Transcript for:
Karakteristik Peserta Didik di Era Digital

Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro selamat malam dan salam sejahtera bagi kita semua shalom om swastiastu nama buddhaya salam kebajikan saya ucapkan selamat datang bapak ibu pasal Peserta seminar yang telah tergabung di room zoom dan juga streaming youtube Dalam acara seminar nasional Pentingnya memahami karakteristik peserta didik Untuk penerapan pendidikan moral di era digital Pada hari ini Jumat 19 Juli 2024 Bersama saya Anah Mimas sebagai moderator dalam acara pada malam hari ini Bagaimana Pak Ibu peserta seminar nasional? acara pertama yaitu akan ada menyanyikan lagu Indonesia Raya silakan kepada seluruh peserta untuk bersiap dengan sikap sempurna Intro Baik, untuk acara selanjutnya yaitu sambutan dari founder Diklat Online, kepada Kak Muhammad Khairan, disilahkan. Mohon maaf, Khairan masih mute. Oke, terima kasih Kak Ana. Suara saya bisa terdengar jelas? Terdengar, Kak. Oke, terima kasih. Assalamualaikum, selamat malam semuanya, Bapak, Ibu yang ada di seluruh... Indonesia ya, apa kabar malam hari ini? Bisa dibantu tulis di kolom chat ya, baik yang ada di Zoom maupun yang ada di YouTube. Oke, oke baik. Luar biasa. Kabar baik. Oke, terima kasih. Dan ini nggak tahu nih Bapak-Ibu semuanya ya, kalau di tempat saya itu rasanya malam dan juga pagi itu terasa sangat dingin bagi saya. Karena saya termasuk orang yang kurang bisa bertahan dengan kedinginan ya. Apalagi dinginnya pasangan kita, dinginnya istri, dinginnya suami. Wah, itu bahaya sekali. Oke, sedikit intermezzo ya Bapak-Ibu. Saya senang di sini ketemu lagi dengan Bapak-Ibu yang luar biasa di hari Jumat. Besok ada yang libur, ada yang masuk, dan kita sudah menjelang di weekend. Dan tentu malam hari ini kita bertemu di sini semuanya. Tujuannya adalah untuk saling belajar. Nah, saling belajar bersama. Dan tema malam hari ini yang kita angkat yaitu dalam seminar nasional pentingnya memahami karakteristik peserta didik. Dan itu tujuannya untuk pendidikan moral. Nah kenapa kok itu yang kami angkat? Tentu pertama itu menjadi salah satu permintaan yang cukup tinggi dari para peserta. Sebelumnya kita share survei dan ternyata banyak sekali peserta yang memang menginginkan untuk mengangkat tema ini. Yang pertama itu. Yang kedua tentu kenapa penting? Karena gini Bapak-Ibu semuanya, kita paham bahwa kita harus memahami karakteristik peserta didik kita masing-masing. Baik Bapak-Ibu yang ada di tingkat paut, ada yang di TK, ada yang di SD, SRAJAT, SMP, dan juga mungkin di SMA, bahkan di perguruan tinggi. Itu pasti memiliki karakteristik-karakteristik yang berbeda. Nah apalagi sekarang di era... digital. Nah itu seperti apa? Kita akan belajar dengan seorang narasumber yang memang sudah dalam pakarnya ya. Malam hari ini sudah hadir di tengah-tengah kita ada Kak Dori, seorang psikolog pendidikan yang akan berbagi. Semoga harapannya malam hari ini kita bisa dapat belajar bersama, saling berbagi pengetahuan, saling berbagi pengalaman, bahwa mengenal karakteristik peserta didik itu sangat penting dalam upaya untuk pendidikan moral, karena tentu di setiap jenjang usia, di setiap jenjang pendidikan itu pasti memiliki karakternya masing-masing dan itu ada penanganan penanganan yang memang itu berbeda, tidak bisa disamakan yang ada di perguruan tinggi kita samakan dengan yang ada di TK, yang TK tidak bisa kita samakan juga dengan yang nanti berada di SMA, tentu kita harus paham betul karakternya itu seperti apa, nah itu harapan yang dapat... saya sampaikan, semoga kita di sini semuanya dapat saling belajar satu sama lain, termasuk saya juga, saya senang sekali memantau, artinya apa, kalau saya ikut mantau kan saya juga belajar, jadi banyak sekali hal-hal baru yang saya dapatkan. Oke, kurang lebih itu yang dapat saya sampaikan, semoga semuanya di sini dapat belajar dengan lancar, dengan tenang, dan juga dengan senang. Sekian, saya mohon maaf apabila ada kesalahan yang saya sampaikan. Sekian, selamat malam. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat belajar semuanya. Saya sampaikan kembali ke Kak Ana. Silakan, Kak Ana. Baik, terima kasih Kak Iren atas sambutannya. Betul sekali yang disampaikan oleh Kak Iren ya tentang bagaimana sih pentingnya memahami karakteristik peserta didik. Apalagi di era digital seperti sekarang ini. Nah Bapak Ibu, sebelum kita ke sesi materi, saya ingin... Menyambap Bapak Ibu dengan cara kita bersama-sama menyarakan tagline dari Diklat Online. Baik, jadi ketika saya bilang Diklat Online, Bapak Ibu bisa menjawabnya dengan semangat, sumber belajar bersama. Bagi Bapak Ibu yang ada di streaming Youtube, bisa ikut meramaikannya dengan cara memberikan komentar di kolom komentarnya. Baik, sudah siap Bapak Ibu, bisa diaktifkan mic-nya bagi yang ada di room Zoom. Saya mulai, Diklat Online. Hai semua belajar bersama luar biasa semoga yang kita awali dengan menyiarkan teklan bersama semangatnya juga tetap terjaga sampai akhir acara nanti hai hai Baik Bapak Ibu, di sesi materi bersama dengan pemateri kita yang luar biasa tentunya yaitu Ibu Arvila Ahad Dori. Tapi sebelum itu saya akan membacakan profil singkat dari narasumber kita pada malam hari ini. Beliau yaitu Ibu Arvila Ahad Dori, MPSI Psikolog, seorang psikolog pendidikan dan founder at Parent TV. Dengan karya dan pengalaman beliau yang pertama yaitu Training Specialist PT Nestle Indonesia pada tahun 2012 hingga 2013. Kemudian Awardee of LPDP Scholarship pada tahun 2013. Selanjutnya yaitu Associate Trainer and Counselor Engineering Career Center UGM pada tahun 2014 hingga 2017. Kemudian Psychologist Private Practice pada tahun 2017 hingga sekarang. Kemudian Founder and Content Writer at Parentific pada tahun 2021 hingga sekarang, dan Psychologist in Athlete Doctor pada tahun 2023 hingga sekarang. Selanjutnya yaitu Riwayat Pendidikan Beliau, yaitu yang pertama Master of Professional Psychology, Gejah Mada University pada tahun 2013 hingga 2017, dan Bachelor of Psychology, Gejah Mada University pada tahun 2008, hingga 2012. Buya Bapak Ibu itu tadi merupakan profil dari Narasumber kita pada malam hari ini dan juga sudah hadir tentunya. Mari kita sambut. Halo Bu Dori, selamat malam. Halo, selamat malam Kak Ana. Selamat malam Bapak Ibu semuanya. Senang sekali bisa hadir kembali di tengah-tengah Bapak Ibu semuanya lewat Diklat Online. Terima kasih. Oke, selamat malam juga Bu Dori. Bagaimana hari ini kabarnya Bu? Alhamdulillah baik Kak Ana, mudah-mudahan Kak Ana dan Bapak Ibu semuanya juga dalam keadaan baik pada malam hari ini ya Amin, pasti Ibu Oke, di malam hari ini kita akan membahas tentang pentingnya memahami karakteristik peserta didik ya Ibu Dori Betul, betul Kak Ana Oke, jadi langsung saja saya persilahkan Ibu untuk memulai materi pada malam hari ini, silahkan Oke, saya izin share screen Sudah terlihat belum ya, share dengan saya? Sudah, Bu. Sudah, oke. Baik, selamat malam. Saya langsung aja ya, Kak Ana ya? Iya, Ibu, silahkan. Oke, selamat malam Bapak, Ibu, semuanya. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pada malam hari ini, kita akan berdiskusi tentang suatu topik yang menurut saya sangat penting bagi kita sebagai orang tua dan juga bagi kita sebagai pendidik anak-anak kita, tentang bagaimana... kondisi moral atau pendidikan moral nih pada saat ini di era digital gitu nah tadi sudah dibahas sekilas oleh Kak Iron, kenapa sih kok penting membicarakan pendidikan moral anak, kenapa gitu sebenarnya sampai di cloud online ini sampai membuat sesi seminar nasional dan Bapak Ibu juga katanya tadi banyak yang ingin topik ini diangkat itu sebenarnya kenapa saya rasa Bapak Ibu juga sudah punya gambaran ya karena kita Belakangan ini atau beberapa waktu belakangan ini sering sekali terpapar berita-berita yang kalau saya pribadi itu kayak kok bisa sih gitu ya. Kayak nggak nyangka gitu kok bisa sih kaget juga banyak berita-berita yang ajaib gitu ya. Mulai dari kasus kekerasan anak kemudian apa namanya seperti yang data dari survei BKKBN tahun 2023 tentang hubungan seksual ternyata sekarang Bapak Ibu. tren remaja melakukan hubungan seksual di luar nikah itu usianya semakin dini. Jadi dari survei BKKBN ini terlihat dari remaja-remaja nih yang sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah, rata-rata mereka 60% itu mulainya usia 16 sampai itu diulas tahun. Itu kan suatu kenyataan, suatu fakta yang terus terang harus jadi bahan evaluasi dan refleksi kita bersama. Kenapa kok usia semuda itu sudah melakukan hubungan yang semestinya dilakukan oleh orang dewasa, bukan usianya. Kalau saya ingat dulu itu di usia 16-17 tahun saya itu masih asik-asiknya main sama teman-teman SMA gitu ya. Kejar-kejaran ujian gitu, nggak kepikiran untuk melakukan hal-hal yang sekarang banyak dilakukan anak-anak. Tapi ternyata pada kenyataannya sekarang usia 16-17 tahun sudah mulai melakukan hubungan yang seharusnya tidak mereka lakukan. Itu dari satu segi hubungan seksual. Kemudian dari aspek lain Bapak Ibu, tentang perundungan atau bullying. Ini juga isu yang makin kesini itu kalau kita rasa bukannya semakin menurun nih data-datanya, angka-angkanya, tapi kasusnya semakin kebuka, semakin bermunculan satu dengan lainnya. Dari hasil asesmen rapor pendidikan tahun 2022 ternyata satu dari tiga siswa di Indonesia ini mengalami berbagai bentuk perundungan atau bullying. Bisa kita bayangkan kalau misalnya siswanya katakanlah ada 50 juta di Indonesia, ada berapa anak yang mengalami berbagai bentuk perundungan ini? Dari yang mengalami itu, ada berapa yang mendapatkan pendampingan psikologis. Ada berapa yang kemudian masih tetap bisa melanjutkan hidup dengan baik-baik saja. Itu kan suatu data yang semestinya harusnya nggak setinggi ini presentasinya. Tapi kenyataannya di Indonesia seperti ini. Dari aspek yang lain, kita juga melihat dari kekerasan, baik kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis. Dalam kurun waktu 6 bulan saja di tahun ini sudah ada 10.000 kasus kekerasan. Mulai dari kekerasan korbannya