Transcript for:
Analisis Pertumbuhan Gereja di Indonesia

Pertumbuhan Gereja adalah salah satu topik paling menarik bagi setiap hamba Tuhan. Majelis jemaat dan segenap aktivis gereja yang merespons panggilan Tuhan. Salah satu berkat besar dari pelayanan mereka adalah Tuhan memberi pertumbuhan gereja.

Lalu, bagaimana pertumbuhan gereja di Indonesia? Apa saja yang menjadi faktor-faktor pertumbuhan gereja di Indonesia? Inilah buku hasil temuan Survei Nasional. Profesional Bilangan Research Center atau BRC yang melibatkan 4.394 responden hamba Tuhan di 33 provinsi di Indonesia.

Mencakup tiga aliran yaitu mainstream, injili, dan pante kosta atau karismatik. Baik di kota maupun di desa dengan judul kunci pertumbuhan gereja di Indonesia. Buku ini mengupas strategi dan kepemimpinan dalam kaitannya dengan pertumbuhan gereja di Indonesia adapun variable yang mempengaruhi pertumbuhan gereja adalah strategi pertumbuhan gereja yang meliputi 1. proses pemuridan 2. keterlibatan jemaat dalam melayani 3. investasi dana pekabaran injil 4. alokasi dana pelayanan anak dan remaja 5. perintisan jemaat dan variabel kepemimpinan yang meliputi. 6. Dukungan sinode.

  1. Panggilan dan motivasi. 8. Persepsi tantangan atau berkat pelayanan. Dan ke-9. Pendidikan hamba Tuhan.

Kiranya, buku ini menjadi berkat bagi gereja Tuhan di Indonesia. Bapak-Ibu semuanya, selamat malam dimanapun Anda berada, baik di Indonesia, mungkin Singapura, Malaysia, atau di luar negeri. Ada yang selamat pagi mungkin, atau selamat siang.

Jadi, Pak Pusat, saya senang sekali pada hari kedua ini. Saya yakin menjadi salah satu seminar yang sangat exciting. Seminar di mana kita bisa mendapatkan banyak berkat dari para speaker-speaker kita. Dan pertama nanti Pak Bambang Budianto akan memberi selanjutnya 15 menit. Sebagian dari hasil suruh.

Jadi slide-slide yang ditampilkan nanti itu kira-kira hanya 5% atau mungkin maksimum 8% daripada hasil survei yang ada dipupukan oleh BRC. Dan kemudian setelah Pak Bambang 15 menit, nanti masing-masing selama 10 menit, Pak Komar Kultom akan memberikan tanggapannya atau responnya dari hasil survei yang diberikan Pak Bambang, demikian juga dengan Pak Daniel Ronda selama 10 menit. Setelah itu nanti kita akan masuk 20 menit yaitu kita akan melakukan tanya-jawab bersama dengan Bapak Kumar dan Bapak Dania Ronda untuk mempertajam atau melakukan pendalaman dari apa yang dipresentasikan oleh kedua beliau ini yang luar biasa.

Saya rasa ketiga narasumber kita sungguh luar biasa Tuhan sudah pakai. Kita semua berharap menjadi berkat yang luar biasa bagi pertumbuhan gereja di Indonesia satu ladang yang subur buat kita untuk melakukan pengabaran Injil sama seperti Ibu. kita yang berwarna hijau di tengah-tengah negara yang memiliki jumlah muslim terbesar di dunia oke, bagus sekalian, oleh karena itu mari kita sambut, membicara kita pertama saya serahkan waktu kepada Bapak Bahambang Budianto Ketua Dewan Pembina Bilangan Research Center Bapak Bambang Budianto, PhD, CEO, Leadership as Discipleship atau ANLIS, dan Ketua Pembina Bilangan Research Center. Selamat malam Ibu Bapak dan rekan-rekan pelayanan semua.

Bersyukur untuk kesempatan bisa belajar bersama dengan semua saudara pada malam hari ini. Ijinkan saya membuka dengan beberapa hal sebelum menyampaikan slide saya. Saya mewakili PRC sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada semua responden. Ada 4.000 lebih responden yang memungkinkan kita belajar banyak lewat buku ini.

Jadi kalau Bapak-Ibu responden ada di dalam ruangan ini, terima kasih sekali. Setulus-tulusnya dari PRC. Kedua, terima kasih tentu menyapa Pak Gomar, Pak Daniel, mengizinkan kita untuk duduk bersama dan belajar dari Bapak dan bersama Bapak. Nah, penelitian yang dikerjakan 2 tahun yang lalu itu, datanya banyak sekali, informasinya banyak, dan temuannya juga banyak.

Tidak hanya soal pertumbuhan gereja, ada soal toleransi, ada soal kegiatan sosial gereja, ada soal gereja dan digital, macam-macam. Tapi dengan adanya pandemik 9 bulan terakhir, beberapa di antaranya tidak relevan lagi. karena perubahan yang begitu cepat.

Jadi kita ambil dalam buku yang pertama ini, dari hasil penelitian itu, moga-moga nanti ada buku-buku yang lain dari Pak Andi, tapi yang pertama adalah soal pertumbuhan gereja. Banyak variabel soal pertumbuhan gereja, kita pilih-pilih juga, enggak semua kita ambil. Kita hanya ambil 5 atau 6 variabel strategi, di antara sekian banyak yang, pertama, jelas korelasinya.

Yang kedua, praktikal untuk bisa di-follow up. Jadi gereja yang anggotanya cuma 40, atau 400, atau 4000, semua bisa mem-follow up hasil temuan yang sangat praktis ini. Jadi saya ingin, dan Pak Handi sudah katakan bahwa beberapa slide yang saya sampaikan hari ini, mungkin hanya mewakili sekitar 5% dari semua slide yang ada di buku. Nah, saya akan mulai menyampaikan bagian saya. dengan slide, jadi minta izin supaya saya bagi slide saya.

Jadi temanya adalah strategi pertumbuhan gereja. Pak Andi sudah menyampaikan ini kemarin. Kalau saudara ada pertanyaan metodologi segala macam, kemarin Pak Andi sudah membahasnya dengan sangat jelas.

Frame talk-nya, pola berpikirnya, seperti ini, kepemimpinan... akan mempengaruhi strategi, strategi mempengaruhi output-outputnya apa? Pertumbuhan gereja, khusus untuk buku ini.

Strategi gereja ada beberapa macam yang kita lihat korelasinya cukup kuat. Yang pertama, proses keterlibatan jemaah dalam pemuritan. Yang kedua, keterlibatan jemaah dalam melayani.

Ketiga, investasi dana PI, 10% dari income atau lebih. Yang keempat, alokasi dana untuk pelayanan anak dan remaja. Tujuannya apa? Mempersiapkan pemimpin masa depan.

10% atau lebih. Dan kemudian perintisan jemaat. Ada beberapa lagi, tapi kita fokus.

Dan saya tidak akan membahas kelima-limanya. Saya mungkin akan ambil tiga saja. Jadi saya akan membahas di slide berikutnya.

Kalau sudah punya bukunya, itu bab tiga, empat, dan lima. Saya ingin juga meyakinkan saudara bahwa Buku ini simple walaupun statistik semua, tapi simple untuk di follow up. Sehingga sudah mau memberi hadiah pendeta di desa, pendeta yang gerejanya kecil, besar, semua bisa memahami dengan mudah. Itu harapan kami. Ini slide tentang overall growth, pertumbuhan secara utuh ngeliat dari jemaat dewasa, jemaat pemuda, dan jemaat anak.

Ada tiga kelompok, kita kelompokkan. Anak itu di bawah 15 tahun, yang namanya pemuda itu mulai 15 sampai 24, dan yang dewasa itu 24 ke atas. Kalau kita lihat di sini, yang pertumbuhannya paling bagus di Indonesia itu jemaat anak. Dibandingkan yang remaja dan dibandingkan yang dewasa.

Nah kita bagi juga pertumbuhan dalam tiga kategori. Ada... yang warnanya purple, itu yang pertumbuhannya cepat.

Cepat itu artinya lebih dari 8% setahun. Karena kita lihat di Amerika yang namanya gereja bertumbuh dengan pesat, itu antara 5-12%, tengahnya 8%, jadi kita pakai 8%, pertumbuhannya pesat. Lihat saja di dewasa cuma 24,5%.

Di remajanya 38,4%. Dan di anak-anaknya hampir separohnya bertumbuh dengan cepat, lebih dari 8% setahun. Kemudian yang warna orange itu yang tidak bertumbuh atau bertumbuh di bawah atau sama dengan 1,3% per tahun.

Kenapa 1,3? Karena pertumbuhan penduduk Indonesia dari 2007 sampai 2017 adalah 1,3 persen. Jadi kalau gereja-gereja bertumbuhnya hanya 1,3 atau di bawah itu, artinya tidak bertumbuh atau bahkan berkurang.

Gereja yang bertumbuhnya antara 1,3 sampai 8 persen, kita anggap bertumbuh dengan skala menengah atau kecil. Jadi yang penting beritanya adalah, kalau digabungkan antara bertumbuh cepat dan bertumbuh sedang, jemaah dewasa kita ada 58 persen yang bertumbuh. Kalau digabungkan anak remaja dewasa di rata-rata, yang bertumbuh di Indonesia ada lebih dari 60 persen. Lah itu lebih bagus atau berbalik dengan data di Amerika. Belum lama ini, dua tahun yang lalu, ada riset di Amerika, dikerjakan dengan seribu pendeta, dan mendapati bahwa di Amerika gereja yang bertumbuh lebih dari 1,6 persen, itu jumlahnya hanya 40 persen.

Kita 60 persen. Jadi pertumbuhan di Indonesia dan mungkin di pading negara lain. Kita punya aset yang luar biasa.

Tuhan mengasihi bangsa ini dan gereja masih bertumbuh dengan lebih baik dibanding dengan Amerika. Kalau ini kita bagi per koridor, per wilayah di Indonesia, kita lihat yang paling banyak pertumbuhannya, ini jemaah dewasa, ada di Nusa Tenggara. Nusa Tenggara itu Bali dan NTT. Bali dan NTT, hanya satu gereja di NTP yang ikut, jadi kita... NTT dan Bali, pertumbuhannya paling tinggi.

Yang paling rendah pertumbuhannya, prosentase gereja yang bertumbuh, di Jawa, di luar Jabodetabek, tapi di Jawa. Sekedar untuk kita tahu di mana mereka ini berada. Kenapa? Itu pertanyaan yang menarik setelah ini. Nah kalau kita kaitkan, korelasi antara jemaat yang di atas 18 tahun, dengan sorry, jemaat dewasa di atas 25 tahun ke atas dengan mereka yang terlibat dalam pemuritan, maka kita lihat ada korelasi yang cukup kuat.

Kalau dia jemaatnya lebih dari 10% memuridkan, maka 67% dari antara mereka ini, jemaat yang memuridkan adalah jemaat yang bertumbuh. Kalau tidak memuridkan, hanya 52% yang bertumbuh. Jadi ada korelasi. Kira-kira 15 poin di sana bedanya yang cukup menarik untuk disimak. Strategi yang kedua itu soal volunteerism atau pelayanan, terlibat dalam pelayanan.

