Pada pagi hari ini, izinkan saya, Freddy, selaku host atau moderator pada kesempatan kali ini yang akan memandu webinar pada pagi hari ini yang akan sebentar lagi akan kita mulai. Sebelum kita mulai, saya ingatkan sekali lagi kepada para peserta yang baru hadir di ruang Zoom ini untuk jangan lupa melakukan registrasi dengan melakukan scan terhadap QR Code yang sudah di-share kepada ibu bapak sekalian yang ada di layar Anda sekalian. Baik, topik kita pada pagi hari ini terkait problematik perbedaan tafsir oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam judicial review.
Nah, diskusi kita akan dipandu atau akan dipandu. dipantik oleh narasumber yang sangat luar biasa, Profesor Galang Asmara. Nanti saya akan perkenalkan siapa Profesor Galang Asmara kepada Bapak-Ibu sekalian.
Nah, topik kita kali ini, ini sangat menarik, Ibu Bapak sekalian. Ini adalah topik yang sebenarnya secara politik itu sudah selesai dibahas, tetapi isu yuridisnya itu masih berlangsung hingga sekarang. Kita tahu bahwa... semenjak amendemen Undang-Undang Dasar 1945 itu terdapat bifurkasi dari lembaga kekuasaan kehakiman kita. Terdapat dua pemegang kekuasaan kehakiman yaitu ada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Nah, dua lembaga ini kebetulan sama-sama menjalankan kewenangan yang hampir sama yaitu melakukan judicial review atas peraturan perundangan. Hanya saja Terdapat perbedaan, Mahkamah Konstitusi itu punya kewenangan menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, uji konstitusionalitas, sedangkan Mahkamah Agung itu menguji legalitas, yaitu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Nah, tetapi belakangan kita itu kembali mencuat isu mengenai ini... tafsir antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung di dalam judicial review itu seperti apa? Apakah yang lebih diikuti itu adalah tafsir dari Mahkamah Konstitusi atau yang lebih diikuti itu tafsir dari Mahkamah Agung?
Atau seperti apa? Nah, untuk itu pada pagi hari ini diskusi atau materi itu akan dibawakan oleh Profesor Galang Asmara. Jadi saya akan perkenalkan Prof. Galang terhadap Anda sekalian. Saya akan bacakan kurikulum atau biodata dari Prof. Galang. Jadi ini kalau saya baca satu persatu ini sangat panjang.
Jadi saya izin Prof. Saya izin mungkin saya akan membaca secara singkat ya Prof ya. Karena biodatanya panjang sekali dan banyak sekali yang harus saya jadi saya highlight saja. Baik, Prof. Dr. Galang Asmara, SHMUM.
Beliau ini merupakan guru besar di dalam bidang ilmu hukum kata negara dan hukum administrasi negara. Beliau mengajar di Fakultas Hukum Universitas Mataram di Nusa Tenggara Barat. Fakultas Sarjana Hukum beliau itu diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Mataram.
Kemudian S2 atau Program Pasar Sarjana Magister Hukum beliau peroleh dari Universitas Pajajaran Bandung. Dan program doktor ilmu hukum beliau peroleh dari Universitas Air Langga Surabaya. Perlu kita ketahui bahwa Prof. Galang Asmara itu mulai aktif mengajar di Fakultas Hukum Universitas Mataram itu sejak tahun 1991. Nah, sejak mulai mengajar Prof. Galang itu juga sudah memangku beberapa jabatan struktural... mulai dari Sekretaris Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Mataram tahun 1990-1993, pernah menjadi sebagai Wakil Ketua Program Magisteri Ilmu Hukum FH Universitas Mataram, kemudian pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Mataram, ini dua periode, 2006-2011, kemudian 2011-2014, dan menjabat sebagai Ketua Program Studi Dokter Ilmu Hukum Universitas Mataram.
dan saat ini hingga 2026 nanti itu sebagai Ketua Senat Fakultas Hukum Universitas Mataram. Selain itu, Prof. Galang itu juga aktif di berbagai organisasi. Salah satunya itu sebagai pengurus Lembaga Perlindungan dan Pertoloh Hukum atau Legal Aid and Protection Institute.
Itu di Korpegawai, Korpre, NTB. Kemudian sebagai ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi. Ini di pengurus pusat. Tadi saya sudah konfirmasi dua tahun belakangan beliau aktif sebagai ketua di pengurus pusat. APHTN.
Kemudian sebagai Wakil Ketua Majelis Kehormatan Etik Persatuan Perawat Nasional Indonesia pernah juga sebagai Ketua Majelis Kehormatan PPNI Provinsi Nusa Tenggara Barat saat ini sebagai Ketua dari tahun 2012 hingga 2007 nanti. Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dari 2010 hingga sekarang ini dan juga Mulai dari tahun 2015 hingga sekarang itu sebagai ketua pengurus balai mediasi Provinsi Nusa Tenggara Barat dan sekarang itu juga sebagai mediator yang bersertifikat. Selain itu, Prof. Dallar itu sangat berpikir berbagai organisasi masyarakat. Pernah sebagai pengurus majelis adat sasak, itu hingga sekarang bahkan. Sebagai pengurus besar nadlat menguatan.
sebagai pengurus Balai Mediasi dan juga pengurus MOI Provinsi NTB. Nah, karena sudah berpengalaman mengabdi di bidang pendidikan, beliau ini juga sudah menerima penghargaan Satya Lencana Karya Satya. Ini yang sudah ketiga kali, baik yang 10 tahun di tahun 2004, kemudian yang 20 tahun di 2012, dan yang terakhir. 30 tahun di tahun 2023 yang lalu. Nah, informasi juga bahwa Prof. Galang ini punya salah satu keahlian, karena beliau itu salah satu profesor yang spesifikasi atau keahliannya menulis tentang kedudukan ombudsman di hukum tata negara Indonesia.
Jadi bagi teman-teman mahasiswa yang ingin mengkaji mengenai hukum lembaga negara, khususnya kedudukan ombudsman, ada satu buku. yang sudah ditulis oleh Prof Galang, dan itu sangat luar biasa. Materi-materinya, gaya bahasanya itu sangat memudahkan bagi kita untuk membacanya. Baik, Prof Galang, izin saya nanti Prof punya waktu mulai dari sekarang hingga nanti pukul kurang lebih 9.20 atau bisa lebih cepat untuk pemaparan materinya.
Sesudah 9.20, nanti kita punya waktu sampai... 10.20 waktu Indonesia Barat untuk melakukan tanya jawab. Begitu, Prof. Baik.
Tanpa berpanjang lebar, saya persilahkan kepada Prof. Galang untuk menyampaikan materi. Baik, terima kasih Mas Freddy sebagai moderator kita dalam webinar pada pagi hari ini. Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirrahmanirrahim. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sayyidina Muhammadin wa la alihi wassalamu ala alihi wa barakatuh. Rabbis salali sadri. Wa yatsirli amri wa halul uqdatan milisan niyab kahu kahuli.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Sebelum saya menyampaikan materi dalam kesempatan ini. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala limpahan rahmat dan nikmatnya kepada kita sekalian.
Kepada teman-teman kami yang muslim, mari kita juga sampaikan salawat dan salam kepada Rasulullah SAW. Semoga kita mendapatkan syafaat darinya. Kemudian saya ingin... menyampaikan terima kasih kepada Mahkamah Konstitusi yang pada kesempatan pagi hari ini dalam webinar ini saya diberi tugas untuk menyampaikan materi dan ini tentu merupakan suatu kehormatan bagi saya dan tentu sangat bermanfaat bagi saya sendiri karena bisa berdiskusi, mengamalkan ilmu, dan bertukar ilmu sesama teman-teman sekalian.
Nah, sebelum saya... menyampaikan juga saya mohon nanti di share screen materi saya supaya saya bisa menyampaikannya secara sistematis dan komprehensif. Bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian, segenap serta webinar yang saya banggakan, saya diberi tugas untuk menyampaikan makalah atau materi yang pada waktu itu sebetulnya dibebaskan, yang penting materinya itu tidak jauh dari apa yang menjadi. concern kita di dalam pertemuan oleh Mahkamah Konstitusi ini dan saya kemudian sampai pada suatu keinginan untuk menyampaikan problematik perbedaan penafsiran Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung dalam perkara judicial review.
Hal ini sangat saya pentingkan, pertama kita kaitkan dengan persoalan-persoalan akademik yang muncul di dalam konteks ini. meskipun tadi oleh moderator mengatakan bahwa ini sebetulnya secara politik sudah selesai tetapi secara akademik itu kan ini perlu menjadi perbincangan kita pada masa-masa yang akan datang karena ini ada problem juridis dan problem akademik sebetulnya kaitannya dengan putusan Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung Namun sebelum lebih lanjut saya menyampaikan apa isi dari makalah ini, saya ingin menyampaikan sebuah pantun terlebih dahulu. Mohon ditayangkan next pada powerpoint nomor 2. Ke bukit tinggi kita makan nangka, nangka dimakan enak rasanya.
Selamat pagi Tuhan dan Puan semua. Semoga Tuhan dan Puan sehat dan bahagia. Ya baik Tapi saya kok tidak mendengar ada yang mengatakan cekap Mungkin karena di black market Alhamdulillah Kalau sudah ada yang mengatakan begitu Nanti di akhir dari pertemuan ini Saya akan menyampaikan pantun juga Tolong diingatkan saya Mas Adam Baik next Jadi, saudara-saudara sekalian, kita tadi sudah mendengar juga bahwa di dalam sistem ketatanegaraan kita sekarang ini, ada perubahan di dalam komposisi kekuasaan kehakiman atau kekuasaan peradilan.
Kalau di dalam teori triad politika itu yudisil atau yudikatif. Jadi ada legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Nah kita menganut teori itu walaupun tidak secara penuh. Sehingga kita memiliki lembaga yang namanya legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Nah yudikatif lembaga peradilan di dalam sistem ketatanegaraan kita sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang telah diamandemen sekarang itu terdiri atas dua lembaga yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Itu tertuang di dalam pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar tahun 1995 yang secara tegas menyatakan bahwa kekuasaan kakiman dilakukan oleh sebuah makam agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah makam konstitusi. Rupanya Mahkamah Konstitusi ini tidak ada lingkungan peradilan di bawahnya. Tidak seperti Mahkamah Agung yang disebutkan tadi, yang mana di bawahnya itu ada beberapa lingkungan peradilan yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar kita, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
Sedangkan Mahkamah Konstitusi itu tidak ada lingkungan peradilannya, jadi hanya satu. Walaupun sekarang ini ada kerjasama kita, dalam rangka persidangan dan sebagainya dengan universitas-universitas negeri, terutama di Indonesia, sehingga kita memiliki VKON, dan saat ini juga kita lakukan seminar ini sebetulnya melalui video conference yang dikelola oleh Perguruan Tinggi, bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi. Nah, kalau kita lihat pasal 24 ayat 2 ini, ini berbeda dengan ketentuan tentang kekuasaan kehakiman pada sebelum Undang-Undang Dasar 19...
45 itu diamandemen atau diubah kalau dulu kita memiliki hanya satu lembaga peradilan tertinggi atau pemegang kekuasaan kehakiman yaitu makamah agung. Dulu kita katakan bahwa Indonesia memiliki sistem kekuasaan kehakiman, unity jurisdiction, satu kesatuan penadilan, satu penadilan tertinggi, makamah agung. Tetapi dengan ketentuan pasal 24 ayat 2 yang sekarang setelah mendemani itu, terjadi pergeseran, terjadi perubahan kekuasaan kehakiman kita, dari unity jurisdiction menjadi duality jurisdiction.
Nah ini kalau kita gambarkan akhirnya kekuasaan kehakimaan yang ada sekarang ini adalah seperti ini. Jadi ada Mahkamah Konstitusi dan ada Mahkamah Agung. Nah di situ di tengah itu ada Komisi Judisial. Komisi Judisial ini memang dimasukkan di dalam bab tentang kekuasaan kehakiman di dalam Undang-Undang Dasar 155. Tapi sebetulnya itu tidak termasuk sebagai kekuasaan kehakiman menurut saya. Ada orang yang mengatakan bahwa itu termasuk.
dalam kekuasaan kehakiman. Karena ada di dalam BAP itu. Tapi menurut saya, kalau dilihat dari fungsinya, Komisi Judisial ini bukan mengadili secara hukum.