anak, pelakunya juga anak pun ada. Bahkan dari data yang di sebelah kanan ini ada diagram tindak kejahatan dan perilaku kriminal anak yang menerima bantuan hukum tahun 2020 sampai 2022. Ini ada 2.300. Ini baru dari satu lembaga bantuan hukum. Dan ini adalah kasus yang mendapat bantuan berapa kasus yang tidak mendapat bantuan berapa kasus yang dibantu oleh lembaga hukum lain berapa kasus yang bahkan tidak terungkap ke media massa atau ke sosial karena sekarang kalau kita lihat dulu kita membayangkan misalnya ada kejadian kriminal kemudian ada pelanggaran hukum yang langsung terpikir di kepala kita adalah pasti pelakunya adalah orang dewasa tetapi sekarang ternyata Semakin ke sini, anak dan remaja pun juga ada dalam jajaran pelaku itu. Nah, sebenarnya ini kenapa sih? Kenapa kok bisa seperti ini? Bagaimana moral ini, pendidikan moral dan perkembangan moral anak, berkontribusi terhadap munculnya fenomena permasalahan ini? Nanti kita akan bahas di belakang. Nah, apa sih tantangannya pendidikan moral di era digital? Kalau kita lihat dari kurikulum kita tahun-tahun sebelumnya, termasuk ketika kita masih kecil, masih sekolah, Pendidikan moral itu selalu ada. Mulai dari dulu namanya PPKN, membuang sampah termasuk sikap terpuji atau tercela gitu kan ya, tipe-tipe soalnya gitu. Nah, sampai sekarang bergeser ke sini pendidikan moral itu selalu ada. Tetapi kenapa kok kasus moralnya tidak turun? Kasus tentang hal-hal yang semestinya masuk dalam norma, masuk dalam standar, kenapa justru meningkat? Kenapa tidak turun? Itu yang jadi pertanyaan besar. Dan jadi keprihatinan kita bersama, saya yakin ya. Apalagi di era digital, tantangannya banyak sekali, Bapak Ibu. Yang pertama, paparan konten negatif semakin banyak. Setiap hari kita melihat ada contohnya kasus korupsi terbuka. Semakin banyak kasus korupsi terbuka ke media sosial, kita akan mengalami yang namanya desensitisasi atau kebel. Oh, korupsi mah udah biasa. Banyak kok. Itu nyatanya diberita banyak, kok udah biasa lah, emang begitu di negara ini? Kita justru kebal, padahal semestinya kita merasa ini nggak benar nih, ini nggak boleh. Ada juga paparan konten negatif, misalnya anak-anak remaja yang kemudian menjalin hubungan pacaran dan perilakunya sudah melampaui batas yang semestinya, misalnya dengan kontak fisik berlebihan dan sebagainya, itu dipaparkan di dalam media sosial mereka. Kemudian diimplikasi dengan di repost, kemudian yang lain juga mengikuti. Akhirnya semakin banyak itu jadi norma baru. Oh kalau sekarang remaja itu udah wajar kok peluk-pelukan kayak gitu, udah wajar kok begini. Jadi bukannya kita jadi sadar bahwa ini nggak benar nih, tapi kita justru yang namanya desensitisasi itu. Kita kebal, emang udah biasa. Padahal semestinya nggak seperti itu ya Bapak Ibu ya. Ini salah satu tantangan yang menurut saya paling besar. di era digital ini. Yang kedua adalah standar moralnya meluas dan makin bervariasi. Kalau dulu kita melihat perilaku kita baik atau enggak itu dengan cara membandingkan kanan-kiri kita, membandingkan tetangga, membandingkan anak di kanan-kiri kita. Satu desa, satu kelurahan, satu perumahan. Oh, aku berperilaku seperti ini sama dengan yang lain. Oke, berarti aku masih masuk norma. Tetapi sekarang standar moralnya semakin meluas. Karena dengan adanya teknologi, kita terpapar dengan berbagai macam standar moral. Tidak hanya dari lingkungan kita sendiri, tapi juga dari luar daerah. Tapi juga dari luar negeri. Yang itu mungkin berbeda dengan apa yang selama ini kita yakini. Sering kok lihat orang, contohnya yang tadi ya, sering kok lihat orang remaja-remaja liburan bareng ke luar kota. Sekarang banyak lho Bapak Ibu, masih. belum menikah, masih pacaran, tapi sudah liburan keluar kota. Dan itu di pos, di media sosial, di unggah di media sosial. Itu wajar kok di luar negeri juga kayak gitu banyak. Nah standar moral kita jadi tidak lagi sesuai apa yang selama ini kita pelajari, tapi ada contoh yang lainnya lagi. Nah ini yang berbahaya kalau yang kita anut adalah yang kemudian justru berisiko untuk diri kita dan lingkungan sekitar kita. Yang ketiga lingkup kehidupannya nggak hanya lagi di dunia nyata sekarang itu, ada juga dunia maya. Di dunia nyata aku temannya cuma lima, cuma sepuluh, tapi di dunia maya followersnya ratusan ribu. Kalau melakukan sesuatu di dunia nyata, ada orang yang mengkritik, eh, hal ini nggak baik loh kamu lakukan, tapi followersku suka. Tapi konten-kontenku disukain banyak orang. Jadi, apa yang dia pahami boleh, tidak boleh, itu jadi bias. Tidak boleh tuh di dunia nyata, tapi ternyata di konten itu, kalau aku unggah, konten ini, banyak yang suka loh, banyak yang nge-like. Jadi, anak itu atau remaja itu juga bingung sebenarnya. Boleh atau tidak? Kemudian yang keempat distraksi media sosial ini mendorong anak atau remaja atau bahkan kita orang dewasa untuk menampilkan citra diri yang sesuai standar. Sekarang itu pokoknya harus rapi, bersih, cantik, berdandan. Sampai ke anak kecil pun begitu. Pentas seni semuanya didandanin pakai bajunya yang stylish segala macam. Padahal dulu kalau kita lihat anak-anak kecil pentas itu dandanannya sederhana bahkan kadang nggak pakai makeup gitu ya. Baju-bajunya juga baju sehari-hari. Tapi sekarang berlomba-lomba supaya kalau nanti di foto bagus. Supaya nanti kalau di video itu cakep. Jadi ada standar untuk menampilkan citra diri yang bisa diterima oleh hal layak di dunia maya. Dan yang paling dalam tanda kutip mengerikan ya. Di dunia maya ini ada pilihan anonim Bapak Ibu. Pasti Bapak Ibu pun merasakan sampai saat ini ya. Ketika kita lihat satu postingan, satu ugahan, banyak sekali akun-akun yang bukan akun real atau akun pribadi. Ada yang akun kloningan, ada yang akun fake, ada yang akun baru bikin hanya untuk mengeluarkan kata-kata yang menyerang misalnya. Dan itu semuanya anonim. Jadi cyberbullying atau perundungan di dunia maya sekarang juga semakin meningkat karena ini. Karena ada pilihan untuk kita tidak menunjukkan identitas diri kita. Dan yang terakhir adalah perubahan teknologi ini cepat dan orang dewasa kesulitan mengawasi perubahan teknologi ini. Karena kita dulu taunya handphone itu ya begini ini, laptop itu ya begini. Tapi sekarang perkembangannya luar biasa. Masya Allah ya anak-anak kita lebih jago. Ini juga suatu tantangan untuk pendidikan moral. Ternyata masih ada satu lagi yang terakhir yaitu berubahnya pola interaksi sosial. Kalau dulu kita berinteraksi tatap muka. Bicara ada kalau orang Jawa itu ada unggah-ungguhnya, ada sopan santunnya, menundukkan kepala, bahasanya tertata, nada bicaranya rendah. Tetapi sekarang pola interaksi lewat chat makin marak. Sering kali saya mendengar keluhan dari bapak ibu guru atau dosen gitu ya. Sekarang anak-anak kalau ngomong, kalau ngechat dosen atau gurunya itu kayak ngechat ke temen gitu. Kadang-kadang tidak dimulai dengan Assalamualaikum atau selamat pagi, tapi cuma P. Saya tidak mengerti itu apa sih artinya P itu. P, Bapak ada di mana? Nah, ini karena pola interaksi yang berubah. Jadi sopan santun, standar sopan santun, standar etika, itu pun juga ikut berubah. Nah, kalau kita mau bicara tentang pendidikan moral ke anak, artinya kita mau mendidik dan mengajarkan anak, maka kita sebagai orang dewasa perlu paham dulu apa yang dimaksud dengan moral. Gak mungkin kita bisa ngajarin anak tanpa kita menguasai tentang moral itu sendiri gitu ya Bapak Ibu. Jadi di sesi ini saya juga akan membahas tentang apa yang dimaksud dengan moral. Moral ini adalah pandangan tentang apa yang dianggap baik, buruk, boleh, gak boleh, benar, salah, adil, tidak adil, dan seterusnya. Jadi ada standar yang mungkin tidak tertulis, tetapi itu diamini bersama oleh masyarakat di sekitar situ. Biasanya moral ini dipandu atau... Selaras dengan aturan agama, budaya, filosofi sosial, dan tradisi tertentu. Jadi moral ini bisa standarnya berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Begitu ya. Nah, terwujudnya dalam norma untuk mendukung perilaku individu yang supaya dia harmonis hubungannya dengan orang lain. Nah, kalau etika, ini adalah refleksi dari moral. Jadi moral ini lebih ke personal, ke diri kita. Standar moral kita seperti ini mungkin beda dengan standar moral orang lain. Etika ini dibuat atau disusun secara rasional untuk menengahi perbedaan standar moral ini. Kalau di luar negeri, menggunakan pakaian yang minim, kelihatan banyak kulitnya itu masih masuk standar moralnya mereka. Tetapi di Indonesia, menggunakan pakaian yang minim, kelihatan kulitnya banyak gitu ya, di public space, di tempat umum, itu nggak masuk standar moralnya kita. Nah, disitulah muncul etika. Etikanya orang luar negeri kalau datang ke Indonesia, gunakanlah pakaian yang sepantasnya, apalagi di tempat-tempat umum yang... Misalnya bukan di pantai gitu ya Di mall atau di pusat perbelanjaan Di perkantoran atau di public space lainnya Itu yang disebut dengan etika Menurut mereka itu masih masuk standar moral mereka Iya pakai baju minim Tapi di kita enggak Jadi ada etika yang menengahi Nah kita sebagai manusia Sebagai anak, sebagai remaja dan orang dewasa juga perlu Mengetahui dan menaati etika yang ada di suatu daerah Oke Kalau topik malam ini adalah tentang karakteristik anak atau peserta didik, berarti kita harus bicara tentang perkembangan. Karena tadi seperti katanya Mas Iron gitu ya, di setiap jenjang itu anak punya karakteristik yang berbeda-beda. Punya kehasan berpikir, kehasan perilaku yang berbeda antara satu jenjang dengan lainnya. Dan perkembangan moral pun ternyata menyesuaikan dengan itu Bapak Ibu. Jadi sumbernya moral ini dari mana? Moral atau... atau nilai-nilai yang kita pegang, itu sumber utamanya adalah dari otak, dari pikiran, dari cara berpikir kita. Sehingga perkembangan moral ini mengikuti perkembangan kognitif, perkembangan kemampuan berpikir anak. Ini ada dari Kohlberg, saya yakin Bapak Ibu juga sudah banyak yang familiar tentang perkembangan moral ini, tapi nggak apa-apa kita bahas ya. Perkembangan moral dari Kohlberg, ini yang pertama