Pada tanggal 16 September 1982, kem-kem pengungsi Palestina di Sabra dan Satila diserang oleh 150 milisi Kristen Lebanon. Ironisnya, aksi ini disponsori oleh Israel. Para pengungsi itu dibuat tidak berdaya dan hanya bisa berlari untuk menyelamatkan diri. Tidak sedikit pula, mereka menjadi sasaran kejam para milisi Kristen. Wanita, anak-anak, dan orang tua dikumpulkan dan dihabisi dengan sadis.
Ruangan kamp penyelamat Palestina di luar Beirut Rumah yang terbentuk, tubuh yang terbentuk Ini adalah kemarahan yang teruk dari masak-masak Beirut Ketika beberapa ratus-ratus Palestina yang tidak berpengaruh Dibunuh dengan berat Dari tragedi ini timbul beberapa pertanyaan. Satu sisi, mengapa ada pengungsi Palestina di Lebanon? Dan di sisi lain, mengapa Palestina menjadi sasarannya?
Dan satu lagi, siapakah yang bertanggung jawab atas semua ini? Kekalahan negara-negara Arab melawan Israel dalam Perang 1948 dan Perang 6 Hari 1967 mengakibatkan warga Palestina berlarian mengungsi. Sebagian besar Palestina mengungsi ke Jordania dan sebagian kecil lainnya mengungsi ke Lebanon.
Hari demi hari, pejuang Palestina terus menerus mengumpulkan kekuatan untuk berjuang melawan Israel. Memang, para Fudayen yang tergabung dalam Palestinian Liberation Organization atau PLO secara bertahap melancarkan serangan terhadap Israel dari Jordan. Namun lambat laun mereka juga mengusik warga sipil Jordania. Bahkan PLO pimpinan Yasser Arafat ini juga menyerukan penjatuhan Raja Hussein. Mereka bertindak seperti negara dalam negara dan seringkali mengabaikan hukum serta regulasi setempat.
Lebih dari itu, para pejuang Palestina juga kerap melakukan aksi percobaan pembunuhan terhadap Raja Hussein. Akibatnya, pada sepanjang bulan Juni 1970, terjadi bentrokan antara Angkatan Darat Jordania dan PLO. Puncaknya, pada tanggal 17 September 1970, PLO membajak dan meledakan pesawat Dawsonville yang ditumpangi warga sipil.
Melihat keberingasan PLO, Raja Hussein memerintahkan militernya untuk menumpas PLO sampai ke akar-akarnya. Kondisi ini tentunya membuat PLO bergegas melarikan diri dari operasi Angkatan Darat Jordania. Alhasil, mereka kemudian berlarian mengungsi ke Lebanon.
Kini, hampir seluruh pejuang Palestina membuat markas baru serta kekuatan baru di Lebanon. Namun, bukannya melewati perjuangan dengan mulus, justru mereka terjebak dalam perang saudara di Lebanon. Hal yang menjadi malapetaka di kemudian hari.
Sebelum Malapetaka terjadi, Lebanon dikenal sebagai negara yang damai, makmur, juga jauh dari kemungkinan konflik. Bahkan tak jarang orang-orang mengenal Lebanon sebagai ibu kota perbankan di Timur Tengah dan umumnya dikenal sebagai Parisnya Timur Tengah. Untuk menjalankan pemerintahannya, Lebanon menganut sistem konfesionalisme atau melibatkan seluruh kelompok agama untuk berperan dalam pemerintahan, di mana kursi presiden diisi oleh orang Kristen.
sementara Perdana Menteri diisi oleh orang Muslim. Memang, modal pemerintahan seperti ini memberi ruang dan kesempatan kepada seluruh kelompok agama. Namun, justru sistem ini rawan akan perang saudara dan perebutan kekuasaan di antara kelompok agama.
Pasalnya, kelompok Kristenlah yang mendominasi pemerintahan Lebanon. Pada akhirnya, berbagai konflik terbuka antara Lebanese National Movement atau LNM dan Partai Kristen Falangis kerap terjadi. Lambat laun, masyarakat Lebanon terbagi menjadi dua kubu. Kelompok Kristen sayap kanan yang berhaluan barat dan kelompok Muslim sayap kiri yang berhaluan pan-Arabisme.