Jadi tidak menghakimi seperti Makamah Agung dan Makamah Konstitusi, tapi itu adalah lembaga peradilan etik. Jadi itu alat ukurnya nanti di dalam menguji adalah perilaku hakim itu dengan... etika. Jadi sebetulnya kalau dari segi fungsi, dia bukan lembaga judisil. Kekuasaan judisil seperti yang dimaksudkan oleh trias politika itu.
Jadi menjadi dua sekarang. Nah, dua kekuasaan kehakiman ini dalam sistem ketatanegaraan kita itu diberi kewenangan. Diberikan fungsi atau kompetensi yang berbeda. Ya memang harus berbeda gitu kan.
Mahkamah Agung itu diberi fungsi, itu mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai undang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Itu pasal 20A ayat 1. Sedangkan Mahkamah Konstitusi itu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Ini kewenangannya.
Sebetulnya ada satu kewajiban lagi yang lain, yang tertuan di dalam ayat yang berbeda dari pasal 24 ini. Tapi saya tunjukkan yang ini saja dulu untuk menunjukkan adanya perbedaan fungsi antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi. Tetapi yang menarik di sini adalah selain ada perbedaannya, tapi ada juga persamaannya. Yaitu sama-sama kedua lembaga ini diberi kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan. Yang kita kenal dengan judicial review.
Nah cuma saja, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi berbeda kompetensinya di dalam menguji peraturan perundang-undangan. Seperti yang tadi juga disebutkan oleh moderator bahwa kalau Mahkamah Agung itu hanya menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Jadi ada banyak peraturan perundang-undangan kita yang di bawah undang-undang. Misalnya peraturan pemerintah, kemudian peraturan daerah, kemudian peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara yang lain. Nah itu diuji oleh Makam Agung.
Sedangkan Makam Konstitusi menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Jadi menurut ketentuan undang-undang dasar ini, MK ini hanya menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sebetulnya di sini ada persoalan, kenapa peraturan pemerintah pengganti undang-undang tidak disebutkan di sini. Menjadi kewenangan Makam Konstitusi padahal... peraturan pemerintah pengganti undang-undang itu kedudukannya sejajar dengan undang-undang karena materinya memang materi undang-undang karena itu disejajarkan tetapi tidak disebut yang disitu nah persoalannya kemudian muncul dalam praktik ketatanegaraan siapa yang menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang nah itu ada putusan makamah konstitusi yang menyebutkan MK itu berwenang untuk menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang sehingga sebetulnya Ketentuan di dalam pasal 24C ayat 1 ini sebetulnya sudah ada modifikasinya atau ditambah normanya oleh peraturan.
keutusan Mahkamah Konstitusi, yaitu bahwa peraturan pemerintah pengganti undang-undang itu diuji juga oleh Mahkamah Konstitusi. Mengujinya adalah dengan Undang-Undang Dasar. Sebenarnya ada satu lagi persoalannya yaitu ketetapan MPR. Itu siapa yang mengujinya? Karena itu juga tidak disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar 90. Karena ketetapan MPR itu juga adalah termasuk peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Next.
Nah, jadi kita lihat di sini, kalau kita lihat di dalam pasal 7 Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 itu, yang disebut dengan peraturan perundang-undangan itu adalah Undang-Undang Dasar 1945, kemudian ada TPMPR di bawahnya, baru kemudian Undang-Undang, garis miring peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang, kemudian peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah, peraturan daerah kabupaten kota. Ini menurut Undang-Undang nomor 12 tahun 2011. Kalau sebelumnya ada juga peraturan-peraturan yang mengatur tentang hirarki perundangan ini, tetapi rumusan juga berbeda. Jadi sudah beberapa kali sebetulnya jenis dan hirarki peraturan perundangan ini berubah.
Tapi sekarang yang menjadi hukum positif kita adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 dan menyebutkan bahwa inilah hirarki jenis peraturan perundangan-undangan di dalam sistem perundangan-undangan kita. Tapi yang pasal 7 ini hanya menyebutkan peraturan perundang-undangan yang dalam kedudukan hirarkis. Hirarkis itu artinya bahwa yang paling atas itu undang-undang dasar, kedudukannya lebih tinggi daripada yang lain yang ada di bawahnya seperti TAP MPR, undang-undang dan seterusnya.
Begitu juga TAP MPR itu lebih tinggi kedudukannya dengan undang-undang dan yang lainnya di bawahnya. Tapi dia berada di bawah undang-undang dasar. Jadi itu bersebut hirarkis. Tapi ternyata undang-undang 12 tahun 2011 ini menyebutkan Bukan hanya itu yang disebut dengan peraturan perundang-undangan. Yang pasal 7 itu yang disebutkan secara hirarkis.
Ada dalam hirarkis. Tapi ada juga yang tidak termasuk di dalam hirarkis itu. Yaitu di dalam pasal 8-nya dalam undang-undang 12 itu. Di situ juga menyebutkan banyak sekali jenis peraturan perundang-undangan sebenarnya.
Misalnya peraturan MPR, DPR, DPD, Pekamah Agong, peraturan MK, BPK, BI, Menteri. Kemudian termasuk juga adalah peraturan Kala daerah seperti peraturan gubernur Itu termasuk juga Kemudian Kala desa bahkan gitu kan Nah banyak sekali Nah kalau kita kaitkan dengan kewenangan Makamah agung itu tadi Dan makamah konstitusi Maka kita lihat makamah konstitusi Sebetulnya sedikit Ya lebih sedikit peraturan perundang-undangan Yang di ujinya Yaitu hanya undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dan ditambah lagi dengan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang. Tetapi, Makamah Agung itu lebih banyak kalau kita lihat.
Yaitu dia menguji peraturan pemerintah, peraturan presiden, perda, kemudian peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD, MA, yang disebutkan di dalam pasal 8 itu. Bahkan menguji peraturan kepala desa, peraturan daerah, peraturan di PRD. Jadi banyak sekali fungsi daripada MA itu kalau kita lihat.
Sehingga kita simpulkan bahwa sebetulnya keduanya memang memiliki kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan, cuma derajat dan tingkatan yang diujinya itu berbeda. Nah, Mahkamah Konstitusi menguji peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya daripada Mahkamah Agung. Yaitu undang-undang terhadap undang-undang dasar, sedangkan Mahkamah Agung itu di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Nah, seperti itu. Next. Nah, ternyata adanya perbedaan kompetensi kedua lembaga peradilan kita ini di dalam menguji peraturan perundang-undangan dalam takt... Ketatanegaraannya atau dalam implementasinya terjadi persoalan, terjadi masalah yang akhir-akhir ini kita sendiri, kita semua ini sudah melihat adanya problem, adanya masalah yang ditimbulkan oleh kedua makamah ini di dalam putusannya. Kita melihat ada banyak putusan-putusan makamah agung.
dan makamakos yang bertentangan satu dengan yang lainnya. Ini kan persoalan bagi kita. Kenapa dua makamah ini? yang sama-sama merupakan lembaga peradilan tertinggi, yang kedudukannya sederajat, itu kok berbeda di dalam menafsirkan sesuatu isu hukum, suatu peristiwa hukum tertentu.
Padahal mereka adalah para hakim-hakim yang sudah pada tingkat tertinggi. Tapi kenapa terjadi perbedaan pandangan yang menimbulkan kemudian perbedaan putusannya antara kedua lembaga ini. Dalam pikiran kita yang...
Sebenarnya tidak perlu terjadi begitu. Karena kalau kita lihat teori Hans Kelsen misalnya tentang peranggaan kaedah. Suatu peraturan yang lebih tinggi itu menjadi dasar peraturan yang lebih rendah. Semua peraturan yang lebih rendah tadi yang sudah kita ungkapkan tadi itu didasarkan peraturan yang lebih tinggi.
Sehingga dalam konteks ini seharusnya, semua peraturan itu ada dalam satu garis. Dalam satu garis penafsiran, dalam satu garis makna, dalam satu garis politik. Jadi harus... Mulai dari atas sampai ke bawah itu harus sinkron, tidak boleh bertentangan satu dengan yang lain.
Tetapi kenapa kemudian di dalam menerapkan judicial review ini, kedua lembaga ini sering terjadi perbedaan pandangan. Sehingga menimbulkan perbedaan pendapat, pendapat putusan, bahkan terjadi kontradiksi atau terjadi konflik norma. Karena masing-masing ini kan akhirnya putusannya itu menjadi norma tersendiri. Apalagi kalau dia memutus sesuatu yang tidak ada di dalam peraturan.
Misalnya kemudian dia menciptakan hukum. Judgement law gitu kan. Itu kemudian menjadi norma. Nah, dengan perbedaan ini maka terjadi konflik norma. Ada beberapa putusan MK dan MA yang bisa kita jadikan sebagai contoh di dalam hal ini untuk melihat terjadinya perbedaan pandangan.
Dan terjadi konflik norma, terjadi putusan yang berbeda antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Pertama kita bisa sebagai contoh itu, saya disini menyebutkan yang empat saja, tentu banyak yang lain lagi. Tapi ini menunjukkan bahwa ada perbedaan pandangan itu yang terjadi kontradiksi. Saya melihat misalnya pertama itu putusan nomor 30, Undang-Undang PUU, nomor PUU garis... tahun 2018. Jadi putusan MK nomor 30 tahun 2018 ini bertentangan dengan putusan Makam Agung nomor 65 tahun 2018. Ini kaitannya dengan keanggotaan, sesarak untuk menjadi anggota DPD.
Nah, kalau menurut putusan 30 ini, menurut putusan MK, pengurus parpol yang jadi anggota DPD itu dilaham untuk menjadi anggota DPD. Jadi kalau dia menjadi pengurus parpol, tidak boleh mendapatkan diri menjadi anggota DPD. Kecuali kalau dia mengundurkan diri.
Tetapi sebaliknya, putusan Mahkamah Agung itu memperbolehkan. Memperbolehkan pengurus parpol menjadi anggota DPD. Nah ini kan menjadi konflik. Satu lembaga mengatakan tidak boleh, lembaga yang lain mengatakan boleh.
Nah ini kasusnya sebagaimana mungkin saudara-saudara, bapak-bapak sekalian pernah mendengar itu kasus Oso gitu kan. Siapa? Sabtaodang itu gitu. Yang dulu beliau mendaftarkan diri ke KPU untuk menjadi anggota DPD.
Sementara beliau sebetulnya adalah pengurus parti politik Hanura kalau tidak salah. Nah karena di dalam peraturan pada waktu itu tidak ada masalah. Akhirnya kemudian mendaftarkan diri dan terdaftar.
dalam jangka waktu masa pendaftaran itu, dia mendaftarkan diri dan didaftarkan oleh KPU. Tapi belakangan kemudian ada yang keberatan rupanya kalau anggota DPD itu, anggota pengurus partai itu bisa menjadi anggota DPD. Kemudian ada yang meyudasial review undang-undang tentang pemilu waktu itu, yang kemudian mempersoalkan kenapa anggota partai politik itu bisa menjadi anggota DPD. Bukankah itu akan menjadi ada conflict of interest-nya itu nanti?
Tajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, di situ ada pasal yang menyebutkan memang di situ ada persaratan pembekasan untuk menjadi anggota DPD itu. Beberapa jabatan itu tidak boleh, sehingga mereka yang melakukan itu harus mengundurkan diri. Tetapi tidak disebutkan DPD, sementara penggugat ini menganggap bahwa Menjadi anggota parkol itu harus menguturkan diri juga gitu kan. Nah ternyata oleh Mahkamah Konstitusi gugatan itu diterima begitu kan. diterima atau dikabulkan sehingga tidak boleh untuk menjadi anggota DPD. Nah Sabta Odang yang kebetulan sudah mendaftarkan diri di situ, oleh KPU disuruh untuk mengundurkan diri.
Suruh mengundurkan diri dan KPU sendiri kemudian segera merealisasikan keputusan MK itu dengan peraturan KPU. Yang kemudian menyebutkan bahwa anggota DPD, anggota Pak Pol tidak boleh untuk menjadi anggota DPD. Begitu bunyi di dalam peraturan KPU-nya itu. Sehingga yang tadinya OSU ini mendaftarkan diri, dicoret oleh KPU ini.
