. Masyarakat asli telah memiliki batasan masing-masing yang saling menjunjung dan menghormati, tanpa menyinggung satu sama lain. Hal ini dapat kita jadikan pelajaran.

Bagaimana masyarakat setempat mesti sama-sama berperan menjaga toleransi dan mencegah pihak-pihaknya. yang dapat memperkeruk nilai-nilai kerukunan yang telah terjalin. Kini, kita mesti lebih cernih memahami ajaran aliran kepercayaan yang begitu banyaknya di Nusantara dapat dilestarikan oleh para penerusnya. Sikap toleransi kita justru memperkaya wajah budaya kita. Panjang umur para pewaris tradisi Nusantara.