Transcript for:
Teori Kognitif Sosial Bandura

Baik, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang semuanya. Salam sehat dan sejahtera untuk kita semua. Baik, pada pertemuan hari ini kita akan membahas lanjutan dari materi teori kognitif sosial ya. dari Bandura, karena minggu lalu kita melalui video pembelajaran atau rekaman penjelasan materi mengenai ini, kita baru membahas tentang konsep konsep dasar teori kognitif sosial yang disampaikan oleh Bandura oke, Anda sudah menyelesaikan tugasnya semua atau belum? Sudah. Berarti saya akan atau mau meminta salah satu di antara kalian ini mereview hasil belajar mandiri minggu lalu yang mengenai konsep dasar teori kognitif sosialnya Bandura. Insight atau value apa yang Anda peroleh setelah mempelajari itu. Silakan salah satu. Raise your hand please. Siapa yang mau coba? mereview, oke silahkan Lucy Luciana selamat siang Bu saya Luciana dari Rombol 1, jadi dari pembelajaran Mandiri kemarin poin yang saya dapat manusia menurut Bandura manusia itu belajar dari sosial, jadi manusia meniru orang lain untuk berperilaku, dia menentang teori dari pengondisian kalau misalnya individu itu nggak dipengaruhi sama lingkungan. Terima kasih ya, Lucy. Ada yang lain? Silakan. Siapa lagi? Saya izin, Ibu. Silakan, Mario. Saya izin sedikit mengeraksi atau memberi pendapat lain. Kalau tadi kata Lucy itu... lingkungan tidak berpengaruh kalau yang saya tangkap, lingkungan itu cukup berpengaruh, tapi tidak langsung diterima oleh manusia, tapi di proses dulu di kognitif, seperti itu saja, terima kasih ya apa tadi Lucy mengatakan begitu, lingkungan tidak berpengaruh sepertinya mengatakan berpengaruh ya iya iya, tadi Lucy mencoba untuk membandingkan dengan teori pengondisian begitu Mario, mungkin terlewat ya Mario tadi ya hehehe Ya, tidak apa-apa. Terima kasih, Mario. Ada Anggita. Silakan, Anggita. Iya, Bu. Saya izin menambahkan yang saya tangkap, yaitu teori kognitif sosial yang dikemukakan oleh Bandura lebih menekankan pada konsekuensi dari perilaku daripada memperkuat perilaku seperti yang didalakan pada teori pengkondisian. Kemudian, boleh nambah, Bu? Kemudian perilaku belajar dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial dan faktor internal dari individu itu sendiri. Tidak semata-mata hanya melihat pada kecenderungan belajar dari adanya reward dan punishment. Terima kasih. Terima kasih, Anggita. Ada Sava, silakan Sava. Baik, Bu. Dari hasil yang saya pelajari mengenai tereognitis ini, berarti... betapa pentingnya suatu lingkungan, suatu model terhadap proses belajar kita, sehingga kita bisa meniru suatu model. Dan di teori kognitif sosial ini ternyata peran kita cukup aktif dalam proses kognitif. Iya, oke. Terima kasih Saffa, Anggita, Lucy, dan juga Mario. Selamat datang Pak Edi. Selamat datang semuanya. Apa kabar? Semoga semuanya sehat, Pak Lafiat. Geh, alhamdulillah sehat. Silahkan dituruskan. Mohon izin, Pak Edi, untuk melanjutkan materi. Oke, jadi betul sekali apa yang sudah disampaikan oleh teman-teman semua dan saya yakin semuanya sudah berulang-ulang ya, mendengarkan, kemudian meng-crosscheck dengan referensi dan juga mencoba untuk memberikan contoh ya, sesuai dengan pengalaman pribadi ya, kondisi seperti apa. Baik, saya ulas sedikit lagi ya. Tidak apa-apa ya teman-teman, nanti relate dengan apa yang akan kita bahas di hari ini sebagai lanjutannya. Jadi, minggu lalu saya sudah menyampaikan bahwa dalam teori kognitif sosial itu terdapat istilah yang dikenal dengan observational. Learning atau belajar melalui apa? Mengamati atau pengamatan. Jadi observational learning ini adalah proses kognitif. Proses kognitif yang tidak hanya melibatkan apa yang kita pikirkan saja, tetapi juga melibatkan sejumlah atribut psikologis. Ya, tadi terakhir siapa ya? Safa ya. Menekankan di situ tidak hanya pada lingkungan sosial saja yang berpengaruh, tetapi juga ada peran kognisi ya, peran dari individu, person, begitu. Kalau Anda masih ingat dengan triadik, reciprocal causation model, di mana ada tiga komponen yang saling mempengaruhi secara timbal balik, tidak hanya satu arah saja. Ada behavior atau perilaku, environment, lingkungan. Dalam hal ini adalah lingkungan eksternal, dan yang ketiga ada person. Ini kaitannya dengan faktor-faktor internal individu. Nah, observational learning ini... Melibatkan proses kognitif dari sejumlah atribut. Melibatkan bahasa, melibatkan moral, melibatkan pemikiran, kemudian regulasi diri dari perilaku seseorang. Artinya apa? Dalam hal ini kita tidak hanya sekedar meniru atau melakukan imitasi secara otomatis atau mekanistis. Beda dengan pandangan dari teori pengkondisian bahwa meskipun para tokoh behaviorist itu tidak bukan berarti mengabaikan, maaf, bukan berarti tidak percaya adanya kemampuan kognitif yang berperan dalam pembentukan perilaku tidak, tetapi dalam hal ini fokus dari teori pengkondisian adalah apa teman-teman? lebih cenderung mekanis, ya enggak? lebih cenderung mekanis, hasilnya yang dilihat begitu nah Di sini Bandura sudah mulai menjelaskan bahwa ternyata tidak hanya lingkungan eksternal saja yang berpengaruh terhadap pembentukan perilaku, tetapi juga ada faktor individu yang berperan, yaitu kognisi. Tadi beberapa atribut yang sudah saya sampaikan. Tapi kita akan memproses secara kognitif dengan menggunakan berbagai pertimbangan. Misalnya saja pertimbangan dari pengalaman kita sebelumnya. Pertimbangan moral, kemudian bagaimana cara pandang atau pemikiran kita. Nah, bahkan ketika kita harus merespon sesuatu, kita akan mempertimbangkan untung ruginya. Memungkinkan atau tidak bagi kita untuk merespon. Nah, kemudian caranya bagaimana ya? Terus bagaimana bahasa atau kalimat yang digunakan untuk merespon itu? Ya, banyak hal. yang menjadi pertimbangan kita untuk melakukan satu respon tertentu atau melakukan perilaku tertentu. Nah, itu semua akan menentukan apakah kita sebagai individu ini akan merespon atau tidak. Dan bagaimana cara yang kita gunakan untuk merespon hal tersebut. Jadi, perlu Anda ketahui bahwa yang namanya observational learning ini mungkin melibatkan yang namanya imitasi. Tadi ya, bisa Anda garis bawahi. Tapi mungkin juga tidak. Kok bisa ya? Kenapa? Karena yang namanya observational learning ini lebih rumit dibandingkan imitasi sederhana. Yang biasanya itu hanya melibatkan peniruan terhadap tindakan orang lain. Misalnya, saya minta Anda tepuk tangan, Anda menirukan tepuk tangan. Tidak hanya sekedar itu, tetapi tadi ada pertimbangan-pertimbangan kognitif untuk... Di mana Anda bisa memutuskan apakah Anda akan merespon atau tidak, Anda akan menirukan atau tidak. Bandura juga menekankan hal ini, berbeda dengan teori pengkondisian. Ya itu tadi ya, bahwa mengamati model itu tidak menjamin bahwa proses belajar itu akan terjadi. Atau dipelajari... perilaku yang dipelajari itu diulangi lagi. Saya mohon izin untuk share screen ya teman-teman. Sudah terlihat? Sudah Bu. Sampai mana tadi? Mengamati model. Mengamati model itu tidak menjamin bahwa proses belajar itu akan terjadi atau perilaku yang dipelajari itu akan diulangi lagi. Jadi sebagai contoh, Anda ini kan mahasiswa. Kita ambil contoh dari aktivitas belajar Anda. Jadi mahasiswa dalam belajarnya ini kan tidak akan lepas dari yang namanya proses mengamati atau mengobservasi lingkungan. Benar atau tidak? Benar. Ada tugas diskusi, kemudian Anda... saling bertukar pikiran dengan kawan Anda, Anda pun juga akan mencari tahu bagaimana cara pandang teman Anda mengenai permasalahan yang ingin teman-teman diskusikan, dan lain sebagainya. Atau misalnya Anda memperhatikan dosen saat menjelaskan materi, membaca referensi yang Anda gunakan, cross-check pengetahuan atau pengalaman Anda sebelumnya. Jadi itu yang Anda lakukan. Kemudian, aktivitas-aktivitas ini tidak terlepas dari observasi lingkungan yang dapat mengasah kognisi Anda, yang dapat mengasah moral Anda. Anda belajar, Anda tentunya akan dapat value kalau Anda menyadarinya. Setelah Anda mempelajari materi kuliah, yang paling penting itu Anda mendapatkan value. Nggak numpang lewat begitu saja, karena ini akan menambah kemampuan Anda. Kemampuan dalam hal pemahaman, ataupun yang misalnya ada kaitan dengan praktik, berarti menambah keterampilan. Kemudian setelah Anda mengasah kognisi, mengasah moral, dapat value, kemudian Anda akan menentukan bagaimana Anda memanifestasikan atau mewujudkan hasil belajar tersebut dalam perilaku yang nantinya selama 4 tahun ini ya, mudah-mudahan Anda langsung lulus gitu ya, maksudnya cepat lulus, tepat waktu, ini yang nanti akan Anda gunakan di dunia kerja Anda. Jadi semuanya melibatkan kognisi, afeksi, dan juga konasi kita. Nah, dari observasi lingkungan, Anda tidak hanya meniru. Dalam hal ini Anda tidak cuma meniru saja, tapi juga melakukan seleksi input. stimulus yang diterima. Kemudian Anda pun juga mengolah, menyimpannya, kemudian mewujudkan dalam satu tindakan. Jadi nggak semua hal yang Anda dapatkan, yang Anda peroleh, segala informasi dari lingkungan itu, dengan begitu saja Anda tiru tidak. Tetapi di sini ada yang namanya proses kognisi. Anda punya kemampuan untuk menyeleksi input. mempertimbangkan seperti tadi yang saya sampaikan, mempertimbangkan. Biasanya didasarkan dari pengalaman atau pengetahuan Anda sebelumnya. Anda cross-check pengetahuan Anda sebelumnya dengan informasi yang baru Anda terima. Kemudian apakah ini benar atau salah, Anda akan mempertimbangkannya di situ. Berarti tidak harus