Ironisnya, konflik kedua kelompok ini justru semakin rumit dan parah. Terlebih, setelah kedatangan pejuang Palestina atau PLO ke Lebanon pasca konflik dengan Jordania. Kedatangan Palestina ini satu sisi diterima oleh kelompok Islam, dan di sisi lain, kedatangan mereka sangat dikhawatirkan oleh kelompok Kristen. Mereka khawatir jika PLO akan melakukan kejadian yang sama seperti di Jordania.
Dan hal yang dikhawatirkan pun akhirnya terjadi. Pada tanggal 13 April 1975, di Beirut Timur, sekelompok orang tak dikenal mendatangi gereja dan menembakkan senjatanya ke udara. Setibanya di gereja, mereka mencoba membunuh seorang pemimpin Partai Kristen Falangis, Pierre Gemayel, saat tengah beribadah. Alhasil, bagu tembak pun terjadi.
Setidaknya, 4 orang meninggal akibat insiden ini. Meski pelaku penembakan belum ditemukan, namun Pierre Gemayel memerintahkan kelompok Kristen Maronite membalas serangan ini dengan menembak 14 warga Palestina yang berada di sebuah bus. Menurut kelompok Palenjis, bus tersebut membawa para milisi Palestina yang hendak menyerang Pierre Gemayel.
Namun PLO membantah bahwa bus itu hanya ada para pengungsi Palestina. Dua peristiwa inilah yang kemudian memicu konflik berkelanjutan yang lebih besar antara Kristen sayap kanan dan Islam sayap kiri yang kala itu beraliansi dengan Palestina pimpinan Yasser Arafat. Hari demi hari, kejadian ini semakin memantik kemarahan dua kelompok itu. Keduanya sama-sama saling menuduh.
Siapakah yang bertanggung jawab atas semua kejadian ini? Sebagai akibatnya, perang saudara pun terus menerus terjadi, tiada henti. Setelah terjadinya penembakan di gereja dan pembantaian di bus, Beirut terbagi menjadi dua. Kelompok Muslim menguasai jalur barat dan kelompok Kristen menguasai jalur timur.
Melihat semua kejadian yang ada, Presiden Lebanon, Sulaiman Frenji, meminta bantuan Liga Arab untuk menyelesaikan permasalahannya. Namun, sama sekali tidak menemukan jalan keluar. Bahkan, pada bulan Januari 1976, kelompok milisi Kristen Maronite menyerbu wilayah karantina Palestina di Beirut dengan menyerang wilayah karantina dan menghabisi ribuan Muslim. Mereka berdali bahwa kelompok PLO Palestina telah memblokade jalur komunikasi antar wilayah Kristen di Beirut.
Tidak tinggal diam, dua hari kemudian, kelompok Muslim Lebanon bersama milisi PLO membalas serangannya dengan membombardir kelompok Kristen Maronite di Damaur, sebelah selatan Beirut. Perang sipil yang berkepanjangan ini membuat masyarakat Lebanon ketakutan. Kini tidak ada lagi Paris di Timur Tengah.
Trauma dan kesedihan melanda Lebanon. Tak sedikit rakyat Lebanon pergi meninggalkan negerinya. Namun, satu hal yang pasti, perang masih terus berlangsung. Bahkan, serangan demi serangan masih kerap terjadi. Hal yang di kemudian hari terjadi di wilayah Sabra dan Satila.
Pada tanggal 6 Juni 1982, Israel menginvasi Lebanon. Sederhananya, mereka akan menumpas PLO di Lebanon. Hal inilah yang melibatkan Israel dalam pembantaian pengungsi Palestina di Sabra dan Satila, sekalipun tidak terlibat secara langsung.