Kita pisahkan gereja-gereja yang mengatakan 10% lebih jemaatnya melayani, terlibat pelayanan di gereja secara rutin, dan mereka yang kurang dari 10%. Sekali lagi kita lihat 15% margin, 15 poin margin. Korelasi antara gereja-gereja yang melibatkan lebih dari 10% anggotanya melayani. Nah kalau sudah ikut yang kemarin, ini cocok dengan perkataannya Pak Rubin Adi dan Pak Jeffrey, di mana core dari segalanya adalah melibatkan jemaat untuk melayani.

Inti dari strategi pertumbuhan atau strategi gereja yang sehat adalah melibatkan sebanyak mungkin orang untuk melayani. Bukan hanya kelompok tertentu saja. Yang berikut, Tentang, tadi saya dengar sebelum acara ini Pak Gomar menyinggung soal acara tahun 1999 berdirinya JPAP, ketemu di sana jaringan peduli anak bangsa. Lagi kita lihat waktu itu ada teman saya Pak Mak yang menanyakan, berapa banyak sih gereja yang mengalokasikan 10% pendapatannya untuk generasi mendatang, untuk anak dan untuk remaja.

Di sini bisa kelihatan hanya 35 persen, hanya sepertiga, kita bicara soal bonus demografi, kita bicara soal masa depan bangsa, tapi hanya sepertiga gereja-gereja di Indonesia yang investasi lebih dari 10 persen pendapatannya bertahun. Yang lain mungkin investasi ke gedung atau yang lain saya tidak tahu. Tapi hanya sepertiga saja yang memberikan lebih dari 10 persen untuk masa depan.

bangsa masa depan gereja. Ada kaitannya apa tidak antara mengalokasikan dana untuk anak dan remaja dengan pertumbuhan gereja? Ternyata ada. Kita memberi kepada anak-anak jemaah dewasanya bertumbuh. Kita lihat mereka yang mengalokasikan lebih dari 10% dana untuk anak dan remaja, ternyata 68%-nya Hampir 70 persen itu gereja-gereja yang bertumbuh.

Jadi gereja yang mempedulikan, saya ingin garis bawah ini, banyak kali di masa lalu orang pertentangkan antara pertumbuhan angka dengan pertumbuhan... spiritualitas. Artinya angka atau spiritualitas.

Cuman penelitian buku ini, penelitian kita di PRC, dan buku ini mengatakan, kalau kita fokus ke pemuritan, kalau kita fokus ke pelayanan, melibatkan mereka pelayanan, kita fokus ke generasi mendatang, maka byproduct-nya adalah gereja bertumbuh. Jadi bukan lagi dua kutub yang berbeda, tetapi satu, mana prioritasnya. Kalau kita prioritaskan yang... memuridkan, melayani, investasi di anak-anak, maka 70% di antaranya adalah gereja yang bertumbuh. Saya masuk ke pasal 4 di gereja remaja dan pemuda.

Kalau kita lihat tadi slide yang ketiga, itu remaja dan pemuda itu paling bontok, paling sedikit gereja yang bertumbuh, kira-kira separuh-separuh. 53% gerejanya bertumbuh, jemaat remaja pemuda. Terus kita lihat di mana saja itu yang bertumbuh paling banyak, kembali Nusa Tenggara, NTT dan Bali, paling tinggi tingkat pertumbuhannya.

Paling bontot, paling banyak gereja yang tidak bertumbuh, remaja pemudanya di mana? Di Jawa lagi. Di luar Jabodetabek, di Jawa, hanya 41. Ini satu-satunya bar yang purple-nya lebih rendah daripada warna hijaunya. Dimana yang tidak bertumbuh lebih banyak daripada yang bertumbuh, itu jemaat remaja pemuda di Jawa.

Tapi ada yang menarik di balik ini, kalau kita kaitkan jemaat remaja pemuda dengan pemuritan, tetap ada korelasi yang kuat. Jemaat remaja pemuda yang lebih dari 10% anggotanya terlibat dalam pemuritan, 67,7% adalah jemaat remaja yang bertumbuh. Sedangkan mereka yang... kurang dari 10% terlibat dalam pendewasaan rohani, pemuritan, menolong orang lain bertumbuh ke arah Kristus, adalah hanya 46% yang bertumbuh. Nah saya ingin ajak ini yang paling menarik di sini, kita juga analisa dengan besar kecilnya jemaat.

Kita bagi tiga jemaat remaja pemuda yang di bawah 50, 51-100 gereja sedang, dan di atas 100. Kemudian kita krostabulasikan dengan keterlibatan mereka dalam pelayanan. Coba kita lihat gereja yang menengah, gereja yang sedang, yang jumlahnya tidak terlalu besar, antara 5-100 kurang lebih, dan 10% anggotanya terlibat pemuritan, 81,6% itu gereja yang bertumbuh. Artinya 4 dari 5 jemaat remaja pemuda yang 10%-nya terlibat pelayanan. Jumlah anggotanya tidak terlalu banyak, tapi juga tidak terlalu sedikit. Mengapanya ada di buku?

Saya tidak sempat akan jelaskan. Semua analisa mengapa begini ada di buku yang saudara bisa miliki malam hari ini. Tapi menarik, ini angka paling tinggi.

Keterlibatan anak muda, anak muda itu idealis, komraderi, loyal dengan teman-temannya, dan sangat cocok dengan jiwa anak muda. Mereka mau aksiun. Begitu diberi kesempatan, pertumbuhannya luar biasa.

Sekarang bagian hampir terakhir, jemaat anak. Jemaat anak, anak-anak di bawah 15 tahun dilibatkan dalam pemuritan. Kita bagi yang 10% anaknya terlibat, 10% atau lebih, atau dengan yang 10% atau kurang. Kita lihat sendiri, kalau jemaat anak yang di bawah 15 tahun, sekolah minggu ini, 10% atau lebih dilibatkan dalam proses pemuritan. entah komsel anak, entah apapun juga, 75% kira-kira, atau 3 dari 4 yang mengerjakan ini adalah sekolah minggu atau jemaat anak yang bertumbuh.

Ini kalau teori sudah melewati ambang batasnya untuk bisa dipercaya, 74,3%. Nah, kita nggak ingin cuma melihat tentang angka-angka saja, angka penting, statistik penting. Tapi kita juga ingin lihat gereja yang sehat. Jadi kita kembangkan ada 10 kriteria membangun gereja yang sehat.

Di antaranya ada faktor, tapi semua dari 10 ini masih dalam case program, intervensi, strategi, pelayanan, perintisan jemaat, alokasi dana, dan segala macam. Belum termasuk di dalamnya adalah soal manajemen, soal leadership, soal akuntabilitas. Soal proses, soal keuangan, soal digital, itu belum masuk di sini.

Jadi nanti kemudian hari kita ingin kembangkan yang lebih holistik lagi, tidak hanya dari sisi pelayanan sehatnya, tapi dari sisi organisasi. dan dari sisi-sisi yang lain, relationship dan yang lain. Ini ada dalam buku, jadi saya tidak akan jelaskan panjang lebar.

Slide saya yang terakhir, kalau dengan 10 kriteria tadi, kemudian kita golongkan dalam 3 golongan, saudara bisa lihat di kota hanya ada 23,9% gereja yang sehat. Ini belum bicara soal digital, belum bicara soal uang, belum bicara soal accountability. Sumber daya manusia, manajemen, dan segala macam.

Hanya program saja. Di desa, 15% saja yang sehat. Sudah lihat bahwa keseluruhan, tadi ada 60 gereja yang bertumbuh secara angka.

60% gereja bertumbuh secara angka, tapi yang sehat hanya sepertiganya. Kira-kira 20%. Belum tentu yang bertumbuh itu sehat.

Kalau dia bertumbuh-bertumbuh tapi tidak sehat, ya pertumbuhnya akan lama. Kemudian akan kemudian turun lagi dan makin banyak yang sakit dan segala macam. Jadi tugas kita kemudian adalah bagaimana mendorong ini menjadi pola pikir kita, bagaimana menyehatkan semua gereja, keluarga, komunitas kita. Saya percaya akan menunjang kepada sehatnya gereja dan sehatnya bangsa kita. Terima kasih, saya kembalikan.

Hai Mari kita sambut pendeta Gomar Gultom mth ketua persekutuan gereja-gereja di Indonesia malam Bapak Ibu sekalian Terima kasih Pak Bambang atas presentasinya dan diizinkan pertama-tama saya menyampaikan Selamat kepada BRC, Bilangan Research Center, atas penerbitan buku ini. Saya kira buku ini sangat menolong buat kita semua. Dan atas presentasi yang baru disampaikan tadi, tentu belum mengelaborasi seluruh isinya. Dan tentu tidak ada maksud kita malam ini untuk menyelesaikan semua bukunya.

Demikian nanti bukunya jadi tidak dibaca oleh... teman-teman semua sekalian. Oleh karenanya, mungkin kita hanya akan melihat di bagian-bagian yang rasa perlu mendapatkan rekanan.

Saya kira gereja-gereja di Indonesia layak dan sepatutnya menyampaikan terima kasih kepada BRC, karena melalui temuan-temuan ini, melalui penelitian ini, kita semua bisa berkata. Tadi Pak Bambang sudah mengungkapkan di mana titik-titik lemah kita dan di mana kita sebesungguhnya bisa bertumbuh lebih cepat. Ini semacam otokritik juga kalau membaca buku ini. Asal saja kita semua dengan lapang dada menerimanya dan tidak ada yang merasa dihakimi.

Ini saya kira jauh lah, berarti jauh dari niat untuk menghakimi. Ini semata saya kira membedah di mana posisi kita sekarang. Supaya kita bisa melihat arah mana ini pertumbuhan kita, perjalanan kita. Dan itu yang pertama saya kira apresiasi.

Dan apresiasi yang kedua, saya kira buku ini, hasil-hasil penelitian ini, juga bisa menjadi sebuah pijakan bagi kita semua untuk menyusun rencana gereja-gereja kita. Baik di gereja lokal, di sinodal, maupun dalam lingkungan ekumenis. Selama ini gereja-gereja kita banyak. Menyusun program tidak berdasarkan data yang ada, tidak berdasarkan analisis sosial yang kutu. Saya kira bilangan research center ini membuat sebuah tradisi baru saya kira buat kita bergerja.

Agar kita menyusun program, melaksanakan kegiatan-kegiatan dan aktivitas gereja itu mestinya berdasar pada data dan data itu dianalisis. Tentunya melalui sebuah analisa sosial. Dan dengan itulah kita menyusun rencanaan strategis bagi gereja kita. Kalau ini dilakukan, maka saya kira gereja-gereja kita akan lebih sehat. Tadi disebutkan oleh Pak Bambang, gereja-gereja kita bertumbuh, tapi kesehatannya rendah sekali ternyata.

Saya dari paparan Pak Bambang dan juga melihat isi buku ini, saya melihat... Cukup menggelitik bahwa pertumbuhan yang lebih besar itu karena perpindahan gereja. Ini sebuah pelajaran yang sangat berharga, berarti gereja-gereja yang warganya eksodus, keluar dari gerejanya tentu. Sehingga kita bisa melihat bahwa ada sesuatu yang salah dengan perjalanan gereja kita, sehingga warga harus pindah ke tempat. Temuan-temuan ini juga cukup memprihatinkan karena bagian terbesar dari segi kuantitas gereja-gereja kita itu lebih karena pindah gereja, atau karena anaknya, atau pertumbuhan biologis, dan karena perkawinan.