berwujud tindakan. Karena bisa juga berubah dalam... Perilaku itu ya, bukan perilaku, mohon maaf. Yang berubah itu adalah pemahaman kita mengenai sesuatu hal. Nah, dalam konteks pendidikan, bagi pendidik, observational learning itu memiliki dua pertimbangan dalam dua cara yang berbeda. Yang pertama adalah learning. dan juga performance ini yang menjadi pertimbangan pendidik. Proses belajar Anda dan juga performa Anda dalam belajar. Jadi belajar ini mengacu pada model kognitif yang dibentuk seseorang. Sedangkan performa atau performance ini mengacu pada kemampuan aktual untuk mengulangi tugas. Semoga ada gambaran sampai sini. Contoh misalnya saat menguji. Apakah pemodelan ini berhasil, modeling ini berhasil di antara siswa? Guru itu harus menilai siswa terlebih dahulu dengan meminta mereka untuk menjelaskan tugas secara formal. Tadi contohnya di awal, saya minta Anda untuk mereview materi sebelumnya. Di situ akan terlihat seberapa besar kemampuan Anda. untuk menggambarkan apa yang telah Anda pelajari sebelumnya atau pengetahuan awal Anda sebelumnya. Jadi semakin besar kemampuan Anda untuk menggambarkan apa yang Anda pelajari di minggu lalu. Maka semakin besar pula jumlah atau proses belajar yang Anda lalui, atau proses belajar yang telah terjadi. Nah, setelah itu Anda harus benar-benar bisa atau mengulangi di suatu saat nanti jika informasi atau pengetahuan itu dibutuhkan. Jadi tidak hanya sekedar numpang lewat saja. Teman-teman, sampai sini ada gambaran. Yang ini, ini ada... menunjukkan performa Anda. Tadi Anda menjawab beberapa teman, itu menunjukkan performa Anda. Meskipun ada korelasi atau hubungan antara kemampuan untuk menggambarkan tugas dan mengulanginya, tapi korelasi tersebut itu tidak selalu sempurna. Namanya seperti itu tidak selalu sempurna. Jadi kadang-kadang mungkin Ada kesenjangan antara seberapa baik Anda telah mempelajari tugas dengan seberapa baik Anda melakukan tugas. Berarti antara kemampuan dan antara ketekunan atau apa yang Anda lakukan. Ini kadang-kadang bisa saja terjadi kesenjangan. Ada orang atau siswa yang memiliki kapasitas intelektual yang telah diukur tetapi performanya berbeda. Misalnya Anda sudah dites intelijensi antara si A dengan si B, skor intelijensinya sama, yang kemudian diinterpretasi memiliki level atau kategori atau tingkatan intelijensi yang sama. Misalnya cerdas, begitu sama-sama cerdas, tapi belum tentu performa akademiknya di antara kedua orang ini sama. Sampai sini ada gambaran? Nah, Bandura ini juga mengatakan bahwa observational learning ini bukan teori reinforcement. Artinya apa? Belajar itu, tadi ada yang sudah menyampaikan, belajar itu tidak tergantung pada ada atau tidaknya reinforcement. Penekanannya bukan di situ. Perilaku yang muncul ini tidak disebabkan oleh adanya reinforcement semata. Jadi ada faktor. faktor lainnya, sehingga memunculkan perilaku yang diharapkan. Tetapi juga lebih atas dasar pertimbangan-pertimbangan sejumlah atribut psikologi. Jadi ketika seseorang memunculkan perilaku yang diharapkan, itu tidak semata-mata karena faktor reinforcement yang diberikan, atau penguatan yang diberikan, tetapi juga berdasarkan Kemampuan dari individu untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan sejumlah atribut yang saya sebutkan tadi. Bisa dari faktor intelektual, kemudian dari segi moral, apalagi tadi cara pandang, pemikiran, pengalaman sebelumnya, dan lain sebagainya. Bahkan, meskipun ada reinforcement, kita itu masih akan mempertimbangkan lebih dulu, betul atau tidak. Ketika kita diberikan penguatan misalnya oleh orang lain atau misalnya oleh dosen, kita pun juga punya kemampuan untuk mempertimbangkan lebih dulu apakah reinforcement yang diberikan itu cukup memadai atau tidak untuk memunculkan perilaku. Meski demikian, dalam hal terjadinya proses belajar di area kognisi, ada atau tidaknya reinforcement ini tidak akan menghambat terjadinya proses belajar setelah... observasi itu terjadi jadi gitu berkaitan dengan hal tersebut ada beberapa faktor yang mempengaruhi vicarious learning dan juga performa atau respon dari perilaku nah ini sebenarnya dalam hal ini sudah saya sampaikan pada pembelajaran minggu lalu. Nanti silakan dititani lagi saja, diulangi lagi saja apa yang sudah saya sampaikan. Yang pertama adalah developmental status of learners atau status perkembangan. Yang kedua adalah model prestis and competence. Yang ketiga adalah vicarious consequences. Nah, yang selanjutnya ini berkaitan dengan proses-proses motivasional. Yang pertama adalah goal setting, outcome expectation, values, dan self-efficacy. Jadi ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi vicarious learning dan juga performa kita. Yang pertama ini ada developmental status. Faktor yang pertama developmental status atau status perkembangan. Jadi maksudnya apa nih? Maksudnya adalah belajar ini sangat tergantung pada faktor. faktor-faktor perkembangan. Hal ini termasuk kemampuan-kemampuan individu untuk belajar dari model. Ini berkaitan pula juga dengan perbedaan usia individu. Karena kita membahas tadi observational learning, nanti Anda tidak perlu bingung kalau saya mungkin mengatakannya observer, atau mungkin nama lainnya pembelajar. Tidak usah bingung. Misalnya, Buktinya adalah anak-anak yang sedang berkembang, ini belajar dari model sosial yang berbeda. Kita sampai di usia ini, sampai terbentuk seperti apa diri kita saat ini, itu melalui proses belajar dari model sosial yang berbeda. Artinya tidak ada dua anak yang menampakkan pengaruh dari modeling yang sama persis. Jadi dari kita bayi sampai... remaja, seseorang atau kita itu dihadapkan pada berbagai model sosial misalnya observational learning ini meningkatnya sekitar usia sekolah dasar, karena apa? tidak seperti pada balita, anak-anak sekolah dasar ini cenderung tidak mengandalkan imajinasi saja, kalau Anda misalnya berinteraksi dengan anak-anak usia prasekolah, mereka daya imajinasinya sangat tinggi untuk menggambarkan apa yang seolah-olah terjadi pada dirinya. Tapi ketika sudah mulai beranjak di usia sekolah, sekolah dasar, di sini kan mereka akan lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sosialnya yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Ada guru, ada warga sekolah lainnya. Begitu. Tidak hanya cenderung mengandalkan imajinasi untuk merepresentasikan sebuah pengalaman, tapi di usia-usia sekolah ini sudah mulai mampu menggambarkan perilaku itu secara visual, secara verbal, secara simbolis, sudah mampu untuk itu. Jadi dengan kata lain, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan, Kemampuan mengolah informasi, seperti tadi mengulang, kemudian mengorganisasikan atau menyusun atau mengelompok-ngelompokkan informasi, dan kemudian menguraikan, mengelaborasi, ini akan semakin meningkat. Kalau kita berbicara secara ideal, tidak ada permasalahan neurologis. Masih ingat ya, kalau misalnya kita berbicara bahwa individu itu tidak mengalami gangguan-gangguan neurologis. Nah. Jadi pada dasarnya perkembangan itu akan semakin berkembang, pertumbuhan akan semakin meningkat. Kemampuan individu pun juga seiring berjalannya waktu, usia semakin bertambah, pengalaman yang diterima itu juga semakin luas, semakin banyak kita berinteraksi dengan lingkungan sosial, maka kita banyak menyerap informasi, disitulah cara kita menyelesaikan masalah pun juga akan semakin kompleks. atau akan semakin meningkat. Jadi, status perkembangan ini dapat mempengaruhi proses modeling dengan karakteristik yang pertama, seiring bertambahnya usia perkembangan, maka seseorang akan cenderung semakin lama mencurahkan perhatian. terhadap lingkungan, akan semakin aware dengan lingkungan. Kalau bahasa Jawanya itu semakin titen dengan kondisi lingkungan. Kemudian yang kedua, status perkembangan ini juga mempengaruhi peningkatan kapasitas pemrosesan informasi. Hal ini sejalan dari perspektif neuroscience atau biosikologi yang Anda pelajari bahwa pada masa kanak-kanak, ini nyeron-nyeron itu kan apa namanya? nyuron-nyuron di otak, itu belum berkembang sempurna. Jadi pada usia anak-anak masih terus berkembang. Tidak heran anak-anak di usia golden age. Itu mampu atau gampang sekali meniru perilaku orang lain. Tapi belum sepenuhnya ada kontrol dari nilai moral, dari kemampuan berpikir, dan lain-lain. Ini seiring berjalanan waktu bertambahnya usia, maka secara normal, secara ideal, kita akan semakin matang. Ini masih akan terus berkembang. Pengetahuan, termasuk Anda, akan terus berkembang. tambah-tambah terus pengetahuannya ketika kita sudah mulai banyak berinteraksi dengan lingkungan. Kemudian berikutnya adalah mengembangkan strategi memori. Semakin usianya bertambah, tingkat kematangannya juga bertambah, maka ada kemungkinan besar kita itu mampu untuk mengembangkan berbagai strategi memori, strategi mengingat. semakin banyak mengeksplor informasi dari lingkungan sosial dan juga lingkungan fisik kita. Jadi semakin mampu untuk memilih strategi mengingat yang efektif. Kalau kaitannya dengan belajar atau dalam konteks akademik, maka Anda semakin bisa memilah cara yang paling efektif untuk mempelajari suatu hal yang bisa membuat Anda nyaman, itu bagaimana Anda akan semakin tahu dinamikanya seperti apa. Kemudian yang berikutnya adalah membandingkan praktek dengan representasi memori dan menggunakan motivator intrinsik. Jadi seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya bahwa untuk memunculkan perilaku sebagai hasil