Nah, ini menimbulkan keberatan dari Sabta Orang OSU itu sendiri. Kenapa dicoret? Tidak boleh dong begitu.
Nah, karena apa? Karena dulu waktu saya mendaftar itu, tidak ada ketentuan bahwa itu tidak boleh. Nah kemudian peraturan KPU yang mencantumkan tentang syarat itu, tidak bolehnya parkol itu, kemudian menimbulkan mencoret, coretan terhadap menggagalkan usul itu untuk menjadi untuk didi.
Nah itu kemudian digugat oleh usul sendiri ke mahkamah agung. Itu kenapa saya tidak boleh begitu kan, padahal waktu saya mendaftar dulu boleh. Nah ini patrang KPU ini tentu salah. Ternyata Mahkamah Agung mengabulkan permohonan itu.
Karena apa? Karena memang waktu mendaftar usul itu pada waktu itu belum ada ketentuan itu. Tidak disebutkan di PDD sebagai salah satu jabatan.
Parkol itu menjadi anggota Parkol itu sebagai salah satu hal yang tidak boleh ketika menjadi anggota di PDD. Tidak ada itu. Tetapi kemudian berikutnya ada perusahaan MK belakangan setelah pendaftaran.
Nah ini dianggap tidak adil dan tidak benar oleh Uso dan kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Dengan dasar bahwa itu melanggar aturan MK sendiri yang menyebutkan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut. Begitu juga di dalam undang-undang tentang... pembentukan peraturan perundang-undangan P3 itu juga ada asas di situ tidak boleh berlaku surut nah sementara putusan MK itu kan sudah lewat baru muncul nah itu yang dipakai dasar oleh KPU menetapkan peraturan KPU itu nah itu dianggap oleh MK itu bertentangan dengan asas retroaktif, asas tidak boleh berlaku surut itu, nah sehingga disini akhirnya, Mahkamah Agung memperbolehkan pengurus Karpol itu, tetapi di lain piece MK ya?
Tetap melarang. Nah ini kan menimbulkan konflik pada waktu itu antara MA dengan MK, kemudian juga pemerintah sendiri. Sehingga pada waktu itu presiden sendiri melalui sekretaris negara, Pratik Noh, itu kemudian meminta supaya KPU tidak mencoret dan memasukkan kembali nama usul. Tetapi KPU sendiri tetap bertahan bahwa ini dalam rangka melaksanakan perusahaan MK yang berlaku final and legal binding. Dan erga omnes yang harus dia patuhi.
Cuma persoalannya kan karena itu tidak berlaku surut. Tetapi kenapa harus dicoret? Ini kan problem hukum sendiri bagi kita. Yang kemudian perlu kita tuntaskan sebetulnya kalau dari segi ASAKS. Kemudian yang kedua adalah putusan nomor 70 PUU tahun 2024 yang baru-baru saja kita sama-sama mendengarnya.
Di dalam putusan nomor, putusan MK ini itu mendukung usia minimal yang dituangkan di dalam peraturan KPU dan juga undang-undang itu terhitung sejak penetapan menjadi calon. Tapi sebelumnya itu sebetulnya mengapa ada putusan ini, pada satu putusan Mahkamah Agung nomor 23 tahun 2004. Di situ menyebutkan bahwa usia minimal sebagai calon kepala daerah itu terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih. Mengapa keputusan Mahkamah Agung ini muncul bunyinya seperti ini pada waktu itu? Karena ada orang yang mau ditalunkan menjadi kepala daerah, tetapi kalau mengikuti aturan KPU itu tidak bisa, karena di dalam aturan KPU itu disebutkan penghitungan usianya itu adalah pada waktu mendaftar.
Nah ini kan akhirnya tidak mungkin dia akan mendaftar sendiri, karena masih kurang umurnya. Tetapi akan mungkin mendaftarkan diri kalau umpamanya nanti penghitungan batas usia minimal itu pada waktu pelantikan. Nah ini kan hal yang memungkinkan kemudian nanti...
Akan didaftarkan kalau ini pasal ini dirubahkan begitu kan. Cuma apakah bisa merubah pasal ini? Nah usut punya usut ternyata di dalam undang-undang tentang pemilihan kepala daerah itu sebetulnya tidak ada ketentuan secara pasti di situ menyebutkan kapan sebetulnya dihitung. Tidak disebutkan di situ. Kapan sebetulnya dihitung usia itu.
Apakah pada waktu pendaftaran atau setelah itu. Tidak disebutkan. Hanya disebutkan di situ secara umum bahwa untuk menjadi atau untuk mendaftarkan atau didaftarkan seseorang menjadi kepala daerah, calon kepala daerah, kepala daerah itu syarat minimal, syarat usianya minimal 30 bagi gubernur, 25 bagi itu aja. Nah sehingga penggugatnya ini menganggap bahwa putusan KPU, peraturan KPU yang menyebutkan usia minimal dihitung dari pada waktu mendaftar itu, itu berarti salah, bertentangan dengan undang-undangnya. Nah kemudian terjadi kecurigaan-kecurigaan kepada waktu itu ya Kemudian ada yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi Sebetulnya yang mana yang benar gitu kan Menurut dalil orang yang ini yang menggugat itu Bahwa seharusnya dihitung dari sejak penetapan menjadi calon gitu kan Nah kemudian MK sendiri menetapkan bahwa Apa namanya untuk menjadi syarat kepala daerah itu harus sesuai dengan peraturan undang-undang yang disebutkan oleh, yang dibuat oleh legislatif.
Karena itu adalah hak prerogatif dia atau open legal policy-nya. Sehingga apa yang ditentukan oleh undang-undang, ya itulah yang harus diikuti. Bukan dengan menambah norma baru sejak penetapan menjadi calon.
Seperti yang diinginkan oleh penggugat, oleh pemohon. Nah, menurut MK, ketentuan di dalam undang-undang tentang pilkada itu sebetulnya sudah jelas dan terang beneran disitu, tidak bisa ditafsirkan lain, bahwa yang dimaksud disitu adalah usia minimal itu dihitung sejak penetapan menjadi calon, karena untuk menjadi calon katanya disitu, nah itu sehingga memperkuat sebetulnya apa yang dituangkan di dalam putusan atau di dalam peraturan KPU dan juga mempertegas makna daripada undang-undang sehingga berbeda sekarang antara putusan... Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi.
Kalau Mahkamah Agung, dia menyebutkan pelantikan. Sedangkan Mahkamah Konstitusi itu sejak penetapan menjadi calon. Nah ini kan kemudian kita tahu persoalan ini menimbulkan problem kan pada waktu itu sehingga terjadi demonstrasi-demonstrasi.
Kenapa? Karena DPR ingin membuat satu undang-undang yang sebenarnya kemudian keinginannya lebih mengarah kepada keinginan untuk... Sarat sebagaimana yang disebutkan di dalam, ketentuan sebagaimana disebutkan di dalam Mahkamah Agung. Nah ini kemudian menimbulkan kecurigaan-kecurigaan untuk kepentingan politik tertentu, sehingga kita tahu menjadi peristiwa yang luar biasa kemarin untuk mengawal putusan MK ini. Nah itu yang kedua, kemudian ada putusan 24 tahun 2024, itu MK itu memutuskan bahwa pejabat tata usaha negara atau badan tata usaha negara itu tidak dapat mengajukan peninjauan kembali, PK.
Yaitu ada atas suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Tidak boleh PK, pejabat. Kenapa? Karena tugas daripada pemerintah adalah melindungi masyarakat.
Sehingga jangan kemudian mengajukan PK. Dan harus ada akhir dari suatu... Nah, putusan ini oleh mahkamah agung tidak diikuti.
Ya, karena... Dalam putusan-putusan sebelumnya dan kemudian ada putusan terakhir 13 tahun 2024, MA tetap memperkenankan badan atau pejabat tata usaha negara itu mengajukan peninjauan kembali. Jadi di sini ada kontradiksi.
Di satu pihak putusan MK menyebutkan tidak boleh badan atau pejabat tata usaha negara itu untuk mengajukan PK, tetapi di lain pihak, Makamah Agung boleh mengajukan. Nah saya kemarin coba menanyakan kepada Hakim Agung, mengapa itu dapat? Ya karena begini, kita juga harus melindungi kepentingan pemerintah.
Kalau umpamanya itu ternyata ada nofung. Berikutnya diketahui bahwa itu perbuatan itu didasarkan suatu perbuatan kebohongan. Duang-dualing bedroh misalnya, ada kejahatan di situ.
Dicontohkan juga tanah misalnya kemarin di Bandung. Yang memenangkan privat sebetulnya. Tetapi kemudian Mahkamah Agung... dimintakan untuk berlindung kembali nah kalau umpama mengikuti makamah konstitusi itu tidak bisa padahal diketahui bahwa surat-surat tanah pada waktu itu itu pemalsuan semua yang dijadikan dasar nah ini kalau umpamanya tidak bisa PK Badan tata usaha negara, maka tanah negara itu akan beralih kepada swasta, akan beralih kepada pribadi.
Nah, oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak mengikuti itu. Dikatakannya putus yang 24 ini itu unexecutable, bisa diterapkan. Nah, sehingga terjadi pandangan yang sampai sekarang terjadi perbedaan.
Kemudian contoh lain, misalnya ada putusan MK 34 tahun 2013, itu tentang pengajuan PK oleh... apa namanya, oleh warga negara, seorang, untuk perbuatan pidana. Untuk menurut perutusan MK ini, untuk pidana itu boleh berkali-kali, sedangkan untuk pernyataan, tata-tata negara tidak. Tetapi SEMA sendiri berpedoman pada undang-undang KUHP, kemudian undang-undang tentang Mahkamah Agung, undang-undang kekasih kehakiman, itu suatu PK itu tidak boleh di-PK kembali. Sehingga menurut saya ini pengadilan itu, mahkamah agung itu jangan menerima PK yang berulang-ulang.
Nah ini terjadi perbedaan lagi. Yang secara juridis formal itu menimbulkan persoalan bagi kita. Yaitu sebetulnya yang mana yang akan kita ikuti?
Apakah mahkamah konstitusi atau mahkamah agung? Yang kalau kita lihat dari segi pendapat mereka, ya ada benarnya. Seperti misalnya pada perusahaan MA 13. Betul kalau umpamanya tidak boleh PK itu ya banyak sekali akan terjadi beralih tanah-tanah negara.
Itu yang mungkin pada waktu jual belinya itu ada bohongan tetapi dibuatkan alat bukti misalnya gitu. Karena pemilikan. Nah itu, begitu juga dengan ini. Nah ini, persoalan-persoalan yang muncul. Beberapa yang saya sebutkan di sini.
Dan ada banyak keutusan yang lain. Next. Masih ada yang, ya baik.
Nah, dari urayan adanya perbedaan yang menimbulkan seolah-olah terjadi kekecohan hukum di sini. Terjadi kontradiksi, kontradisi of norm di sini. Ada kekecohan hukum, ada kekecohan di dalam memandang sesuatu oleh dua lembaga peradilan tertinggi ini.
Nah, karena itu ada masalah sebetulnya yang kita harus... Kita akan bersama yang menjadi pemikiran kita. Yang dalam kesempatan ini sebetulnya saya ingin mencoba untuk menyampaikan yang menurut saya. Yang tentu nanti akan disempurnakan atau mungkin kita akan mendiskusikan hal ini. Belum tentu apa yang menjadi pendapat saya ini.
Kemudian itu adalah benar. Nanti kita menerima usul saran dan teman-teman. Seperti apa sebetulnya. Saya menganggap ada empat soalan yang muncul di situ dari kondisi ini. Yang pertama itu apa sih?
Mengapa gitu kan? Apa sebab terjadi perbedaan penafsiran oleh kedua mahkamah tersebut? Padahal mungkin saja itu hakim-hakim itu sama gurunya gitu kan.
Sama yang dibaca buku gitu, sama asas-asas yang dipegang. Tapi kenapa kok bisa terjadi? Padahal dalam kasus yang sama begitu kan. Nah kemudian yang kedua, implikasi apa yang muncul? Yang kita kesinta semua juga sebetulnya sudah mengetahui apa implikasinya.
yang kemarin yang kita lihat itu, terhadap perbedaan penafsiran kedua putusan makamah ini. Terutama bagaimana pandangan masyarakat terhadap persoalan ini. Bagaimana pandangan dunia hukum, dunia pendidikan hukum terhadap kini.