Artinya, Karena pekabaran Injil itu menjadi sangat kecil. Itu yang paling kecil. Tadi kita, Bapak-Ibu katakan dibandingkan dengan negara-negara lain, pertumbuhan gereja kita lebih menggembirakan. Tapi kalau dilihat pertumbuhannya ternyata yang penginjilan itu justru paling bawah.

Masalah 1,7 persen. Kurang dari 2 persen. Dibandingkan dengan...

walaupun memang ada konversi 6,7% yang sayangnya tidak dijelaskan ini konversi ini kenapa terjadi konversi nanti kita punya pendapat sendiri tentang ini tetapi juga ada yang berkurang warga kita 8,8% di desa dan 1,5% ini juga menjadi perajaran yang sangat berharga saya kira Nah karena perkawinan itu ada warga bertumbuh tetapi juga ada yang berkurang. Itu 16,8% dan 10% di kota dan desa. Nah yang menarik juga buat saya dari papanan Pak Bambang tadi, juga dari isi buku ini, beberapa yang disebut faktor penunjang bagi pertumbuhan gereja itu ternyata kurang diperhatikan oleh gereja-gereja itu. Misal pemuritan yang disebut.

Partisipasi umat, partisipasi anak-anak dalam pemerintahan, investasi dana dalam pekabaran injil, investasi pekat-pekat para pekerja gereja. Ternyata angka-angkanya menunjukkan minimnya perhatian gereja terhadap kita. Namun keperhatian saya yang paling mendalam, tadi sudah diungkapkan oleh Pak Bambang, ternyata gereja, saya sudah sebutkan tadi, gereja-gereja kita tidak sehat.

hanya 18,6% yang sehat. Padahal kriteria sehat yang dipakai oleh penelitian ini masih berkutak, paling tidak menurut saya, masih berkutak di dinamika internal gereja. Dari 10 kriteria yang disampaikan, ada 10 kriteria ini, kita lihat, 9 diantaranya itu lebih merupakan persoalan-persoalan internal gereja, dinamikanya. Baru yang ke-10 dia menyangkut bagaimana kita keluar. Nah ini tentu membawa pertanyaan, apa dan untuk apa gereja hadir di Indonesia?

Apakah kita hadir hanya untuk diri kita? Artinya, yang saya mau katakan di sini, keprihatinannya adalah, untuk yang mendasar di internal saja, kita masih problem. masih banyak kekurangan kita di sana ini, apalagi kalau kita nanti berbicara tentang peran kita di luar. Ini menjadi pertanyaan besar, dan ini saya pikir juga menggoda kita, paling tidak saya, untuk meminta BRC kalau boleh penelitian berikut memasukkan unsur ini. Artinya hasil penelitian ini menunjukkan persoalan internal saja pun kita sudah punya problem besar.

Apalagi? Kalau di situ saja kita belum selesai masalahnya, apalagi melihat tugas panggilan kita. Tidak tentu ada problem.

Padahal kita semua gereja ada untuk semua. Gereja ada bukan hanya untuk keluarga gereja. Bukan hanya buat orang yang ada di sekeliling gereja. Gereja hadir justru untuk dunia ini.

Yohanes 15, 16, aku memberikan kalian untuk pergi. keluar untuk berbuah, dan buahnya itu menetap. Nah, kita gereja untuk semua, untuk pergi keluar, untuk berbuah, sehingga kalau gereja bertumbuh, mestinya di mana Injil diberitakan, di mana gereja hadir, dari situ mesti hadir daya penubusan Kristus. Bahaya penelusuran Kristus yang saya maksud adalah yang buruk menjadi baik, yang tidak adil menjadi adil, yang bengkok diluruskan, kebencian diganti kasih sayang, dendam diganti belas kasihan, yang lemah diberdayakan, dan sebagainya. Nah, ini menjadi penting karena pertumbuhan gereja harus kita lihat adalah dalam kerangka gereja hadir di tengah-tengah untuk diri.

Sebabnya saya mau menawarkan juga aspek lain dari pertumbuhan gereja yang selama ini kita agak kurang sentuh di dalam percakapan-percakapan tentang gereja. Mestinya yang dipentingkan bukan jumlah gereja saja, jumlah gereja penting, jumlah umat gereja, tapi mestinya tidak hanya itu yang kita pentingkan, tetapi juga pada orientasi hidup yang berbasiskan kebersamaan, solidaritas, dan kesetia kawanan terhadap realitas yang mengelilingi gereja. Dengan demikian, gereja sebagai institusi bukan.

tujuan, karena kalau gereja menjadi tujuan, dia akan mudah kehilangan jati diri dan menariknya sebagai entitas pembawa kedamaian dan keadilan. Sehingga bisa kita katakan, gereja mestinya bukan menjadi orientasi hidup, melainkan untuk menjadikan hidup ini berorientasi pada kebenaran. Nah itu yang bisa saya komentari dari dari buku yang sangat bagus sebagai introspeksi kepada diri saya sebagai gereja oleh karena itu saya menyarankan kepada para pimpinan gereja para pengerja gereja untuk menindaklanjuti hasil-hasil penelitian ini yang sangat berharga ini yang sangat banyak mestinya menohok kita, mengkritik kita Agar temuan-temuan yang ada itu perlu masuk dalam agenda geridara.

Ada pemuritan, ada partisipasi umat, alokasi dana, perhatian terhadap anak, pelibatan anak dalam pemuritan, remaja dan pemuda, jumlah umat pun termasuk. Karena ternyata terlalu besar jumlahnya juga tidak perlu harus dikurangi, tapi barangkali kelompok tumbuh bersama, kelompok sel perlu lebih diinginkan, seperti itu. Ini disebutkan antara lima... satu sampai seratus itu yang paling ideal dari hal ini. Jadi, kiranya hal ini bisa menjadi bagian dari agenda.

Yang kedua, rekomendasi saya adalah, khusus saya, para peneliti dan penelitian, bolehkah juga penelitian lanjutan seputar keterlibatan sosial gereja dan dampak kinerja menjadi keempat. Karena memang pertumbuhan gereja itu. itu harus diarahkan ke sana juga. Karena kesatuan kita sebagai gereja tumbuh adalah agar dunia ini dipercaya karena gereja ada dan bermanfaat. Sekian yang bisa saya sampaikan, Pak Handi, Pak Ibu sekalian.

Terima kasih. Hai Mari kita sambung pendeta dokter Daniel Ronda ketua sinode gereja Kemah Injil Indonesia Selamat malam Bapak Ibu saudara-saudara semua terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk meresponi hasil survei dari buku yang sangat luar biasa. Dan pertama-tama saya berterima kasih atas BRC, Pak Bambang dan Pak Handi yang telah mengundang sebagai penanggap juga dalam acara ini. Dan juga tentunya kepada Bapak Gomar yang telah memberikan insight yang berharga.

sebagai seorang yang memimpin gereja-gereja yang ada di Indonesia dalam gerakan perarakan okumenik. Dan saya sungguh senang karena saya bisa memiliki buku ini dan saya mendorong semua pemimpin gereja untuk memiliki buku ini karena pemimpin yang luar biasa, yang pemimpin yang dipakai Tuhan seperti Musa dan semuanya, dalam masa lalu mereka harus Mengutus pengintai dulu untuk menguasai sebuah daerah dan kita perlu juga memiliki mata-mata yaitu hasil survei untuk kita menjadi lebih efektif. Sebagai seorang dosen juga, pengajar di STT bidang kepemimpinan dan pengembalaan dan berhubungan dengan pertumbuhan gereja, sangat sungguh mendorong kita semua memiliki buku ini.

Dan saya senang juga karena saya sebagai pimpinan sinode yang 70 persennya ada di desa-desa, 2.500an gereja yang ada dari Medan sampai Papua, dan saya senang. bisa membagikan tapi tentu saya tidak membagikan pengalaman internal gereja tetapi perjumpaan saya juga dengan gereja-gereja lain menjadi suatu pengalaman dalam diri yang saya tuangkan untuk meresponi hasil survei dari buku ini. Bapak-Ibu yang terkasih setelah membaca hasil survei dan analisis yang dilakukan tentang menemukan faktor penorong pertumbuhan gereja di Indonesia ya?

Maka saya ingin memberikan refleksi dan mungkin sedikit solusi dalam 10 menit ini bagaimana kita menjadi gereja yang sehat dan kemudian berdampak pada pertumbuhan. Mari kita melihat dari masalah yang terjadi dalam pengalaman sebagai pemimpin gereja. Saya menemukan dari survei tentang peranan sinode, maka permasalahannya adalah manajemen organisasi kita. Yang ternyata sudah kuno dan kaku. Saya ingin menjelaskan sedikit saja di waktu yang terbatas ini.

Kita tahu manajemen modern berbicara tentang bagaimana perform menjadi sesuatu yang efektif, yang menghasilkan, dan hidup. Tetapi kemudian gereja lalu membuat begitu banyak aturan, sehingga walaupun... Mereka sudah tidak efektif, mereka sudah tidak bertumbuh, tetapi mereka lebih mempertahankan aturan, peraturan tata gereja mereka ketimbang memeriksa kembali apakah ini sudah efektif. Dan mereka rela mengorbankan waktu mereka berjam-jam, berhari-hari untuk memperdebatkan sesuatu. aturan-aturan yang begitu kaku dan birokratis, dan mereka lupa bahwa semua itu sudah tidak efektif lagi.

Tentu kita bisa elaborasi lebih jauh dan lebih banyak lagi nanti. Tetapi ini yang menjadi masalah. Yang kedua adalah masalah berkaca dari penemuan buku ini tentang pentingnya kegerakan Jemaat terlibat dalam pelayanan, justru yang terjadi di gereja saat ini adalah klergiisme.

Dimana justru ketika misalnya sebagai dalam tradisikan gereja injili, kita berhasil membuat gerakan kaum awam terlibat dalam penginjilan, tetapi lama-lama kemudian para pemimpin gereja mulai menarik. Semua kegerakan itu menjadi gerakan membatasi semua. ke pendeta. Jadi semua bertumpu kegiatan gereja pada pendeta. Dan akhirnya saya mendengar seringkali ketika saya berpergian kemana-mana mendengar istilah pendeta urusannya di gereja memberikan makanan rohani kami majelis hanya untuk pelayanan meja di kisah para rasul pasal 6. Padahal mereka tidak membaca seluruh kisah para rasul yang mengerti bahwa itu kegerakan pelayanan kaum awam.

Di gereja-gereja mainstream sebenarnya sudah banyak tulisan tentang pentingnya kegerakan kaum awam, banyak diterbitkan buku BPK, dan saya sangat senang terinspirasi dari situ. Tetapi seringkali gereja telah memusatkan kegiatannya hanya kepada pendeta. Sehingga akhirnya kita kena dampaknya hari ini, banyak gereja-gereja di desa, di daerah, dan di berbagai tempat mengandalkan pendeta dan sekelompok kecil elit untuk melayani dan melakukan semua pelayanan gereja di gereja. Dan akhirnya kita menemukan hasil di survei ini bagaimana gereja tidak mengalami pertumbuhan. Kemudian yang ketiga yang saya melihat adalah gereja yang berfokus kepada pembangunan fisik, bahkan bergaya tanda peti Eropa.