belajar, kita tidak hanya sekedar meniru begitu saja. Tetapi juga dalam proses tersebut akan melibatkan pengetahuan yang lama. Dan juga mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan lainnya, seperti nilai-nilai moral. Nah, contoh, siswa kelas 2 SD, ini belum mampu kan mempelajari materi psikologi. Beda dengan Anda, sekarang Anda masih berproses. Anda pun juga belum mampu untuk memahami, atau belum mendapatkan informasi lebih, atau pengetahuan lebih mengenai terapi misalnya. Anda masih proses mempelajari dasar-dasar dari psikologi. Karena apa tadi? Karena alasan apa status perkembangan ini. Karena kalau tadi saya bandingkan siswa kelas 2 SD itu belum mampu untuk mempelajari materi-materi psikologi, ini karena mereka belum siap secara mental. Kalau Anda, Anda sudah siap secara mental. Buktinya Anda sekarang sudah mulai bisa beradaptasi mengikuti perkuliahan di psikologi ini. Ada gambaran sampai sini teman-teman. Jadi yang terlebih dahulu di garis bawahi, bahwa status perkembangan itu juga mempengaruhi belajar individu. Kemudian yang kedua adalah model prestis. Model prestis dan kompetensi. Jadi kita itu lebih cenderung memperhatikan model karena apa, teman-teman? Dari apanya yang kita lihat? Dari perilaku model tersebut. Dari perilaku model tersebut. Yang diperhatikan, yang diobservasi, yang diamati, perilaku yang seperti apa? Atau dari gambaran karakteristik apa yang dipunyai oleh model? Sehingga kita mengamati model tersebut. Yang menurut kita sesuai dengan diri kita. Angkat tangan. Silakan angkat tangan. Siapa yang mau coba jawab? Ya, Safira. Silakan, Safira. Kita itu biasanya katanya semakin mirip model dengan individu itu lebih mudah dicirik. Jadi, kita meniru orang yang mirip dengan kita. Oke, meniru yang mirip dengan kita. Mirip apanya? Prilakunya. Prilakunya, oke. Terus, ada Lucy. Silakan, Lucy. Menurut saya, Bu, orang meniru model itu karena menarik, Bu. Karena beberapa ada yang tidak sesuai dengan klinikasnya, tapi tetap mau meniru karena dia menarik. Jadi, ingin mencoba hal yang menarik yang baru, Bu. Oke, terima kasih, Lucy. Ada lagi Jody. Silakan, Jody. Baik, terima kasih, Bu. Menurut Jody, itu tergantung situasi, Bu. Kalau misalnya kita masih bayi atau kecil, berarti orang yang paling dekat dengan kita yang akan jadi modelnya, Bu. Dan kalau misalnya udah dewasa, itu kita cari biasanya yang paling sifatnya ideal dengan kita. Oke, kalau boleh saya menggaris bawah ya. Menarik kesimpulan, jadi kita cenderung untuk memperhatikan model itu karena apa? Karena posisi, atau karena kekuasaan, atau karena prestis tadi. Orang tersebut menunjukkan kompetensi. Biasanya kita akan lebih tertarik untuk melakukan imitasi dalam hal ini, tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan tadi secara kognitif. Orang yang cenderung... seperti Jody sampaikan, menunjukkan kehangatan kemudian misalnya seorang guru yang peduli kepada muridnya atau peduli kepada Anda sebagai siswa nah disini Anda akan cenderung memperhatikan bahkan meniru apa yang dilakukan oleh guru ketika misalnya performa beliau saat mengajar gaya berbicaranya Gestur tubuhnya dan lain sebagainya. Jadi itu akan mempengaruhi Anda. Jadi kompetensi model itu diketahui dari hasil-hasil yang mengikuti tindakan-tindakan model. Kita akan cenderung melihat model itu. Apakah perilaku itu akan kita tiru atau tidak? Itu bisa juga dilihat dari keberhasilan atau kegagalan. Jadi ada dua. Ada dua aspek, bisa jadi keberhasilan atau kegagalan. Dan juga dari simbol-simbol yang menandakan kompetensi beliau. Jadi salah satu karakteristik yang penting di sini adalah status prestis. Jadi model-model yang telah dikenal statusnya akan cenderung lebih menarik perhatian daripada model-model yang dengan status yang tidak terlalu dikenali atau lebih rendah statusnya. Misalnya, orang tua, guru, dosen, itu merupakan model yang statusnya lebih tinggi bagi sebagian anak-anak atau bagi sebagian peserta didiknya kalau dalam konteks pendidikan. Atau saya contohkan begini, saya tidak terlalu suka sepak bola, tetapi saya tahu salah satu atlet sepak bola, pemain sepak bola. CR7 itu siapa ya? Ronaldo. Oh, Ronaldo. Oke, baik. Saya tidak akan berbicara tentang siapa itu Ronaldo ya, karena saya tidak terlalu mengikuti sepak bola ya. Jadi Anda kan tahu ya betapa hebatnya Cristiano Ronaldo, betul nggak? Jadi di sini Anda akan cenderung bagi yang suka sepak bola. bola, akan cenderung meniru Ronaldo, daripada saya yang tidak memiliki skill sepak bola sama sekali iya kan? iya nggak? Anda akan cenderung misalnya dari teknik menendangnya, dari teknik apanya dan lain sebagainya, Anda akan cenderung meniru, atau melihat prestis, status prestis dari model Anda begitu Itu ada kecenderungan Anda meniru itu. Menjadi model yang akan mempengaruhi perilaku. Anda dibandingkan Anda melihat status praktis saya kaitannya dengan sepak bola itu kan berarti lebih tidak kompeten. Dalam hal ini Anda tidak akan meniru. Ada gambaran ya sampai sini teman-teman? Ada. Jadi intinya kompetensi yang dimiliki oleh model itu akan mempengaruhi kita untuk mempertimbangkan apakah perilaku itu akan kita tiru atau tidak. Selanjutnya, itu ada vicarious consequences. Vicarious consequences, itu pun juga sudah saya sampaikan di minggu sebelumnya. Jadi pengalaman keberhasilan maupun kegagalan orang lain, itu akan mempengaruhi perilaku kita juga. Jika orang lain berhasil dalam menyelesaikan tugas tertentu yang memiliki kemiripan usaha yang kita lakukan, maka kita akan cenderung meningkatkan yang namanya self-efficacy dan mensimulasi. diri kita untuk melakukan modeling. Ada kecenderungan seperti itu. Kita lihat, si A melakukan strategi seperti ini berhasil. dia mendapatkan efek yang bagus. Ada kecenderungan, itu akan mempengaruhi perilaku kita juga ketika kita dihadapkan pada tugas ataupun permasalahan yang sama. Misalnya saja yang dalam konteks lain, saya contohkan Anda melihat teman Anda itu ditegur di depan teman-teman karena melakukan cheating atau mencontek saat ujian berlangsung. Kira-kira apa yang akan Anda lakukan? Anda akan... mengikuti langkah teman Anda itu atau tidak? Tidak. Tidak. Kenapa tidak? Takut di marahi. Oh, takut di marahi. Oh, ada efek ya. Ada konsekuensinya ya. Dari apa yang Anda amati. Nah, Anda mungkin akan berpikir dua kali sebelum melakukan hal yang sama. Benar nggak? Betul, Bu. Betul. Ya, tadi seperti yang Anda sampaikan, takut. Dapat hukuman, takut nanti nggak dapat nilai, dan lain sebagainya. Nah, yang seperti itu tidak akan Anda lakukan, karena konsekuensi. Kalau yang tadi, misalnya Anda melihat keberhasilan dari orang lain, ketika dia sudah menyelesaikan tugas yang sedang Anda lakukan, mirip-mirip dia saja berhasil, maka bisa strategi itu saya gunakan untuk menyelesaikan tugas Anda. permasalahan saya atau menyelesaikan tugas yang sedang saya kerjakan kemungkinan akan ditiru di situ kemudian berikutnya adalah goal setting atau menetapkan tujuan disini sudah mulai pada proses-proses motivasional jadi goal setting ini punya pengaruh pentingnya pada pembelajaran Masih ingat nggak pelajaran enaktif? Pembelajaran enaktif dan vikarius. Masih ingat, Kak? Masih di luar ingatan ya? Nanti diulangi lagi ya. Oke. Jadi pengaruh penting pada pembelajaran enaktif dan juga vikarius dan pada performa dari perilaku yang dipelajari itu adalah goal setting. Nanti ada outcome. expectation, kemudian values, dan juga self-efficacy. Jadi kalau inactive learning itu melibatkan proses belajar atau pembelajaran dari konsekuensi tindakan seseorang. Perilaku yang menghasilkan konsekuensi yang berhasil atau sukses akan cenderung dipertahankan. Tapi kalau kita melihat bahwa perilaku yang menghasilkan kegagalan, Ini ada kecenderungan kita untuk memperbaikinya atau barangkali kita menghindarinya, tidak kita lakukan untuk meminimalisir kegagalan tersebut. Ini yang pertama adalah goal setting. Jadi banyak perilaku manusia itu dipertahankan dalam jangka waktu yang lama, meskipun tanpa adanya insentif. Tadi kan kalau di pengondisian itu ada reinforcement. Jadi ternyata banyak perilaku kita itu bisa kita pertahankan dalam jangka waktu yang lama, ini perilaku yang diharapkan, meskipun tanpa adanya insentif eksternal secara langsung. Kok bisa ya? Semua itu ternyata tergantung dalam perspektifnya Bandura ini, tergantung pada goal setting atau penetapan tujuan dan juga Self-evaluation, jadi evaluasi diri. Tujuan yang ditetapkan oleh individu ini mengacu pada tidak hanya kuantitas saja, tapi juga kualitas dan tingkat performa kita. Jadi goal setting ini melibatkan penetapan standar untuk dijadikan tujuan. Tujuan dari tindakan kita. Nah, seseorang ini dapat menetapkan... menetapkan tujuan mereka sendiri jadi kita bisa menetapkan tujuan kita sendiri, atau tujuan itu juga bisa ditetapkan oleh orang lain, misalnya dari orang tua dari guru, atau dari mentor, supervisor, dan lain sebagainya, kalau di dunia kerja nah, semua hal yang ditetapkan itu tidak bisa tercapai apabila tidak ada yang namanya komitmen Jadi komitmen ini penting, teman-teman. Ya percuma. Anda punya tujuan, Anda menetapkan tujuan, tapi Anda tidak punya komitmen untuk mencapai tujuan tersebut. Pernah ngalamin Anda punya cita-cita, Anda punya tujuan hidup, misalnya untuk mata kuliah ini saya mau dapat nilai A, tapi proses yang Anda lakukan itu tidak mencerminkan atau tidak menunjukkan komitmen Anda untuk mencapai tujuan tersebut. Pernah ngalamin di masa-masa lalu? Jadi, hal