kita lihat ada tiga level. Setiap level ada dua tahapan. Level yang pertama, pre-conventional level, ini perkembangan moral di anak usia 3 sampai kurang lebih 9-10 tahun. Jadi anak usia dini, anak TK, anak SD ini masuk ke level 1 ini. Di tahap pertama kita lihat bahwa anak usia 3 sampai sekitar 6 tahun ini mereka mematuhi aturan untuk menghindari hukuman. Jadi prinsip mereka di sini adalah, aku mau melakukan ini. aku mengikuti standar ini supaya aku patuh pada, karena aku patuh dengan orang tuaku dan aku menghindari hukuman atau konsekuensi yang tidak menyenangkan baginya gitu, jadi adek ayo kita pakai baju yang rapi, oke aku pakai baju yang rapi kalau enggak nanti mama marah, misalnya seperti itu ayo kita segera masuk sekolah, supaya nanti apa namanya, tidak ada hukuman untuk kamu di, taruh di gerbang di depan gerbang, misalnya kayak gitu, nah anak-anak ini Di usia segini mereka orientasinya masih untuk menghindari konsekuensi yang tidak menyenangkan. Tidak hanya hukuman fisik tapi juga nada suara orang tua yang tinggi. Itu mereka nggak suka loh anak-anak umur segini. Umur segini ini mereka masih semangat-semangatnya untuk menyenangkan orang tua. Dan mereka juga senang kalau orang tuanya itu, senang kalau mereka melakukan sesuatu yang baik dan orang tuanya senang. Itu mereka suka banget. Jadi mereka melakukan sesuatu karena ingin patuh dan ingin menghindari respon tidak menyenangkan dari orang tuanya nih. Orang tuanya. Dia nggak pengen orang tuanya marah, nggak pengen orang tuanya nadanya tinggi, nggak pengen orang tuanya sedih. Jadi apa yang harus kita lakukan untuk anak-anak usia ini, di usia paut dan TK ini terutama, aturan mainnya harus jelas dari orang dewasa. Karena mereka orientasinya adalah kepatuhan. Gimana supaya patuh? Kita kasih standar yang jelas. Adik, kalau main, yang baik ya. Main yang baik itu seperti apa? Anak nggak jelas. Adik nggak boleh pukul, nggak boleh pukul temannya. Kalau nggak boleh pukul, terus harus apa aku? Anak jadi bertanya-tanya, oke nggak boleh pukul, tapi aku harus apa nih kalau aku marah? Jadi orang tua, orang dewasa, guru, pendaping harus membuat aturan main yang jelas. Oke, adik boleh bermain, kalau mau pengen main bareng punya temannya, izin dulu ya. Izinnya caranya begini, permisi boleh nggak aku pinjam mainanmu? Misalnya seperti itu. Kalau tidak boleh, ya sudah, tanyakan lagi kapan ya, boleh pinjam. Kalau tidak boleh, ya sudah, kita sabar dan antri. Jadi memang aturan mainnya harus jelas di anak usia segini itu ya. Terus yang kedua, perlu konsistensi pembiasaan dan pengulangan, Bapak Ibu. Namanya anak orientasinya adalah kepatuhan, supaya kita membentuk perilaku yang patuh pada norma, harus ada pembiasaan pengulangan-ulangan. Saya itu sering dapat dari orang tua dan juga pendidik. anaknya ini ya udah dibilangin enggak boleh mukul tapi masih diulangin lagi akhirnya saya sering tanya berapa kali bu bilanginnya ya udah dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali lanjutin terus bu, lanjutin terus pak karena anak kecil itu butuh pembiasaan dan pengulangan gak bisa kita kasih tau sekali, dia gak boleh pukul habis itu mereka besok ajaibnya berhenti gak bisa seperti itu, memang harus sabar dan berulang-ulang, kemudian beri konsekuensi yang tegas tapi hangat, tanpa trauma kalau kita mau memberikan konsekuensi negatif hukumannya tidak boleh yang fisik, tidak boleh yang menyebabkan dia jadi trauma ke depannya, jadi kita bikinnya konsekuensi disiplin yang positif tidak boleh pukul nadanya tegas tapi tetap kita juga tidak memarahi dia tetap tidak menggunakan kata-kata yang kasar seperti itu ya kemudian di tahap yang kedua ini usia SD sampai 10 tahun anak-anak itu mulai menyadari bahwa tindakan mereka itu bisa mempengaruhi orang lain loh oke aku akan belajar tapi habis itu aku main ya oke aku mau les Tapi habis itu, aku jajanin ya, Mah. Jadi mereka sudah bisa mulai nego untuk kepentingan mereka. Kenapa kok aku tidak boleh memukul? Apa yang benefitnya untuk aku? Apa keuntungannya untuk aku? Orang aku marah kok. Kenapa aku tidak boleh memukul? Jadi di sini, di usia 7 tahun ini perlu disiplin yang konkret. Kalau ada di sekolah, peraturan yang harus jelas. Siswa datang tepat waktu, itu tidak jelas. Tepat waktu itu jam berapa. Toleransi keterlambatannya jam berapa? Kalau terlambat konsekuensinya apa? Itu harus jelas dan disampaikan pada anak. Kemudian yang paling khas di usia ini karena mereka sukanya adalah dapat keuntungan ketika kita mau mendidik anak kita sampaikan dampak positif yang akan mereka dapatkan. Jadi kalimatnya bukan adik, kakak, ayo datangnya tidak boleh telat. Nanti kalau telat akan nunggu di depan gerbang. Itu kan yang kita sampaikan konsekuensi negatif. Sekarang sampaikan konsekuensi positifnya. Kakak ayo masuknya tepat waktu. Kalau terlambat, nanti kakak akan ketinggalan pelajaran. Kalau ketinggalan pelajaran, kakak tidak bisa mengikuti. Kalau tidak bisa mengikuti, nanti misalnya ada yang seru, ada kegiatan yang seru dilakukan oleh bu guru dan teman-teman, kakak nggak bisa ikut. Kalau kakak datang on time, kakak bisa ikut. Bisa ngobrol dulu sama teman-teman, bisa main dulu sama teman-teman. Jadi ketika kita mau mengajarkan prinsip, perilaku yang baik kepada anak sampaikan benefitnya untuk anak itu apa dan yang penting adalah memberikan konsekuensi positif maupun negatif itu yang mendidik jangan yang hanya untuk membuat anak tersiksa kalau zaman dulu ya misalnya gak ngerjain PR lari keliling lapangan pertanyaannya hubungannya apa antara gak ngerjain PR sama lari keliling lapangan apakah lari keliling lapangan ini akan membuat dia semakin mengerjakan PR? Itu kan juga jadi tanda tanya. Jadi untuk membangun konsekuensi, Bapak Ibu juga perlu jeli nih karakteristik anak didiknya masing-masing. Karena satu sekolah pun bisa jadi berbeda. Nah di level 2 kita masuk di usia remaja. Di usia SMP yang tahap ketiga ini adalah usia SMP rata-rata ya sampai mungkin awal SMA. Di usia ini anak-anak itu terobsesi untuk mendapatkan peredikat. anak yang baik, gitu a good boy atau a nice girl, makanya kalau kita sering lihat anak-anak remaja itu banyak yang jaim, kalau ditanyain jawabnya tersipu-sipu malu, gitu kalau dipuji, oh cantik, oh baik itu senangnya luar biasa, karena memang di tahap ini, mereka sangat membutuhkan penerimaan dari sosial, mereka ingin dilihat sebagai anak yang baik anak yang patuh pada orang tua, anak yang pintar, anak yang baik-baik lah intinya, jadi di usia ini, kalau kita mau menanamkan berlaku moral, kita dampingi anak untuk merasa berharga dan percaya diri Bapak Ibu. Ini sangat penting. Kenapa? Karena banyak kasus-kasus kriminal, kasus-kasus pelanggaran apa namanya, pelanggaran moral, kasus-kasus yang terkait moral ini. Sumbernya dari sini, ketika anak tidak merasa berharga dan percaya diri. Ada anak yang misalnya di rumahnya itu tidak hangat. Sering dikritik oleh orang tuanya, sering diberi target-target beban akademik misalnya, dan orang tuanya itu tidak hangat, begitu ya, interaksinya. Kemudian dia masuk tuh ke sekolah, ketemu dengan kakak kelas yang, oh dia hangat sekali, positif sekali, selalu dengerin keluhannya, selalu dengerin curhat-curhatnya, akhirnya anaknya luluh secara emosi. Dan akhirnya ketika dibujuk untuk melakukan hal-hal yang tidak semestinya dia lakukan, anaknya nurut. Karena dia merasa lebih terkoneksi secara emosi kepada si kakak kelas ini daripada orang tuanya. Ada juga anak-anak yang dia merasa tidak berharga di rumah, tidak pernah dianggap, selalu diremehkan oleh orang tuanya, kemudian dia ketemu dengan... teman-teman satu gengnya yang menganggap dia itu keren, menganggap dia itu kuat. Akhirnya apa? Akhirnya dia juga mudah untuk terbujuk melakukan hal-hal yang mungkin akhirnya perundungan, bullying untuk menunjukkan bahwa aku tuh kuat, aku tuh berharga gitu. Karena itu yang mereka butuhkan sebenarnya di tahap ini, tapi tidak dapat dari lingkungan keluarganya yang paling dekat. Tidak dapat mungkin dari lingkungan sekolahnya, dari guru-gurunya. Yang dia dapat adalah... Dari lingkungan teman-temannya yang sayangnya itu banyak negatifnya. Itu bisa jadi seperti itu. Jadi di usia anak remaja ini, kita juga perlu membantu anak, mendampingi anak, mengidentifikasi, ngajarin anak nih, caranya gimana sih menemukan lingkungan yang positif dan membangun. Karena saya paham sekali dengan berbagai variasi kondisi sosial ekonomi Indonesia, tidak semua orang mendapat kemewahan untuk bisa memilih lingkungan. Ada orang-orang yang... Bisanya ya di sini aja. Mau senegatif apapun lingkungannya, bisanya segini aja. Jadi tugas kita sebagai guru dan sebagai orang tua, kita perlu dampingi anak untuk mencari hal-hal yang positif dari lingkungan yang ada. Bagaimana anak itu bisa tetap survive di lingkungan yang negatif seperti itu. Apa yang harus kita lakukan? Nah, itu yang kita diskusikan bersama dengan anak. Sehingga mereka nanti akhirnya bisa menemukan identitas diri dan kekuatan diri mereka tanpa harus ngikut-ngikut. trend yang mungkin tidak sesuai tanpa harus ngikut-ngikut temannya yang ngajakin perilaku yang sebenarnya tidak oke. Di tahap keempat, ini sudah masuk ke SMA dan mungkin kuliah awal. Di tahap ini, anak-anak sudah mulai berkembang lagi. Mereka paham bahwa peraturan dan hukum norma ini penting. Makanya kalau kita lihat, di usia SMA dan di usia kuliah, ini anak-anaknya sudah mulai kritis. Ketika ada isu, mereka maju paling depan untuk menyuarakan kritik, untuk ikut berdemo, untuk ikut nulis-nulis artikel, ikut debat-debat membahas isu-isu kekinian yang ada di masyarakat. Karena mereka sudah punya pakem bahwa standar aturan norma ini penting untuk kita, jadi ayo kita tegakkan bersama. Cirinya di usia SMA dan awal kuliah seperti itu. Implikasinya apa kalau kita mau ngajarin atau mendidik moral ke anak-anak usia ini? Yang paling-paling penting adalah role modelnya harus bisa diteladani dan konsisten. Orang tuanya, orang dewasa di sekitarnya, termasuk guru-guru, kepala sekolah, harus bisa jadi teladan