Dan hari ini di desa-desa, di daerah-daerah dimana saja saya pergi berkunjung. Karena memang faktor otonomi, faktor desentralisasi, faktor di mana pemerintah daerah ingin memanjakan umat, mungkin ada banyak umat Kristen di sana. Akhirnya proposal tentang pembangunan diberikan dan orang berlomba-lomba membangun fisik dengan gaya Eropa tetapi tidak fungsional lagi. Sehingga ini yang saya mau fokuskan.

Akhirnya... Tempat-tempat, misalnya sarana untuk sekolah minggu, sarana untuk pelayanan pemuri dan lemah, kurang diada. Gereja-gereja bisa indah di daerah-daerah, tetapi kita lihat hari minggu, anak-anak sekolah minggu beribadah dan ada di pastori gereja, ada di bawah pohon, dan sebagainya.

Mereka hanya fokus kepada gedung untuk simbol. Nah ini yang menjadi masalah dari mengapa gereja di desa misalnya dari temuan buku ini tidak mengalami pertumbuhan. Karena mereka terpaku kepada pertumbuhan fisik.

Dan ini yang menjadi energi mereka dihabiskan untuk membangun katedral-katedral yang mungkin lama akan menjadi museum di kemudian hari. Kemudian yang tentu banyak tapi karena waktu. Maka pemimpin-pemimpin tentu hari ini merasa jenuh dan kewalahan menghadapi situasi kondisi di saat pandemi seperti ini, overwhelmed.

Kalau kita membandingkan survei yang dilakukan oleh Barna Group, memang kita menemukan begitu banyak hamba Tuhan merasa tidak mampu lagi menangani kondisi ini. Di mana pandemi lockdown ini berkepanjangan dan berdampak kepada kehidupan ekonomi dan kesehatan mental jemaat. Ini menjadi tantangan.

Nah bagaimana menuju gereja yang sehat? Nah tentu ini hanya simple. Ada banyak hal dari perspektif yang bisa kita garap. Tetapi yang pertama mari kita memeriksa kembali manajemen organisasi gereja.

Apakah kita sudah mampu tetap gereja itu efektif menghadapi perubahan besar ini? Saya tertarik dengan Fred Moon Malik yang sangat populer di Eropa. bagaimana ia mengajak tentang managing, performing, and living. Dan saya tertarik dengan konsep tentang perlunya organisasi itu hidup dan menunjukkan performance. Tentu nanti akan dibahas dalam konteks yang lain.

Tetapi mari kita memeriksa apakah organisasi kita sudah efektif atau kita mempertahankan aturan atas nama aturan sehingga gereja dibiarkan mati dan tidak menjadi efektif. Kemudian pemimpin gereja hari ini perlu melakukan pendekatan personal yang menyentuh, engagement daripada atraksi. Hari ini banyak uang gereja dihabiskan untuk KKR, untuk perayaan Natal, perayaan ulang tahun, dan bahkan perayaan Natal bisa ratusan juta di sebuah gereja mengundang artis dan sebagainya.

Tetapi akhirnya habis dalam satu hari, habis dalam dua jam. Dan tidak ada engagement yang bersifat harian, mingguan, dan bulanan kepada jemaat. Saya senang dengan seorang ahli kepemimpinan gereja, Carrie Newhop, yang sangat populer sekarang di Amerika Utara. Dia mengatakan, If you want your church to grow, stop trying to attract people, start trying to engage people. Dan inilah yang dimaksudkan dalam buku di Kunci Pertumbuhan Gereja, tentang pentingnya pemuridan, tentang pentingnya...

Melakukan kegiatan-kegiatan kelompok-kelompok, sektor-sektor apapun namanya di gereja kita masing-masing untuk melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih menyentuh. Kemudian yang berikutnya, dua terakhir ini adalah orientasi kepada pengembangan jemaat dalam pelayanan. Bukan hanya kepada fisik.

Ingat, buildings don't reach people. People reach people. Nah sudah waktunya kita mengalokasikan dana kita dan semuanya kepada pengembangan manusia.

Pelayanan seutuhnya. Bukan hanya semata-mata menghabiskan energi kita kepada pelayanan atau pembangunan fisik semata-mata. Saya menemukan ada banyak gereja yang fisiknya begitu indah.

Waktu saya masuk di gereja itu hanya 30-40. Dari kapasitas 300 kursi yang terisi hanya sedikit. Karena mereka hanya berfokus pada buildings dan bukan kepada menjangkau orang. Dan harus kita melibatkan sebanyak mungkin orang menjangkau orang lain.

Lalu panggilan yang terakhir yang perlu menurut saya gereja yang sehat alam. Panggilan gereja buka daerah baru. Ini paling penting sekali. Dan kalau tadi Pak Gomar sudah menyebut tentang perpindahan dari gereja ke gereja yang lain, ini panggilan dan tantangan tersendiri. Untuk gereja membuka daerah-daerah ladang baru dalam pelayanan, melakukan pendekatan baru secara holistik.

Ini yang saya senang dari Pak Gomar tadi, mari kita bicara tentang pendekatan yang baru, bukan pendekatan yang hanya pendekatan tradisional, peningkatan jemaat dalam pemuridan, semuanya ada di dalam gedung. Kita maru keluar secara holistik. Dan penting sekali, ada disebutkan dalam buku ini tentang George Hunter ketiga, dosen saya di S.W.T. Seminary, ya pentingnya mengatakan kita menggarap nominal Christian. Artinya ternyata ladang misi yang terbesar adalah di kantong-kantong Kristen sendiri, yang sama sekali mungkin sekarang, mungkin tidak pernah mendengar sama sekali tentang kekristenan.

Dan tentunya... Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita mendengarkan hasil riset kemarin, pendidikan yang berkelanjutan bagi hamba-hamba Tuhan sendiri. Karena banyak hamba Tuhan yang tamatan dari S1 ketika dia kembali ke daerah pelayanan mereka, mereka tidak punya chance, kesempatan untuk melakukan pelayanan yang berkelanjutan.

Inilah yang kami harapkan dapat membuat gereja mengalami pertumbuhan dan menjadi berkat bagi bangsa dan negara. Itu yang saya bisa berikan pada malam hari ini. Tuhan memberkati.

Luar biasa. Jadi Bapak-Ibu sekalian, kita sudah mendengarkan presentasi dari Pak Pembang Budianto, dan juga dari Pak Kumar, kemudian dari Pak Daniel. Nah, perkenalkan saya untuk selama 20 menit sebelum kita masukin tanya-jawab.

Jadi saya ingatkan seperti tadi Alan mengingatkan kita semua, silakan menuliskan pertanyaan Bapak-Ibu sekalian. Walaupun tidak semua pertanyaan bisa dijawab, tapi mudah-mudahan beberapa pertanyaan yang memiliki kesamaan nanti kita bisa kelompokkan dan dijawab oleh tiga presenter kita. Nah saya mulai dulu, kita akan diskusi dengan Pak Tuma dan Pak Beneranda, dan lebih dalam lagi untuk beberapa hal.

Untuk pertama kali, saya ingin menyampaikan pertanyaan pendalaman kepada Bapak Gomar Gultom. Pak Gomar Gultom, kemarin kita waktu seminar ada salah satu variable kepemimpinan yang berhubungan dengan dukungan sinode. Ternyata sinode yang memberikan dukungan dan ternyata memberikan hasil survei menunjukkan bahwa kemungkinan gereja bertumbuh juga lebih besar. Dan sama seperti Bapak...

sampaikan di presentasi pada malam hari ini pentingnya kebersamaan. Dan kita mulai dengan hal yang internal lebih dahulu, nanti pertanyaan kedua adalah berhubungan dengan eksternal yang sudah Bapak fokuskan pada malam hari ini. Pak, tidak kira kalau konkretnya Pak, dukungan sinode BRC mengatakan, oh ya ada pengaruhnya.

Terutama di gereja-gereja mainstream Pak. Kalau dukungan sinode itu besar, dukungan sinode itu kecil, perbedaan besar dan kecil itu paling banyak berpengaruh. adalah di gereja-gereja mainstream. Kira-kira bentuk dukungan konkretnya menurut Bapak Kumar, kira-kira bentuknya apa? Apakah dukungan human resources, apakah dukungan sistem, dukungan teknologi, dukungan yang berhubungan dengan relationship, persatuan, dan sebagainya.

Silahkan Pak Kumar. Terima kasih Pak Hendy. Dari semua unsur-unsur yang disebutkan tadi, saya kira semua dibutuhkan ya.

dukungan dari Sinode, apalagi disebutkan tadi secara khusus untuk gereja-gereja mainstream. Cuman memang menurut temat saya, relationship, keuangan, program, dan sebagainya itu mesti lebih banyak muncul dari gereja-gereja lokal. Sehingga Sinode hendaknya memberikan otoritas yang lebih besar lagi kepada jemaat lokal.

Kecenderungan di gereja-gereja mainstream, terutama yang Episkopal, sinodal itu memang semuanya bertumpu di sinode dan itu sangat melemahkan dalam rangka pertumbuhan. Dunia digital sekarang ini mengajarkan kepada kita bahwa kekuasaan pusat informasi itu nggak bisa lagi. Sekarang terdistribusi. Terdistribusi kepada pemegang gadget.

Jadi jangan bermimpi lagi kantor-kantor Sino-D akan menjadi pusat perhatian, akan menjadi pusat informasi, bahkan juga akan menjadi pusat pengajaran. Semua sekarang terdistribusi. Dunia digital ini mengajarkan itu. Oleh karena itu, menurut saya gereja-gereja sinode yang masih menerapkan secara tetap dan kaku episkopal sinode akan makin sulit berhadapan dengan perkembangan masyarakat yang sedang bergerak dalam proses demokrasi. Saya menyaksikan gereja-gereja di Korea misalnya, di mana program-program kesaksian dan perkembangan Ransosial gereja dan lain-lain itu bertumpu justru di jemaat lokal.

Di Indonesia ini sekarang ada lebih lima ratusan evangelis dari Korea. Sekitar lebih dari lima ratus orang evangelis dari Korea. Dan mereka itu tidak diutus oleh sinode.

Mereka itu diutus oleh jemaat lokal. Oleh karena itu, pada hemat saya, sinode cukuplah dalam kemampuan mem... dalam fasilitasi dan motivasi.

Tentu human resources dalam artian pemimpin-pemimpin. Karena saya selalu mengingatkan sentralisasi visi oke di sini, tapi harus ada desentralisasi visi. Sekali lagi, sentralisasi visi. Kebijakan saya yang HKBP akan sulit menerima ini, tapi kalau tidak berubah, akan ditinggal.

Dan tanda-tanda kearah itu sudah terlihat. Saya melihat justru buku ini, perhasil penelitian ini, makin mendukung itu. Mendukung pernyataannya harus berubah.