pertama yang perlu dimiliki individu itu adalah komitmen. Orang harus membuat komitmen dulu untuk berusaha mencapai tujuannya. Karena apa? Karena penetapan tujuan itu tidak akan mempengaruhi proses belajar jika individu tidak punya komitmen. Tidak akan pengaruh. Mau Anda menetapkan tujuan setinggi langit, Kalau Anda tidak punya komitmen, Anda tidak akan tercapai. Setelah berproses, setelah Anda berproses, Anda punya komitmen untuk mencapai tujuan, di sini Anda berproses, di tengah-tengahnya, idealnya Anda melakukan evaluasi diri. Anda selalu atau tidak pernah melakukan evaluasi diri terhadap apa yang Anda lakukan? Pernah, Bu. Pernah? Pernah. Iya, dalam evaluasi diri itu ada apa, teman-teman? Apa yang Anda lakukan untuk, apa yang muncul saat Anda melakukan evaluasi diri? Pengalaman yang sama yang baik guru, Bu. Oke, angkat tangan. Angkat tangan, silakan. Silakan Sivana Kolbi Oke Biasanya kalau saya itu mengevaluasi diri itu Berdasarkan dari pengalaman saya Misalnya ada Suatu kejadian yang ingin saya perbaiki Terus kemudian juga saya Mengukur apa saja yang Telah saya lakukan, kalau misalnya Saya itu Melakukan hal yang sudah baik Memberikan manfaat pada diri saya Maka hal itu akan saya harapkan ke depannya, tapi kalau misalnya misalnya itu negatif atau tidak bernampang buat saya, maka saya akan meninggalkan atau tidak melakukannya lagi seperti itu, Bu. Ya, good ya, Sivana ya, jadi memang begitu ya jadi jika hasil bagi yang pernah melakukannya nih ya, sambil diingat-ingat kembali, atau setiap hari Anda melakukan ini, gitu ya jadi jika hasil yang hasil evaluasi diri itu bermanfaat atau positif seperti yang disampaikan oleh Sivana tadi, terhadap apa yang telah dilakukan, maka akan meningkatkan yang namanya self-efficacy. Sudah saya sampaikan ya minggu lalu self-efficacy itu apa. Dan ada kecenderungan untuk mempertahankan motivasi kita. Betul atau tidak? Nah, perilaku tersebut akan cenderung diulangi di kemudian hari. Kalau hasilnya apa? Bermanfaat tadi ya. Nah, sebaliknya kalau misalnya tadi hasilnya tidak positif, tidak sesuai dengan harapan, ada dua kemungkinan yang terjadi. Anda cenderung untuk memperbaikinya atau meningkatkan usaha agar bisa mencapai apa yang menjadi tujuan Anda, atau justru poinnya sangat tidak efektif, ya Anda tinggalkan. Anda cari alternatif solusi yang lain. Betul atau tidak? Betul atau tidak, teman-teman? betul bu contoh, Anda menetapkan tujuan nilai mata kuliah ini, ini yang sederhana aja ya mata kuliah ini A, tapi setelah Anda mengevaluasi secara mandiri ya, tugas-tugas yang Anda kerjakan, ternyata kurang maksimal, begitu Anda mengharapnya atau mengerjakannya itu kurang optimal, karena apa? bisa jadi ya, Anda selalu mengerjakannya secara kreming, tau kreming? mepet waktu Waktu, besok dikumpulin Anda baru ngerjain. Sehingga tidak ada kesempatan Anda atau sedikit kemungkinan Anda melakukan review dulu terhadap apa yang Anda kerjakan sebelum tugas tersebut dikumpulkan. Ayo, siapa yang ngalamin ini? Hampir semua? Yang senyum-senyum berarti iya. Itu tadi, ada kecenderungan menumpuk menjelang tenggat waktu atau deadline. Hal ini kemudian pada akhirnya kan... akan menimbulkan ketidakpuasan. Sehingga untuk penugasan berikutnya, karena ini adalah hasil evaluasi diri yang tidak positif, kemungkinan yang Anda lakukan adalah Anda perlu memperbaiki strategi yang Anda gunakan untuk menggarap tugas atau mengerjakan tugas lainnya. Anda akan berupaya untuk meningkatkan usaha yang sungguh-sungguh agar hasilnya itu sesuai tujuan yang ditetapkan. Karena ini pembahasannya relate, semuanya relate nanti dengan motivasi dan juga self-efficacy. Nanti akan saya jelaskan setelah ini. Jadi tadi tujuan, selain tujuan itu bisa ditetapkan oleh diri sendiri, tujuan itu juga dapat diperoleh melalui modeling. Jadi kita melihat keberhasilan yang dicapai oleh orang lain, ada kecenderungan, kita pun juga ada. Bahkan meniru dengan segala pertimbangan. Itu dianggap perilaku yang dimodelkan itu bermanfaat bagi kita. Atau menimbulkan kepuasan bagi diri kita. Atau tadi memunculkan hasil positif. Jadi itu. Jika Anda melihat model itu berhasil mencapai sasaran kemungkinan besar, Anda akan melakukan hal yang sama. Setuju atau tidak? Based on your experience, ya. Berdasarkan pengalaman Anda. Kemudian yang berikutnya, faktor yang mempengaruhi belajar dan juga performa, menurut Bandura, ini ada outcome expectation atau ekspektasi hasil. Di sini mencerminkan keyakinan individu tentang konsekuensi apa yang paling mungkin terjadi jika... jika perilaku tertentu itu dilakukan. Outcome, ekspektasi. Jadi, keyakinan ini terbentuk secara aktif melalui apa? Melalui pengalaman masa lalu kita. Dan juga melalui pengamatan ke orang lain. Jadi, ekspektasi hasil ini penting karena kita membentuk... keputusannya yang dibuat orang tentang tindakan apa yang harus diambil dan perilaku mana yang harus ditahan atau dikontrol. Jadi frekuensi perilaku ini harus meningkat ketika hasil yang diharapkan itu dihargai. Sedangkan perilaku yang terkait dengan hasil yang tidak menguntungkan atau tidak relevan, ini akan cenderung kita hindari. Ini adalah outcome expectation. Next, faktor berikutnya adalah values. Values di sini adalah nilai, bukan nilai skor. Jadi kita cenderung lebih memperhatikan model yang menampilkan perilaku-perilaku yang diakui penting. dan memberikan kepuasan terhadap diri kita. Ada value-nya di situ. Selanjutnya, ini adalah self-efficacy. Ya, dulu-dulu. Mohon maaf. Self-efficacy ini adalah salah satu komponen penting yang menjadi bagian dari teori kognitif sosial. Secara umum, Bandura Mendefinisikan self-efficacy ini adalah satu keyakinan individu mengenai kemampuannya dalam mengorganisasikan dan melakukan serangkaian aktivitas yang menuntut satu pencapaian tertentu. Atau hal ini berkaitan dengan penilaian seseorang mengenai kemampuannya sendiri untuk melakukan perilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu yang terkait penyelesaian satu tugas atau situasi. Kalau dalam konteks akademik itu ada namanya variable self-efficacy akademik. Ini kalau Anda baca bukunya Omrod, self-efficacy ini didefinisikan pada keyakinan seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk belajar Atau melaksanakan tutupan akademik pada level tertentu. Tuntutan akademik yang dimaksud itu apa saja teman-teman? Tahu atau tidak? Tuntutan akademik Anda apa sih? Anda kuliah itu kan ada tuntutan akademik, ya atau tidak? Iya. Apa saja yang Anda ketahui yang termasuk dalam tuntutan akademik itu yang harus Anda lakukan? Contohnya. Menyelesaikan tugas. Iya, betul sekali ya. Baik itu tugas individu, kemudian tugas kelompok, UTS, sebentar lagi minggu depan ya. UAS, dan tugas akhir kuliah. Tingkat self-efficacy yang dimiliki individu atau yang dimiliki oleh Anda, ini akan menentukan Sejauh mana Anda itu mampu melaksanakan tugas dan aktivitas akademik tertentu secara persisten. Persisten itu konsisten, bertahan dalam menghadapi kesulitan. Anda lebih tough ketika, tentunya ya, pada saat Anda mengerjakan tugas. Tidak mungkin Anda tidak menemukan... kesulitan, ya enggak? ya ada kalanya, atau seringkali bahkan Anda menemukan kesulitan orang-orang yang safe efficacy tinggi dia akan tetap bertahan untuk menghadapi kesulitan itu mencari cara untuk menyelesaikan tugas itu meskipun sangat menantang ya, gitu sehingga apa? tujuan tadi goal settingnya, tujuan yang telah ditetapkan, itu dapat dapat tercapai. Jadi berasosiasi dengan tadi yang saya sampaikan, self-efficacy ini dapat menimbulkan efek yang bervariasi, bervariasi dalam berbagai setting performa akademi. Jadi seperti yang dijelaskan oleh Bandura, jadi self-efficacy ini dapat mempengaruhi apa? Mempengaruhi pilihan tindakan, mempengaruhi tujuan. mempengaruhi usaha, dan juga mempengaruhi persistensi individu dalam aktivitas tertentu. Kalau Anda baca bukunya Sang, di situ ada penjelasan bahwa safe efficacy ini memberikan safe efficacy yang rendah dalam belajar. Orang-orang yang memiliki safe efficacy yang rendah dalam belajar, mereka ini akan cenderung bersikap setengah hati. Dan cepat menyerah ketika menghadapi tantangan atau menghadapi kesulitan. Beda dengan orang-orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi. Orang-orang yang memiliki self-efficacy yang rendah ini ada kecenderungan untuk menghindari tugas-tugas akademik. Relate nggak dengan Anda? Jadi sebaliknya, individu yang menilai dirinya memiliki self-efficacy yang tinggi akan cenderung berenergi. mengerahkan segenap tenaga segenap upayanya untuk apa? untuk menyelesaikan tugas akademik itu sampai tuntas dan menetapkan tujuan yang lebih tinggi dalam bidang tertentu akan lebih gigih bagi orang-orang yang punya safe efficacy yang tinggi dibandingkan orang-orang yang safe efficacy-nya rendah, jadi safe efficacy tinggi, orang tersebut tidak mudah putus asa Tadi menemukan kesulitan dalam penggarapan tugas di tengah jalan. Tidak langsung mandek begitu saja. Kalau mandek, ya itu memang butuh istirahat. Tetapi dengan waktu yang dirasa cukup, dia akan terus mencari alternatif cara atau solusi untuk menyelesaikan tugas itu. Bisa bertanya dengan teman yang sudah menyelesaikan tugas atau bertanya pada dosen, atau mencari referensi yang bisa memperkuat atau mendukung tugas yang sedang dibuat. banyak cara yang bisa dilakukan, apalagi sekarang teknologi itu kan sudah, wah Anda sudah mengakses informasi itu dengan sangat mudahnya ya, beda dengan zaman saya dulu waktu