moral. Kenapa kok kita disuruh masuk sekolah tepat waktu? Bapak ibu guru aja terlambat. Kenapa kok kita harus ngerjain tugas setelah ngerjain aja nggak diperiksa kok? kenapa kok aku tidak boleh melakukan berkata yang kasar ke teman-temanku tapi di rumah orangtuaku sering mengucapkan kata-kata kasar kepadaku anak-anak usia segini itu daya kritisnya sudah sangat tajam jadi role model yang paling dekat dengan anak itu yang harus konsisten kemudian buka proses diskusi dua arah karena mereka sudah bisa berpendapat, mereka sudah bisa mendebat jadi diskusinya harus dua arah Menurutmu kenapa ya kok sekarang banyak anak-anak yang melakukan perundungan? Menurutmu gimana ya caranya untuk mengatasi ini? Itu jadi bahan diskusi. Dan perlu kesempatan anak-anak untuk aktualisasi diri, karena mereka sudah mulai menemukan sedikit demi sedikit identitas dirinya, jadi ayo aktualisasi diri. Salurkan keresahanmu itu ke tempat-tempat yang tepat. Dan latihan untuk memegang tanggung jawab. Kenapa kok latihan memegang tanggung jawab penting? Karena ketika usia dewasa, individu ini sudah mulai paham bahwa hukum dan aturan itu alat yang fleksibel dan bisa diubah. Nah, ketika mereka dewasa, ketika mereka di usia remaja, mereka sudah latihan untuk bertanggung jawab. Jadi ketika mereka nanti suatu saat membutuhkan, oh hukum ini sudah tidak cocok nih, aturan ini sudah tidak cocok di masyarakat kita, ayo kita ubah, mengubahnya juga ke arah yang positif demi kemaslahatan bersama. Nah, begitu. Jadi di usia... dewasa ini, orang dewasa ini sudah paham bahwa hukum atau aturan atau norma itu adalah alat. Jadi alat ini bisa disesuaikan. Nah, yang di tahap terakhir, Bapak Ibu, ini adalah tahap tertinggi tahapan moral orang dewasa dan kalau menurut Kohlberg, ini enggak semua orang dewasa bisa sampai tahap ini. Jadi di tahap ini adalah orang dewasa yang sangat memprioritaskan nilai-nilai moral sehingga dia berani untuk mengabaikan, bukan mengabaikan, berani untuk menabrak nilai-nilai yang lain. Contoh paling gampang adalah Robin Hood. Dia melakukan mencuri, mengambil barang milik penguasa, segala macam untuk ditalurkan kepada yang membutuhkan. Nah itu karena dia sangat paham nilai moral yang dia anut Aku ingin membantu yang merasa kesulitan Aku ingin membantu yang merasa tidak adil Walaupun caranya salah bertentangan dengan hukum Nah di fase-fase inilah yang akhirnya sering muncul dilema moral Apa sih yang harus dilakukan Dan gak semua orang dewasa mau masuk ke tahap ini Kita masuk ke sebuah organisasi Disitu banyak pelenggaran moralnya misalnya Banyak suap banyak korupsi, banyak manipulasi, tapi berani nggak kita untuk berpegang teguh pada standar moral yang benar nggak semua orang dewasa bisa sampai ke tahap situ, karena tantangannya banyak sekali, nah ini perkembangan moral sesuai usia, sekarang yang saya yakin juga Bapak Ibu bertanya-tanya kenapa kalau Setiap manusia itu memiliki tahapan perkembangan moral yang segitu sistematisnya tadi ya, dari kecil kemudian SD, remaja, kuliah, seharusnya kan mengikuti kemampuan berpikir kita, tahapan perkembangan kognitif kita, tapi kenapa kok masih ada orang-orang yang mudah melakukan tindakan-tindakan dalam tanda kutip tidak bermoral. Kalau dari psikologi, ini diteliti oleh seorang peneliti atau ilmuwan, ah, Res tahun 1995 Jadi Bapak Ibu ternyata Untuk kita bisa berperilaku sesuai moral Atau singkatnya berperilaku yang bermoral gitu ya Ada empat komponen yang harus kita kuasai Dan yang harus kita ajarkan kepada anak Yang pertama adalah sensitivitas moral Kedua penilaian moral Ketiga motivasi moral Keempat karakter moral Nah apa ini kita bahas di belakangnya ya Sensitivitas moral sesuai namanya Seseorang itu akan bisa berperilaku yang bermoral kalau dia sensitif terhadap suatu situasi. Jadi dia bisa menginterpretasi, bisa memahami suatu situasi ini, sehingga dia bisa menentukan tindakan apa yang cocok ya. Terus kalau aku melakukan ini, siapa yang akan terdampak oleh perilakuku ya? Bagaimana dampak dari perilakuku ini ya? Nah, salah satu kasus yang... Mungkin Bapak Ibu juga sudah familiar gitu ya, kasusnya Kitty Genovese tahun 1964 di New York. Jadi ini adalah kasus kriminal Bapak Ibu yang sangat menghebohkan pada masa itu, dan sering dijadikan rujukan oleh buku-buku teksikologi karena membahas yang namanya bystander effect. Jadi kasusnya adalah ada wanita, Kitty Genovese ini, dia baru pulang kerja, dini hari sekitar jam 2 gitu, dan ketika dia sedang berjalan di apartemennya, Ada orang yang jahat gitu ya, dia merampas tasnya kemudian melakukan tindak kriminal kepada, dia mohon maaf ya menikam si Kitty Genovese ini beberapa kali. Kitty ini kemudian berteriak gitu ya, kesakitan, ada banyak orang yang melihat, tetapi orang-orang itu tidak melakukan apapun, tidak meminta memanggil ke polisi, jadi ada jeda waktu yang panjang sampai akhirnya ada orang yang mau turun membantu. dan mau memanggil ke polisian. Jadi orang-orang itu di sekitarnya pada lihat dari jendela apartemen, ada juga yang lihat dari jalanan agak jauh. Tapi ketika Kitty diserang dan dia berteriak-berteriak, ternyata tidak ada yang mendekat, tidak ada yang membantu. Sampai kemudian penjahatnya itu sudah menyakiti Kitty, dia pergi dan dia sadar Kitty belum meninggal, dia kembali lagi, dia menyakiti Kitty lagi dengan melakukan penikaman lagi beberapa kali, dua atau tiga kali dia bolak-balik. dan orang-orang tidak ada yang menolongnya, mendekat gitu ya. Ini jadi sebuah pertanyaan besar, karena kalau kita mengikuti standar moral, ketika kita melihat ada kejahatan, ketika kita melihat ada orang disakiti, semestinya kita tergerak untuk menolong atau untuk menjaga supaya tindak kejahatan itu tidak berlangsung lebih parah gitu ya. Itu kan perilaku bermoral yang benar seperti itu. Tapi kenapa kok pada kasusnya Kitty ini ternyata orang-orangnya pada diam? Nah setelah di crosscheck, ternyata menurut orang-orang yang ada di situ, mereka salah menginterpretasikan situasi itu. Mereka menganggapnya mungkin itu adalah pertengkaran antara dua pasangan. Oh itu mungkin dua pasangan yang lagi bertengkar aja. Atau ada yang juga yang menganggap itu adalah ayah yang sedang marah pada anaknya. Jadi kesalahan menginterpretasi itu yang kemudian membuat mereka jadi gampang, jadi bingung untuk membantu atau tidak, mendekat atau tidak. Sehingga ketika mereka tersadar bahwa ini adalah kejahatan, sudah terlambat. Akhirnya kitnya meninggal. Dan ini jadi headline news di hampir seluruh dunia pada saat itu ya tahun 1964. Saya juga baca-baca aja dan dengar cerita dari guru-guru saya juga begitu ya. Karena umur segitu saya belum lahir Bapak Ibu. Jadi saya juga hanya baca berita. Tapi pada saat itu memang saya ketika belajar psikologi kasus ini banyak digunakan sebagai contoh bystander effect. Bystander effect ini adalah ketika orang tidak melakukan apapun. Dia hanya melihat ketika terjadi sesuatu yang sebenarnya itu. harus ditolong. Ini sering terlihat ketika anak-anak remaja kita atau anak-anak ada kasus bullying di sekolah. Lihat temannya dibully tapi diem aja. Karena mereka juga bingung, apa yang harus aku lakukan? Ini bener gak sih namanya bullying? Atau cuma bercanda sebenarnya? Kesalahan menginterpretasi itu yang akhirnya membuat mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang sesuai gitu. Contoh lainnya, kalau di media sosial. Ada remaja mengunggah konten yang mungkin itu kontroversial. Tidak pada umumnya ada yang menyinggung beberapa pihak misalnya, atau dengan perilaku-perilaku perkataan yang tidak pantas. Dan ketika dia mengunggah dan mendapatkan banyak komentar dari netizen gitu ya, remaja yang punya sensitivitas moral tinggi dia akan, oh ternyata kontenku ini menyinggung banyak orang nih. Oke aku akan take down, aku akan hapus, dan akan minta maaf. Mohon maaf. Bahwa saya melakukan kesalahan dalam mengunggah konten ini. Itu anak-anak yang punya sensitivitas moralnya tinggi. Tapi anak-anak yang tidak punya sensitivitas moral tinggi, mereka cenderung apa? Defensif. Ini kan medsos-medsosku. Terserah aku dong mau upload apa, terserah aku mau unggah apa. Kalau nggak suka, skip aja. Kalau nggak suka, nggak usah follow. Jadi mereka tidak sensitif untuk memahami bahwa komentar-komentar yang muncul di akun mereka itu adalah tanda Bahwa sebenarnya yang mereka lakukan itu menyimpang dari standar moral di Indonesia. Karena itu, kalau kita mau melakukan pendidikan moral kepada anak, yang paling penting adalah kita tingkatkan dulu literasi tentang moral. Apa sih standar moral yang diharapkan? Karena banyak anak yang kamu harus berperilaku baik, sesuai moral, sesuai norma, standar. Tapi normanya apa? Standarnya apa? Bisa disebut anak ini bermoral baik itu apa? Anak-anak nggak punya bayangan. Jadi Bapak Ibu, kalau kita mau mengajarkan pendidikan moral ke anak, pastikan dulu anak sudah paham standarnya seperti apa. Dan kemudian yang penting juga mengasah empati. Empati itu bagaimana kita memposisikan diri kita dari sudut pandang orang lain. Oh ternyata kontenku ini untuk orang lain tidak nyaman. Itu kemampuan untuk memposisikan diri dari sudut pandang orang lain. Tapi kalau nggak bisa memposisikan diri, ya orang lain mau mikir apa terserah, aku juga mikir apa terserah. Jadinya jatuhnya... individualis, gitu, karena itu untuk bisa kita pengen anak-anak yang berperilakunya baik secara moral, kita juga harus melatih kemampuan, keterampilan sosialnya anak-anak, bagaimana dia memahami situasi, bagaimana dia menyesuaikan perilakunya di situasi sosial, supaya anak-anak ini tidak individualis, individualis itu hidup di dalam bubble-nya, di dalam gelembungnya sendiri, di dalam circle-nya sendiri, menurut teman-temanku menurut gengku aku upload konten ini tuh gak masalah kok malah bagus, karena dia fokusnya, patokannya hanya circle-nya sendiri, bubble-nya sendiri gitu sementara dia gak bisa melihat secara lebih luas, dan juga tidak konformitas konformitas itu ikut-ikutan supaya dianggap tadi tuh, oh teman-temanku banyak yang upload konten gini, ya aku juga ikutan lah