Implikasinya bagaimana. Kemudian yang ketiga adalah putusan yang mana. Nah ini penting.
Putusan yang manakah yang harus diutamakan atau diikuti. Apakah putusan MK atau putusan makamah agung. Nah kalau putusan MK atau Mahkamah Agung Apa dalilnya? Apa argumentasi kita?
Karena tadi juga kita melihat Betul juga Mahkamah Agung ini Kenapa MK harus mengatakan begini? Betul juga MK ini Kenapa Mahkamah Agung begini? Jadi kita sendiri ini sekarang kan Bingung sebetulnya Kutusan mana yang seharusnya kita Ikuti begitu Kalau dari segi yuridi sama-sama betul Dari pandangannya mereka Kemudian yang keempat Bagaimana mengatasi dan menghindari Terjadinya perbedaan penafsiran Oleh kedua mahkamah Nah ini yang penting ini kan karena sangat ironis sekali Kalau dua gajah Berkelahi begitu kan Akhirnya kan masyarakat juga yang akan menjadi korban Landuk mati di tengah-tengah Kita akhirnya Demonstrasikan begitu kan Seperti yang kemarin itu kan Akibat dari perbedaan perusahaan itu Next, sekarang kita coba bahas Pertama Apa sebetulnya penyebab terjadinya perbedaan penafsiran itu? Nah, kalau kita bicara soal ini, tentu kita kembali kepada mungkin yang menjadi penyebab utamanya adalah karena memang kedua lembaga ini memiliki alat uji yang berbeda. Kalau Mahkamah Konstitusi alat ujinya adalah Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan Mahkamah Agung itu alat ujinya adalah Undang-Undang.
Jadi peraturan perundang-undangan yang di bawah Undang-Undang Dasar. Sehingga di sini pasti dan mungkin sekali terjadi, bukan pasti ya, tapi sangat mungkin terjadi penafsiran yang berbeda. Karena dia menguji dengan undang-undang yang satu dengan undang-undang dasar. Kalau umpamanya suatu undang-undang itu bunyinya seperti ini, lalu diterapkan oleh mahkamah.
Tetapi kemudian undang-undang itu dirubah penafsirannya yang bertentangan undang-undang dasar. Nah ini juga menjadi kebedaan. kudusan itu nanti.
Nah itu yang kita lihat pada kasus-kasus seperti tadi itu. Misalnya kan dalam OSU, itu kan yang menjadi dasarnya di situ adalah undang-undang untuk melihat bahwa itu retroaktif pertentangan dengan undang-undang 12, undang-undang kekuasaan keakiman, mahkamah agung, dan bahkan undang-undang MK. Di situ dia jadi alat ujinya, tetapi kalau ini, Mahkamah Konstitusi mengujinya bukan dengan itu, tapi dengan undang-undang dasar. Sehingga sangat mungkin terjadi penafsiran terhadap undang-undang dasar ini berbeda dengan penafsiran Mahkamah Agung terhadap undang-undang ini.
Jadi ini yang paling dominan kelihatannya, yang menjadi penyeblak mengapa undang-undang putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi itu menjadi berbeda, putusannya. Tadi kontradiktif yang mendalam. Kemudian yang kedua adalah tidak ada atau kurang terjalinnya hubungan koordinasi. Menurut saya itu kedua lembaga peradilan ini. Mereka ini kan sama-sama, terutama di dalam judicial review.
Menguji peraturan perundang-undangan yang ada dalam satu hirarkis misalnya. Menguji peraturan perundang-undangan yang sama, yang sama maunya. Mulai dari undang-undang dasar, undang-undang.
Itu tidak boleh bertentangan. Tetapi... Dalam hal ini terjadi juga ketentangan. Dan ini disebabkan karena tidak ada komunikasi. Mungkin ada, tapi kurang ada komunikasi.
Tentang sebetulnya politik hukum, misalnya yang terkandung dalam undang-undang ini apa, kalau diikatkan dengan undang-undang dasar bagaimana, kemudian nanti dalam terjemahannya, mungkin bisa sama di sini. Tetapi hal ini nampaknya juga kurang, walaupun sebetulnya ada suatu ketentuan, apabila undang-undang itu sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi, Maka pengujian, raturan di bawah undang-undang yang diuji itu harus ditunda. Seperti itu dia namanya kan.
Sampai menunggu itu. Tapi kan tidak selalu ada pengujian itu. Bahkan pengujian itu yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi datang belakangan. Kemudian membatalkan putusan MA yang tadi menguji peraturan terhadap undang-undang yang dibatalkan dan dinyatakan tidak setuju. Kan begitu dia.
Nah kalau umpamanya ada koordinasi tentang hal ini. maka itu akan dapat dikurangi. Misalnya saja tadi mengenai keputusan MK tentang PK.
Nah, mungkin keputusan MK ini tidak mengetahui apa yang terjadi dalam pengalaman Mahkamah Agung. Kalau umpamanya tidak diberikan PK bagi pejabat-pejabat negara, maka banyak hal-hal yang merugikan negara. Padahal tujuan peradilan kata usaha negara, tujuan dari hukum administrasi negara itu adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat di satu pihak dan juga melindungi kepentingan pemerintah yang benar.
Melindungi tindakan pemerintah yang benar dan melindungi yang ibarat pedang bermata dua katanya Prof. Soekarno. Nah sekarang kalau dengan tidak adanya PK itu, itu kan berarti kita membiarkan hak pemerintah gitu kan, untuk tergerogoti gitu kan, padahal sudah nyata bahwa ada pelanggaran-pelanggaran hukum dalam proses itu, yang ditemukan dalam nofum misalkan kan, nah itu kalau dibiarkan kan merugikan. Nah ini kalau umpamanya itu dibicarakan oleh Mahkamah Agung bersama MK. Mungkin tidak akan ada putusan MPK itu untuk melarang Badan Perjabat Tata Usaha Negara itu untuk mengajukan PK.
Nah ini dia yang saya lihat, kurang ada terjalinnya hubungan koordinasi ini. Meskipun memang di dalam judicial beda, tapi mereka sama-sama melakukan judicial review dan sama-sama menjadi kekuasaan dihakiman. Nah itu yang seharusnya kalau menurut saya ada di situ koordinasi.
Mungkin forum satu bulan sekali, atau bersifat ad hoc dalam hal-hal kemudian ada satu pulusan yang kemudian membutuhkan ada koordinasi itu. Kemudian yang ketiga adalah adanya pengaruh sikap dan keyakinan hakim terhadap apa yang dianggap mudil dan tidak adil dalam rangka menilai obyek yang diuji. Seperti tadi misalnya di dalam SEMA itu tadi, misalkan berbeda dengan keputusan MK, kemudian PK, kemudian juga kaitan dengan umur itu tadi, itu kan itu berbeda keyakinannya, keyakinan hakim itu. Ini menganggap diusuh misalnya kan juga.
Itu tidak adil kalau retroaktif, kalau menurut MK. Tetapi menurut hakim MK, itu tidak masalah kan misalnya begitu. Nah, oleh karena itu berbeda di dalam memutuskan ini. Jadi tiga hal ini saya kira yang mungkin menjadi penyebab terjadinya perbedaan penafsiran oleh Donald.
Mungkin ada yang lain, nanti teman-teman bisa menganalisis itu dan bisa memberikan pandangan juga tentang hal ini dan mungkin juga apa yang saya sampaikan ini juga kurang pas. Next. Nah ini yang penting kita lihat sekarang ini. Apa implikasi atas terjadinya perbedaan tafsir ini? Kita sudah melihat bersama.
Yang pertama itu jelas itu kenapa terjadi konflik. Terjadi pandangan yang berbeda, dua keindah hukum yang berbeda yang muncul untuk suatu persoalan. Ini kan terjadi konflik normal yang kita lihat. Dan ini mengakibatkan seolah-olah kacau kita di dalam kita berhukum. Jadi hukum kita ini kacau.
Satu mengatakan boleh, yang satu mengatakan tidak. Ini lembaga peradilan ini terhadap suatu kasus yang sama. Ini kan kelihatan kacau.
Di dalam berhukum kita itu seperti apa kok seperti ini misalnya. Jadi ada kekacauan. Yang kemudian akibatnya adalah ada keraguan dari masyarakat sendiri tentang kenapa kok bisa berbeda seperti ini.
seperti ini, kacau seperti ini. Jangan-jangan lembaga peradilan ini di dalam memperlusi tidak objektif. Kan gitu kata masyarakat.
Jangan-jangan syarat dengan kepentingan politik, kepentingan pribadi. Apalagi kita bisa melihat beberapa contoh tentang hal ini. Dalam kasus terakhir misalnya, tentang putusan mengenai Syarakusya itu, itu kelihatan di dalam proses itu.
Kok ada intervensi kekemauan-kemauan politik tertentu di situ. Mungkin itu yang menyebabkan. Kan itu kata orang.
Bermasuk juga dalam putusan sebelumnya mengenai syarat untuk menjadi presiden misalnya. Nah kemudian yang sebetulnya tidak boleh. Kemudian MK sendiri menambah norma di situ. Padahal itu norma seharusnya dibuat oleh legislatif.
Nah ini itu juga yang menjadi penilaian bahwa ini ada pandangan subjektif yang dipakai atau kepentingan politik tertentu di dalam memutus. Wah ini akhirnya akan menimbulkan masyarakat ketidakpercayaan. terhadap lembaga peradilan, terhadap hukum kita, cara berhukum kita. Yang pada akhirnya nanti kita menjadi apatis menerima itu. Itu kan kepentingan bukan kepentingan masyarakat.
Kepentingan akan begitu jadinya. Sehingga orang tidak mau berdebat. Padahal itu sesuatu yang tidak adil. Kemudian yang ketiga menimbulkan kecurigaan masyarakat.
Sudah tadi kan dalam proses hukum kita. Di dalam buku sejarah. Apakah di sini... subjektif atau objektif itu menimbulkan kecerigaan.
Next. Nah, jadi itu indikasinya tadi. Sekarang, lalu tinggal 5 menit lagi, Pak.
Oke, ini mungkin yang terakhir bahwa yang terpenting sekarang adalah putusan yang mana yang harus kita menangkan, begitu kan, atau yang kita dahulukan, gitu kan, ketika kita menemukan dua norma, dua kaedah yang berbeda, yang dibuat oleh lembaga Judisi yang tertinggi Nah untuk memecahkan hal ini Kalau di dalam ilmu perundang-undangan Itu kita kenal ada beberapa asas Misalnya Lex Superior Derogat Legi Imperio Jadi suatu peraturan Yang dibuat oleh pemerintah Yang lebih tinggi itu akan mengalahkan Peraturan dibuat oleh pemerintah Yang lebih rendah Kemudian Lex Specialist Derogat Legi Generalis Suatu Aturan yang khusus Itu akan mengalahkan yang umum Jadi ini kalau ada kasus yang sama, persoalan yang sama, terjadi ada aturan yang berbeda, undang-undang satu dengan yang lain, tapi persoalannya ada yang lebih khusus. Maka yang kita utamakan adalah spesialis, yang khusus, seperti pendata dan kumendagang misalkan. Kalau kumendagang mengatakan begini dalam kasus itu, sedangkan pendata mengatakan begini, maka kita akan utamakan kumendagang misalnya.
Kemudian last but not least, derogat lagi in priori, yaitu... Jadi hukum atau kaedah yang belakangan itu akan memenangkan atau lebih utamakan dari yang sebelumnya. Atau putusan MK yang terakhir dan kasus yang sama misalkan akan mengalahkan putusan MK yang sebelumnya. Yang sama misalnya seperti itu.
Kalau ini adalah asas di dalam memecahkan soalnya kalau ada norma di dalam peraturan perundangan-undangan yang bertentangan satu dengan yang lain. Secara praktika maupun horizontal. Apakah ini bisa diterapkan di dalam putusan MK dengan MA ini?
Saya kira tidak bisa gitu kan sepenuhnya. Kenapa? Karena misalnya superior, derogat, leg superior. Ini dua lembaga yang berbeda.
Tidak dibuat oleh satu lembaga gitu kan. Yang hukumin dulu. Tapi kalau secara internal, oke.