kuliah begitu, oke, jadi orang-orang dengan sertifikasi tinggi ini tidak mudah putus asa ketika menghadapi kesulitan atau tantangan tersebut ya, jadi Anda sebagai mahasiswa, ini akan lebih mungkin ya, terlibat dalam pemilihan tugas dan aktivitas yang saya gambarkan tadi. Ketika Anda yakin mampu melakukan aktivitas tersebut dengan berhasil, Dan cenderung meninggalkan tugas yang tidak yakin akan berhasil. Dalam hal ini, perlu digarisbawahi bahwa safe efficacy ini tidak menekankan pada besarnya kemampuan individu. Tetapi penekanannya lebih pada keyakinan tadi, lebih pada penilaian. Kalau dalam konteks akademik, berarti tentang tugas dan aktivitas akademik yang mampu dilakukan atau dikerjakan. Juga kaitannya dengan penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki oleh diri sendiri di berbagai situasi. Contohnya, terdapat beberapa mahasiswa punya kemampuan yang sama. Tadi sudah saya contohkan. Mahasiswa yang yakni, yang yakin dapat menyelesaikan tugas akademik akan lebih mungkin menyelesaikan tugas tersebut dengan berhasil daripada mahasiswa yang tidak yakin yang mampu menyelesaikan tugas tersebut dengan baik meskipun kapabilitas atau kemampuannya itu sama. Hal ini tentu saja berimbas pada performa Anda. Bandura menyebutkan bahwa self-efficacy ini menjadi determinan penting dalam meningkatkan perubahan perilaku individu. Jadi selaras dengan itu, kalau Anda nanti coba penasaran, cari penelitian-penelitian yang terkait dengan self-efficacy, di situ hasil penelitian ini... banyak yang menunjukkan bahwa self-efficacy ini menjadi prediktor kuat dari motivasi, dari proses pembelajaran dan juga prestasi individu. Nanti kalau Anda penasaran silakan cari artikel-artikel yang berkaitan dengan ini. Semakin rendah self-efficacy akan menyebabkan individu menghindari satu perilaku, sedangkan semakin tinggi, Memungkinkan individu itu terdorong untuk memulai dan mempertahankan perilaku yang diharapkan meskipun di tengah jalan individu tersebut menemukan kesulitan, tapi lebih gigih. Gimana caranya menyelesaikan tantangan ini? Sampai tuntas begitu. Jadi masalah-masalah yang muncul di dalam dunia pendidikan ini tidak terlepas dari permasalahan akademik, terutama bagi Anda. Jadi, mahasiswa yang punya self-efficacy tinggi lebih menikmati aktivitas belajar dibandingkan mahasiswa yang self-efficacy-nya rendah. Sehingga apa? Mahasiswa yang self-efficacy-nya tinggi, ini akan cenderung mudah melipat gendakan usaha. Karena tadi gigih semakin penasaran, punya value tadi ya. Anda sudah menentukan tujuan. Anda belajar di psikologi itu nanti akan bagaimana, prosesnya seperti apa, gambarannya. Anda mulai untuk menetapkan atau mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam melawan kesulitan yang dihadapi. Beda dengan tadi, sebaliknya. Orang-orang yang memiliki safe efficacy rendah, kelihatan tidak termotivasi dalam belajar, bingung, ketenderungan. untuk melakukan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan penyelesaian tugas, misalnya kaitan dengan tuntutan akademik tadi. Jadi, keyakinan akan keberhasilan itu bervariasi pada beberapa aspek, yang itu tentunya memiliki implikasi penting pada performa kita. Jadi, menurut Bandura, ini saya ambil dari... buku self-efficacy Bandura. Self-efficacy ini dapat diidentifikasi melalui tiga dimensi. Yang pertama adalah level, yang kedua adalah generality, yang ketiga adalah strength. Level ini yang dimaksud mengacu pada tingkat atau level atau derajat tantangan atau kesulitan tugas. Jadi setiap individu punya rentang persepsi yang berbeda mengenai kemampuan dirinya untuk menyelesaikan beberapa tuntutan tugas. Anda punya rentang persepsi tentang tugas A mana dengan tugas B dengan tugas C? Mana tugas-tugas yang mudah? Mana tugas-tugas yang sederhana? Mana tugas-tugas yang agak sulit sampai yang paling sulit? Anda menentukan range itu enggak? Menentukan rentang itu enggak? Tugas biosikologi lebih mudah dibandingkan tugas teori-teori belajar misalnya begitu ya? Atau tugas di mata kuliah yang lain, Anda menentukan itu atau tidak? Yang ini, dalam hal ini, self-efficacy Anda akan mempengaruhi Anda dalam memilih kegiatan atau aktivitas. Akan juga menentukan usaha apa yang Anda lakukan untuk menyelesaikan itu. Keakuratan dalam mengerjakan tugas, dan juga regulasi diri, serta apa tadi. tetap bertahan ketika menemukan kesulitan, tidak menyerah, tidak putus asa, ini akan ditentukan oleh ini. Contohnya, ketika Anda dihadapkan pada beberapa tugas, Anda akan mengukur kemampuan Anda dalam menyelesaikan tugas tersebut. Anda akan cenderung memilih dan mengerjakan tugas yang diyakini mampu untuk diselesaikan lebih cepat. Dulu, ada kecenderungan untuk itu atau tidak? Ada, Bu. Ada kecenderungan Anda supaya tidak membuang banyak waktu, Anda memilih mana nih di antara beberapa tugas yang harus saya selesaikan yang menurut saya itu paling mudah. Yang itu ada kecenderungan kita untuk menyelesaikannya terlebih dahulu. Dan ada kecenderungan juga, sebaliknya, itu menghindari tingkah laku yang di luar batas kemampuan kita. Atau dengan kata lain begini, setiap orang memiliki self-efficacy yang tinggi pada permasalahan ini. Artinya apa? Ada kecenderungan, kita itu tadi menentukan level yang paling mudah mana, yang paling sulit mana, mana yang lebih efektif kita kerjakan terlebih dahulu sampai yang paling sulit, yang membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan... tugas-tugas yang lain dalam penyelesaiannya. Kemudian yang kedua, itu ada generality. Nah, generality ini mendeskripsikan bahwa kita ini akan mengukur kemampuan kita secara efektif berdasarkan keluasan aktivitas atau hanya dalam domain fungsi tertentu. Itu generality. Artinya apa? Self-efficacy kita atau self-efficacy individu itu tergantung pada kemampuan kita untuk menyelesaikan tugas itu atau menyelesaikan aktivitas yang berbeda-beda. Itu tergantung. Jadi semakin seseorang itu merasa mampu untuk menyelesaikan tugas di berbagai situasi dan kondisi, maka semakin tinggi self-efficacy yang dimilikinya. Itu adalah generality. Yang ketiga ada strength. Dimensi ini berhubungan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan kita, kemantapan individu terhadap apa? Terhadap keyakinan dalam melakukan tugas tertentu. Semakin kuat keyakinan kita terhadap kemampuan diri kita, maka kita akan semakin mudah menyelesaikan tugas-tugas tersebut atau aktivitas tersebut. Dan akhirnya akan menyukai tugas yang penuh dengan tantangan. Nah ini tentunya banyak faktor lainnya, tidak hanya self-efficacy saja. Ini banyak tadi, contoh beberapa penelitian ternyata self-efficacy ini punya hubungan atau korelasi dengan motivasi, proses belajar, dan juga prestasi. Dan masih banyak atribut-atribut psikologi yang punya pengaruh terhadap self-efficacy kita ini. Kaitannya dengan strength ini mengimplikasikan bahwa keyakinan yang kuat akan menentukan seberapa kuat kita bertahan atau seberapa gigih kita bertahan dalam menyelesaikan tugas yang penuh tantangan itu. Meskipun banyak mengalami hambatan, banyak mengalami kesulitan, itu seberapa gigih kita di situ. Sebaliknya, individu yang tidak punya keyakinan dengan kemampuan dirinya, maka individu tersebut akan cenderung menghindari tugas yang penuh dengan tantangan tersebut, dan lebih memilih untuk mencari tugas yang tidak menantang. Atau kalau misalnya dikaitkan dengan prokrastinasi akademik, individu yang memiliki self-efficacy rendah akan cenderung untuk melakukan penundaan terhadap tugas, karena merasa tidak yakin. Ketika menemukan kesulitan, lebih memilih untuk melakukan aktivitas yang lain. Lebih cenderung memperhatikan hal yang lain. Oke, ada gambaran sampai sini teman-teman? Ada. Baik. Jelas ya, ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy. Yang pertama ada mastery experience atau pengalaman tentang keberhasilan. Berkaitan dengan faktor ini, suatu keberhasilan akan membangun self-efficacy kita. Self-efficacy seseorang itu semakin kuat. Terhadap apa? Terhadap tugas, kalau Anda mau mengaitkan dengan akademik, terhadap tugas akademik, atau tugas-tugas kehidupan, atau situasi tertentu. Sebaliknya, kalau mengalami kegagalan, kegagalan ini akan menurunkan self-efficacy kita. Terutama jika kegagalan ini terjadi sebelum Fondasi efekasi kita itu kuat. Contoh, jika seseorang mengalami keberhasilan dengan mudah, maka punya kecenderungan mengharapkan hasil yang cepat dan rentan untuk putus asa saat mengalami kegagalan. Jadi kalau misalnya Anda mengalami keberhasilan dengan mudahnya, tanpa upaya, tanpa mengalami hambatan, tanpa mengalami tantangan, yang harus diselesaikan atau dinamikanya tidak terlalu sulit, ini akan cenderung rentan untuk mengalami keputus asaan saat mengalami kegagalan. Beda dengan orang yang mengalami keberhasilan tersebut, di mana keberhasilan itu diperoleh dengan melewati hambatan yang besar. Ada gambaran ya, apa yang saya maksud ya? Oke ya, jadi beda. apabila keberhasilan tersebut diperoleh dengan melewati hambatan yang besar. Apalagi dalam menghadapi hambatan itu Anda berupaya secara mendiri. Di sini akan membawa pengaruh pada peningkatan self-efficacy, yaitu adalah mastery experience. Yang kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy adalah vicarious experiences, atau pengalaman dari orang lain. Jadi... Self-efficacy kita ini diperoleh melalui model sosial. Relate ya dengan konsep dasarnya ya, Bandura ya. Dan biasanya ini dilakukan oleh individu yang kurang memahami