gak masalah, nanti kalau aku gak ikutan aku jadi gak punya temen, nah jadi kita juga perlu kembangkan keterampilan sosial anak supaya seimbang Tidak terlalu individualis dan juga tidak terlalu konformitas. Tidak terlalu ikut-ikutan sosial. Nah yang kedua, setelah kita mengembangkan sensitivitas anak, kita kembangkan juga kemampuan menilai. Kemampuan penilaiannya. Gimana anak dan remaja itu bisa menilai perilaku yang benar secara moral sehingga dia tahu apa yang harus dilakukan. Nah ini Bapak Ibu ada satu skenario yang mungkin Bapak Ibu juga sering dengar. Ini ada kasusnya Heinz. Jadi Heinz ini adalah seorang suami yang istrinya sakit keras. Dan sedang dalam kondisi kritis. Istrinya sakit langka dan butuh pengobatan yang saat itu belum ada. Tetapi ternyata ada satu orang ahli farmasi yang punya apotek dan dia mengembangkan obat yang bisa untuk menyembuhkan istrinya Heinz ini. Kemudian Heinz datang ke apotek itu ternyata obatnya mahal sekali Bapak Ibu. Dia berusaha cari uang kesana kesini, meminjam uang segala macam, tapi tidak terkumpul sesuai yang diminta oleh petugas apoteknya, si ahli farmasi itu. Hensnya udah berusaha nego nih, kurangin dong istriku sudah kritis nih, kalau aku tidak dapat obat ini istriku akan meninggal. Tapi ternyata ahli farmasinya nggak mau menurunkan harga. Aku sudah bikin obat ini capek-capek. Sudah dengan penelitian pengembangan yang susah, kok nggak mau aku turunin harga. Akhirnya pada suatu malam, Heinz memutuskan untuk menyelinap ke dalam apotek itu dan mencuri obat itu untuk diberikan pada istrinya. Nah, ini yang disebut oleh dilema moral, Bapak Ibu. Yang dilakukan Heinz ini benar atau salah? Dia mencuri. untuk menyelamatkan nyawa istrinya. Sebagian orang bilang itu benar, karena nyawa itu di atas segalanya. Tapi sebagian orang lain yang bilang bahwa ini nggak benar, gimana pun mencuri itu salah, gimana pun mencuri itu melanggar hukum, jadi ini nggak benar. Ini yang dilema, kalau dia nggak mencuri, istrinya meninggal. Kalau dia mencuri, istrinya selamat, tetapi dia melanggar hukum. Nah ini yang disebut dilema moral. Jadi di sini pentingnya kemampuan seseorang termasuk anak-anak kita untuk bisa melakukan judgement. Tindakan apa yang paling perlu dilakukan pada saat ini. Contoh di dunia nyatanya ini yang beberapa kali saya temui contohnya adalah kepala sekolah menghadapi siswa pelaku perundungan. Ada siswanya yang melakukan bullying sehingga mengakibatkan siswa lain sakit dan... kerugian fisik gitu ya, masuk rumah sakit segala macem, muncul desakan kepada kepala sekolah untuk keluarkan siswa itu, karena dia sudah melakukan perundungan, karena dia sudah menyakiti siswa yang lainnya, keluarkan tetapi kepala sekolah ini menghadapi dilema moral, kalau aku keluarkan, mau jadi apa itu siswanya, sudahlah dia melakukan perundungan, berarti agresifitasnya tinggi, dia ditambah tidak dapat pendidikan memperkecil dia dapat penghidupan yang layak kerja, pendidikannya juga akhirnya kemampuan berpikirnya tidak berkembang. Mau jadi apa nanti anaknya ini di masyarakat? Kita bisa bayangin ketika orang yang punya agresi tinggi, tidak punya bekal pendidikan yang baik, tidak punya ekonomi yang mapan, apa yang terjadi di masyarakat? Kemungkinan melakukan tindak kriminal tinggi. Kepala sekolahnya dilema. Kalau keluarkan, dia masa depannya hancur. Justru semakin parah jadi merugikan masyarakat. Tetapi kalau tetap di sekolah itu, bagaimana dengan siswa-siswa yang lain? Bagaimana dengan orang tua yang lain yang menganggap perlakuan ini tidak adil? Nah, semakin kita dewasa, kita akan semakin mudah menemui dilema moral seperti ini. Karena itu dari kecil kita penting banget untuk mengembangkan kecakapan berpikir, penalaran anak-anak, dan analisis situasi. Apa sih yang harus dilakukan pada saat ini? Pertimbangannya apa? keputusan apa yang harus diambil nah karena ini sangat terkait dengan usia, jadi kita juga mengajarnya sesuai usia itu tadi ya Bapak Ibu ya, kalau yang usia rendah kita pakai contoh-contoh konkret, kalau yang sudah masuk remaja dan dewasa awal kita pakai diskusi, yang penting kemampuan berpikirnya itu bisa terasah sehingga dia juga terbiasa untuk ngambil keputusan yang terbaik pada saat itu yang ketiga, untuk kita bisa melakukan perilaku yang bermoral ini Kita perlu yang namanya motivasi moral. Jadi individu ini dalam dirinya punya banyak nilai. Ada nilai moral, ada nilai kepentingan dirinya sendiri, ada nilai-nilai yang lain. Gimana caranya supaya anak-anak kita dan mungkin kita sendiri memprioritaskan nilai moral ini di atas nilai personal lainnya. Ada suatu skenario yang eksperimen ya di sebuah penelitian tentang anak yang dikasih permen. Jadi di skenario pertama anak-anak ini disuruh membayangkan. Coba bayangkan, kalian dapat 10 permen. Sekarang, bayangkan kalian bagi permen itu ke 4 teman kalian lainnya. Jadi, totalnya ada 5 anak ya dengan dirinya sendiri. Kalian dapat 10 permen, bayangkan, dan sekarang bagi ke 5 orang ini. Gimana kalian akan membagi? Pada skenario yang pertama, anak-anak semuanya menjawab bahwa permen ini akan kubagi sama rata. Setiap anak dapat 2. Jadi, Ada lima anak, semuanya dapat dua. Sepuluh terbagi rata. Itu ketika mereka membayangkan. Di skenario yang kedua, mereka nggak hanya diminta membayangkan, tapi dikasih permennya beneran. Sambil dikasih, apa namanya, pengantar, ini permennya manis loh. Nggak ada lagi yang jual di sana, cuma ada di sini. Kamu belum pernah kan nyobain ini. Di dunia ini cuma ada sepuluh permen nih. Kalian nggak akan bisa dapat lagi di luar. Dan apa yang terjadi, Bapak Ibu? Ketika mereka diminta membagi ke teman-temannya, ada anak-anak yang membaginya kemudian tidak jadi sama rata. Teman-temannya dikasih satu, satu, satu, sisanya yang banyak untuk dia. Karena apa? Karena dia sudah tergihur. Dengan hal lain yang menurut dia itu lebih menyerangkan, yaitu rasa permennya. Jadi ada nilai-nilai moral yang tadinya dia pegang tidak lagi jadi prioritas. Karena ada distraksi itu tadi. Oh ini kayaknya enak nih, kayaknya aku lebih pengen dapat banyak nih. Sama seperti kalau kita disuruh bayangin nih, misalnya kita dapat, kita pegang titipan uang 10 juta gitu. Harus gimana ini? Ya udah disimpan, itu bukan uang kita. Kita gampang untuk ngomong hal yang sesuai. standar moral seperti itu, tapi ketika pada kenyataannya kita pegang uangnya beneran 10 juta dan ternyata kita ada punya kepentingan yang mendesak, gimana kita bisa memprioritaskan nilai moral kita tetap ada di paling depan nah itu yang harus dilatih pada anak-anak dan juga diri kita sendiri Mohon maaf, banyak waktu 10 menit lagi Ibu Oke, baik Oke, untuk Contohnya adalah siswa yang mencontek saat ujian atau plagiasi karya. Ada teman-temannya yang banyak mencontek, tapi gimana supaya dia bisa tetap memprioritaskan bahwa mencontek ini tuh nggak bener. Nggak apa-apalah aku nanti dimarahin orang tuaku. Nggak apa-apalah nanti aku dianggap sebagai anak yang dalam tanda kutip bodoh atau nggak bisa. Yang penting aku tidak mencontek. Itu susah sekali untuk seperti itu. Jadi kita perlu untuk mengajak anak mengenali diri sendiri. Apa sih sebenarnya value atau nilai-nilai dalam diri mereka? Kita juga perlu mengembangkan kebiasaan perilaku positif sehari-hari. Saling tolong-menolong, disiplin jujur. Kalau sudah terbiasa jujur, melakukan hal yang tidak jujur ini akan ganjel, akan tidak nyaman sendiri. Jadi kebiasaan ini sangat penting untuk menjaga perilaku kita tetap dalam koridor moral yang benar. Apresiasi dan konsekuensi juga yang membangun dan Harus kita terapkan pada anak secara tepat. Juga menginternalisasi nilai-nilai agama. Sehingga anak ingat tuh, kalau aku mencontek itu dosa loh. Jadi agama nggak bisa terpisahkan dari pendidikan moral, kita dari usia kecil sampai usia dewasa. Juga hubungan yang hangat dengan keluarga dan lingkungan teman yang tepat. Saya agak cepat ya Bapak Ibu, supaya materinya bisa paling tidak tersampaikan sampai akhir. Yang terakhir adalah supaya kita bisa berperilaku moral, kita harus punya karakter moral. Punya tujuan jangka panjang. Nah ini ada skenario eksperimen lagi nih Bapak Ibu. Ada anak yang dia diberi jus jeruk gitu ya. Dia dibilang jus ini seger banget loh. Apa namanya, rasanya manis dan pokoknya bisa menghilangkan dahagamu gitu. Di skenario yang kedua, di anak yang lain dikasih tahu bahwa ini ada jus jeruk. Tetapi nanti kalau kamu masukkan ke dalam kulkas, dia akan berubah wujud loh. Jadi keras, jadi es. Dan itu kalau kamu makan, rasanya akan lebih enak. Bisa kamu kunyah, bisa kamu nikmati dengan cara yang lain selain hanya diminum. Nah, ternyata di skenario yang pertama, di setting yang pertama, anak yang dikasih tahu bahwa ini justru rasanya enak segala macam, dia nggak punya tujuan jangka panjang, dia nggak dikasih tahu bahwa nanti jangka panjangnya ini bisa berubah jadi es. Ya apa yang dia lakukan? Dia langsung minum. Tetapi ketika di setting yang kedua, anaknya dikasih tahu ini jus jeruknya. Nanti kalau jadi dimasukkan ke dalam es, kamu tunggu akan jadi es. Apa yang dia lakukan, dia tidak langsung minum jus jeruknya. Dia mengembangkan kontrol diri. Oke, aku akan sabar. Oke, aku akan tahan untuk menunggu dia jadi es. Jadi artinya apa? Supaya kita punya karakter moral yang kuat, kita perlu tujuan jangka panjang. Ketika kita berpegang teguh pada moral, itu akan banyak sekali tantangan ya. Lingkungan kita belum tentu seiring value-nya dengan kita. Gimana kita bisa menjaga supaya kita tetap bermoral? Itu yang penting kita punya kontrol diri. Termasuk misalnya contohnya anak-anak berulang-ulang kali, termasuk terutama remaja cowok nih ya biasanya, diajak nongkrong, diajak bolos, diajak cobain rokok, diajak cobain minum, diajak cobain hal-hal beresiko lainnya. Gimana dia punya kontrol diri dan ketahanan, daya juang untuk menolak itu berkali-kali. Nggak mudah loh itu Bapak Ibu. Jadi perlu kita latihkan pada anak supaya tentukan dulu tujuan jangka panjangnya apa. Oh, paling gampang misalnya aku ingin jadi dokter. Itu kan yang paling awam