Kearah yang lebih partisipatif, kearah yang lebih demokrasi. Saya kira itu pandangan saya, Pak. Terima kasih banyak Pak Komar Luar biasa Jadi Bapak Salian, dukungan sinode itu penting Tapi terutama dalam konteks visi Mengingatkan akan calling mereka Tapi dalam jangka panjang Setiap gereja-gereja lokal perlu adanya Empowerment dan juga desentralisasi Dan inilah bagaimana juga Sinode-sinode bisa memberikan Pergerakan arah ke sana Pak Daniel sekarang Pak Daniel Pak Daniel tadi salah satu keyword yang menarik pada malam hari ini adalah Birokrasi, itu merupakan penghambat.

Karena merupakan esensi daripada manajemen gereja yang profesional adalah anti-birokrasi. Memang kenyataan hari ini banyak anak muda dengan melakukan startup yang menghilangkan begitu banyak birokrasi tiba-tiba juga bertumbuh, sama seperti startup dunia startup sekarang. Mereka anti-birokrasi. Pak, biasanya kalau gereja itu apa, Pak? Mereka meeting, investasi untuk beli, investasi untuk media sosial, untuk beli LED saja, bisa seminggu, bisa sebulan, Pak.

Bisa 3 bulan baru di-approve itu Pak, meeting majelisnya. Ongkos untuk ngasih makan majelis dan hamba Tuhan. Dan biaya meetingnya lebih mahal daripada biaya laptop dan LED-nya.

Nah sekarang Pak, tadi Pak Bambang mengatakan ada beberapa variable yang penting yaitu alah dana mengenai dana pengabaran inzir, investasi anak dan remaja. Pengalaman Bapak dengan 2.500 gereja di seluruh Indonesia kira-kira seperti apa Pak? Bagaimana mengatasi birokrasi dalam konteks keputusan perintisan gereja, dana PI?

dan kemudian juga invitasi untuk anak dan remaja. Silahkan Pak Daniel. Baik, saya memang melihat setelah saya lama di dunia pendidikan, 26 tahun di dunia pendidikan teologi dan saya baru 4 tahun di gereja dan baru belajar dan memang menemukan begitu besar hambatan dan saya sangat setuju bahwa hari ini gereja-gereja lokal yang harus kita perkuat Kita harus ke sana untuk memperkuat mereka.

Dalam konteks hubungan dengan dana misi dan sebagainya, kami menemukan justru support mereka untuk pelayanan, kami memiliki pelayanan penanaman gereja dan support mission ke luar negeri, baik pelayanan diaspora ke Hong Kong, Taiwan maupun ke Myanmar dan sebagainya. Memang jemaat-jemaat lokal ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa. Dan itulah yang kita sekarang, bagi saya dalam 4 tahun kepemimpinan ini, saya mengubah sistem semua ke pusat, tapi sekarang ke memberdayakan jemaat lokal.

Dan begitu pula dengan gereja yang pelayanan anak dan remaja. Kalau terus dari komando, lama sekali visi itu tiba di bawah. Dan lama sekali terjadi pergerakan. Sekarang kami membuat semacam... pergerakan ke jemaat-jemaat lokal tentang gerakan Ramah Anak, gereja Ramah Anak.

Gereja Ramah Anak inilah yang kita kerjakan hari ini dan telah direspon dan memang sempat mati ketika kami sempat terhenti gara-gara pandemik, tetapi kita berpindah ke webinar, tetapi gereja Ramah Anak ini menjadi kemudian fokus kita dan mulai timbul kesadaran. Karena seperti yang saya katakan tadi, ketika kita melihat mau bicara pelayanan anak yang bermutu, tetapi ketika majelis fokus kepada gedung gereja gaya Eropa, tidak ada sempat untuk membangun fasilitas gedung sekolah minggu, sama sekali tidak ada, terpaksa dibawa pohon mereka. Padahal di pedalaman, di tempat kami ada satu gereja yang memiliki anak sampai seribu-dua ribu. Tapi mereka hanya di gedung saja yang besar, satu kalikus. Lalu dipisahkan di pohon-pohon, di pastori-pastori, dan sebagainya.

Dan ini menjadi panggilan yang perlu. Ternyata jemaat lokal sebenarnya punya resursi besar sekali. Dan kita tidak perlu bawa dia ke atas, tetapi kita perlu tinggal menggerakkan mereka untuk melakukan pelayanan ini. Saya rasa itu, Pak.

Wah, luar biasa. Saya rasa cukup jelas ya. Jadi teman-teman, apa yang saya mau sampaikan Pak Daniel? Saya kembali kepada Pak Gomar untuk pertanyaan kedua.

Pak, sekarang berhubungan dengan hal-hal eksternal yang Bapak sudah sorotin pada malam hari ini. Misalnya Pak, untuk perintisan jemaat yang juga menjadi salah satu variable temuan yang disampaikan oleh Pak Pembang Budianto. Sebagai salah satu variable yang penting untuk membuat peluang gereja itu bisa lebih bertumbuh. Bagaimana tantangan gereja dalam hal toleransi? di berbagai daerah di Indonesia dalam konteks perintisan jemaat, perintisan gereja.

Banyak gereja yang melakukan perintisan, tapi predisi Bapak ke depan seperti apa? Tentunya salah satu tantangan kita adalah masalah toleransi. Dan kemudian juga bisa disambung, apakah saran Bapak soal aktivitas sosial gereja, kebersamaan itu, itu menjadi merupakan hal yang positif bagi perintisan jemaat tidak Pak? Jadi ada dua perspektif mengenai masalah tantangan toleransi dan sehubungan dengan presentasi Bapak mengenai hal. sosial, gereja perlu terlipat lebih banyak sosial, bagaimana dengan konteks perintisan gereja di masa mendatang?

Ya, makasih Pak. Kalau perintisan gereja ini kan sebetulnya kita bisa berkaca dari jemaat mula-mula. Jemaat mula-mula itu kan ada pada kondisi sebetulnya tidak terlalu mudah. Kurang lebih sama lah dengan kita sekarang menghadapi masyarakat intoleran gitu. Kalau saya baca di kisah 2 ini, apa yang menonjol, disitu disebutkan bertambah-tambahlah jumlah mereka.

Makin hari makin bertambah jumlah mereka. Ternyata cara hidup jemaat itu yang membuat pertambahan. Jadi cara jemaatnya seperti apa? Air and sharing. Jadi barangkali...

Saya khawatir kita ini kurang percaya pada kekuatan roh kudus. Bahwa dengan cara hidup yang care and sharing itu, peduli pada sekitar, kita sesama-sama, berbagi satu sama lain, itu akan, kalau saudara-saudara kita yang mengalami, orang akan mendapatkan hidayah. Saya masih percaya pada... kekuatan koeksisten hidup bersama dengan orang lain yang saling membantu dan itu akan menunggu kehidupan Indonesia tetapi harus dicatat pentingnya care and sharing itu terutama bukan demi pertumbuhan umat, arti kuantitas, tetapi Lebih karena care and sharing itu adalah hakikat gereja.

Itu memang hakikat gereja. Bahwa karena itu bermakna bagi sekitar, sebagai garan dan terang, roh Tuhan akan bekerja. Jangan dibalik gitu. Maksud saya, jangan kuantitas, pertambahan kuantitas itu yang menjadi tujuan yang utama. Tapi memang...

care and sharing itu, cara hidup berjemaah itu memang itulah kekat kita kalau itu kita lakukan, saya gak melihat bahwa intoleransi akan menjadi apa Intoleransi akan dengan Sendirinya teratasi dengan koeksisten Tetapi Harus saya katakan juga bahwa Intoleransi itu kan tidak Unggal penyebab Ada banyak Ada faktor kebijakan negara Yang kurang Untuk Reaksi terhadap Intoleransi juga bisa reaksi Ekonomi yang intoleran Dan bisa juga reaksi terhadap Umat lain yang tidak toleran Intoleransi itu juga bisa begitu Itu penelitian Sidney Jones Mengatakan itu terhadap intoleransi Yang terjadi di Bekasi Itu merupakan reaksi terhadap Kelompok-kelompok Kristen yang intoleran Penelitian Oleh karena itu, sekali lagi saya menekankan pentingnya dalam kerangka pembukaan gereja ini, gereja hadir bagi sekitar sebagai dalam rangka persekutuan yang peduli dan berbagi. Yang kedua tadi soal kebersamaan, saya katakan tadi penekanan di jemaat-jemaat lokal. Karena memang perjanjian baru juga.

Bukan mengenal Sinode sebetulnya, yang ada ya Jemaat Lokal. Kebersamaan gereja-gereja di Jemaat Lokal, di satu-satu wilayah itu juga menjadi penting. Membang hanya kebersamaan di lingkup Sinode. Jadi dikotomi ekumenikal atau mainstream dengan pentatastal, dengan angelikal, tidak relevan lagi. Jadi gereja yang benar itu harus ekumenikal.

Harus pentakostal, harus Evangelical sekaligus. Kalau hanya salah satu, dia nggak benar untuk gereja. Kan gereja harus Evangelical. Harus memberitakan Injil.

Harus pentakostal. Harus mengandalkan roh kudus. Harus ekumenikal. Harus bersatu. Kebersamaan itu menjadi penting.

Dan Yesus mendoakan itu dalam kisah Yohanes 7. Supaya mereka menjadi satu. agar dunia percaya. Kalau kita nggak bersatu, ya jangan harap.

Saya kira itu strategi yang bisa kita temukan. Baik, Pak Gomar. Luar biasa.

Ayo semua audiens, kita kasih tanda emulitik tepuk tangan nih. Jadi caring and sharing. Sebenarnya Anda tidak perlu memikirkan bagaimana gereja itu nanti bertumbuh seperti apapun, perintisan cemaat, perintisan gereja. Tapi hakikatnya kalau kita memiliki hati yang caring and sharing. Dan Tuhan juga yang memberikan pertumbuhannya.

Dan bahkan intoleransi itu sendiri pun nanti bisa terkikis oleh karena sifat-sifat Kristus yang terlihat dari para hamba-hambanya. Ibu sekalian, saya masih menunggu juga pertanyaan-pertanyaan. Silahkan ditulis. Seperti tadi Pak Nitya mengingatkan, satu pertanyaan sebelum kita masuk Q&A kepada Pak Daniel. Pak Daniel, tadi ada satu kata yang menarik dari Pak Daniel adalah engagement.

Tentunya juga sangat inline sekali dengan penelitian daripada PRC, variable proses pemuritan dan juga jemaat yang melayani adalah dua variable yang sangat penting untuk membuat pertumbuhan gereja, Pak. Dan dalam konteks dengan manajemen, Pak, kira-kira manajemen pemuritan yang efektif yang bisa menghasilkan engagement itu kira-kira seperti apa? Bapak bisa memberikan contoh-contoh praktis sebagai ketuasi nodenya, Pak. Baik. Terima kasih Pak Andi.

Saya menjawab secara singkat mungkin teman-teman sudah mau bertanya. Tapi saya senang karena engagement itu penting sekali. Karena memang dalam disrupsi teknologi sekarang seperti ini, kita terdiskoneksi satu dengan yang lain.