kemampuan diri. Jadi kita akan melihat orang lain gitu. Ketika dihadapkan pada suatu masalah yang mirip atau sama gitu, apa yang dia lakukan gitu. Ketika dia berhasil ada kecenderungan kita mengikuti caranya begitu. Hal ini menekankan bahwa pengalaman keberhasilan maupun kegagalan orang lain ini akan mempengaruhi peningkatan self-efficacy. Jika orang lain mengalami keberhasilan dalam menyelesaikan tugas, memiliki kemiripan usaha yang kita lakukan, maka akan cenderung meningkatkan self-efficacy dan menstimulasi kita untuk melakukan modeling terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain tersebut. Yang ketiga adalah social persuasion atau persuasi sosial. Ini kaitannya dengan komunikasi persuasif dan umpan balik evaluatif dari orang-orang terdekat atau signifikan others. Ini sangat penting juga mempengaruhi self-efficacy kita untuk menghadapi sesuatu atau menuntaskan tugas yang harus diselesaikan. Jadi komunikasi persuasif dan umpan balik evaluatif ini adalah cara yang dilakukan untuk memperkuat keyakinan kita, memperkuat keyakinan individu atas kemampuannya dalam mencapai tujuan tertentu. Hal ini akan lebih mudah mempengaruhi self-efficacy kita. Terutama apa? Terutama saat kita sedang berjuang menghadapi kesulitan. Jadi orang-orang terdekat inilah yang terus mendukung dan mengungkapkan, oh kamu bisa menghadapi rintangan ini. Pernah Anda mengalami seperti itu? Ketika Anda merasa tidak percaya diri atau tidak yakin dengan apa yang Anda lakukan, disitulah lingkungan sosial atau signifikan orang-orang terdekat itu membantu Anda dalam menguatkan untuk Anda melakukan yang sedang Anda kerjakan atau tantangan yang Anda hadapi. Pernah nggak mengalami itu? Pernah. Sebaliknya, kalau... orang terdekat menyampaikan keraguan atas kemampuan Anda? Kayaknya enggak deh. Kayaknya kamu enggak bakal berhasil deh kayak gini. Kira-kira apa yang terjadi? Jadi enggak pede lagi, Bu. Iya, jadi apa? Menurunkan self-efficacy Anda, kan? Iya, Betul. Iya, betul sekali. Oke, ada gambaran ya. Selanjutnya adalah physiological and affective states. Jadi kondisi fisiologis dan... Apektif ini juga faktor yang mempengaruhi self-efficacy. Tidak hanya faktor-faktor yang tadi saja. Jadi dalam hal ini munculnya stimulus atau tanda-tanda fisiologis, detak jantungnya meningkat, berdegup dengan kencang seperti genderang mau perang. Seperti itu ya. Kemudian. Anda mengalami kelelahan, mudah lelah, berkeringat. Tanda kutip berkeringat bukan karena proses homeostasis tubuh, bukan. Rasa nyeri, ada perubahan mood yang menghantarkan sinyal pada sistem saraf pusat. Kok malah biopsikologi ya? Karena ada kaitannya, ada buktinya. Ini sangat terkait antara mata kuliah satu dengan mata kuliah yang lain. Kondisi-kondisi atau munculnya tanda-tanda fisiologis tadi, ini juga ternyata akan mempengaruhi penilaian individu terhadap harapan keberhasilan. Biasanya kalau orang yang ingin melakukan sesuatu, tapi safe efficacy-nya Anda masih ragu-ragu atau rendah, kira-kira muncul hal apa atau yang terjadi pada diri Anda apa? Cemas? Ya. Cemas. Oke. Secara fisiologis yang muncul apa? Tadi ya. Kalau Anda cemas, mungkin produksi keringat Anda lebih banyak dibandingkan biasanya. Bukan karena faktor suhu lingkungan ya. Bukan karena faktor itu. Tapi karena faktor permasalahan tadi. Kemudian tadi jantung Anda berdegup dengan kencang. Seperti genderak mau. Perang. Anda diminta presentasi, Anda tidak ada persiapan, misalnya begitu. Yang terjadi secara fisiologis muncul ya, tanda-tanda seperti itu ya. Bisa jadi begitu. Atau ada, saya enggak kok Bu, berarti Anda termasuk orang-orang yang penuh dengan persiapan. Berbeda dengan orang yang sudah siap. Anda kalau mengingat teorinya Tordai, kalau siap, diminta untuk melakukan, berhasil, yang dirasakan apa? Tidak akan mengalami frustasi kan? Iya, akan lebih puas begitu ya. Nah, tadi seperti tanda-tanda fisiologis tadi, ternyata mempengaruhi penilaian individu terhadap harapan keberhasilan. Jadi dengan demikian, sinyal atau tanda gejala psikosomatis, Anda familiar dengan istilah psikosomatis? Diminta presentasi, Anda bolak-balik ke belakang gitu ya. Atau Anda merasa nyeri, tapi sebenarnya itu tidak begitu. Ketika diperiksa, tidak ada apa-apa misalnya. Anda mau ujian, kebelet pipis terus. Misalnya seperti itu, yaitu contoh saja gejala-gejala psikosomatis. Nah, sinyal atau tanda gejala psikosomatis yang dirasakan oleh individu ini menyebabkan penyesuaian self-efficacy melalui pengaruhnya terhadap proses. kognitif. Jadi itu gambaran tentang lanjutan materi minggu lalu. Sampai sini, ini jam berapa ya? Sudah 1 jam 15 menit. Silahkan barangkali Pak Edi mau menambahkan Pak Edi. Oke, saya kira saya akan nyambung tadi yang sudah disampaikan Bu Yogi. Sekaligus coba kita cek teorinya Bandura ini. Valid apa tidak? Salah satu faktor penting yang menyebabkan apakah VKRUS Learning ini akan sukses apa tidak adalah developmental status. Developmental status. Status perkembangan. Artinya apa? Kalau masih kanak-kanak, itu kemampuan untuk attending pada satu pesan yang disampaikan oleh model itu terbatas. Gampang lari perhatian Tapi kalau sudah mahasiswa Itu kemampuan untuk Memperhatikan ini sangat tinggi Jadi ini saya kira cocok dengan teori Pemprosesan informasi Kalau masih tidak diperhatikan Tidak dikoding nanti dia akan hilang Tapi kalau diperhatikan bertahan lama Ini saya akan mulai dari sini dulu Nah teori Bandura ini Luar biasa sekali Dan saya termasuk beruntung Bu Yogi dan juga teman-teman kalian Tahun 2008 dulu saya berkunjung ke tempat kelahirannya Bandura itu, di Kanada. Dan Bandura itu lahir di Provinsi Alberta, di mana saya dulu belajar di sana dengan Robert Klassen di University of Alberta. Hanya saya tidak ketemu Bandura menetap di Amerika. Jadi ya paling tidak sudah dapat bau-baunya Kanada. Saya izin... Share screen ya untuk menekankan beberapa poin. Oke, mohon kebapak. Ini karena mahasiswa kemampuan untuk bertahan mengangkat nubasi sangat tinggi. Jadi saya kira satu jam ini belum apa-apa. Lima jam tidak masalah. Terus bisa kuat. Yang penting nanti doping ya. Setelah ini makan yang banyak. Baik, saya akan memulai dari sini. Ini teori belajar sosial itu menekankan kata kunci pentingnya, mungkin disimpulkan ini, yaitu bahwa belajar itu akan terjadi melalui dua cara. Ini yang ditekankan oleh teori belajar sosial, melalui dua cara. Satu adalah unactively, yaitu by doing, by... Himself, himself itu he, tapi laki-laki, tapi perempuan juga himself. Oleh dirinya sendiri, by doing. Dan yang kedua adalah belajar bisa terjadi melalui vicariously, melalui mengamati model. Nah mengamati model itu bisa melalui observasi. Observasi itu artinya melihat sosoknya langsung, mengamati tadi. CR7, David Beckham. Saya ingat David Beckham itu, terus ingat metode Beckham. Jadi tampaknya yang menciptakan metode Beckham itu David Beckham. Mengobservasi model, kemudian membaca. Ini juga bagian dari vikarius learning. Membaca dari apa yang dilakukan orang lain. Lalu listening, mendengarkan apa yang dikisahkan orang lain. Ini juga... termasuk bagian dari Fikirus Learning. Jadi stressingnya, teori belajar sosial itu menekankan apa yang kita pelajari itu melalui dua pintu. Pintu pertama kita melakukan sendiri, mengalami sendiri terkait dengan apa yang kita belajari. Yang kedua adalah dengan mengamati model. Saya akan kasih contoh yang moga-moga ini sangat berkesan. Anda bayangkan di satu kelas, di sekolah. Guru... melemparkan pertanyaan. Satu soal dilemparkan. Siapa yang bisa menjawab akan saya kasih. Sudah disiapkan bintang yang biasa untuk diberikan Pak Tanar sebagai penghargaan. Itu sangat menarik. Nah, begitu guru selesai memberikan pertanyaan, anak-anak itu sangat antusias untuk menjawabnya. Hampir semua anak itu ingin mendapatkan giliran menjawab pertanyaan. Apa yang dilakukan anak-anak itu? Ada yang teriak-teriak, saya bu, saya bu. Ingin diberi kesempatan menjawab. Yang lain tidak mau kalah, dia maju ke depan. Di depan gurunya, saya bu, saya bu. Ada yang lain lagi, berdiri di atas kursi, saya bu, saya bu. Saya bisa. Nah, lalu ada satu anak yang duduk manis. Di pojok kanan depan, dia tidak maju ke depan, tidak teriak, tidak naik ke kursi, dia cukup angkat tangan. Dia angkat tangan. Begitu guru mengamati, ternyata yang diberi kesempatan menjawab adalah anak yang duduk manis, dia angkat tangan. Lalu anak-anak, dan dia menjawab dan benar. Lalu dia dapat hadiah. Setelah itu, apa yang terjadi? Ketika guru melomparkan pertanyaan, tidak riuh rendah teribut menjawab, tapi cukup angkat tangan. Itu vicarious learning. terjadi kayak begitu. Apa yang terjadi? Ada model yang menampilkan perilaku tertentu, lalu direinforce, diberikan konsekuensi. Riwatnya sesuatu yang berharga. Jadi ini yang mungkin menarik. Kalau dulu saya belajar, awal-awal teori belajar itu, saya maunya begini, ada misalnya tujuh teori belajar. Saya mengharapkan semua ini mempelajari hal yang sama, menjelaskan hal yang sama. Ternyata tidak. Masing-masing teori itu menekankan, memfokuskan pada aspek tertentu, sehingga kita tidak bisa membandingkan secara apple to apple masing-masing teori itu. Teori conditioning klasik, dia menjelaskan tentang belajar emotional reaction, reaksi emosional. Yang minggu lalu kita bahas. Kemudian, operan conditioning dia belajar tentang goal-seeking behavior, tentang perilaku untuk mengejar tujuan. Self-replication juga bagian di sana. Yang lain lagi, self-efficacy tidak bisa