Leg superior ini kan bisa. Misalnya kan keputusan MK yang terbaru akan mengalahkan MK yang dahulu. Misalnya kan ada tafsir baru dari MK.
Misalnya kaitannya dengan pengertian pemilu misalnya pernah ada kan. Itu dulu tidak boleh. Bukan termasuk pemilu, rezim-rezim perikada, tapi kemudian putusan MKI terbaru termasuk rezim pemilu. Nah itu yang kita ikuti. Itu bisa.
Tetapi kalau antara MA dengan MK putusannya berbeda, nggak bisa ini. Karena dia bukan lembaga yang dalam satu iratis. Begitu juga spesialis derogat regenerasi.
Dia sudah spesialis di sini, karena di sini ada dua lembaga yang berbeda. Begitu juga posterior, derogat lastigarior. Ini tidak mungkin. Nah oleh karena itu kita mencari dalil yang lain. Sebetulnya yang mana?
Kita lihat asas teori dokterin hukum tata negara kita dan sistem ketatanegaraan yang dianud dalam konstitusi. Saya kira itu yang menjadi alat ukur kita untuk melihat yang mana sebetulnya putusan yang akan kita ikuti. Kalau kita lihat misalnya, sekarang ini kan semua putusan MK yang mereka ikuti. Mungkin ada benarnya.
Kenapa? Karena pertama, putusan MK adalah putusan yang bersifat final dan mengikat. Final and binding. Dan erga omnes. Jadi begitu diputuskan...
semua orang harus tunduk padanya. Terserah apakah itu adil atau tidak adil. Bertentangan atau tidak bertentangan.
Tapi itu adalah sudah final. Dan mengikat erga omnes berlaku untuk semua. Itulah sebabnya mengapa kemudian tadi itu KPU misalnya langsung membuat itu karena memang erga omnes dia harus. Kemudian MK adalah lembaga yang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Jadi ini kan kedudukannya lebih tinggi sebetulnya pengujian itu.
Jadi yang harus diikuti sebetulnya adalah keputusan MK dalam hal ini. Karena undang-undang itu kan berada di uji dengan undang-undang dasar. Sementara yang lain, peraturan KPU itu terhadap undang-undang.
Kalau undang-undangnya dibatalkan oleh MK karena bertandakan undang-undang dasar, maka otomatis yang dibawa juga tidak benar. Sehingga keputusan MK yang harus kita ikuti. Begitu juga Mahkamah Kursi adalah the final interpreter. Penafsir.
Jadi dia adalah penafsir yang Tunggal di dalam undang-undang dasar Final interpreter Jadi interpreter yang paling akhir Sehingga kalau ada Interpretasi yang dilakukan oleh lembaga lain Termasuk Mahkamah Agung Kemudian ada interpretasi oleh MK Maka interpretasi MK yang harus kita ikuti Karena dia adalah the final interpreter Kemudian perusahaan MK adalah Perkara judicial review pada dasarnya Menjelaskan tentang undang-undang dasar Jadi itu dia akan Apa maunya undang-undang dasar itu sebenarnya Yang kemudian diterjemahkan dalam perusahaannya Sehingga sekarang, kalau memang itu maunya, itu berarti bahwa keputusan MK itu sebetulnya sederajat dengan undang-undang dasar. Karena dia sedang menjelaskan maunya undang-undang dasar. Kalau begitu, kalau ada yang bertentangan di bawahnya, MA misalnya, itu tidak sesuai dengan kemauan undang-undang dasar menurut the final interpreter-nya. Kemudian keputusan MK hanya dapat diubah dengan keputusan MK.
Jadi sebetulnya kasus mengenai keputusan MK yang mau diubah dengan balik itu membuat undang-undang yang baru. Itu sebetulnya. Kemudian muncul istilah MK, tidak bisa dirubah dengan perusahaan MK. Ini adalah asasi kita pergunakan dalam rangka.
Next, terakhir. Nah, sekarang bagaimana untuk mengatasi itu? Saya pikir pertama, ini kan sudah ada disertasi tentang hal ini sebetulnya, bahwa pengujian peraturan perundang-undang itu sebaiknya dalam satu tangan. Dalam satu tangan, bukan seperti sekarang ada MK, ada MP. Nah, kalau dia dalam satu tangan, maka akan terjamin, terjalin keseluruhan pembunga.
koordinasi, sinkronisasi tentang penelusuran dari semua peraturan perundang-undangan itu, tentang tujuan perundang-undangan itu akan dipegang dijalin dari atas sampai ke bawah jadi perlu ada satu tapi ini belum tentu kita bisa lakukan, karena kalau itu berarti kita harus ubah undang-undang dasar karena undang-undang dasar sendiri yang menyebutkan bahwa pengujian itu dilakukan oleh dua lembaga lembaga yudisial kita itu MA dan MK, nah itu harus kita ubah Misalnya kepada siapa ya? Kalau menurut saya, menurut disertasi yang saya bimbing itu juga, MK lah yang akan memegang itu. Tapi itu harus dengan undang-undang dasar. Kalau itu yang kita lakukan mungkin lama dan prosesnya pandang yang bisa kompleks.
Karena kalau mengubah undang-undang dasar itu yang nanti berubah. Tapi hal yang lain yang mungkin jadi persoalan negara. Kalau begitu bagaimana?
Ada keinginan, ada pendapat lain. Misalnya kita konvensi ketatanan negaraan. Atau melalui jurisprudensi.
Mahkamah, konstitusi. Jurisprudensi. Artinya bahwa untuk hal-hal yang tadi itu misalnya.
Menerima PK misalnya kan atau yang mengajukan bugatan atau permohonan terhadap peraturan yang lain, KMK misalnya kan itu harus diterima. Nah buat jurisprudensi tentang itu untuk melengkapi ketatanegaraan kita misalkan. Tapi ini tidak selalu dibenarkan mungkin gitu kan karena ada masalah-masalah lain.
Lalu kemudian perlu adanya forum komunikasi saya kira itu untuk mengurangi adanya. perselisihan pandangan itu tadi dan perlu ada kerjasama dalam rangka meningkatkan kualitas jadi mungkin saja pendidikan atau kapabilitasnya atau skill hakim-hakim mahkamah konstitusi dengan mahkamah agung dalam judicial review ini tidak sama karena itu mungkin perlu dipersamakan itu sehingga ilmunya sama, skill yang diterapkan juga sama bila menafsirkan dan lain sebagainya sehingga kalau terjadi kerjasama seperti itu Pendidikan, misalnya dalam bidang pelatihan, misalnya kan itu akan terjadi kesinambungan. Dalam hal ini, hakim MA juga harus tahu bagaimana MK menafsirkan.
Hakim MK juga harus tahu bagaimana MK. Misalnya begitu. Dan kalau ada kerjasama ini, medinipupuk sehingga akan ada satu kesatuan pandangan, sikap di dalam menilai suatu persoalan. Next.
Ya perlu penataran, penutup, saya kira ini penutup. Jadi kita sudah paham bahwa perlu rekonstruksi kembali terhadap sistem pengujian perundang-undangan kita sekarang ini. Sehingga diharapkan akan terjadi tafsir yang sama atau tidak adanya konflik normal. Selain itu terjadinya ketidakpastian hukum bisa kita hindari. Saya kira itu yang perlu saya sampaikan.
Mari kita diskusikan hal ini. Apa yang saya sampaikan itu barangkali hanya pendapat pribadi berdasarkan pikiran saya itu. Nanti dari teman-teman yang lain, sebanyak 200-300an orang ini bisa berbagi-bagi pendapat. Untuk mengakhiri penyampaian saya ini, saya tadi sudah mengatakan ada pantun.
Mohon dibuka, dimute. Supaya bisa saya dengar cakap. Kalau memang cakep, kalau tidak ya tidak apa-apa Bunga selasih tumbuh di taman Bunga dhania Terima kasih atas perhatian Semoga berguna bagi Bapak Ibu semua Pak Somad dari Jakarta Mohon maaf jika ada salahkan Terima kasih, Assalamualaikum Wr.
Wb Waalaikumsalam Wr. Wb Waalaikumsalam Wr. Wb Moderator, penanyaan pertama Baik, terima kasih Prof Galang Untuk pemamparan materinya Hai kita masuk ke sesuai jawab ada beberapa catatan yang saya buat disini terkait materi disampaikan oleh prof. kalang untuk topik pada pagi hari ini yaitu terkait problematik program tafsir oleh MA dan MK dalam persoalan judicial review baik saya berisik aja hai hai amendement konstitusi itu melahirkan duality jurisdiction oleh pemegang kekuasaan kehakiman oleh MK dan MA yang melahirkan perbedaan kewenangan.
Nah, pada titik ini ada persamaan kewenangan yang dijalankan oleh dua lembaga ini, yaitu pada persoalan judicial review. Atau judicial review. Nah, perbedaannya adalah di judicial review, MK sudah jelas. Judisi review dilakukan atas undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sedangkan yang dilakukan oleh MA itu adalah peraturan perundangan di bawah undang-undang.
Nah, oleh karena itu, ada beberapa catatan penting. Karena objek kajiannya adalah berbeda, MK itu undang-undang, sedangkan MA itu adalah peraturan di bawah undang-undang, maka ketika ada satu atau... Batu ujinya itu berpikir, implikasinya adalah kalau misalnya ada norma yang sama-sama di uji, maka prinsipnya kalau terjadi perubahan terhadap undang-undang, dan kebetulan batu uji MA itu adalah undang-undang yang sedang diubah oleh MA, Maka logikanya harus mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu sebagai konsekuensinya. Nah, akan tetapi masukan dari Prof. Galang, supaya tidak berlalu-lalu dan memiliki kesinambungan pandangan dan persepsi, maka ada beberapa masukan.
Perlu adanya satu-kesatuan lembaga pengujian peraturan pengundangan. Nah, ini ide yang menarik. Kemudian konfesi ketatanegaraan. untuk jurisprudensi putusan MK dan MA itu juga harus diperhatikan. Kita bisa melahirkan satu persepsi yang sama.
Kemudian perlu juga ada forum komunikasi yang dibangun antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, sehingga juga bisa melahirkan satu persepsi dan cara pandang yang tidak bisa berbeda ketika menghadapi masalah-masalah seperti yang sedang kita bahas kali ini. Dan juga satu masukan yang bagus yaitu peningkatan kualitas hakim. baik itu skill maupun persepsi dalam melakukan judicial review.
Nah ini akan menolong supaya tidak ada perbedaan persepsi atau pandangan dari baik Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung. Nah kita akan masuk ke sesi tanya-jawab. Di sini sudah ada beberapa yang sudah raise hand.
Saya perlu mengingatkan Bapak-Ibu yang akan bertanya, mohon untuk menyebutkan nama lengkap dan asalnya dari mana. Supaya nanti bisa kita komunikasi. Karena juga ini saya memberitahu bahwa akan ada semacam souvenir kepada para penanya. Baik, ini sudah ada.
Ijin moderator. Pertanyaan moderator. Iya, Pak. Silakan. Yang mana dulu nih, Pak moderator Mas Priti?
Saya M. Salet dari Fokus. Pakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik Pakultas Hukum UNRAM Program Studi Ilmu Hukum Moderator, ingin bertanya Saya Samur Lonesa dari Magisteri Ilmu Hukum Oke baik, kita satu-satu ya Pak ya Kita satu-satu Jadi tadi Pak Udah apa, mau masuk duluan Jadi sesudah Pak Saleh Nanti saya akan berikan kesempatan kepada Pak Ridwan Kemudian ada Pak Syahril. Baru nanti sesudah itu yang dari Untad sama ini Universitas mana nih? Oke.
Baik silahkan Pak Saleh. Baik. Terima kasih Mas Freddy. Selamat pagi.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Prof. Ijin. Mohon pencerahan nanti Prof. Berkaitan dengan kompetensi kewenangan sudah jelas diatur dalam kewenangan masing-masing dua lembaga, baik Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung. Pertanyaan saya, jika nanti ada peraturan Mahkamah Konstitusi karena kewenangannya ada pengujiannya di Mahkamah Agung, lantas apakah MK berwenang nanti memutus peraturan sendiri ataukah Mahkamah Agung nanti yang akan memutus pengujian tersebut?
