Transcript for:
Kontroversi Rasmus Paludan dan Imigrasi

Namanya Rasmus Paludan. Ia jadi serotan kontroversi sebab melakukan aksi bakar Al-Quran. Gak tanggung-tanggung, ia melakukannya lebih dari sekali. 2019 menandai aksi pertamanya. Setahun berselang, ia mengulanginya. Pada 2022, ia kembali melakukannya. Terbaru. Ia dua kali berturut melakukannya di dua lokasi berbeda. Setelah Turki dinilai nggak kunjung kasih pintu masuk bagi Sweden untuk gabung NATO. Popularitas Paludan, seorang lawyer, melejit setelah mendirikan partai bernama Strum Kurs pada 2017. Partai ini punya gagasan politik yang ingin menyingkirkan muslim, termasuk para imigran. Semua orang yang beragama Islam, bagi mereka serupa musuh yang wajib dibasmi. Dari situ Paludan mulai ambil panggung dengan aksi-aksi yang memantik kontroversi. Membakar Al-Quran adalah salah satu dari segelintir contohnya. Ia misalnya pernah dituntut penjara lantaran mengeluarkan kata-kata berbau rasisme yang kemudian mengikutinya pendukung seram kurs mulai terbentuk dan berjejaring. Pada 2019, tepat saat pemilu partai ini dapat 20 ribu dukungan secara daring. Jumlah ini tergolong nggak sedikit untuk ukuran partai yang berusia 2 tahun. Pada tahun yang sama, partai ini juga nyaris masuk parlemen ketika dipemilu berhasil memperoleh 1,8% suara dari batas yang sudah ditentukan, yakni 2%. Meski gagal masuk parlemen, gaung paludan dan partainya gak seketika surut. Gagasannya soal anti-imigran dan Islam banyak menarik dukungan, dan hal ini gak terjadi di Sweden belaka. tapi di Eropa. Ya, dalam beberapa tahun belakangan, retorika anti-imigran dan Islam kian kencang, seiring dengan makin kuatnya posisi partai politik sayap kanan atau kanan jauh. Di Sweden muncul Sweden Democrats yang sudah membangun reputasi sejak 2014. Dengan kebijakan tolak imigran serta menganggap mereka sebagai ancaman, partai ini pernah membuat koalisi pemerintahannya sendiri pada 2018. Bergeser ke Hungaria, ada Fidets yang keberadaannya begitu kokoh. Mereka benci imigran, terutama muslim, sampai-sampai membuat pagar di batas wilayah antarnegara dengan teknologi tinggi supaya imigran-imigran gak bisa masuk Hungaria. Perkenalkan pemimpinnya, Victor Orban. Di Belanda ada partai yang rasis ke Muslim dan Islam, menganggapnya sebagai musuh abadi. Namanya PVV. Pada 2017, partai ini dapat kursi terbanyak kedua di Parlemen Belanda. Nah, jangan lupakan di Perancis dan Jerman, yang kekuatan politik kanan jauh bertumpu pada eksistensi National Front dan Alternative für Deutschland atau AFD. Dua-duanya punya reputasi politik mentereng, basis masa kuat, serta gencar jualan anti-imigrasi. Muslim, dan xenofobia. Partai politik kayak gini juga bisa kamu jumpai di Austria, Polandia, Italia, hingga Inggris. Kemunculan partai-partai ini disebut sebagai gelombang keempat politik kanan jauh di Eropa. Setiap gelombang punya karakteristiknya masing-masing. Dan dari sini, kita bisa melihat bagaimana sentimen kepada imigran Muslim lahir. Gelombang pertama terjadi pasca Perang Dunia Kedua. Mayoritas ideologinya bertumbuh pada neofasis dan secara perolehan suara dalam pemilu sangat tidak signifikan. Gelombang kedua muncul pada periode 1955 hingga 1980, ditandai dengan partai-partai yang mampu meraih suara besar dalam pemilu tapi lenyap setelahnya. Sementara pada gelombang ketiga, 1980 hingga 2000, partai-partai ini mulai mapan dengan masuk ke jajaran parlemen di negaranya seperti yang terjadi di Perancis, Austria, hingga Belanda. Kemudian gelombang keempat terjadi pada awal 2000 sampai saat ini. Partai-partai masuk ke ranah mainstream dan gagasan-gagasan mereka banyak menarik atensi maupun dukungan dari masyarakat sipil. Di titik ini, mereka lebih fokus pada masalah sosio-kultural atau identitas ketimbang sosio-ekonomi. Dan imigran muslim kemudian jadi target empuk bagi partai-partai kanan jauh. Oke, kita bahas