ya. Oke, kalau mau jadi dokter, kalau kamu sering bolos bisa nggak sih kamu besok akan jadi dokter yang baik? Kalau sering melakukan tindakan berisiko, bisa nggak sih nanti kamu akan tercapai cita-citamu misalnya seperti itu? Jadi ketika punya tujuan jangka panjang, anak juga akan perlu dilatih regulasi diri, kontrol dirinya seperti apa, supaya dia bisa menolak. tawaran yang tidak baik bisa menolak ajakan yang tidak sesuai dengan dirinya, juga yang penting yang tadi kita sudah bahas ya, mengembangkan konsep diri positif supaya anak itu tetap berharga, tetap percaya diri walaupun dia gak sama kayak teman-temannya mereka pada nongkrong, udahlah biarin aku tetap sekolah, mereka pada bolos udahlah biarin aku tetap masuk kelas mereka tetap percaya diri, gitu, gak jadi minder gak jadi gak merasa berharga nah Secara singkat disimpulkan di sini nanti Bapak Ibu materinya akan dibagikan. Jadi Bapak Ibu fokus kita kalau kita pengen anak kita tidak terjebak pada perilaku-perilaku itu. Mindset kita sekarang diubah. Karena saya sering dapat pertanyaan, Mbak gimana sih caranya supaya anak saya itu tidak ikut-ikutan perilaku yang nggak benar? Tidak ikut-ikutan ini, gimana supaya menjaga anak saya itu nggak begini, nggak begini, nggak begini? Nah sekarang kita balik mindsetnya Bapak Ibu. Apa yang harus kita lakukan supaya anak kita kuat menghadapi itu? Apa yang harus kita lakukan supaya anak kita tetap berada dalam koridor moral yang baik? Supaya dia ketika ada di situasi yang merugikan, dia tidak ikut. Apa yang harus kita lakukan? Jadi mindsetnya bukan untuk menghindari supaya nggak begini, tapi apa yang harus dilakukan supaya anakku begini? Nah ini yang harus dilatihkan pada anak. Jadi pendidikan moral tidak hanya bisa lewat klasikal. Ada diajarin pakai textbook, kemudian ada ujiannya, itu penting, betul. Tetapi sepertinya yang paling kita butuhkan saat ini adalah dari bawah, dari yang sederhana, dari keluarga, dari kemampuan-kemampuan ini yang kita latihkan pada anak dari kecil. Karena seringkali kemampuan ini itu dianggap remeh, yang penting akademik, yang penting nilai, yang penting ini. Padahal sebenarnya soft skill inilah yang justru membantu anak-anak untuk survive. Jadi gimana caranya untuk melakukan pendidikan moral di era digital? Di sini, untuk Bapak Ibu yang pernah ikut sesi saya di Diklat Online sebelumnya, ini pernah kita bahas ya tentang karakteristik siswa di era digital, mereka lebih fokusnya pada teknologi. Pengennya cepat, pengennya instan. Karena mereka terbiasa untuk lihat konten-konten yang cepat, Bapak Ibu. Kalau kita dulu betah baca satu buku ya, puluhan halaman, ratusan halaman. Kalau anak sekarang belajar dari mana? Konten real. Cuman... 30 detik misalnya. Youtube short, konten TikTok. Yang itu cuma hitungannya detikan. Mereka dalam detik itu, mereka berharap bisa belajar sesuatu, dapat sesuatu. Jadi itu juga terbawa ke kehidupan sehari-hari. Mereka pengennya instan. Mau nonton film nggak, mau ada nggak, mau nunggu iklan, oke, bayar yang premium. Jadi ketika berbayar, iklannya di-skip. Mereka pengennya yang seperti itu, instan, instan, instan. Tapi mereka juga takut ketinggalan. Takut FOMO gitu ya. Takut ketinggalan dari teman-temannya, makanya itu mereka mudah terpengaruh secara sosial. Nah, ini yang perlu kita pahami secara garis besar, sehingga kita bisa melihat peluang-peluang yang kita bisa masukin ke situ tuh. Oh, pendidikannya itu bisa lewat sini nih. Jadi pendidikan moral di era digital itu jauh lebih luas akses sumber belajarnya. Nggak hanya lewat buku, tapi juga lewat video. Kemudian pilihan metodenya pembelajarannya lebih interaktif. Kalau dulu kita belajar hanya diterangin guru di papan tulis, kita menyalin, sekarang ada proyek Pancasila. Sekarang ada metode-metode yang lain, ada jigsaw, ada macam-macam di situ, yang itu bisa dikembangkan. Kekuatan keluarga dan komunitas termasuk di dunia maya. Nah, di Cloud Online ini termasuk komunitas online yang menurut saya juga suportif terhadap pendidikan Bapak Ibu sekalian, termasuk untuk kita mendidik anak-anak kita. Nah, komunitas-komunitas online ini peluang yang harus kita manfaatkan benar-benar pada saat ini. Penyebaran konten negatif, iya, di era digital. Tapi konten positifnya juga masif loh. Jadi sekarang kalau kita mau nih, generasi kita dalam tanda kutip lebih bermoral, ayolah kita banyakin konten positif. Kalahin itu konten-konten negatifnya. Kita bombardir media sosial dengan konten positif. Jadi anak pun akan terbentuk bahwa, oh perilaku yang positif itu seperti ini loh. Nah prinsipnya adalah yang pertama dan paling penting udah kita bahas berkali-kali adalah role model Ini adalah kalau dalam di agama Islam itu adalah wajib gitu ya Wajib ain gitu, gak bisa lepas sama sekali bahwa Udahlah kita kasih dia sekolah yang bagus, kita kasih les dia yang bagus Tapi orang tua di rumah, guru-guru yang mendidiknya juga tidak bisa menjadi role model yang baik Itu juga gak bisa Anak sangat butuh role model yang baik untuk pendidikan moral Kemudian penguatan karakternya lewat visi misi dan value yang jelas. Untuk diri sendiri pengen jadi pribadi seperti apa sih? Untuk keluarga pernah nggak Bapak Ibu ini ngobrolin di keluarga? Nah besok kalau besar, ayah ibu itu pengen kamu itu jadi orang yang seperti ini. Bagaimana menurutmu? Apa yang kamu inginkan di masa depan? Bukan hanya secara materi ya, ingin punya mobil, ingin kaya, ingin ini. Tapi ingin jadi pribadi yang seperti apa sih di masa depan? Itu adalah diskusi tentang visi-misi keluarga. Sekolah juga penting sekali Bapak Ibu. Seringkali saya menemukan visi-misi sekolah atau slogan itu hanya sekedar pampangan. Jadi saya... Beberapa kali datang ke sekolah, saya nanya ke guru, Bu, tahu nggak visi-misi sekolah? Apa ya? Tanya ke siswa, tahu nggak visi-misi sekolahnya apa? Apa ya? Padahal itu setiap hari mereka lewatin di gerbang. Ada papannya besar. Nah, ini kan berarti visi-misi yang dicanangkan sekolah itu hanya sekedar di atas kertas. Belum merasuk ke dalam karakter masing-masing guru dan karakter masing-masing anak, juga orang tuanya. Jadi ketika membuat visi-misi Bapak Ibu, Apa yang kita lakukan sehari-hari di sekolah itu juga harus selaras dengan visi misi. Kita pengen warga sekolah ini jadi warga yang bernalar kritis misalnya. Anak-anaknya jadi kritis, tapi proses pembelajarannya ternyata tidak mengakomodasi anak berlatih untuk kritis. Anak-anak TK misalnya ya, kita pengen anaknya itu bisa mandiri. Tetapi kok ketika mengerjakan tugas di sekolah, gurunya yang banyak kerjain. Ya supaya nanti kalau sampai ke orang tua, orang tua lihatnya, oh anakku bisa nih, hasilnya bagus gitu. Anaknya udah mau menempel sendiri, tapi gurunya yang bantu nempelin. Padahal anaknya kalau ditunggu, didampingi, anaknya bisa. Tapi walaupun masih miring, ya nggak apa-apa, anak kan lagi belajar. Padahal visi misinya pengen anak mandiri, tapi kok sehari-hari perilakunya seperti itu? Kan itu nggak cocok. Nah, pendidikan moral juga seperti itu. apa yang muncul, nilai-nilai positif yang muncul di papan visi misi ini harus diturunkan jadi indikator perilaku sehari-hari yang jelas dan dilakukan. Lingkungan yang suportif juga perlu untuk pendidikan moral ya Bapak Ibu. Nah, verbalisasi nilai-nilai kebaikan. Seringkali kita itu setiap hari ngomongnya itu nilai-nilai yang negatif. Ayo jangan telat dong, jangan nakal dong, jangan bolosan dong, jangan pukul dong. Mulai sekarang. ayo kita biasakan verbalisasi nilai-nilai yang baik. Ayo nak kita disiplinkan waktu. Ayo nak kita tepat waktu. Ayo nak kita bicara yang baik. Jadi fokusnya adalah bagaimana rumah atau sekolah itu anak lebih familiar dengan kata-kata positif daripada kata-kata negatif. Karena kata-kata positif itu akan kalau anak terbiasa dia akan terbawa tuh oh auranya juga jadi positif. Tingkah lakunya juga jadi positif. Disini juga ada contoh eksperimen ya Bapak Ibu. Jadi di suatu sekolah, itu ada guru naruh uang di atas meja. Ketika istirahat, guru itu ambil uangnya kembali dan menyimpan. Setelah anak-anaknya kembali, gurunya tanya, kemana nih ya uangnya? Ada yang lihat nggak? Ada yang tahu nggak? Di sekolah yang suportif terhadap pendidikan moral, banyak mengajarkan perilaku-perilaku positif, anak-anak berasumsinya seperti apa? Oh mungkin ketiup angin, oh mungkin jatuh di bawah, ayo kita cari. Oh mungkin pak guru lupa, nyimpannya di mana. Tapi di sekolah lain yang pendidikan moralnya belum sampai ke level anak-anak yang belum optimal, belum maksimal, dan banyak kata-kata negatif yang justru bertebaran di situ, yang muncul adalah asumsi, pasti ada yang nyuri nih, pasti ada yang ngambil nih, ayo siapa yang nyuri, yang aku yang ngambil. Asumsinya langsung ke hal negatif. Sementara di sekolah satunya, mereka masih positif. Oh, mungkin ke bawah angin, mungkin keselip. Jadi, sebegitu pengaruhnya lingkungan yang suportif terhadap pendidikan moral kita. Kemudian kompetensi yang diperlukan juga perlu kita tingkatkan. Kompetensi yang diperlukan tadi kita udah bahas ya, yang di depan, kemampuan-kemampuan apa saja. Itu yang harus kita fokuskan, kita kuatkan pada anak. Jadi, nggak hanya fokus pada gimana ngajarin tentang moralnya itu sendiri, tapi juga perilaku-perilaku yang mendukung. kompetensi yang mendukung kemampuan berpikir, empati, kemampuan interaksi sosial, itu tadi yang kita bahas di depan. Caranya ada macam-macam dan saya yakin Bapak Ibu sudah lebih familiar untuk mencari cara yang paling cocok untuk anak didik di kelas ini itu apa sih? Ada macam-macam ya, ada game, roleplay, simulasi, segala macam, termasuk sampai keterjun ke masyarakat kalau di kuliah ada KKN, atau di SMA misalnya ada proyek ke masyarakat, visit ke masyarakat. Nah, pendidikan moral yang terakhir adalah jangan lupa Bapak Ibu sekarang wajib sekali untuk kasih edukasi literasi tentang digital. Dan monitor aktivitas anak. Gimana supaya menghargai privacy online. Saya nggak tahu apakah ini sudah masuk ke dalam kurikulum sekarang atau belum. Atau ada sudah sekolah yang menerapkan