Dan memang pemuridan dengan bentuk-bentuknya sesuai DNA gereja masing-masing, kita tidak bisa membuat seragam. Tetapi kelompok-kelompok kecil, namanya apapun, DETSKA, SEL, rayon, sektor, apapun, sangat penting dikelola dengan baik. Memang manajemen pengelolaan ini perlu dikelola secara bersama-sama. Jangan diserahkan kepada pendeta saja karena dia kewalahan. Sebagai gembala menyiapkan materi pun dia kewalahan dengan kesibukan yang begitu luar biasa.

Tapi perlu ditata, dikelola dengan begitu rupa, sehingga bahkan hari ini saya lihat ada gereja. Termasuk Pak, siapa namanya, Pak Jeffrey Rahmat kemarin, ada aplikasi di Google untuk mereka bersekutu dalam DEN. Saya rasa dalam pengalaman kami di gereja-gereja, mereka memang tidak mengenal kelompok-kelompok sel, tetapi sektor atau kelompok doa, kelompok-kelompok di daerah-daerah, semua itu tetap kami mau perkuat mereka menjadi sesuatu yang...

Prinsip manajemen itu adalah bagaimana ada kehidupan di dalamnya. Dan ada sesuatu yang membuat orang tertarik datang, dan tentu pertumbuhan adalah sebuah akibat. Tetapi pemuridan yang hidup.

Banyak sekali sekarang di gereja-gereja evangelical, pemuridan dan kelompok-kelompok kecilnya nggak hidup. Karena materinya begitu berat. dan tidak membuat orang engage dengan materi-materi yang ada.

Ini menjadi tantangan tentunya bagi para pemimpin gereja sinode dan juga gereja lokal untuk mencari materi-materi yang relevan dan connecting, membuat perhatian care dan sesuatu kepada yang lain. Saya rasa itu, Pak. Terima kasih, Pak Musa Alian.

Ini teman-teman semua, kita sudah mendengarkan presentasi dari Pak Bambang dan juga presentasi dari Pak... Gomar dan Pak Daniel beserta dengan pertanyaan tadi. Sekarang kita masuk Q&A.

Saya masih menunggu kalau ada beberapa pertanyaan, tapi saya rasa banyak pertama yang sudah masuk. Tapi sebelumnya, kita berikan dulu applause untuk ketiga pembicara kita. Jadi, paling tidak supaya tidak ngantuk, dan juga tidak hanya sekedar mendengar, kita paling tidak menggunakan laptop kita. untuk memilih emolitiknya. Senang sekali kalau melihat Anda, paling tidak walaupun tidak kelihatan wajahnya, kelihatan emolitiknya.

Kita masuk Q&A, Bob, sekalian. Mudah-mudahan ada beberapa pertanyaan yang bisa terjawab melalui para presenter yang Tuhan sudah kirimkan pada malam hari ini dan bisa memberikan inspirasi buat kita. Kita bersyukur bahwa banyak data-data dari PRC menunjukkan pertumbuhan krisis yang baik, walaupun tadi sehatnya kurang, ya. Itu menjadi tantangan buat kita.

Nah, mungkin pertanyaan pertama buat Pak... Bambang Budianto. Pak Bambang, ini ada pertanyaan menarik.

Kalau yang namanya proses pemuritan, tadi dikatakan berkali-kali merupakan variable yang penting. Dan hasil PRC menunjukkan, diolah apapun, mau jemaah dewasa, jemaah anak-anak, jemaah termaja, selalu konsisten. Di desa, di kota, konsisten. Di semua aliran, konsisten. Tapi kira-kira ada nggak dari Pak Bambang?

Kira-kira proses pemuritan apa yang nggak standar-standar? Yang kemudian bisa memberikan dampak. Mungkin bisa dihubungkan dengan penelitian PRC yang keempat juga. Silahkan Pak Bambang.

Ya, terima kasih Pak Andi. Memang tidak dibahas di dalam penelitian atau survei ini dikelompokkan pemuritan yang seperti apa. Tetapi dengan pemuritan itu yang dapat diambil atau disarikan adalah satu engagement tadi. Di banyak tempat.

bahkan di dunia profesional, Gallup misalnya, sudah bisa menunjukkan bahwa kalau engagement di perusahaan, engagement di organisasi, itu mempengaruhi performance karyawan. Demikian juga dikonfirmasi dengan riset ini. Jadi memuridkan atau terlibat pelayanan itu engage. Nah kalau orang tidak engage, dia lebih cenderung akan gampang terpengaruh baik menikah dengan orang yang...

Tidak seiman, atau mungkin tidak gereja lagi, dan segala macam. Jadi engagement itu seperti ownership-nya meningkat. Jadi pemuritan itu memberikan engagement. Yang kedua, pemuritan itu memberikan community.

Dalam buku kita yang pertama, disebutkan bahwa faktor yang penting, yang paling penting, yang bisa membawa anak muda kembali ke gereja, faktor yang paling penting membawa... menjaga anak muda supaya bertumbuh di gereja adalah community. Saya rasa kita tahu semua anak-anak muda itu punya karakteristik camaraderie, loyalitas pada teman. Itu sebabnya ada peer pressure dan segala macam.

Kita seringkali di gereja, kita ikut-ikutan gereja di barat di mana ibadah hari minggu cuma sekedar kita datang secara individu, bahkan... Ketemu jemaat lain di tempat parkir atau di tempat soto, juga kita tidak kenal itu gereja mana, padahal gereja sendiri. Tidak ada community.

Kita lihat bahwa pemuritan create community. Dan yang ketiga yang kita belajar hari ini adalah empowerment. Semua orang yang di-empower, dia akan engage lebih, dia akan perform better, dia akan merasa memiliki lebih.

Buat saya pribadi, buat saya pribadi, kemarin saya baru apa namanya... Diminta untuk menyampaikan tentang hal ini, jadi buat saya memuridkan adalah menuntun orang lain yang jauh dari Tuhan, dibawa mendekat kepada Tuhan, sampai menerima anugerah keselamatan dalam Tuhan, dan terus bertumbuh menjadi serupa dengan Tuhan. It's a journey, satu perjalanan yang kita menuntun orang lain. Di Inggris ada penelitian yang mengatakan bahwa Setiap orang yang menjadi Kristen, dari agama lain atau dari iman lain, selalu didahului antara 5-7 kali orang ini menerima kebaikan dari orang Kristen.

Ini seperti yang dikatakan oleh Pak Gomar tadi. Jadi ini penelitian sudah terbukti bahwa buat saya, pemuritan mulai sejak orang ini jauh sebelum dia kenal Tuhan Yesus, sudah diberi contoh hidup, diberi teladang, diberi harumnya hidup anak Tuhan. Dituntun sampai dekat Tuhan.

Nah, di penelitian kita tahun lalu soal pemuritan, yang menjadi sayangnya adalah 90% orang Kristen di Indonesia yang memuridkan memuridkan dalam gedung gereja. Padahal Ahmad Tagung berkata, pergilah ke semua orang, bukan semua orang Kristen. Nah, kalau semua orang Kristen, ya betul pemuritan dalam gereja. Tapi Amatokop kata, pergilah ke semua orang, artinya semua orang dimanapun juga di luar gereja.

Saya kira kesalahan kita paling besar, kalau saya boleh introspeksi ke dalam, sebagai hamba Tuhan adalah kita domesticate kemuritan yang harusnya di dunia sana. Menjadi terang, menjadi garam, menuntun orang untuk makin dekat melihat kemuliaan Tuhan. Kita semua simpen dalam gedung gereja yang dikatakan oleh Pak Daniel dan Pak...

Komar tadi. Jadi, kalau ada satu hal yang saya ingin kalau saya sedih, berubah adalah pemulitan mulai keluar dari tembok gereja. Dan penelitian kita yang lalu, Pak Andi, membuktikan bahwa selama COVID-19 di bulan Juni kemarin, 94% gereja, 94,5% gereja responden kita, itu mengerjakan aktivitas sosial. Nah itu kalau dibilang rekod, itu rekod secara gereja. 94,5% gereja di kota buat aksosial.

75% diantaranya pada yang non-members of the church, orang yang di luar gereja. Nah ini landasan yang menurut saya blessing in disguise. Jadi berkat dibalik COVID ini adalah gereja menjangkau dengan kasih yang tulus tentunya, orang-orang di luar gereja. Buat saya itu adalah bagian dari pemuritan ini sendiri.

Baik, sangat melengkapinya tadi Pak Bambang dan juga apa yang sudah disampaikan oleh Pak Daniel yang mengatakan materi, memulitan, dan Pak Daniel memberikan wawasan perspektif yang lain. Sehingga mudah-mudahan beberapa pertanyaan serupa yang cukup banyak ini sudah terjawab juga oleh Pak Daniel dan Pak Bambang. Pak Gomar, ini ada beberapa pertanyaan.

Pak Gomar hari ini senang sekali menggunakan kata-kata kebersamaan, karena memang sesuai dengan amanah Bapak sebagai Ketua. BGI melihat secara makro Indonesia. Jadi pertanyaan kepada Bapak, banyak yang menjawabnya makro juga ini Pak. Ini singkat juga tapi menggeliti.

Hasil suruh WPRC memang menunjukkan tadi perpindahan dan jemaat sebagai penyokong pertumbuhan gereja itu 45%. Itu yang tadi Pak Kumar katakan, satu hal yang harus kita lihat dan satu hal yang mungkin barangkali kalau bisa angkanya semakin turun. Nanti jangan-jangan pertumbuhan gereja bisa menyulut konflik gereja kalau begitu.

Nah Pak, mungkin nggak Pak? Kalau ada satu badan misi nasional di mana gereja-gereja itu bersatu, menurut perspektif Bapak sebagai Ketua PKI yang punya pengalaman luas dalam bidang misi, supaya langkah geraknya bisa ada satu kesatuan. Silahkan Pak. Sekarang sebetulnya, makasih Pak Handi.

Sebetulnya sekarang kan trennya adalah misi itu dari mana-mana gitu. Dari mana-mana ke mana-mana. Jadi tidak terpusat. Saya sudah sebutkan tadi Korea sebagai contoh menarik bahwa pekabaran Injil mereka itu dari jemaat-jemaat lokal, diberangkat ke seluruh dunia. Dalam konteks Indonesia saya kira saya masih percaya pada kekuatan-kekuatan jemaat lokal.

Tapi tentu saja ketika berbicara strategi penginjilan mungkin kita perlu satu arah dan strategi bersama, panasional bersama. Untuk itu dua tahun lalu sebetulnya PGI bersama-sama dengan PGLEI dan PGPI itu menyelenggarakan lokat karya konferensi pekabaran injil di Brastagi dan mencoba merumuskan arah dan strategi pekabaran injil di Indonesia dalam konteks masyarakat majemuk Indonesia. Sebetulnya tahun ini direncanakan untuk melanjutkan kembali konferensi itu. mengevaluasi hasilnya dan bagaimana tapi kita keburu COVID sekarang ini. Saya kira hasil-hasil penelitian ini akan sangat menarik kalau nanti dalam konferensi pekabaran Injil yang kedua itu yang selenggarakan bersama oleh PGI, PGLI, dan PGPI ini bisa menjadi salah satu saya melihatnya secara nasional dia di bagian Perumusan strateginya, tetapi pelaksanaannya dia harus dikembalikan.