keterkaitannya. Kedatangan muslim ke Eropa bisa dilacak sejak 711. Namun, dalam konteks pembahasan ini, kemunculan mereka pas siap perang dunia kedua adalah yang relevan. Setelah perang banyak orang-orang dari Afrika dan Timur Tengah, mayoritas muslim datang ke Eropa untuk bekerja sebagai buruh. Tujuannya, memperbaiki hidup. Ini bertepatan dengan rekonstruksi negara-negara di Eropa seperti Jerman, Perancis, dan Italia pasca perang. Mereka butuh pekerja untuk membangun olang negeri yang porak-poranda. Perlahan. Pembangunan ulang itu berjalan baik dengan para imigran sebagai pilar penting. Mereka berkontribusi di pembangunan jalan, gedung, sampai fasilitas publik lainnya. Sampai di titik ini, imigran bukan masalah, apalagi ancaman, dan mereka hidup baik-baik saja. Situasi berubah pada 1970-an. Krisis ekonomi imbas minyak menghantam Eropa. Di waktu bersamaan, para imigran terus bertambah, terutama dengan kedatangan generasi kedua. Riset ini menyebut, bahwa keinginan untuk lebih bisa bebas mengekspresikan haknya termasuk dalam pekerjaan dan keagamaan menyertai kehadiran imigran muslim di Eropa pada 1970-an. Misalnya sebelum 1970, para imigran beribadah di musola yang berada di basement gedung. Setelah 1970-an, mereka mendirikan masjid. Soal pekerjaan, para imigran juga banyak yang bergabung dengan serikat, kerap mendorong adanya sistem pengopahan dan perlindungan yang layak. Aksi-aksi itu lalu memantik respons reaksioner dari kelompok politik kanan jauh yang mulai menancapkan pengaruhnya di tatanan sosial. Di Perancis, Jean-Marie Le Pen dengan gerbong Front National menyerukan penolakan terhadap imigran karena dipandang sebagai sumber masalah. Retorika Le Pen begitu beracun, imigran muslim adalah ancaman terbesar ekonomi dan masyarakat Perancis. Seiring waktu, penolakan terhadap imigran muslim berubah jadi sentimen kepada islam yang buruknya ikut tertuang dalam bentuk kebijakan pemerintah. Menurut riset ini, kata kuncinya di tiap kebijakan kurang lebih serupa invasi islam hingga integrasi sosial yang mustahil. Sejak saat itu, imigran muslim mengalami rasisme, terpinggirkan dari akses dan pada akhirnya menciptakan benih-benih kekerasan baru dan imigran muslim lagi-lagi jadi kambing hitamnya. Posisi imigran muslim kian terjepit dan terempas pasca peristiwa 9-11, juga sederah teror yang terjadi di Perancis sampai Inggris. Gak ketinggalan, krisis pengungsi akibat konflik di Afrika dan Timur Tengah ikut menterburut posisi imigran muslim. Retorika populisme sayap kanan yang menginginkan imigran muslim lenyap memperoleh dukungan luas di masyarakat. Gerak imigran dan muslim semakin dibatasi. Di Perancis, ambil contoh. Saat kampanye pemilu 2022, Mahi Lepan, Putrijo Mahi Lepan, menyerukan bakal melarang penggunaan jilbab di tempat umum. Di Jerman, AFD menganggap imigran Muslim adalah ancaman identitas Jerman. Pada 2017, saat pemilu mereka secara eksplisit mengadopsi kebijakan anti-Islam yang tertuang dalam manifesto berbunyi, Islam does not belong to Germany. AFD didirikan oleh Alexander Golan juga melarang penandaan asing untuk masjid-masjid. Mereka turut pula memeriksa secara ketat para pemuka agama Islam di Jerman. Dijelas lupa dapat kamu jumpai di negara-negara lain Macam Hungaria, Polandia, Italia, sampai Inggris Laporan Brookings menyatakan Bahwa semakin banyak populasi imigran muslim di Eropa Maka semakin kencang aksi maupun sentimen negatif Yang ditujukan kepada mereka Apa yang terjadi di Eropa Seperti memberi gambaran nasib imigran di seluruh dunia Ketika posisi mereka begitu terpinggirkan Seiring kuatnya kekuatan populisme sayap kanan Berbagai laporan menyebut bahwa nasib mereka Sampai sekali sekarang masih nggak membaik. Meski begitu, ada sedikit harapan. Dan hal itu datang dari sosok yang mungkin nggak pernah kalian bayangkan bakal membawa sedikit perubahan. Mohamed Salah. Berikutnya di Narasi Explains.