ini, memberikan edukasi literasi ini. Atau cuma obrolan-obrolan biasa. Atau sama sekali nggak kepikiran gitu. Tapi sebenarnya ini justru sangat penting di media digital sekarang ya. Gimana supaya anak itu bisa membedakan ini kontennya ini cuma hoax atau beneran. Terus... Gimana caranya kita mengembangkan empati digital? Kadang-kadang anak-anak dan remaja itu lupa bahwa di setiap unggahan, di setiap postingan, di setiap foto kata-kata itu ada orang loh di baliknya. Ada orang yang punya perasaan di situ. Jadi semestinya kita nggak segampang itu untuk ngeluarin kata-kata yang mencerca dengan dalih sekedar mengingatkan padahal itu menyakitkan baginya. Empati digital ini juga perlu kita latihkan pada anak. Caranya gimana? Dimulai dari kita sendiri. Kita mulai kembangkan empati kita, kita mulai bertanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan di dunia digital. Dan yang paling penting terakhir adalah evaluasi. Kita sudah melakukan banyak hal di sekolah, melakukan banyak hal di rumah, kita harus evaluasi. Kita tanyakan pendapat siswa, tanyakan pendapat guru, tanyakan pendapat orang tua. Gimana sih pendidikan moral selama ini? Apakah sudah selaras atau belum? Sehingga kita bisa mengembangkan program yang berkelanjutan lagi untuk... program yang lebih efektif. Nah, ini slide terakhir dari saya, penutup. Ada sebuah quote atau pepatah mungkin ya, saya lupa dari mana, tetapi yang ingin saya tekankan di sini adalah pendidikan moral itu sebenarnya sangat-sangat sederhana, yaitu dimulai dari diri kita sendiri dengan perilaku kata-kata yang baik setiap hari secara konsisten. Jadi kita nggak bisa berharap Ada suatu program revolusi pendidikan moral yang bisa diterapkan dalam jangka satu minggu, kemudian semuanya jadi moralnya baik, itu nggak bisa, Bapak-Ibu. Pendidikan moral dimulai dari usia nol. Ketika anak lahir di dunia, bagaimana kita menanamkan nilai-nilai kebaikan itu pada anak. Mulai dari pikiran-pikiran baik kita pada anak, harapan-harapan baik kita pada anak. Kemudian kita keluarkan jadi kata-kata yang baik. Berbanyak kata-kata yang positif. pada anak daripada kata-kata yang negatif. Dari kata-kata yang positif akan jadi tindakan yang positif. Tindakan yang positif akan jadi kebiasaan. Kebiasaan akan jadi karakter. Dan karakter ini akan membantu kita untuk menentukan masa depan kita akan seperti apa. Kehidupan kita akan seperti apa. Jadi kita ingat kembali bahwa pendidikan moral tidak bisa instan. Butuh waktu. Dan saya rasa karena dunia ini berkembang terus ya. Setiap hari berubah, ada aja perubahannya pendidikan moral ini berjalan sepanjang hayat, tidak bisa hanya di level TK saja, SD saja, SMP sampai nanti SMA sudah selesai, tidak ada pendidikan moral di kuliah, tidak bisa sampai kita dewasa pun, sampai sekarang pun kita tetap belajar tentang bagaimana kita menjaga diri kita tetap pada koridor moral yang baik, begitu Ini materi dari saya, terima kasih sudah menyimak Bapak Ibu, mohon dimaafkan apabila ada kesalahan kata, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Sesi saya kembalikan ke Mbak Ana. Terima kasih Mbak Ana. Baik, terima kasih banyak Bu Dori sudah memberikan banyak sekali ilmu di malam hari ini mengenai karakteristik peserta didik dan pendidikan moral di era digital. Dijelaskan juga oleh Bu... Bu Dori dan juga Bapak Ibu tadi ada beberapa yang sharing di komentar tentang permasalah moral yang saat ini sedang terjadi. Ada banyak sekali masalah kemudian tantangan apa saja terkait pendidikan moral di era digital ini. Kemudian oleh Bu Dori juga diberikan tips dan juga trik tentang bagaimana cara Bapak Ibu dan juga sebagai orang tua, sebagai guru dalam menyikapi karakteristik anak di era digital di era sekarang ini. Sebelum kita ke sesi tanya-jawab, saya ingin menyapa dari Bapak Ibu. Saya ingin mengecek apakah masih semangat di malam hari ini. Walaupun hari ini malam weekend, besok sudah hari Sabtu, tapi saya harap Bapak Ibu tetap semangat. Mari kita bersama-sama menyiarkan tagline dari di Cloud Online. Seperti di awal acara, Bapak Ibu ketika saya bilang di Cloud Online, Bapak Ibu bisa menjawabnya dengan sumber belajar bersama. Baik, saya mulai Bapak Ibu. Diklat online Sumber belajar bersama Sumber belajar bersama Sumber belajar bersama Sumber belajar bersama Ya luar biasa ternyata masih semangat nih Bapak Ibu karena saya kira juga sudah tidak sabar untuk kita bersama-sama ke sesi tanya jawab bertanya dan juga sharing bersama dengan Budha Ritentunya. Untuk sesi ada dua sesi Bapak Ibu yaitu sesi yang pertama di room zoom nanti dilanjutkan sesi kedua di link mentimeter yang telah dibagikan. Baik sesi pertama di room zoom silakan Bapak Ibu yang ingin bertanya untuk raise hand dan diaktifkan. kan kameranya, silahkan Bapak Ibu dan juga mengimbang kepada Bapak Ibu untuk pertanyaan, silahkan untuk tepat sasaran juga singkat, agar waktunya lebih efektif, seperti itu ya Bapak Ibu, oke ini ada dari Bu Resnawati, halo selamat malam Ibu, bisa diaktifkan mic-nya halo, halo selamat malam Halo, selamat malam Ibu. Ya, baik. Jadi perkenalkan nama saya Resnawati, saya mahasiswa aktif tahun 2021 dari Universitas Lampung Mangkura, jurusan Teknologi Pendidikan. Oke, jadi saya langsung ingin bertanya ya, mengenai yang saya pernah alami di lapangan, selama saya mengajar, ada beberapa siswa yang mengalami traumatik. Nah, itu traumatiknya itu karena orang tua. Orang tua yang selalu berkata kasar. Jadi anak itu takut akan bentakan, takut akan suara yang tinggi naik, atau guru akan menegur. Menegur, misalkan, anak-anak tolong diam ya. Anak itu langsung trauma dan dia langsung menampilkan wujud yang... Maksudnya itu... Tidak apa ya Tidak biasa gitu Nah jadi apa nih Bu Kira-kira solusi untuk Menjadi sebagai guru Kita kan akan menjadi role model Itu solusinya kita harus bagaimana ya Selain kita menanamkan Nilai-nilai baik tadi Baik terima kasih mohon maaf jika belibet ya Bu Terima kasih Langsung dijawab Mbak Ana atau gimana Iya bisa langsung dijawab silahkan Mungkin saya perlu konfirmasi dulu ya kepada Bu Resnawati ketika tadi kan Ibu mengatakan bahwa karena orang tua itu di rumah keras begitu ya Bu ya? Iya. Apakah guru atau Ibu sudah tahu bahwa orang tua ini keras? Apakah sudah pernah berbicara dengan orang tuanya? Atau anaknya cerita atau seperti apa Bu? Pernah anaknya cerita dan ada guru lainnya juga lihat ada perlakuan yang tidak mengenakan ketika di sekolah. Misalkan kita kan kalau baru diantar ke sekolah kita salim kalau dia enggak dia bilang kayak misalkan ini hal kecil aja nih kayak bu saya boleh minta uang jajan enggak bu terus ibunya itu malah langsung teriak yang enggak enggak dan memperkesakan apa segala macam jadi kemungkinan besar itu mungkin ada something trouble juga yang ada di dalam keluarga tersebut tapi kita enggak tahu jadi maka dari itu kita sebagai guru yang role model yang baik, bagaimana caranya untuk membuat anak itu keluar dari trauma dan dia akan berubah menjadi lebih baik lagi, setidaknya seperti itu. Baik, terima kasih pertanyaannya Bu Resnawati. Saya memahami kondisi ini bukan kondisi yang dalam tanda kutip terjadi pada satu anak. Saya yakin Bapak Ibu pun ketika menghadapi siswa-siswa banyak yang menemui kasus seperti ini. Di rumahnya anaknya merasa tidak nyaman karena memang rumahnya tidak kondusif seperti itu ya. Dan ketika di sekolah baru kelihatanlah itu muncul berbagai perilaku. Ada yang bentuknya tadi jadi trauma terhadap suara tinggi. Ada yang setiap mau masuk sekolah itu sampai di sekolah kemudian buang air kecil karena dia cemas. Ada yang ketika mau pulang dia menangis ketika dijemput orang tuanya dia malah mau menangis. Dia menangis dan pengennya di sekolah terus. Ada hal-hal yang seperti itu. Jadi memang saya pun menyadari bahwa kondisi keluarga, setiap keluarga itu berbeda. Tidak ada keluarga yang ideal, tetapi memang ada keluarga-keluarga yang jauh dari ideal. Ada yang keluarga hangat, ada yang memang sebenarnya keluarga. Ayah ibunya pun butuh pendampingan, ayah ibunya pun butuh bantuan. Sehingga ketika mereka tidak bisa meregulasi dirinya, tidak bisa mendapatkan bantuan yang tepat, apa yang mereka rasakan dilampiaskan pada anak. Anaknya jadinya tadi yang seperti Ibu Resnawati ceritakan, trauma. Tetapi Bapak Ibu, dengan... Kondisi seperti itu saya memahami dilema yang dirasakan oleh guru. Guru ini ada tuntutannya banyak dari dinas. Harus seperti ini, seperti ini, seperti ini. Tetapi anak yang datang ke sekolah itu sangat bervariasi. Ada yang bisa diajak lari kencang. Ada juga yang seperti ini, yang butuh penanganan khusus. Sebenarnya permasalahannya di rumah, tapi dampaknya sampai ke sekolah dan Bapak Ibu Guru. Tetapi Bapak Ibu Guru, mari kita luruskan mindset dan niat kita. Bahwa kita... memang hadir untuk membantu anak. Jadi sekarang memang bukan trennya ya, tapi arahnya sekolah itu diharapkan jadi tempat yang aman, salah satu tempat yang aman bagi anak. Safe place-nya anak yang mungkin tidak dia dapatkan di rumah, tapi bisa dia dapatkan di sekolah. Jangan sampai anak itu sudah nggak nyaman di rumah, di sekolah pun dia nggak nyaman. Jadi ada penelitian yang melihat anak-anak yang dalam situasi yang merugikan seperti ini ya, apakah bisa sukses nggak sih? Apakah bisa jadi pribadi yang baik nggak sih? Ternyata bisa. Syaratnya apa? Syaratnya ada satu lingkungan yang membuat dia aman. Entah itu rumah, entah itu sekolah. Mungkin di sekolah dia nggak nyaman, sekolahnya nggak cocok segala macam, tapi di rumah dia aman. Mungkin di rumahnya dia nggak aman, tapi di sekolahnya dia aman. Ada guru-guru yang menyayangi dia, ada yang mengayomi dia, ada yang bertindak sebagai orang dewasa yang seharusnya. Ternyata anak-anak yang mendapatkan Satu saja lingkungan yang aman, itu dia bisa survive, dia bisa bertahan, dia bisa berkembang optimal. Itu hasil penelitiannya. Jadi Bapak Ibu, kalau ditanyakan apa yang guru bisa lakukan, yang pertama adalah sediakan diri dulu. Terima dulu anak itu hadir, siswa itu hadir ke sekolah Bapak Ibu dengan permasalahannya masing-masing, oke