Mohon pencerahannya, Prof. Terima kasih. Selamat pagi. Assalamualaikum.
warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih. Selanjutnya Pak Ridwan.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi Prof. Ya, perkenalkan. Nama saya Ridwan Amartagiyudin.
Saya dari Universitas Islam Negeri Syed Ali Ramatullah Tulungagung, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum. Izin bertanya Prof, untuk constitutional review, Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Ratifikasi menurut pandangan Prof itu bagaimana ya? Terus yang kedua, perluasan kewenangan fast track legislation dalam pembutuhkan peraturan Undang-Undang di Indonesia menurut Prof itu sekarang dalam situasi kondisi saat ini pandangan Prof untuk kedepannya itu seperti apa?
Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih. Selanjutnya Pak Syahril. Oke, bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam kenal, Prof. Saya Syahril Ramadan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Mungkin pertanyaan saya ada melenceng dikit ya, Prof, dari pembahasan yang Prof paparkan materi pada pagi hari ini. Tetapi ini masih tentang soal judicial review, Pak. Karena penjelasan Prof tadi sudah sangat baik dan sudah saya mengerti dengan baik.
Nah, pertanyaan saya. Tadi dimention, seperti yang kita sudah ketahui bersama juga, bahwasannya kewenangan makam-makam situs yang diatur di dalam pasal 24C. Undang-Undang Dasar 1945 MK berwenang mengadili atau menguji dan menjudicial review Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Nah, yang saya ingin bertanya, Prof mohon pencerahannya, sebenarnya apakah bisa MK itu menguji suatu peraturan yang mengatur tentang dirinya sendiri atau kebenarannya terhadap Undang-Undang Dasar Sekali lagi, saya ulangi, Prof, apakah MK bisa menguji atau menjudicial review suatu peraturan yang mengatur tentang kewenangannya sendiri terhadap Undang-Undang Dasar.
Terima kasih, Prof. Terima kasih. Satu lagi dari FH Untad. Nama saya Mundiri.
Saya pegawai Mahkamah Konstitusi di Bustik. Kebetulan saya lagi berjuga sini. Kalau boleh sharing ini, saya bukan background hukum, tapi ya berusaha belajar ilmu hukum.
Terkait diskusi hari ini, webinar hari ini, izin mungkin kalau boleh saran, saya juga sedikit banyak tahu kaedah hukum. Kalau kita flashback lagi belakang, kewenangan... MA sama MK terkait pengujian undang-undang, peraturan kan berbeda.
MK untuk pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, MK terkait peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, seperti itu. Ketika ada benturan, kalau menurut saya ada putusan yang berbeda, suatu norma atau suatu hal antara putusan MK sama MA, solusinya barangkali satu. perlu di biar bahasa tadi kan usul dari Prof. Galang, izin Prof. Galang mungkin itu perlu diatur di undang-undang MK maupun di undang-undang Mahkamah Agung jadi ketika ada satu norma yang sedang diuji, ketentuan sedang diuji ke MA, ke MK dan juga demikian juga ada suatu norma atau ketentuan di bawah undang-undang sedang diujikan ke Mahkamah Agung idealnya itu MA itu...
menahan diri atau menunggu keputusan MK. Yang dibilang koordinasi itu sifatnya seperti itu, tapi kan kalau lebih alangkah baiknya, hal seperti itu dinormalkan di undang-undang MK, maupun di undang-undang Mahkamah Agung, supaya sifat koordinasi itu mengikat. Pada kali itu, usulan dari saya. Terima kasih. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Baik, terima kasih. Satu lagi terakhir itu dari Universitas Musamus tadi. Silakan.
Moderator dari Fakultas Hukum UKSW juga. Salam laluan masak. Iya, sebentar ya. Tadi ini dari Musamus sudah duluan.
Jadi mohon bersabar. Silakan. mungkin keluar itu Halo ya baru Halo teman-teman Ustaz susah mustahil coba lebih dekat Mas minta maaf bisa lebih dekat lagi biar suaranya terdengar ya ya ya ya musamos ya terkait di video review antara MK dan Ketika misalnya dalam, tadi Prof. Mas Yudhman singgung antara kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah. Misalnya dalam hal pengujian judicial review ini, kepentingan pemerintah misalnya dalam kasus yang sedang jadi di Papua Selatan ini, pemerintah mengutamakan soal sebeda pangan kepentingan nasional.
Di satu sisi, masyarakat menganggap bahwa program itu adalah bertentangan dengan kepentingan masyarakat sendiri di mana hutan adalah pencariannya. Dalam pandangan ini, mana yang diutamakan? Kepentingan nasional atau kepentingan masyarakat?
Terima kasih. Oke, baik. Terima kasih untuk lima penanya.
Sesuai dengan arahan dari teman-teman Mahkamah Konstitusi, kita berikan kesempatan kepada lima penanya dulu. Nanti dijawab dulu oleh Prof. Sesudah itu, kalau ada waktu, baru nanti kita akan buka termin selanjutnya. Begitu, saya persilakan Prof untuk memberikan tanggapannya.
Terima kasih, Mas Freddy. Terima kasih juga kepada rekan-rekan yang... Memberikan tanggapan balik terhadap apa yang saya sampaikan.
Ada lima orang, luar biasa. Dan pertanyaannya maut-maut gitu ya. Namun sebenarnya pertanyaan-pertanyaan ini tidak saya nyangka akan muncul. Karena ini kaitannya dengan tema yang kita bicarakan sebetulnya konflik norma.
Ke problematik dari perbedaan tafsir oleh MK dengan MA. Tapi ini rupanya dia meluas ini ya. Ada isu-isu hukum menarik lain yang mungkin ini satu seminar juga. Jadi tidak cukup dengan seminar hari ini untuk menjawab pertanyaan ini. Karena ini harus ada kajian-kajian yang lebih mendalam lagi.
Tidak bisa kita rangkum ke semuanya dalam seminar dengan topik yang tadi itu. Karena saya sendiri juga belum membahas secara mendalam isu-isu hukum yang disampaikan oleh teman-teman ini. Misalnya pertama. Mas Ale, ya ini rekan saya di Universitas Mataram, di Fakultas Hukum, mempertanyakan tentang bagaimana kalau umpamanya nanti Makamah Agung membuat peraturan sendiri, atau Makamah Konstitusi juga membuat peraturan sendiri, ya tentu bukan undang-undang, tapi peraturan yang menurut pasal 8. Undang-Undang 12 tahun 2011 itu tadi. Di mana mereka juga bisa membuat peraturan perundang-undangan.
Nah ada dan sekarang terjadi banyak sekali PMK, peraturan Mahkamah Konstitusi. Kemudian ada peraturan Mahkamah Agung. Kalau umpamanya peraturan Mahkamah Konstitusi itu dianggap bertentangan dengan undang-undang, berwenangkah ke Mahkamah Agung.
untuk menguji peraturan makamah konstitusi kemudian yang kedua bagaimana kalau peraturan makamah agung itu sendiri bertentangan dengan undang-undang oleh masyarakat dianggap bertentangan siapa yang mengujinya nah ini kan pertanyaan yang baik sekali untuk kita renungkan semua bersama Apakah itu boleh? Nah, kalau hal ini tentu tidak ada di dalam kaedah untuk melarang atau membolehkan. Secara irad, secara yuridis, maka semua peraturan di bawah undang-undang itu akan diuji oleh Mahkamah Agung. Persoalannya kan sekarang menguji dirinya sendiri.
Jadi di sini ada suatu adagium, asas ya kalau tidak salah. suatu lembaga peradilan tidak boleh menguji dirinya sendiri. Tapi kalau bertentangan bagaimana? Ini adalah satu kelemahan dalam sistem perundang-undangan kita.
Dalam sistem judicial review kita. Termasuk juga makamah agung tidak boleh menguji makamah konstitusi karena dia sama-sama lembaga peradilan. Mungkin saya salah menyampaikan adagium ini, tapi yang saya ketahui seperti itu. Sehingga di sini sebetulnya... pada kelemahan kita.
Tidak terpecahkan dengan asas. Tidak terpecahkan. Bagaimana harus menyelesaikan itu. Menguji dirinya sendiri, mesti menang kan begitu kan.
Sementara kalau MK menguji MA, MA menguji MK, ini kejeruk makan jeruk. Itu kan sama-sama lembaga peradilan. Tinggi.
Nah ini. Nah di problem ini, menjadi problem ketatanegaraan kita secara praktik. Sama dengan... juga misalnya bagaimana kalau putusan MA gitu kan, putusan MK dianggap bertentangan dengan maunya undang-undang dasar itu sendiri. Jadi dalam menafsirkan undang-undang dasar itu, MK bertentangan dengan apa sebetulnya yang dimaksud, yang dimaui oleh undang-undang dasar.
Siapa yang akan membatalkan? Nah ini kan jadi persoalan juga dalam ketatanegaraan. Buntu kita di situ.
Hal lain misalnya Seperti putusan 90 yang kemarin yang kita lihat misalnya kan kalau itu memang diputuskan melalui suatu kepentingan politik tertentu ada intervensi kepentingan ini kan. Ini kan cacat sebetulnya kan. Kalau itu putusan mahkamah agung atau putusan pengadilan kalau diketahui seperti itu, itu maka harus dinyatakan tidak sah dan harus diadili ulang oleh hakim yang berbeda. Cuma persoalannya kalau DMA.
Bagaimana di hakim yang lain? Semua juga hakim itu mengadilinya. Dalam putusan itu dia bersama-sama. Hakim yang mana yang akan mengadili?
Kalau terjadi diketemukan bahwa memang putusan itu dibuat secara tidak benar. Cacat hukum. Cacat etik.
Nah ini kan juga satu persoalan yang di dalam sistem judicial review kita itu tidak terkaper gitu. Bagaimana itu mengujinya gitu kan. Nah mas Aleh coba nanti ini menjadi sebuah disertasi ya.
Saya kira Bapak nanti bisa membahasnya dari segi mungkin perbandingan hukum. Dari segi falsafah gitu misalnya kan. Apakah bisa memang Mahkamah Agung menguji dirinya sendiri gitu kan. Kalau di dalam pemerintahan tidak masalah kan. Karena apa?
Karena dia kan misalnya membuat, kalau dia itu salah maka dia akan memperbaiki pasalahnya. Nah mungkin dari segi itu bisa juga nanti misalnya kalau memang secara nyata bahwa peraturan Makamah Agung itu tidak sesuai dengan undang-undang. Kemudian diajukan ke Makamah Agung, Makamah Agung secara internal menyatakan bahwa itu tidak sesuai.
tidak sah dan tidak benar dan kemudian diperbaiki kan begitu jadi secara kalau eksekutif itu kan ada istilahnya eksekutif review terhadap produksi terhadap produk eksekutif itu sendiri kalau di hukum tata usaha negara itu ada upaya administratif misalnya kan, kalau sebuah keputusan yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara jadi anggap tidak benar, maka akan dilakukan keberatan. Upaya administratif seperti itu kemudian bisa diperbaiki. Saya kira ini menjadi satu isu hukum yang perlu dibahas secara tuntas.
Saya kira Pak Saleh bisa bicara. Kemudian berikutnya mengenai ratifikasi. Kalau menurut saya setiap undang-undang itu bisa diuji. bahkan kalau di luar negeri itu perjanjian sebuah perjanjian terdata, perjanjian internasional itu bisa diuji juga oleh Mahkamah kalau itu mesentangan dengan undang-undang dasar sehingga ratifikasi ini karena ini produknya juga adalah sebuah undang menurut saya bisa jadi diuji juga oleh Mahkamah Konstitusi kemudian Pak Zahria Sama ya, kalau tidak salah tadi dengan Pak Saleh, menguji peraturan yang dibuatnya sendiri. Kemudian dari untat, MK, beda, saya tidak begitu, mungkin nanti Pak Ano, Mas Freddy, saya bisa dibantu ini.
Untat tadi itu tulisan saya ini tidak begitu jelas, pokok masalahnya tadi apa, gitu kan. Nah, kemudian yang terakhir. Jadi itu masukkan soal asas.
Ya, ya, untat. Bahwa kalau misalnya terjadi pengujian norma di MK yang berkaitan dengan satu norma tertentu, kemudian kalau MA itu juga mau melakukan pengujian norma, itu kalau bisa diatur di undang-undang. Jangan itu hanya sebatas prinsip saja.