dibentuk melalui, tidak bisa dijelaskan melalui kondisi yang klasik, dan juga tidak bisa dijelaskan melalui conditioning operan. Yang bisa menjelaskan adalah teori belajar sosial dari Pandora. Jadi ini Pandora luar biasa sekali. Oke, setambah sedikit lagi setelah ini. Nah, lalu tadi saya jelaskan Bu Yogi. Selektrikasi itu penting sekali. Penting sekali. Bagi siapa penting ya? Tadi bagi siswa. Bagi guru penting nggak? Oh, penting. Maka ada instruksi, apa namanya, efekasi. Atau kalau Wolf Fokhoy dari OSU, Ohio State University, menyebutnya sebagai teacher sense. atau teachers efficacy, itu juga penting. Kenapa begitu? Tadi kita sudah banyak diberikan contoh, orang yang efekasinya tinggi itu motivasinya akan tinggi. Kalau efekasinya rendah, motivasinya akan rendah. Maka penting punya self-efficacy yang tinggi. Nah tentu pertanyaannya adalah bagaimana caranya supaya kita... atau murid kita mempunyai self-efficacy yang tinggi. Saya akan, mungkin tadi sudah disampaikan, kita bisa ingin mengolah kepada anak kalian ini. Coba, apa yang bisa dilakukan oleh Anda sendiri untuk memiliki self-efficacy yang tinggi, atau apa yang bisa Anda lakukan kepada mungkin murid Anda suatu saat Anda punya... mahasiswa, atau punya murid, atau punya menti, yang di mentoring itu menti. Itu supaya tinggi, apa yang harus dilakukan? Silahkan. Mungkin ada yang akan menyampaikan jawaban? Kalau tidak, saya teruskan. Ada? Sarah, Pak. Ada. Oke, silahkan Sarah. Apa yang harus dilakukan, atau yang bisa dilakukan? Silakan Sarah. Mungkin sebagai guru, saya bisa ngasih softwares ke diri saya kalau saya yakin dapat menyampaikan pembelajaran dengan baik untuk murid saya. Kita mesti merucuk pada hasil risetnya Bandura. Kita mengacu pada sumber-sumber self-requies. Ini implikasinya harus begini, harus nyambung betul. Sumber. atau faktor self-efficacy, itu adalah cara untuk kita paham bagaimana self-efficacy itu bisa terbentuk, bisa ditingkatkan. Yang paling ampuh dari semua sumber, faktor, itu adalah unactive mastery experience. Ingat tadi, learning by doing itu, belajar itu adalah melalui mengalami sendiri. Lalu kata kuncinya di sini, kalau anak itu... mengalami keberhasilan secara langsung, secara nyata dikasih tugas. Misalnya nih dari guru matematika, soal dia bisa jawab. Oh dia akan tumbuh efekasinya. Sebab dia mengalami keberhasilan sendiri. Ini sumber yang paling kuat. Anak yang tadinya tidak memiliki sifat efekasi, itu bisa serta-merta tinggi efekasinya. Ini dulu ada cerita menarik ini. Saya itu termasuk terdiam-diam itu mengalami teorinya Bandar Raya. Saya dulu pindah dari kota Prokerto, karena ayah saya pindah ke Aji Barang, saya masuk di sekolah, apa namanya negeri sana, ditempatkan di kelas yang bodoh-bodoh, paling rendah itu, A, B, C, D, setempat kelas D. Di situ pas belajar matematika, guru kasih soal. Lalu anak suruh maju. Tidak bisa, dimarahi. Ada yang anak memang jagoan prekelah, suruh maju, hanya diam saja, dipukul sama gurunya. Lalu siapa yang bisa? Saya angkat tangan. Saya maju, saya... Jawab di papan tulis, apa kata guru saya? Lihat nih, anak kota. Pinter. Wah itu langsung saya bangkit selefikasinya. Kenapa? Saya mengalami sendiri keberhasilan. Itu dia. Jadi kalau Anda ingin membangun selefikasi anak siswa murid Anda, beri fasilitasi agar dia bisa mengalami keberhasilan dan secara berkelanjutan. Artinya apa? Kalau hasilnya tugas itu, jangan langsung yang berat. yang tidak terlalu sulit, yang kemungkinan anak tinggal dibantu sedikit dia bisa sukses. Terus begitu. Jadi kata kunci pertama adalah memfasilitasi untuk mengalami keberhasilan. Ini yang sangat penting. Kalau ini dimiliki, sudah ini modal sangat penting untuk mengangkat selekasi anak. Lalu yang kedua, vicarious experience. Kalau kita ingin membangun selekasi anak, maka kita harus tunjukkan model seorang yang efekasinya tinggi, yang akan dijadikan model. Ini bahasa Jawanya begini, ne konso kukai iso, aku yo iso. Jadi di dalam benaknya itu begitu. Fikir harus aspirasi itu melihat, oh ne iso, aku yo iso. Tapi bayangkan kalau modelnya itu adalah orang dewasa, Kita sama dengan dia, ya woy, wong, deney, wong, hebat. Tapi akan tidak ngefek. Tapi kalau yang sebaik, ini vicarious akan ngefek. Nah, lalu yang ketiga, supaya kita bisa membangun atau meningkatkan integrasi adalah memberikan persuasi verbal. Ayo, kamu bisa. Kemarin kamu pas ujian itu bisa ngerjain soal yang ini. Yang ini pasti bisa. Jadi, persuasi verbal. Ini bisa diberikan. Biasanya yang sangat kuat pengaruhnya adalah pelatih. Pelatih itu dia sering menggunakan jurus persuasi verbal. Tapi persuasi verbal ini tidak akan ada efeknya kalau di nomor satu ini tidak pernah dimiliki. Ayo, kamu bisa. Tapi begitu ngerjakan, aduh, nggak bisa, gagal. Itu efekasinya akan jatuh. Jadi dari tiga ini, menurut risetnya Bandura, an active master experience ini yang paling kuat, paling powerful. Jadi kalau Anda ingin memiliki selekasi tinggi, Anda harus capek ini. Caranya bagaimana? Bahan-bahan kuliah yang ada, Anda harus tak terapi. Kalau ada yang nggak bisa, turun di bawahnya. Anda belajar. Jangan menunda persoalan. Yang nggak udang, Anda simpan. Anda simpan, nanti di gudang memori Anda. tersimpan sampah-sampah yang bikin Anda susah tidur, itu membuat spesifikasinya rendah. Maka, terus Anda pelasari, saya kemarin perjelasan yang ini, langsung cari, Anda bisa pelasari. Oh, saya bisa. Pengalaman inilah yang akhirnya membangun Selegasi Anak Nih Tinggi. Lalu ada lain yang, ini dia. Tadi saya ingin menegaskan saja, Sung atau Sang ini menjelaskan ada proses motivasi yang kata kuncinya tiga, anak yang motivasi tinggi itu diukur dari pilihan tugas. Kalau dia waktu bebas, boleh melakukan apa saja, kok dia milih melakukan tugas-tugas akademik, itu berarti dia motivasi akademiknya tinggi. Persisten, tadi sudah dijelaskan. Persisten itu paling nampak kapan? Anak itu persistennya tinggi. Persisten itu tangguh, ulet. Kapan anak itu nampak ini persistennya tinggi, ini rendah. Kapan bisa kita kenal itu? Ketika anak menghadapi kesulitan. Kalau tugasnya gampang-gampang, enggak. Nampak mana yang persistensinya tinggi, mana yang rendah. Tapi ketika dihadapkan oleh tugas sejulit, akan nampak mana ini. Anak yang persistensinya tinggi, mana yang rendah. Dan persistensi ini, kata kuncinya adalah self-efficacy. Sebab apa? Dia mencoba gagal. Tapi dia yakin bisa, maka dia akan coba lagi. Itu dia, betapa penting self-efficacy itu. Akan membangun persistensi. Nah, proses motivasi itu ada tiga faktor itu. Goals, tujuan. Kalau orang itu punya tujuan, saya ingin ini, saya kuasa ini, saya ingin IP-nya 4, saya ingin lulus sekian-sekian. Ada goals yang ingin dia capai. Lalu value, hal berharga dari capaiannya itu. Kalau saya punya S1, ini nanti saya akan bisa pakai lanjut S2. untuk melamar pasangannya dan sebagainya. Ekspektasi, harapan. Nah, ekspektasi ini sesungguhnya dasarnya adalah seleb edukasi. Dia akan tinggi ekspektasinya kalau seleb edukasinya tinggi. Nah, ini yang saya risau dulu, ada banyak teori istilahnya masing-masing beda-beda, itu yang akhirnya saya membuat riset sampai dulu di Kanada itu. Dan Alhamdulillah sudah berhasil menyusun teori motivasi trisula. Ini sudah published di Jurnal Psikologi UGM tahun 2014. Model motivasi trisula, sintesis baru, teori motivasi berprestasi. Ini saya pakai silah yang lebih menjelaskan tentang prosesnya. Jadi motivasi akan tinggi kalau satu. Anak itu mempunyai task value, artinya menemukan nilai dari tugas yang dihadapi. Nilai itu bisa nilai instriksik, kalau dulu namanya motivasi instriksik, ternyata ini nilai instriksik. Dia senang bidang itu, dia asing dengan itu. Atau utility value, ini dulu namanya motivasi ekstrinsik, nilai guna. Kalau saya matematik tinggi, lalu saya nggak bernyambung, saya bisa jadi arsitek. Ini utility value. Lalu saya tambahkan satu lagi. Karena ini cocok dengan Pak Hasila, yaitu spiritual value. Nilai spiritual dari tugas. Ini unsur yang pertama, plus value. Kemudian yang kedua, self-efficacy. Orang akan tinggi motivasinya kalau self-efficacy-nya tinggi. Dan yang ketiga adalah goal orientation. Ini tadi, dia menetapkan tujuan. Menetapkan itu, men-setting, maka namanya goal setting. Jadi pekerjaannya adalah men-setting tujuan, tapi komponennya adalah goal tujuan. Ini saya kira hal penegasan saja tadi dari apa yang sudah direkan sangat bagus oleh Bu Yogi. Saya akan tutup slide ini. Mungkin ini di sisa waktu ada pertanyaan-pertanyaan. dari kalian sepredilakan. Silahkan. Siapa? Riham. Oke, silahkan Riham. Saya Riham dari Rombol. Di sini kan faktor self-efficacy itu ada vicarious experience. Nah, itu kan bisa juga disebut proses belajar dengan cara mengamati model. Jika mengamati model itu, kita semakin buruk di tubuh. Ini sedang ada suara lain, boleh dekat mic suaranya supaya lebih keras. Rima, Riam. Di dalam faktor self-efficacy itu kan ada Pak Karius experience, atau bisa disebut dengan proses belajar dengan cara mengamati model. Nah jika kita mengamati model itu, model tersebut, kita semakin buruk. Itu apakah termasuk mempengaruhi self-efficacy? Dan apa itu termasuk vicarious experience? Atau vicarious experience itu hanya mengamati hal-hal yang membuat kita baik saja atau lebih baik dari sebelumnya? Ya, model ini kita amati lalu akan bisa kita ambil atau tidak kita ambil. Bisa kita ambil, tidak kita ambil, tadi ada faktornya banyak. Nah, lalu... Kalau ingin membangun selefikasi, maka Riham ini harus