Ada gereja-gereja, yayasan-yayasan, kelompok-kelompok harus didistribusikan semua ke situ. Saya tidak melihat urgensinya misalnya ada satu secara nasional melakukan pekerjaan. Itu mematikan nanti inisiatif-inisiatif wakil. Tapi sekali lagi memang diperlukan.

dan percakapan bersama, tidak koordinasi, tapi semacam itulah. Koordinasi cenderung menjadi ada yang diperintah, ada yang memerintah. Pemerintah kita kan semua, komitmen ada yang penting. Komitmen bersama bahwa Indonesia ladang bersama yang harus kita garamkan.

Terima kasih. Luar biasa, Pak Komar. Jadi kita sudah jelas kalau dalam perspektif blueprint strategi besarnya secara makro. kita bisa membuat blueprint bersama-sama dalam konteks ini.

Tapi eksekusinya, implementasinya, sudah pasti kita punya ladang tersendiri, kita mungkin juga harus melihat sosial budaya sendiri-sendiri di mana gereja kita ditempatkan oleh Tuhan. Saya rasa cukup jelas sekali yang disampaikan oleh Pak Komar. Sekarang kita masuk ada variable mengenai jemaat yang melayani.

Saya mungkin minta Pak Bambang dan juga Pak Daniel untuk menjawab dengan perspektif yang berbeda. Ada beberapa pertanyaan berhubungan dengan bagaimana ingin jemaat melayani. Mungkin kepada Pak Daniel lebih dahulu.

Fokusnya adalah, memang tadi Pak Bambang sudah katakan, variable-nya adalah bagaimana melibatkan jemaat untuk bersama-sama melayani, itu ada hal yang sangat bagus. Nah kalau di tengah-tengah pandemi, Pak, work from home tentu memiliki kesulitan, memiliki tantangan. Nah dari Pak Daniel sendiri, bagaimana pengalaman praktis Bapak 2500 gereja? di tangga-tangga from home itu bisa kemudian menambah jumlah jemaat yang lainnya.

Nanti akan saya sambung pertanyaan hampir serupa untuk Pak Bambang. Silahkan. Memang uniknya gereja-gereja kita karena di daerah mereka tidak punya jaringan internet yang begitu bagus. Mereka memakai pada waktu pemerintah dengan tegas-tegasnya melarang mereka pakai tua.

Jadi jemaat semua duduk di lataran rumah, lalu tua dibuatkan ibadah, lalu seperti itu. Tetapi sekarang memang kita menyadari pentingnya pelayanan-pelayanan yang tetap menyentuh. Walaupun kita memakai digital, tetapi memang...

Kalau kita lihat Barna Group misalnya, risetnya memang tidak menunjukkan signifikan dalam pertumbuhan lewat pelayanan internet, tetapi yang diperlukan ternyata yang menolong ketika pengalaman gebala kami di Kalimantan Barat melakukan adalah menelpon keluarga-keluarga dalam konteks jemaat lokal. Melakukan doa lewat telepon dan ini dan yang mungkin tidak biasa dilakukan. Mereka merasa kalau belum dikunjungi belum pelayanan gereja-gereja yang di daerah-daerah itu seperti itu.

Sekarang mereka... Dengan telpon, dengan ini mereka merasa juga sudah merasa perhatian. Jadi memang penting sekali tetap ada koneksi.

Tetapi juga pada saat yang sama seminar-seminar pelatihan-pelatihan melibatkan jemaat baru disadari betapa pentingnya jemaat-jemaat itu dilibatkan melayani sebanyak mungkin. Sehingga mereka ada engagement. kategorial-kategorial yang ada. Jadi memang pandemi ini menyadarkan gereja bahwa begitu banyak potensi, baik mulai dari anak muda, anak-anak, sampai siap melayani Tuhan.

Dan ini yang kita juga sadari akan hal itu. Ternyata semua tantangan yang Tuhan izinkan dengan hati yang penuh dengan percayaan dan juga kita bisa melihat Tuhan yang menolong kita bisa mengubah menjadi satu opportunity yang luar biasa, Pak. Nah, Pak Bambang yang hampir serupa. Pak Bambang tadi mempresentasikan menambah jumlah jemaat yang melayani. Tapi sekarang fokusnya kepada remaja pemuda, Pak.

Gimana, Pak? Kira-kira ada ide-ide yang segar bagaimana bisa melibatkan remaja pemuda untuk bersama-sama melayani. Karena ini merupakan variable yang penting agar gereja itu bertumbuh.

mungkin bisa mencapai 20 persen, 30 persen jadi total jemaat bisa melayani terutama remaja pemuda, silahkan Pak Bapak Pak Andi, terima kasih saya punya anak tiga anak saya yang nomor dua lagi waktu dulu kami tinggal di Penang waktu itu umur 10 tahun, tapi agak rebellious karena kita pindah-pindah rumah terus agak sulit sekolahnya, saat gurunya dia kelas 4 SD Gurunya minta dia untuk mengambil waktu dua kali seminggu, cari buku di perpustakaan, membacakan anak TK buku itu. Terus setelah itu berlangsung seminggu dua kali, dia nanya anaknya pengen buku apa, diajak milih bareng-bareng. Dalam waktu satu semester berubah menjadi anak yang bertanggung jawab, karena diberi kepercayaan. Kita ini kadang-kadang banyak kesaksian, kita sampaikan ke... ke orang, ke jemaat kita bahwa iman kita kepada Tuhan itu membenjawab semua doa ini.

Kita percaya pada Tuhan itu kan biasa orang, dia Tuhan Maha Besar. Tapi kalau Tuhan percaya pada kita, itu ajaib. Orang mau berbicara begini kok dipercayai Tuhan. Sering gagal, sering salah, kok Tuhan masih percaya.

Tapi kita anggap itu grace, anugerah. Tapi kita seringkali tidak menjadi good steward of trust. Kita senang terima kepercayaan Tuhan.

Tapi kita nggak gampang mempercayai orang lain, apalagi anak muda. Nanti kalau salah gimana? Nanti kalau begini bagaimana? Kalau begitu bagaimana? Yang dibutuhkan anak muda, justru trust, empowerment.

Jadi kalau saya mau terapkan hari ini, nggak usah harus bertatap muka. Teman-teman saya yang muda di Anlis diminta untuk peduli dengan salah satu temannya, satu atau dua atau tiga. Mendoakan mereka, menanyakan kabarnya hari ini gimana, perlu bantuan bikin PR apa tidak, dan segala macam.

Begitu dia dapat kepercayaan dari orang yang dia kagumi, atau ayahnya, atau pendetanya, atau gurunya, memberi kepercayaan dia untuk merawat rohaninya orang lain, jiwanya orang lain, dia langsung berubah. Jadi saya katakan tadi, anak Buddha selalu butuh camaraderie, community, bisa virtual. Anak muda butuh idealisme. Kalau kita tidak punya visi untuk menolong mereka mengimajinasikan yang besar, sulit. Kalau kita cuma monoton dan kemudian hanya survive, sulit untuk endgame mereka.

Yang ketiga, tentu kita harus berani. Kita semua pernah salah. Waktu muda pun salah, sekarang pun salah.

Jadi kenapa tidak kita izinkan yang muda-muda juga belajar dari kesalahan mereka, sambil terus dipantau. Sambil terus di-coach, di-mentorin, tapi kepercayaan dan belonging itu juga penting. Anak remaja, temuda butuh belonging. Kalau mereka nggak punya belonging, makanya di gereja-gereja yang besar, yang lebih dari 500, lebih dari 200, korelasi keterlibatan dalam pelayanan kecil.

Karena keterlibatan mereka nggak menimbulkan rasa belonging dan identitas yang sehat. Di gereja yang kecil. juga tidak terlalu berarti korelasinya. Karena apa?

Karena ini tidak memberikan identitas yang membanggakan dia. Di gereja yang sedang, 51 sampai 100 orang kira-kira. Mereka akan kelihatan, identitasnya kelihatan, bilang yang ingin kelihatan. Jadi itu sebabnya, apa namanya, untuk anak remaja dan pemuda, seringkali, dulu saya di Compassion cukup lama, 16 tahun, banyak anak-anak yang meninggalkan program di usia 12-13 tahun.

Mungkin 10% di situ. Waktu saya kunjungi gereja-gereja Mitra Compassion, ternyata mereka cara bikin programnya seperti kalau mereka ngajar anak-anak umur. 7-8 tahun, suruh dengarkan, duduk selama setengah jam dengarkan cerita gurunya, ya pada keluar semua. Karena anak remaja, pemuda, otaknya berkembang kalau mereka action.

Learning by action, not learning by memorizing. Pada saat kita SD, ya kita belajar memorizing. Tapi pada saat kita SMP, SMA, action. Jadi pemuritan sekarang, kekelibatan mereka harus pemuritan yang action, bukan sekedar program, kurikulum, tapi...

doing something for other people. Doing something for the community. Di tempat kita di Anlis, anak-anak muda misalnya bersihkan sampah di pantai di Pulau K. Doing something that make the world a better place. Itu akan mendorong mereka untuk terlibat lebih jauh.

Baik, terima kasih Pak Bambang secara sama lengkapin. Empathy dengan dunia mereka itu digital. Tantang mereka dengan pemikiran-pemikiran besar yang imaginatif.

Dan yang tadi terakhir juga menarik, tentunya adalah... Kita melihat perspektif bahwa mereka itu learning by doing gitu ya, jangan terlalu banyak teori sama anak-anak gen C ini ya. Mereka memang learning by doing, sudah bukan learning by watching atau learning by listening lagi.

Pak Gomar, kembali kepada Pak Gomar, tapi saya akan milihkan dua pertanyaan pendek yang mungkin bisa digabungkan Pak Gomar. Ada yang pertamanya, pertanyaan yang namanya nominal Christian yang tadi Bapak sampaikan. Kira-kira itu nanti malah...

memicu tidak enggak perpindahan gereja? Atau maksudnya Bapak nominal Kristen hanya di kalangan gereja itu sendiri? Kalau perspektif ini dilakukan, apakah akan juga menambah memicu perpindahan jemaat?

Kemudian yang kedua adalah, Pak, STT yang banyak ini kan di Indonesia ada kira-kira 350 STT ya, sebagian hidup, segan, mati, tak mau ya. Tapi kan masing-masing memiliki aliran tersendiri. Memang sangat ideal kebersamaan. Oikominal. Gimana Pak Geragera melahirkan lulusan STT yang sifatnya Oikominal?

Dua pertanyaan singkat ini mungkin bisa dijawab bersama-sama. Silahkan Pak Komar. Ini pertanyaan yang sulit ini. Saya kira perpindahan perpindahan warga itu harus dilihat sebagai sesuatu yang sangat normal.

Dalam artian, umat ini kan sama seperti domba, kan mentari rumput yang hijau. Dimana rumput yang lebih hijau, domba akan ke sana. Dan domba itu milik Tuhan, bukan milik gereja. Oleh karenanya, istilah curi domba itu bagi saya sangat nggak teologis. Jadi pertanyaan jawab kan.