Dan pada tanggal 23 Agustus 1982, seorang milisi Kristen, Bashir Gemayel, terpilih menjadi Presiden Lebanon. Hal ini menjadi kabar baik bagi Israel karena Israel telah menemukan seorang milisi Israel. mengandalkan Gemayel dan pasukan-pasukannya sebagai suatu kekuatan tandingan terhadap PLO. Selain itu, hal ini juga memudahkan Israel menumpas PLO di Lebanon.
Namun, pada tanggal 14 September 1982, Presiden Bashir Gemayel terbunuh dalam sebuah ledakan hebat yang menghancurkan markas besarnya. Merespon kondisi ini, Partai Kristen Palenjis dan Menteri Pertahanan Israel, Ariel Sharon, menyalahkan orang-orang Palestina. Sementara, para pemimpin Palestina dan Muslim Lebanon menyangkal akan terlibatnya dalam kejadian itu.
Akibatnya, kelompok Kristen Palenjis semakin marah terhadap orang-orang Palestina. Begitu juga sebaliknya. Tidak berselang lama, Jenderal Ariel Sharon kemudian mengundang satuan-satuan milisi Kristen Lebanon untuk memasuki kem-kem pengungsi di Sabra dan Satila dengan alasan membersihkan Lebanon dari para teroris.
Seketika itu, Israel pun memberikan dukungan senjata dan logistik untuk melancarkan serangannya. Dan pada tanggal 16 September 1982, pukul 8.00 sore hari, serangan pun dimulai. Kala itu, para milisi Kristen Maronite di bawah komando Eli Hubeika memasuki kem-kem pengungsian Palestina di Sabra dan Satila.
Dengan bersenjatakan seperti senapan, pisau, serta kapak, 150 milisi Kristen mulai mencari target untuk dihabisi. Sementara militer Israel menjaga di pintu-pintu luar. Selama 36... hingga 48 jam berikutnya, para milisi Kristen Lebanon menghabisi para penghuni Kem Pengungsian Sabra dan Satila.
Memasuki pukul 20.00 waktu setempat, para milisi Kristen Lebanon melaporkan kepada militer Israel bahwa mereka telah membunuh lebih dari 300 orang di Kem Pengungsian. Setidaknya, Lebih dari 36 jam, para milisi Kristen Lebanon terus melakukan pembunuhan terhadap para pengungsi Palestina di Sabra dan Satila. Perempuan, anak-anak, hingga orang tua tak luput dari sasaran mereka. Bahkan, para pengungsi yang masih tersisa di kem itu dibawa keluar untuk dikumpulkan dan kemudian akan dibunuh secara acak.
Sementara itu, beberapa dari mereka akan dibawa ke sebuah stadion untuk diintrogasi. Dan, pada tanggal 18 September pukul 8.00 pagi hari, para milisi Kristen Lebanon pergi meninggalkan kem Sabra dan Satila setelah mendapat tekanan oleh Amerika. Lantas, siapakah yang bertanggung jawab atas semua kejadian ini?
Gunman telah menyerang dua kamp pelabuhan Palestina di West Beirut, menyerang laki-laki, wanita dan anak-anak, dalam masalah yang menyebabkan tensi antara AS dan Israel....kecemasan yang diperlukan terhadap pemerintah Palestina di kamp pelabuhan Palestina Sabra dan Shatila. Tidak ada yang tahu yang benar siapa yang melakukan ini. Pembantaian di Sabra dan Satila merupakan salah satu konsekuensi akibat terjadinya perang sipil di Lebanon.
Begitu juga akibat konflik Palestina dan Israel yang berlarut-larut. Setidaknya, Lebih dari 3.500 warga sipil Palestina meninggal dalam insiden di Sabra dan Satila. Bahkan PBB pun mengecam kejadian ini.
Sementara Komisi Pencari Fakta Israel menetapkan bahwa Menteri Pertahanan Israel, Jenderal Ariel Sharon, bertanggung jawab atas tragedi yang terjadi. Bagi warga Palestina, tragedi yang terjadi di Sabra dan Satila ini menjadi peristiwa yang tidak bisa dilupakan. Mereka terus dihantui oleh rasa ketakutan dan trauma berkepanjangan.