memilih model sukses. Jangan sebaliknya, pilih model yang tidak sukses. Itu lagi belajar untuk gagal. Maka bergaulah dengan orang-orang soleh itu. Artinya soleh itu sukses itu. Oh ini orang ini maju. Nah yang Anda tiru, yang males-malesan, yang Anda lihat, yang sukanya buang-buang waktu, itu self-reliasinya akan jadi rendah. Anda harus lihat. model-model yang saling lebegasinya tinggi. Dan tentu itu adalah yang sebaya dengan Anda itu akan jadi lebih apa namanya, lebih ngefek. Ada kesamaan pada kemarapan. Jadi jenis modelnya, tidak semua model. Gitu ya, Rekrimaya. Pilih model. Ya, mohon izin menambahkan Pak Edi. Tadi saya sudah sampaikan bahwa yang namanya model itu, kita tidak hanya sekedar meniru begitu saja ya, dari ham dan kawan-kawan, tetapi kita punya kemampuan untuk memilih, seperti yang disampaikan oleh Pak Edi. Pahami lagi tentang definisi self-efficacy. Self-efficacy itu adalah keyakinan kita, akan kemampuan diri kita untuk, kalau lebih mudahnya dalam konteks akademik begitu, kemampuan keyakinan kita atau penilaian kita mengenai kemampuan diri kita untuk memilih. menyelesaikan tugas sampai tuntas. Nah kalau misalnya tadi yang Riham anggap modelnya itu malah justru memperburuk berarti hal itu ya gak bisa di pengaruhnya jelek juga pada self-efficacy kita artinya apa? yang menjadi tujuan Riham itu gak akan tercapai kalau model atau yang Riham biru itu tidak sesuai dengan ekspektasi Rihal. Dan juga kawan-kawan. Jadi begitu. Oke, sampai sini ada gambaran? Oke. Ya, masih ada 2 menit. Silakan yang mau bertanya. Masih ada? Yang lain? Ya, ada 2 orang Pak Edi. Ada Anggita dan Sivana. Silakan Anggita. Oke, silakan. Sebenarnya saya hanya ingin bertanya self-efficacy itu apakah bisa ditingkatkan dengan cara pemberian reward gitu Bu? Pemberian reward? Iya Pak, sudah. Tadi sumbernya tiga tadi tuh. Jadi yang apa namanya, jadi gini self-efficacy itu apa sih? Self-efficacy itu ada keyakinan. Bahwa dirinya punya kemampuan untuk sukses. Kalau dia punya keyakinan untuk sukses, akan motivasi akan tinggi. Nah, ribet itu nanti efeknya kemotivasi. Tapi kalau selefikasi itu pada keyakinan. Jadi instrumen yang mengukur selefikasi itu, item-itemnya selalu berkaitan dengan seberapa yakin Anda untuk ini. Nah, itu dia. Nah, keyakinan itu... yang dikasih nama dengan salvegesi itu dibentuk, kalau dari 4 sumber tadi yang disampaikan Bandura, saya ambil 3. Yang keempat itu kita susah untuk mengontrolnya. Tapi kalau yang 3 itu jelas sekali. Beri kesempatan anak untuk mengalami keberhasilan secara berkelanjutan. An active mastery experience. Lalu yang kedua, kasih model yang bisa yang berharga, itu tadi ya, model yang berharga yang bisa ditiru oleh siswa. Misalnya di kelas untuk maju itu, bisa ditelankan alumni dari sekolah itu. Bawa, disuruh dia cerita dulu waktu di SMA, apa yang dilakukan. Itu adalah cara untuk membangun keyakinan yang namanya selektifikasi. Dulu ketika saya kuliah satu, Belum ada itu bukunya Bandura. Adanya adalah self-confidence. Kepercayaan diri. Ya makasih saya kasih riset judulnya kepercayaan diri. Lalu yang ketiga adalah persuasi verbal. Ayo kamu bisa. Kamu matematiknya bagus, maka statistik mestinya kamu akan bisa. Itu persuasi. Jadi tiga itu saja. Nah kalau kita akan memperkuat motivasi. Motivasi kan kata kuncinya adalah dia... punya dorongan kuat untuk melakukan sesuatu yang memenuhi tujuan dia, akan membuat mencapai tujuan. Saya kira itu jelasannya. Baik, Pak. Tadi soalnya pikiran saya terperangkap ke contoh Bapak yang tadi mencontohkan ada anak yang duduk manis sambil angkat tangan terus dia dikasih reward gitu, Pak. Ya, itu bukan membangun selebikasi itu. Itu adalah contoh vikarius learning. Tolong dipisahkan ini ya. Dipisahkan. Satu lagi menjelaskan selebikasi, keyakinan. Satu adalah sedang membangun perlaku. yang kita bentuk melalui model. Jadi yang kita tiru itu bisa dua. Yang bisa kita tiru adalah keyakinannya. Dia bisa, saya juga bisa. Tahu ya itu ya. Lalu yang kedua, apa yang dilakukan, saya akan tiru. Dia kalau pagi bangun 4, lalu sholat subuh, setelah itu baca Quran 15 menit misalnya, kok dia di kelas jagoan ya? Dia kalau Senin sama Kemis puasa, lalu nilainya saya tiru. Lalu dia punya rencana kegiatan harian, jam ini bangun ngapain aja, lalu saya tiru. Itu adalah Vicarious Learning meniru perlakunya. Kalau yang kedua tadi, yang ditiru adalah keyakinannya. efekasinya. Jadi ada dua ya Anggita ya, ada dua hal berbeda ya. Baik Pak. Terima kasih Pak atas penjelasannya. Baik, kayaknya masih ada satu lagi. Masih ada dua atau satu tadi Pak. Ini sudah lebih, mau diberi kesempatan untuk bertanya atau sedahi? Supaya tidak kecewa ya, silakan. Silakan Sivana. Baik, terima kasih. Tapi sebenarnya saya, boleh ya Bu, ambil penjelasan dari bukunya Hergenhen, Bu. Saya jadi baca bukunya Hergenhen yang Learning Theory. Itu tentang regulasi diri. Di situ dijelaskan Bandura mengatakan, jika standar performa seorang terlalu tinggi, standar itu dapat menimbulkan tekanan. Dalam arti, jadi tujuan dengan tingkat keseluruhan moderat, kemungkinan akan menicu motivasi lebih besar dan memberi kekuasaan. Saya kurang paham maksudnya moderate itu yang seperti apa ya Pak Bu? Terima kasih. Ya, baik. Jadi ini yang dikaitkan dengan teorinya McLellan itu ya. Orang yang punya motivasi prestasi, achievement motivation yang tinggi adalah yang dia mempunyai, menyukai tugas yang tingkat kesukarannya moderat. Sulit banget tidak, rendah banget juga tidak. Anda misalnya menetapkan, saya ingin IPK-nya 4. Nah itu berarti menetapkan standar terlalu tinggi. Atau yang sebaliknya, saya cukup 2 saja. Nah itu berarti terlalu rendah. Nah yang bagus, motivasinya adalah moderat. Tentu ini sesuai dengan kemampuan. dengan menetapkan yang terlalu tinggi, maka ini akan memberi tekanan yang luar biasa pada dia untuk mengejarnya. Mungkin dia termasuk orang yang ambisius. Boleh saja suatu saat dia akan berhasil, dia mencoba lagi terus, tapi orang yang semacam ini, itu akan diliputi stres. Hidupnya diliputi stres. Karena apa? Dia selalu mencapai standar yang melebihi kemampuannya. Nah, yang bagus itu, adalah selalu sesuai dengan kemampuan. Tapi soal kemampuan ini juga rahasia Tuhan itu. Jadi kita enggak tahu kemampuan kita itu seberapa kayanya Tuhan itu, asal kita mau baik-baik sama Tuhan itu, kita akan dikasih itu sendiri kemampuannya. Jadi ada dulu waktu sekolah enggak pinter-pinter, lama-lama jadi tambah pinter itu. Jadi itu artinya ada kemampuan yang di-installkan. Tapi saya punya catatan ini, indikator motivasi berprestasi dari McLellan, Anda mungkin pernah baca bukunya McLellan, bahwa tanda motivasi yang tinggi adalah menyukai tugas yang tingkat kesukarannya moderat. Ada kalimatnya begitu. Saya buang itu. Kenapa? Itu susah mengukurnya. Bagaimana kita bisa tahu Sivana ini terutama moderat atau tidak. Kalau kita buat item yang moderat itu yang kayak apa tingkat sukaranya. Kalau saya senang tugas yang tingkat sukaranya sedang, ini bagi satu yang lain beda-beda standar sedangnya. Jadi itu bukan ukuran yang valid untuk mengukur motivasi. Maka kalau Anda perhatikan, McLellan, buku paling baru adalah tahun 1987. sampai sekarang tidak ada lagi revisi. Maka buku itu sudah dianggap usang, sudah tidak dipakai lagi. Sekarang yang dipakai adalah bukunya Pintri Sung, Zimmerman, itu yang menjelaskan tentang motivasi. Nah, oleh sebab itu, kita selalu mengupdate. Begitu, Sivana. Sudah jelas, Sivana? Sudah, Bu. Terima kasih. Iya. Sudah? Tidak ada yang bertanya lagi? Baiklah. Ini waktunya sudah lebih 7 menit. Saya suka ini seperti ini, Pak Edi. Karena banyak sekali respon dari Anda positif. Ini akan menambah semangat. Akan menambah semangat kami dan menambah self-efficacy juga, Pak Edi. Mengasihkan. Mengasihkan. Kita kalau senang itu... Saya dilupa waktu. Iya, betul sekali. Saya ingat sedikit saja ini. Ada teorinya Milhali. Itu saya tulis di buku Psikologi Terapan yang bersama Bu Menuk. Jadi begini. Ini ada kaitan dengan salifikasi. Kalau orang salifikasinya tinggi, kemudian dikasih tugas yang rendah, tingkat keseluruhannya rendah, maka dia akan bosen. Boring. Coba kayak gini, suruh dia kerjakan, bosen. Tapi kalau efekasinya rendah, dikasih tugas yang tingkat kesukarannya tinggi, apa yang terjadi? Dia akan cemas. Pusing, nggak bisa, seminggu nggak cukup ini waktunya harus dua minggu. Pusing. Yang paling bagus yang ketiga itu, kalau dia efekasinya tinggi, dikasih tugas yang tingkat kesukarannya juga tinggi, maka di situ akan tercipta yang namanya flow. Flow, hanyut dalam tugas. Dia akan mengerjakannya. Itu dia, mengasihkan sekali. Jadi ternyata sertifikasi ini sangat penting untuk Anda bisa flow dalam belajar. Jadi kalau Anda sekarang ada yang tertekan, kok nggak habis-habis belajar ngomong apa itu, ini tanda-tanda jangan-jangan Anda sertifikasinya rendah. Anda harus belajar apa yang kurang selama ini untuk Anda bangun sertifikasi. Ini sekaligus belajar untuk diamalkan. Sebab kalau punya ilmu nggak diamalkan, dosa Anda itu. Dosa ini sudah terampun-ampun. Maka setelah ini nanti Anda cek, mana yang belum. bisa kuasai, Anda belajar lagi, sehingga Anda menjadi pribadi yang efikasinya tinggi. Sekiranya begitu, Bu Yogi, terima kasih. Oke, maturnuan Pak Edi. Terima kasih juga untuk Anda semua yang sudah mengikuti perkuliahan ini dengan tertib. Oke, baik. Kami akhiri, teman-teman semuanya. Semoga bermanfaat materi pada hari ini. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.