Mestinya warga berpindah karena di sana pertumbuhan imannya lebih minim. Oleh karenanya, perpindahan warga itu harusnya dilihat sebagai infeksi. Buat beda yang umatnya berpindah. Nah tentu saja kalau spirit itu ada, tidak akan menimbulkan pertentangan. Tetapi ini menjadi penting bagaimana gereja-gereja belajar dari gereja yang lain.

Cuman gereja-gereja kita ini kan saya pengalaman di PGI, karena di PGI itu menarik, Pak. Di PGI itu yang evangelical ada, yang pentakostal ada, yang ekumenikal ada, semua ada. Kecenderungannya memang walaupun sudah ada dalam satu payung ekumenik, masih juga merasa gereja kami yang paling benar. Sehingga nggak mau belajar dari gereja yang lain.

Mau belajar hanya kalau satu denominasi. Nah ini harus ditanggalkan sekarang, supaya semua saling belajar antar denominasi. Dengan demikian saya kira umat akan bertumbuh, hingga pada akhirnya itu memaksa gereja-gereja, seperti Bapak Bambang tadi, untuk keluar.

Sehingga pemulitan itu tidak lagi hanya dalam kolam gereja, keluar lah ya. Saya kira hanya dengan kerjasama seperti itu, saling belajar, semangat untuk saling belajar, ini yang bisa membuat... Murid-murid itu juga lain internal. Hal yang sama juga terjadi dengan SDT-SDT kita, Pak. Penduduk Amerika itu lebih besar dari Indonesia.

Umat kecantikan lebih banyak dari di Indonesia. Sekolah tinggi teologi di Indonesia lebih banyak dari di Amerika, Pak. Tapi jujur aja, Pak Daniel Rondeni pasti tahu.

Banyak ini... SDT kita ini abal-abal kok. Abal-abal, nggak memenuhi syarat untuk menjadi sebuah SDT.

Untuk sebuah perguruan tinggi maksud saya. Tapi itulah di negara kita ini kan sekarang SDT perguruan tinggi ini masuk dalam beberapa akreditasinya oleh Kementerian Agama, ada oleh Kementerian SDT, oleh Kandik. Nah saya tidak usah katakan Kementerian yang mana yang membuat.

Kreditasi itu kadang-kadang juga asal-asalan. Ini yang harus diinginkan kita. Kenapa bisa terjadi begitu? Karena sekarang memang pennya lulusan STT itu lebih, bandingkan perguruan tinggi lain, lulusan STT itu durasi nganggurnya itu lebih sedikit, lebih pendek. Sehingga sekarang gurugin-gurugin orang masuk STT.

Sangat berduyun-duyun masuk SDT. Maka SDT jangan selalu lihat itu sebuah, menirikan SDT belum tentu karena panggilan. Itu lebih juga komoditi. Komoditi bisnis juga. Saya menyaksikan sendiri.

Banyak SDT kita juga komoditi bisnis. Dan terlalu gampang membuat SDT. Dan ada juga SDT yang akhirnya melahirkan gereja. Mestinya gereja yang melahirkan SDT. Tapi akhirnya sekarang ini SDT melahirkan gereja.

Itu gejala-gejala yang ada di kita. Ini perlu di... Siapa yang bisa menata ini semua? Ya kita sendiri. Yang paling baik mestinya adalah beberapa gereja bergabung mendirikan SDT.

Yang terjadi dengan Patya Wacana, Duta Wacana, Jeffrey saya kira juga begitu. Beberapa gereja bergabung mendirikan SDT. SDT Jakarta juga 16 gereja mendirikan.

Jadi itu lebih mudah untuk kebersamaan kita ke depan. Makasih. Terima kasih Pak Kumar, paling tidak memberikan jawaban juga untuk seminar kita, webinar kita semalam ya.

Kenapa lulusan STT S1 terutama dibandingkan dengan mereka yang SMA, waktu memimpin gereja, rupanya yang SMA memiliki peluang sedikit lebih baik daripada lulusan STT. Karena terlalu banyaknya STT yang abal-abal, STT yang abu-abu. Mudah-mudahan Tuhan merubah dari abal-abal menjadi api-api Pak ya, orang Jawa bilang api-api.

Pak-Pak Ustaz Alian, saya rasa waktu yang memisahkan kita, makanya saya mau minta, kalau dikasih waktu 10 detik untuk memberikan summary of summary kira-kira Pak Daniel Ronda ingin mengatakan dalam 2-3 kalimat apa yang mau disampaikan Pak? Saya rasa yang saya sampaikan adalah pertumbuhan gereja adalah kehendak daripada Tuhan dan Tuhan mau gereja kita bertumbuh dan efektif Mari kita periksa kembali pedoman manajemen yang selama ini kita telah lakukan, apa yang kita lakukan, dan berkak, apa namanya, bercermin dan mulai melihat pimpinan Tuhan bagi gerejanya. Amin. Pak Bambang. Terima kasih Pak Andi.

Saya ada tiga good news dulu, supaya orang pulangnya dengan hati berbunga-bunga. Good news nomor satu. bahwa masih ada 60% lebih gereja di Indonesia yang bertumbuh. Memang nanti ada PR-nya bertumbuhnya bagaimana, tapi paling tidak ini lebih bagus daripada yang di Amerika 40%, kita 60%.

Good news nomor satu. Good news nomor dua, penelitian ini mengkonfirmasi buku yang pertama bahwa makin banyak anak-anak yang bertobat atau mengikut Tuhan Yesus di masa dininya. Dibandingkan dewasa dan remaja, anak-anak jauh lebih banyak. Dan kita bersyukur di masa bonus demografis, masa depan bangsa, kita punya modal. Kalau tidak diisi dengan pemuritan, ya sayang.

Tapi paling tidak pertumbuhan anak jauh lebih tinggi daripada dewasa dan remaja. Yang ketiga, good news-nya adalah, walaupun remaja dan pemuda kita ini paling sedikit kerja yang bertumbuh, tetapi kita sudah menemukan kuncinya. kalau mereka terlibat di dalam pelayanan dan jumlah jemaatnya tidak terlalu besar. Empat di antara lima, atau kansnya untuk bertumbuh besar sekali.

Tiga harapan saya sebagai PRC, sebagai orang PRC. Satu, saya ingin supaya lewat seminar-seminar ini ada kultur baru, kultur measuring, kultur mengandalkan data. Kalau misalnya Pak Andi bisa menyediakan buat semua sinode, formulir isian digital, yang tiap tahun ngeliat urutannya semua, sehingga kayak di Inggris. Kita tahu jumlah anak sekolah minggu 1830 berapa, 1840 berapa, dan seterusnya.

Ini akan menolong gereja untuk bersandar pada data dalam mengambil keputusan dan strategi. Nomor dua, culture gereja sehat. Tidak hanya culture gereja besar, tapi culture gereja yang sehat.

Yang sehat seperti apa? Yang tadi dikatakan Pak Gomar adalah yang menghadirkan kerajaan Allah, yang menghadirkan shalom, yang menjadi terang dan garak. Yang ketiga adalah kultur pemimpin yang terus belajar. Kalau Maxwell berkata, kalau pemimpin tidak mau belajar lagi, mendingan dia minggir.

Karena dia tutup jalannya orang lain. Jadi, kultur yang ketiga, kultur pemimpin yang terus belajar. Terima kasih, Pak. Terima kasih, Pak Memang.

Pak Kumar, silakan. Ya, saya kira dari saya ada dua. Yang pertama, gereja kalau mau bertumbuh harus berubah.

Perubahan pertama... mulailah sekarang seperti kata Pak Bambang tadi berbasiskan data dan analisis sosial. Dan yang kedua berubahlah dari selama ini kita berjalan sendiri-sendiri untuk berjalan bersama. Berjalan bersama itu artinya juga saling belajar. Dikotomi, epangelikal, pentakstal, ekumenikal itu dengan relevanse.

Kita bisa belajar dari siapa saja dan bertumbuh bersama. Hanya dengan demikian kita bisa bertumbuh. cuma sekitar 20%.

Sekali lagi Pak Bambang menfokuskan, stressingkan proses pemuritan, keterlibatan jemaat yang melayani, dana PI, investasi anak remaja, dan kemudian juga yang berhubungan dengan perintisan jemaat. Dan kemudian juga ternyata gereja yang sedang, yaitu jemaatnya 50-200 most likely memiliki peluang bertumbuh yang lebih baik. Pak Kumar mengatakan memang bertumbuh, tapi 45%. Walaupun kita bersyukur dari hasil sensus tahun 2000 ke 2010, Kristen sudah naik dari 5,9% menjadi 7%. Itu kenaikan yang luar biasa.

Kita bertumbuh selama 10 tahun, itu 39% dari 2000 sampai 2010. Saya pribadi juga sangat gentar untuk menunggu hasil sensus di tahun 2020. Dan kalau hasil BRC ini confirm di tahun 2020 hasil sensus, market share kita akan naik dan pertumbuhan kita pasti akan naik. Dan kelihatannya Tuhan mengizinkan pertumbuhan. Makanya warna hijau ingat ladang Tuhan yang subur Bapak-Ibu sekalian.

Di tengah-tengah negara muslim yang tercintai. Jadi ingat pertumbuhan gereja. Pak Kumar mengatakan banyak variabelnya adalah internal. Internal pun ternyata belum optimal.

Oleh karena itu pikirkan juga pertumbuhan gereja dalam konteks yang bersifat eksternal. Kebersamaan gereja. Kemudian bersama-sama terutama dalam konteks juga pelayanan holistik. melibatkan gereja itu sosial.

Jadi salah satu keywordnya adalah care and sharing. Itu akan membuat strategi internal juga berjalan lebih baik. Gereja di tengah-tengah dunia, tadi kebersamaan, solidaritas, keterlibatan sosial gereja yang digarisbawain oleh Pak Pendeta Gomar Kutong. Pak Daniel langsung mengatakan sebagai praktisi manajemen gereja yang profesional, yang tidak bergebirokratis. Jangan lupa gerakan kaum awam Harus terus menerus kita juga dukung karena mereka juga sumber pertumbuhan gereja.

Kemudian pemimpin gereja yang meletakkan juga dengan semangat salah satu keywordnya yang menarik adalah engagement. Sudah pasti pertumbuhan gereja kalau kita bisa engage people. Karena gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya.

Jadi bukan gedung fisiknya apalagi ditambah dengan katanya membangun dengan gaya Eropa. Kenapa yang sudah terbukti menurun di contek di Indonesia? Jadi lebih baik kita melihat kenyataan seperti mudah-mudahan suruh PRC ini hanya sedikit yang kita beberkan, hanya sedikit yang dipresentasikan, hanya sedikit yang didalam. Kita begitu banyak pendalaman, tapi kira-kira memicu semangat kita, kemudian juga mengunggah panggilan kita.

Mari bersama-sama kita mendukungkan gereja Tuhan tercinta di Indonesia ini, hingga membawa banyak jiwa-jiwa untuk mengenal Tuhan Yesus. Dan kemudian kita menjadi bagian daripada amanat agung. yang sudah Tuhan perintahkan kepada kita semua.

Kiranya menjadi berkat. Sekali lagi, mari kita berikan aplaus. Sekarang, jangan pakai emulotik, tapi betul-betul pakai tangan.

Kita berikan aplaus kepada tiga pembicara.