kita terima dulu. Walaupun memang kita akhirnya pengen begini-begini, tapi salah satu langkah untuk... mengatasinya adalah kita ikhlas dulu, terima dulu bahwa anak memang kondisinya berbeda-beda setiap rumah, dan apa yang harus kita lakukan, kita sediakan diri dulu secara emosi, itu yang paling anak butuh, begitu di rumah dia gak dapet, jadi apa yang harus didapatkan dari guru-gurunya di sekolah, rasa aman secara emosi, kalau anak terlihat ketakutan, bisa kita rangkul, kita tenangkan dia, tenangkan gejala fisiknya, kita tanyakan, apa yang kamu rasakan? deg-degan apa yang kamu rasakan? takut, oke... sini minggir dulu yuk sama guru-guru sampai tenang dulu, nanti setelah tenang, kamu kembali lagi ke barisan kembali lagi ke kelas, jadi apa yang bisa guru bantu, berikan kalau medis itu ada P3K, di psikologi juga ada, namanya psychological first aid, bantuan pertama secara psikologis, bantuan pertamanya apa, tenangkan dia dulu turunkan dulu gejala reaksi emosinya itu berulang-ulang setiap pagi ketika setiap kali dia merasa cemas, setiap kali dia merasa takut, kita berikan itu, nanti anak akan semakin berkurang cemasnya, kalau kita konsisten sambil kita ajak diskusi rumahmu gimana, apa yang bisa kamu ceritakan apa yang bisa ibu guru bantu misalnya, kalau anaknya sudah bisa diajak diskusi dua arah, dan menurut saya penting juga untuk sekolah membuka kemungkinan menjalin hubungan dengan profesional, karena ada tadi trauma gitu ya dengan psikolog, kalau misalnya ada di puskesmas, kita ajak anaknya dengan bekerja sama dengan orang tua misalnya ya, berkoordinasi dengan orang tuanya kita ajak anak ke puskesmas untuk bertemu dengan psikolog misalnya atau cari bantuan pendampingan yang lain yang sekiranya diperlukan anak dan menurut saya juga perlu Bapak Ibu membuka komunikasi ini dengan orang tua tetapi fokusnya bukan dalam tanda kutip menyerang atau menyerahkan orang tua Pak Ibu gara-gara Bapak di rumah begini anaknya jadi begini, gak bisa seperti itu jadi kita sampaikan aja yang terlihat pada anak seperti apa di sekolah Bapak, Ibu, mohon maaf, saya melihat anak ini sering ketakutan ketika begini di sekolah. Kemudian anak jadi begini ketika guru tidak, misalnya ngajak baris atau ngajak apa dengan suara yang agak tinggi, supaya kedengeran teman-temannya, kemudian anak jadi takut. Kira-kira apa yang terjadi ya, Bu? Apa yang bisa sekolah bantu? Apa yang bisa sekolah support supaya anak ini lebih nyaman? Jadi buka komunikasi dengan orang tua, tetapi tidak menyalahkan orang tua. Intinya adalah kita cari cara bersama-sama nih, supaya kita bantu anak. Tetapi yang paling utama adalah kita sediakan dulu sekolah ini jadi tempat yang aman dan nyaman secara emosi untuk anak. Itu yang paling-paling penting karena itu yang hilang bagi anak di rumah. Begitu Ibu Resnawati, semoga bisa menjawab. Oke, baik. Terima kasih Ibu Dori atas penjelasannya untuk Ibu Resnawati. Terima kasih sudah bertanya, semoga dapat terbantu ya Ibu. Oke, Ibu Dori dan juga Bapak Ibu peserta. Serta seminar pada malam hari ini kita beralih ke sesi pertanyaan yang sudah ada di link mentimeter yang telah dibagikan. Baik, pertanyaan dari Bu Rindy Adi Wijaya. Beliau bertanya bagaimana sekolah dapat mengintegrasikan pembelajaran moral ke dalam kurikulum merdeka. Silahkan Bu Dary untuk langsung menjawab. Baik, terkait kurikulum merdeka ya. Sebenarnya detail-detail kurikulum merdeka saya yakin Bapak Ibu Guru sudah berkualitas dapat pelatihan, sosialisasi, kemudian ada buku-buku. panduan yang saya rasa tentang pendidikan moral pun sudah terbahas di situ karena saya juga sempat membaca beberapa literatur dari Kemdikbud tentang pembelajaran moral. Tetapi pada prakteknya, Bapak Ibu, pendidikan moral ini kan sesuatu yang harus kita biasakan, sesuatu yang harus kita rutinkan, kita latihkan pada anak setahap demi setahap. Nah, kalau terkait kurikulum... Merdeka mungkin bisa masuknya ke dalam proyek Jadi beberapa waktu yang lalu saya sempat melihat ada sebuah sekolah Itu yang proyek Pancasilanya itu adalah turun ke masyarakat Membahas tentang permasalahan-permasalahan yang terjadi Jadi di sekolah itu pada saat itu Kasus anak-anak bolos dan kasus anak-anak nongkrong itu banyak sekali Jadi banyak anak yang bolos pelajaran kemudian nongkrong gak ngapa-ngapain Dan lain macam Nah, apa yang dilakukan oleh sekolah itu untuk salah satu proyeknya adalah meminta anak-anak itu turun, mengobservasi anak-anak dari sekolah lain yang sedang nongkrong dan bolos. Jadi, ketika mereka datang, mereka ngobrol di sana, mereka kan juga pelaku nongkrong, jadi mereka juga kenal. Jadi, mereka saling bertukar, kenapa sih kok kamu nongkrong, segala macam. Itu yang mereka angkat sebagai pembelajaran di sekolah. Mereka presentasikan. Ternyata anak-anak banyak yang bolos dan nongkrong karena begini, begini, begini. Karena... Sekolahnya membosankan karena ini, karena anak-anaknya pengen main ini-ini. Dan dari diskusi itu kemudian muncul solusi dari mereka sendiri. Apa yang seharusnya dilakukan supaya anak-anak ini tidak bolos. Nah dari situ mereka akan dapat insight sendiri tuh. Oh ternyata untuk bisa melakukan supaya anak-anaknya mau sekolah itu anaknya harus begini, gurunya harus begini, sekolahnya harus begini. Jadi semuanya bekerja sama untuk menjalankan rekomendasi itu. menjalankan apa temuan anak-anak itu. Dari situ ternyata setelah beberapa saat dilihat, frekuensi anak-anak membulas ini semakin berkurang, Bapak Ibu. Jadi untuk bisa menerapkan pembelajaran moral, kita ajak anak-anak untuk diskusi tentang permasalahan-permasalahan moral yang terjadi. Bisa dalam bentuknya kasus, bisa dalam bentuknya presentasi turun, observasi ke lapangan. Kalau kurikulum merdeka kan salah satunya metodenya adalah pembelajaran berdiferensiasi ya, mereka bisa menghasilkan bebas produk apapun yang untuk membahas moral misalnya, bisa video bisa ini, bisa ini, jadi dengan mereka membuat suatu produk, mereka juga belajar tentang pendidikan moral itu sendiri tetapi sekali lagi yang paling penting adalah bagaimana kita membiasakan hal-hal yang baik itu untuk sehari-hari ada di sekolah juga, jadi tidak hanya fokus pada kurikulum dan produk-produk turunan yang ada di situ tapi juga bagaimana membiasakan... Percuma dong kalau kita ngajak anak untuk membahas kasus moral, tapi ketika mereka presentasi, kita meremehkan mereka. Kita tidak memberi feedback yang positif. Ataupun kalau feedbacknya memang harus ada feedback yang untuk kritik yang membangun mereka, kita sampaikan dengan nada negatif. Yang meremehkan, yang tidak membuat mereka bersemangat, tapi justru membuat mereka down. Itu kan juga tidak mencontohkan pendidikan moral yang baik. Jadi apapun yang kita lakukan, kita jadi role model di sekolah, kita berpikir, perhatikan setiap perilaku kita kira-kira ini kaitannya dengan moral seperti apa ya, seperti itu, mudah-mudahan bisa menjawab begitu Mbak Anna terima kasih Ibu Dori, sudah memberikan penjelasan dari pertanyaan Ibu Rindi yang sekaligus menutup perjumpaan kita pada malam hari ini, dan mohon maaf sekali Bapak Ibu yang belum mendapat kesempatan bertanya, dikarenakan ada keterbatasan waktu seperti itu, sebelum saya tutup mungkin dari Ibu Dori ingin memberikan pesan kepada Bapak Ibu peserta silahkan baik saya sekali lagi terima kasih banyak-banyak kepada Diklat Online dan Bapak Ibu yang mau hadir pada malam hari ini karena ini tuh justru jadi energi positif untuk saya karena saya lihat kemarin saya tanya tuh kepada Tia ada berapa yang daftar sampai tadi pagi tuh yang daftar 54 ribu Bapak Ibu pesertanya 54 ribu ini saya jadi optimis gitu ah pendidikan moral Indonesia, moral anak-anak kita besok akan lebih baik nih, karena ada 54 ribu pendidik dan orang tua yang concern, yang fokus ke masalah ini, jadi materi malam ini Bapak Ibu saya harapkan sebagai pemantik pemantik Bapak Ibu untuk belajar lebih dalam untuk mengintegrasikan ke dalam penerapan sehari-hari sehingga nanti kita juga bisa mengajarkan kepada anak-anak kita kepada sesama guru-guru, kepada orang tua yang lain, dan kalau Bapak Ibu nanti misalnya ada praktek-praktek pendidikan moral yang oke jangan ragu-ragu untuk sharing baik di media sosial atau di komunitas guru yang lain karena ini sangat membantu saya pengen banget kita bekerja sama bareng-bareng untuk memutus rantai nih ah Tadi kasus-kasus yang banyak sekali ada di depan yang membuat kita miris gitu ya tiap kita baca berita. Mudah-mudahan sesi malam ini bisa bermanfaat untuk pemantik dan seterusnya Bapak Ibu tetap semangat untuk mendidik dan mendampingi anak-anak kita. Begitu Kak Anna, terima kasih. Terima kasih Bu, semoga pengen disemakan oleh Bu Dori tadi sebagai pemacu semangat bagi Bapak Ibu dalam proses belajar-mengajar bersama dengan peserta didik tentunya. Selagi saya ucapkan terima kasih banyak Bu Dori sudah bersama kita di malam hari ini kita mendapatkan banyak sekali insight dan juga pasti Bapak Ibu banyak tercerahkan dari apa yang sudah disampaikan oleh Bu Dori. Semoga Bu Dori sehat selalu dan kita bisa dipertemukan di kegiatan selanjutnya. Dan juga saya ucapkan terima kasih banyak Bapak Ibu peserta yang sudah hadir malam hari ini. Terima kasih sudah bergabung, sharing bersama semoga Bapak Ibu sehat selalu dan sebelum saya tutup, mari kita berfoto bersama terlebih dahulu jadi silakan Bapak Ibu untuk diaktifkan. Kameranya dan juga disiapkan foto-foto terbaiknya. Silahkan Bapak Ibu. Oke baik, tampaknya sudah siap. Saya hitung hingga hitungan ketiga. Satu, dua, tiga. Boleh berganti gaya. Satu, dua, tiga. Oke, sekali lagi Bapak Ibu. Satu, dua, tiga. Baik, terima kasih banyak Bapak Ibu. Semoga Bapak Ibu semangat terus. Dan sebelum saya tutup, saya sebagai moderator acara pada malam hari ini juga ingin meminta maaf apabila ada kesalahan ketika saya memandu acara pada malam hari ini. Dan saya rasa cukup sekian Bapak Ibu. Sampai jumpa kembali. Selamat istirahat. dan selamat malam wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Terima kasih telah menonton Terima kasih.