Ya, ya. Dan memang itu kalau tidak salah ada. Peraturan saya tidak bisa tunjukkan, tetapi memang ada, tapi bukan undang-undang. Kalau tidak salah. Jadi kalau sebuah undang-undang sedang diuji oleh MK Kemudian ada peraturan pemerintah yang merupakan pelaksanaan Atau peraturan di bawah undang-undang itu yang diajukan kepada Mahkamah Agung Maka itu ditunda sampai kemudian ada putusan Saya kira setuju kalau itu harus ditantungkan di dalam undang-undang MK maupun bisa melalui belit sekel itu perjanjian bersama antara keduanya, tapi undang-undang itu akan lebih kuat, saya setuju itu dengan pendapat saudara kemudian yang terakhir koordinasi ya ada penting koordinasi memang sekarang ini sebetulnya katanya sih kadang-kadang juga dilakukan Itu jarang tapi itu dilakukan.
Sehingga kalau ada persoalan-persoalan yang kemudian sebetulnya akan berpotensial untuk memunculkan penafsiran yang berbeda, itu penting untuk dilakukan. Koordinasi maupun ada sebuah lembaga yang mereka buat sendiri untuk sebuah forum. Forum untuk membicarakan hal-hal yang seperti. Kalau terjadi... Penanganan yang berbeda.
Dan bahkan kalau menurut saya, kalau terjadi ini, minta tafsir ulang. Kalau terjadi perbedaan pandangan. Misalnya kan MA, nyata-nyata bahwa putusannya itu tidak benar, dikaitkan dengan MA. Maka MKA, misalkan, putusan MKA, maka diminta tafsir ulang.
Begitu juga MKA, kalau memang dianggap bahwa suatu putusannya itu oleh masyarakat. tidak adil gitu kan, dan ada kepentingan negara yang lebih besar yang harus dihindungi misalnya di situ maka sebetulnya, kalau menurut saya harus kita buat lembaga tafsir ulang, jadi di dalam undang-undang MTA, maupun undang-undang MA itu dimungkinkan sebuah putusan itu kalau di MA itu kan dalam perkara yang bukan judicial review kan bisa peninjauan kembali, nah disini sebetulnya harus ada peninjauan kembali Artinya bahwa, atau tafsir ulang. Misalnya kalau ada keputusan MK yang bertentangan, satu dengan yang lain atau tidak adil, yang merupakan alasan untuk penjauhan kembali, sebenarnya bisa penjauhan kembali itu kita buat. Atau tafsir ulang. Nah itu kalau secara akademik kan dimungkinkan sekali.
Nah kemudian bagaimana kalau pentingnya masyarakat dan kepentingan pemerintah? berseberangan dalam hal ini. Memang ini menjadi problem.
Ini adalah suatu pilihan. Jadi, kalau di dalam hukum administrasi itu sebetulnya ini kepentingan ini tidak boleh ini, tidak boleh berpisah. Lalu satu, kepentingan pemerintah itu sebenarnya mengadopsi atau memperjuangkan kepentingan masyarakat. Sehingga sebetulnya kepentingan pemerintah itu adalah kepentingan masyarakat. Tetapi sebenarnya hal ini bergeser ketika kita mempergunakan teori social engineering Pak Muhtar misalkan.
Ada suatu upaya pemerintah, kepentingan masyarakat diambil seolah-olah ini menjadi kepentingan pemerintah. Dalam hal ini maka membuat aturan untuk merekayasa masyarakat. Jadi social engineering.
Kalau seperti ini, kalau kita mempergunakan teorinya Muhtar Kusuma Armada. Tidak masalah, yang penting ini adalah untuk kepentingan umum. Lari-larinya ke situ. Kepentingan umum ini sebetulnya bisa berakna kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah.
Tapi kita lihat sekarang, apakah memang kepentingan umumnya lebih luas kalau kita mengikuti kemauan dari pemerintah itu atau kepentingan masyarakat. Sebagai contoh, misalnya kalau umpamanya pemerintah mau membuat bendungan. Kalau kepentingan masyarakat kan tidak mau dia untuk digusur misalnya begitu. Tetapi kepentingan pemerintah demi untuk kepentingan masyarakat, dia harus menggusur misalnya ini. Memindahkan tempat masyarakat ini.
Demi untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih luas. Bukan hanya pada desa itu, tetapi untuk sekian banyak desa yang lain. Nah ini sebetulnya kita harus melihatnya itu adalah kepentingan umum yang dipegang oleh seolah-olah.
pemerintah. Nah, tetapi beda halnya kalau umpamanya itu kepentingan pemerintah adalah untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. Artinya bukan untuk tujuan kepentingan umum. Jadi pemerintah mengambil peran di situ adalah untuk kepentingan pengusaha misalnya, untuk kepentingan kelompoknya misalkan. Nah, berseberangan dengan kepentingan masyarakat, maka kepentingan masyarakat yang harus kita utamakan.
Tapi kalau itu kepentingan pemerintah yang benar-benar adalah untuk kepentingan rakyat. untuk kepentingan umum lebih besar daripada yang diperjuangkan oleh masyarakat sebagai kepentingannya itu, maka kepentingan pemerintah. Saya kira sebagai suatu pilihan kalau menurut saya.
Saya kira itu untuk sementara Mas Freddy, sehingga beruang kali ada teman yang lain yang bisa membantu saya juga, karena ini adalah forum akademik, tentu ada pikiran-pikiran cemerlang juga yang bisa melengkapi dari pertanyaan-pertanyaan tadi, karena kebetulan sih juga isu hukum yang disampaikan ini adalah isu hukum-isu hukum baru. Yang sebetulnya kalau kita kaitkan dengan istukum yang kita bahas ini agak menyimpang gitu kan ya Mas Gedi ya. Tidak apa-apa Prof, ini kan pengembangan.
Ya itu pengembangan, jadi kita tanggapi. Tidak boleh menolak suatu pertanyaan, menjawabnya dengan alasan tidak dibahas gitu kan. Baik Prof, terima kasih untuk jawabannya.
Ini kita masih ada waktu sedikit, 20 menit kurang lebih. Saya buka lagi kesempatan. Yang pertama saya berikan kepada Ibu Triwah Yuni. Bisa Ibu, langsung pertanyaannya singkat terkait dengan topik kita hari ini ya. Terima kasih moderator.
Selamat pagi Prof. Galang. Tadi sebelum Prof. Galang menjelaskan tentang materi masuk ke judicial review, di awal itu dijelaskan tentang tiga lembaga yang ada di Indonesia yaitu eksekutif, legislatif, dan judikatif. Termasuk hirarki di mana undang-undang dasar lebih tinggi daripada peraturan yang di bawahnya.
Pertanyaan saya adalah, apa dasar teoretik? lembaga eksekutif itu diberi kewenangan untuk membuat regulasi yang mengikat umum. Karena faktanya itu di peradilan dan mahkamah agung sendiri lebih tunduk pada PERMA daripada undang-undang yang dibuat oleh DPR.
Yang kedua, jika lembaga eksekutif itu memang diberi kewenangan untuk membuat regulasi, di mana batas kewenangan tersebut, Prof? Ya, baik. Terima kasih.
Selanjutnya ada Pak Freddy Lolong, silakan. Iya, izin bertanya Prof, suara saya jelas. Yang saya mau tanyakan Prof, dari seluruh pemaparan Prof Galang tadi itu, Bagaimana dengan, apakah ada studi komparatif dari kasus, Halo, halo? Ya, silakan.
Ya, sorry, sorry, tadi error. Apakah ada studi komparatif? Ya, dibanding dengan negara lain, Prof. Untuk kasus masalah yang sama yang dihadapi oleh Indonesia. dalam konteks MK versus MA dalam judicial review ini.
Karena sependek yang saya dengar sepanjang acara ini, saya belum, maaf Prof, saya belum tidak melihat ada perbandingan dengan negara lain dalam konteks itu. Demikian, Prof. Oke, terima kasih. Satu lagi dari Istiqbarat TV. Sama luar masak, Pak.
Ya, Bapak, mohon maaf. Bisa raise hand ya. Tadi saya hanya melihat yang raise hand di sini ada Ibu Isti Pratiwi dari Untan. Baik, izin Pak. Terima kasih atas waktu yang diberikan.
Baik, mungkin langsung saja. Terkait problematik perbedaan tafsir oleh MA dan MK dalam hal judicial review. Nah, pertanyaan saya untuk... Prof, apakah perbedaan tafsir oleh MA dan MK ini dalam hal judicial review, ini mengindikasikan adanya kelemahan dalam pembagian kewenangan peradilan di Indonesia kemudian yang kedua, bagaimana dengan independensi dalam kedua lembaga ini dalam mempertahankan ketiga terdapat perbedaan tafsir Prof mengingat keduanya memiliki kewenangan yang berbeda dalam judicial review Mungkin itu saja, terima kasih atas waktu yang diberikan Oke baik, terakhir tadi ada yang mau bertanya yang langsung dari Buka surya Pak Ya silahkan, sebutkan namanya ya Pak ya Baik, terima kasih Pak Selamat siang Prof Perkenalkan saya Samulwan Masad dari Magisteri Ilmu Hukum Universitas Kekasihawacana Pak Saya ingin bertanya ini berdasarkan penjelasan Prof. Galang tadi itu berkaitan dengan batu uji, Pak.
Nah, ini kalau proses pembuatan peraturan perundang-undangan, maka undang-undang itu dibuat tidak diwajibkan untuk bertentangan dengan undang-undang dasar, Pak. Nah, berkaitan dengan penjelasan terkait dengan batu uji yang berbeda itu, pertanyaan saya adalah, perintah undang-undang untuk pembuatan peraturan perundang-undangan itu harus sejajar atau tidak bertentangan dengan undang-undang dasar? Kenapa dalam proses konflik norma itu batu ujinya berbeda, Pak?
Padahal proses pembuatan undang-undang itu harus tidak diwajibkan untuk bertentangan dengan undang-undang dasar, Pak. Terima kasih, Pak. Oke, baik.
Terima kasih banyak. Saya pikir cukup begitu dulu, Prof. Iya, ini aja sudah banyak. Betul, Prof. Silahkan dijawab. Karena kita juga waktunya sudah hampir selesai Silahkan Prof Terima kasih, mungkin pendek-pendek aja ya Yang pertama menarik itu dari Pak Sriwayuni Siapa itu tadi ya Dasar kewenangan status secara teoritis, dalil akli maupun dalil naklinya mungkin. Mengapa?
Lembaga-lembaga judicial, kemudian eksekutif, dan bahkan legislatif itu bisa membuat peraturan, itu regulasi. Pertama secara teoritis yang kita mengenal ada legislasi dan ada regulasi. Legislasi itu... suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat dengan mengikut sertakan wakil rakyat. Tapi kalau regulasi itu tidak.
Sehingga peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan desa itu adalah sebuah regulasi menurut pandangan saya. Nah regulasi ini memang dipentingkan dalam rangka melaksanakan legislasi. Dan bahkan dengan konstitusi. Dalam sistem ketatanegaraan kita itu ada, kita kenal ada... istilahnya hukum tata negara dan hukum administrasi.
Nah hukum tata negara ini ditentukan di dalam undang-undang tapi untuk melaksanakannya itu nanti kemudian dibuatlah peraturan-peraturan badan tata usaha negara dan itu kemudian bisa melahirkan berbagai macam peraturan-peraturan baik peraturan perundang-undangan maupun belit srekal kan begitu. Sehingga lembaga eksekutif di sini melaksanakannya sebenarnya. Dalam sistem ketatanegaraan kita, pembagian legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu campur. Artinya tidak secara murni dan konsekuen seperti apa yang diajarkan oleh Trias Pulit, oleh multiskew itu.
Legislatif membuat undang-undang, kemudian eksekutif melaksanakan undang-undang, yudikatif mengadili. Ternyata tidak seperti itu kita. Eksekutif sendiri dalam hal di presiden misalkan, di dalam... melaksanakan, dia kan sebagai pemerintah ya, sebagai kepala pemerintahan tertinggi, jadi dia adalah eksekutif dalam hal itu dan juga menjadi administratif menjadi pelayan dalam sistem kita yang sebenarnya secara teoretik itu kan eksekutif dan administratif itu beda tapi dalam sistem ketatanegaraan kita itu dia sama, sehingga dia juga membentuk undang-undang, membuat juga regulasi, seharusnya kan undang-undang... Presiden itu tidak membuat undang-undang bersama DPR dan DPD, kalau menurut teori transpolitika.
Tetapi dia justru menjadi legislator juga di situ. Sehingga kalau umpamanya kita ditanya, siapakah pemegang lembaga sebagai legislator di Indonesia? Tidak cukup dengan DPR sebenarnya.
Memang mereka kewakil raya, DPR. Tetapi juga adalah Presiden. Karena undang-undang itu dibuat atas bersama, atas persetujuan bersama.
Kalau memang begitu, berarti kan undang-undang itu kan memang dibuat oleh eksekutif kita itu, dengan legislatif kita, dengan presiden, dengan DPR, sehingga legislator kita sebetulnya dalam konteks ini termasuk presiden. Tetapi dalam menjalankan legislasi itu presiden membuat regulasi. Nah, Yudisil yang kita sebut dengan lembaga peradilan, yang sekarang ini sebetulnya juga tidak fungsinya hanya mengadili. Di lembaga peradilan itu sendiri ada administrasi juga di situ, ada unsur pemerintah juga di situ, di kesejajarannya. Begitu juga ketika ketua pengadilan, ketua mahkamah agung misalnya, melaksanakan sebuah undang-undang, juga di situ bukan untuk mengadili dia, tapi dia juga membuat peraturan.
Jadi ketidaksinan, ketidaksinan, apa namanya, Karena kita tidak menganutrias politika secara murni dan konsekuen itu, maka lembaga legislatif campur dengan eksekutif, eksekutif juga campur menjadi legislatif, begitu juga judisil. Sehingga mereka di dalam melaksanakan fungsinya sebagai eksekutif atau sebagai administrasi itu, mereka membuat peraturan. Oleh karena itu ada peraturan mahkamah agung, ada peraturan mahkamah konstitusi. Di samping itu juga memang ada hal-hal tertentu. Sebagai delegasi perundang-undangan yang ditentukan oleh undang-undang sendiri untuk misalnya peraturan makamah konstitusi tentang hukum acaranya misalnya di situ.
Itu sebetulnya derajatnya adalah undang-undang. Tapi undang-undang sendiri mendelegasikan di situ. Supaya kalau ada hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang hukum acara itu bisa dibuat peraturan makamah konstitusi.
Jadi ada yang juga sebetulnya derajatnya legislation sebetulnya. Nah itu saya kira secara teoretik ya anunya, kemudian lembaga-lembaga itu membuat peraturan gitu, legislasi. Kemudian berikutnya apakah ada studi banding? Saya belum melakukan studi banding itu.
Karena belum saya temukan juga suatu sistem ketatanegaraan yang di dalam kekuasaan peradilannya itu seperti di Indonesia ini. Jadi ada makamah konstitusi, kemudian makamah agung di satu pihak, dan kemudian fungsinya adalah dibedakan seperti kita ini. Mungkin ini menjadi pekerjaan kita ke depan.
apakah ini memang terjadinya problematik ini karena memang kita tidak seperti lembaga atau negara lain atau mungkin negara lain sendiri juga mengalami hal yang seperti ini. Saya kira sebagai sebuah masukan yang baik sekali untuk kita menjadi bahan untuk kita membahas lebih lanjut tentang terjadinya konflik norma oleh kedua lembaga peradilan tertinggi kita ini. Kemudian Hai eh berikutnya tadi satu uji yang beda antara sampai tidak dioksb ya salam tadi apanya saya Jepro betul itu batu bedakan antara mahkamah agung dengan mahkamah Hai pertama konstitusi ya ya dan itu kenapa bisa bertentangan karena Kita tahu bahwa pembuatan undang-undang sendiri itu sudah mengwajibkan supaya tidak boleh ada pertentangan dengan undang-undang dasar. Tetapi kok pada ujungnya tetap ada perbedaan. Ya, oke.
Nah, tadi juga saya sudah ungkapkan sebetulnya hakim itu kan mempergunakan keyakinannya juga. Keyakinan dasar di dalam memutus itu belum tentu semata-mata berdasarkan peraturan. Tetapi perkembangan zaman, perkembangan pemikiran, membuat kemudian peraturan itu seolah-olah tidak tepat diterapkan dalam kondisi tertentu.
Sehingga menjadi berbeda apa yang diputuskan. Apalagi kalau sebuah undang-undang itu sudah banyak yang out of date misalkan. Maka kemudian hakim biasanya berdasarkan keyakinannya itu memutuskan sesuatu. Kita mengenal ada yang disebut dengan keadilan prosedural dan keadilan substantif. Nah dalam keadilan substantif ini yang kadang-kadang hakim mengurangkan keyakinannya dan juga mempertimbangkan berbagai macam hal.
Oleh sebab itulah bisa jadi keputusan yang sekarang akan berbeda kemudian dengan keputusan yang akan datang. Kita beri contoh misalkan keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2019 yang mengatakan bahwa rejim pemilu kada itu tidak termasuk pemilu. Karena menurut penafsiran original and intent, yang dimaksud dengan pemilu dalam Undang-Undang Dasar itu sebenarnya adalah pemilihan umum DPRD dan Presiden.
Itu yang dia maksud. Nah sementara ada pemilihan kepala daerah secara langsung yang sama. dengan pemilu presiden dan seterusnya. Tapi itu tidak ada disebutkan di dalam konteks undang-undang dasar.
Setelah ditelusuri secara teleologis juga sebetulnya yang dimaksud dengan pemilu itu adalah pemilu presiden dan di PR dan di PRD dan di PD itu. Oleh karena itu, kalau penyelesaian sengketa hasil pemilu oleh hasil pemilu kada, itu tidak akan tidak boleh diadili oleh MK. itu melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar.
Karena yang dimaksud dengan pemilu Undang-Undang Dasar itu bukan itu. Sehingga harus dibuat pengadilan yang lain. Pengadilan khusus mengenai itu. Yang harus dibentuk tahun 2000 sekian katanya itu. Tapi untuk sementara waktu kemudian MK masih mengadili itu sampai terbentuknya itu.
Kan gitu putusannya. Artinya bahwa di sini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Kalau penyelesaian sengketa pilkada itu dilakukan oleh MK.
Tapi kan belakangan ini kan akhirnya menjadi konflik. pertentangan permanen dari MK. Jadi dulu dikatakan itu bertentangan, sekarang tidak bertentangan.
Karena perkembangan pemikiran, perkembangan keadaan, perkembangan ketatanegaraan, sehingga dia berubah putusan itu. Itu yang membuat kemudian terjadi perbedaan juga, baik secara internal maupun secara eksternal. Artinya internal antara putusan.
makamah itu dan eksternal antara putusan makamah dengan putusan makamah bahkan antara undang-undang dengan yang lain saya kira itu Itu argumentasi saya untuk menjawab pertanyaan mengapa kemudian terjadi berbeda pandangan. Sama satu pertanyaan terakhir tadi Prof, dari Disti tadi. Mengenai problematik ini apakah menunjukkan adanya indikasi kelemahan dari pembagian kekuasaan antara MA dan SMA?
Saya kira iya, dan tadi saya sudah katakan juga sebetulnya, bahwa dengan pembagian seperti ini dimungkinkan sekali ada perbedaan pandangan antara hakim-hakim itu. Nah, oleh karena itulah makanya sistem ini sebetulnya tidak bagus. Dan kita sudah buktikan ketidakbagusannya itu terjadi pertentangan-pertentangan yang sangat prinsipil sebetulnya juga.
Nah, oleh karena itu harus ada di dalam satu kesatuan, kesatuan lembaga, sehingga dia bisa kontinuitas, sinkronisasi, pemahaman tentang suatu peraturan perundangan itu akhirnya sama. Itu saya kira sama seperti tadi misalnya PK. Satu mengatakan tidak boleh, satu mengatakan boleh. Ini kan kalau kita lihat dari...
Alasannya betul semua. Kalau dia menjadi satu, dia akhirnya kan satu pandangan saja. Kalau dari segi check and balances, barangkali ada baiknya.
Kalau kita mau ukur. Sehingga memungkinkan terkontrol suatu putusan pengadilan. Yang satu dikontrol oleh pengadilan yang lain. Tapi itu kalau misalnya sama.
ujinya, tapi ini kan beda karena itu saya kira ini merupakan kelemahan dari sistem kita, dan perlu kita perbaiki sempurnakan dengan cara yang saya usulkan tadi itu yaitu ada satu lembaga satu kesatuan lembaga pengujian, saya kira begitu terima kasih baik, terima kasih Prof atas penjelasannya untuk pertanyaan-pertanyaan dan diskusinya, sangat menarik sekali ini mungkin ke depan harus banyak diskusi, ruang diskusi seperti ini lagi. Karena ternyata ada banyak isu yang ditanyakan dan juga didiskusikan. Baik, Ibu Bapak sekalian, mengingat ini waktu kita ini sudah sangat terbatas, kami mohon maaf bagi Bapak-Ibu sekalian yang mungkin tidak sempat diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan untuk didiskusikan.
Kami mohon maaf sekali karena dari Mahkamah Konstitusi memberikan batasan waktu. sampai pada pukul 10.20 dan ini tersisa 2 menit saja. Jadi itu mungkin tidak dimungkinkan lagi untuk kita berdiskusi. Terima kasih banyak kepada Prof. Galang untuk pemaparan materinya dan juga diskusinya. Terima kasih juga kepada Ibu Bapak sekalian, para hadirin yang sudah berdiskusi bersama Prof. Galang terkait topik problematik perbedaan tafsir oleh MA dan MK dalam judicial review.
Tentu saja... Ini ke depan masih banyak sekali topik yang bisa kita diskusikan terkait dengan masalah ini. Saya yakin ke depan akan banyak ruang diskusi, baik itu yang dilakukan oleh Makamah Konstitusi sendiri, begitu juga dengan fakultas-fakultas hukum yang ada di Indonesia ini.
Semoga ruang diskusinya semakin banyak sehingga perkembangan dari hukum konstitusi itu bisa lebih luas dan bisa juga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ketatanegaraan yang selama ini berkembang. Baik, cukup sekian diskusi kita pada pagi hari ini. Namun sebelum kita akhiri, akan ada sesi foto bersama dulu.
Oleh karena itu kami minta kepada Bapak Ibu hadirin sekalian yang belum mengaktifkan kameranya, mohon untuk mengaktifkan dulu kameranya karena kita akan melakukan foto bersama dulu. Baik, silahkan. Baik, terima kasih Pak Moderator. Saya akan membantu memberikan aba-aba untuk melakukan sesi foto bersama pada acara webinar kita kali ini.
Bapak-Ibu siap untuk on-cam? Satu, dua, tiga. Slide selanjutnya. Slide selanjutnya, siap Bapak-Ibu.
Satu, dua, tiga. Untuk slide berikutnya, 1... Dua, tiga. Sekali lagi Bapak Ibu, mohon maaf. Satu, dua, tiga.
Slide selanjutnya sebentar Bapak Ibu. Slide kelima ya Bapak Ibu, mohon maaf ini agak lama sebentar. Kita masih melakukan sesi foto bersama. Satu, dua, tiga.
Untuk slide berikutnya. Satu, dua, tiga. Oke, satu lagi Bapak Ibu.
Satu, dua, tiga. Baik Bapak Ibu, terima kasih atas waktu dan partisipasinya. Acara kami kembalikan ke Bapak Moderator.
Silahkan Bapak. Terima kasih banyak Ibu. Dengan demikian, terakhir juga kegiatan webinar kita, webinar konstitusi pada pagi hari ini dengan topik problematik perbedaan tafsir oleh MA dan MK. dalam judicial review yang sudah dibawakan materinya oleh Prof. Galang Asmara.
Kami mengucapkan terima kasih banyak untuk para hadirin sekalian yang sudah berpartisipasi dalam kegiatan ini. Semoga di lain kesempatan kita bisa bertemu lagi di webinar konstitusi yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Saya Freddy Desosa, selaku moderator. Ijin mundur diri. Sampai jumpa.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam konstitusi. Terima kasih. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh Terima kasih Mas Fredy