Untuk acara selanjutnya adalah acara inti, yaitu berupa pemaparan materi oleh Bapak Lukman Adi Prananto STMN yang dilanjut dengan sesi diskusi dan tanya-jawab. Saya infokan kepada seluruh peserta untuk dapat mempersiapkan pertanyaan yang nantinya akan dipilih beberapa pertanyaan terbaik dari sesi diskusi tersebut. Untuk selanjutnya akan dipandu oleh... Bapak Dr. Eng Muhammad Samsiro sebagai moderator. Sebelum acara saya serihkan ke beliau, sedikit saya menyampaikan biodata dari beliau.
Biodata dari Bapak Dr. of Engineering Mochamat Samsiro, Sarjana Teknik, Magister Teknik. Latar belakang pendidikannya, pendidikan S1 atau program sarjana di Prodi Teknik Mesin. Universitas Gejah Mada pada tahun 2001. Selanjutnya, melanjutkan program magister S2-nya di program studi yang sama di teknik mesin di Universitas Gejah Mada tahun 2007. Selanjutnya, melanjutkan program doktor S3-nya di Tokyo Institute of Technology Jepang pada tahun 2015. Nah, untuk di Universitas Janabadra, Bapak Dr. Eng Muhammad Samsiro, beliau ada di posisi sebagai Kepala Laboratorium Bioenergi Jurusan Teknik Mesin Universitas Janabadra atau Direktur Center of Waste Management and Bioenergy. Oke, untuk acara ini akan dilanjutkan oleh Bapak Dr. Eng Muhammad Samsiro.
Kepada Bapak Dr. Eng Muhammad Samsiro, kami persilahkan. Oke, cek suara dulu. Suara saya bisa terdengar? Mas Bayu ya?
Terdengar suaranya? Terdengar Mas. Oke, ya. Oke, terima kasih Mas Bayu selangkomendator pada pagi hari ini.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Yang saya hormati Bapak Insinyur Suprianto MT selaku sekretaris.
Program Studi Teknik Mesin Universitas Jena Badra, yang saya hormati Bapak Lukman Adi Prananto, SD Master of Engineering, yang selaku pembicara tunggal pada webinar pagi hari ini. Kemudian yang saya hormati juga Bapak-Ibu peserta webinar dari seluruh Indonesia yang mengikuti acara webinar pada pagi hari ini, baik itu dari akademisi maupun dari... praktisi dan juga dari pemerintahan mungkin dari dinas LH ataupun pemerintah kabupaten kota kemudian tak lupa juga yang saya banggakan ini para mahasiswa yang terus serta pada acara webinar kali ini ya semoga nanti para mahasiswa bisa mendapatkan ilmunya yang nanti luar biasa dari Pak Lukman ya terkait dengan PLTSA ini sesuai dengan tema pada webinar series yang ke-6 ini yaitu tentang pembangkit listrik tenaga sampah peluang dan tantangan.
Jadi kalau kita berbicara sampah, seperti tadi disampaikan oleh Bapak Suprianto, ini memang tidak akan pernah habis-habisnya, karena memang persoalan sampah, khususnya di negara yang berkembang, di Indonesia ini menjadi persoalan yang sangat pelik, dan kita tahu semua bahwa kondisi tempat pembuangan air sampah itu dimana-mana sudah penuh semua, pemerintah daerah mungkin kebingungan juga mencari tempat untuk menggantinya. Karena juga banyak resistensi dari masyarakat. Nah, terus bagaimana kemudian itu harus bisa diselesaikan ya? Nah, nanti mungkin Pak Lukman akan memberikan salah satu alternatif, solusi bagaimana sampah itu kemudian bisa diolah, bisa dikelola dengan baik, dan juga tentunya meminimalkan emisi yang kemudian dihasilkan dari pengolahan sampah. Nah, sebelum masuk ke materi dari Pak Lukman Adip.
Prananto, mungkin akan saya bacakan kurikulum VT beliau. Ini mungkin dari operator bisa membantu menayangkan mungkin CV-nya beliau. Jadi, Lukman Adi Prananto ini beliau lahir di Jakarta tahun 1988. Jadi masih sangat muda sekali ya.
Masih sangat muda sekali. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjananya di teknik mesin. Institut Teknologi Bandung tahun 2010, kemudian menyelesaikan master programnya tahun 2017 di...
Tokyo Institute of Technology, di Department of Mechanical Science and Engineering. Dan saat ini beliau sedang mengambil program doktor di Institut Pertanian Bogor di bidang renewable energy. Jadi sangat linear sekali dengan apa yang beliau kerjakan saat ini terkait dengan PLTSA.
Kemudian pengalaman kerja beliau juga sangat banyak sekali. Dari awalnya di Tosiba, kemudian sampai ke Bapenas, kemudian di PP Energi, dan kemudian terakhir di Clean Power Indonesia atau PT. Sarta Putra Indonesia.
Dan kabarnya juga nanti akan menduduki posisi yang lebih tinggi lagi ini ya Pak Lukman. Ya, oke. Mungkin saya tidak akan berlama-lama.
Ini nanti mungkin Pak Lukman bisa juga memperkenalkan diri lebih jauh tentang aktivitas beliau, tentang apa yang beliau kerjakan selama ini. Dan semoga nanti bisa memberikan insight buat kita semua, para peserta ini. Dan harapannya nanti ke depan ada kolaborasi, kerjasama juga antara Clean Power Indonesia dengan Universitas Jena Badra di dalam pengembangan diri dalam perubahan tinggi, riset, kemudian pengabdian masyarakat, dan pengembangan teknologi.
terkait dengan PLTSA ini. Oke, langsung saja saya berikan waktunya kepada Bapak Lukman Adi Prananto, mungkin waktunya 20-45 menit ya, silakan nanti bisa disesuaikan saja. Oke, waktu dan tempat saya persilakan Pak Lukman.
Ya, oke. Selamat pagi, Mas Syamsiro, Mas Kertaris Prodi. Mohon izin saya sharing Pak ya tentang apa yang saya kerjakan. Bukan yang paling ahli, bukan yang paling pengalaman, tapi orang yang mau nyemplung lah gitu.
Jadi disclaimer nih buat teman-teman juga, kita disini saling belajar dua arah. Saya juga bukan yang merasa paling bisa lah ya. Mungkin justru di forum ini akan mendapat banyak ilmu dan tambahan informasi lah dari teman-teman semua kita berharap.
Jadi... silakan kalau misalnya ada yang mau ditanyakan atau apa ya saya kita jadi diskusi lajangan satu arah gitu karena enak nih kalau satu apa-apa hanya silent atau enggak ini apa gak menarik materinya mudah-mudahan saya coba kupas secara menarik lah jadi sebelumnya saya minta izin ke masam siroh saya memperluas temanya jadi tadi Pak sekutaris bilang tantangan dan peluang pengembangan TSA atau pembangkit listrik tenaga sampah saya mau perlu lagi jadi biomasa juga gitu karena Konsep ini keterkaitannya erat. Sama-sama mengambil limbah, yang satu limbah dari sampah masyarakat.
Maksudnya sampah yang dari masyarakat, bukan orangnya. Bukan sampah masyarakat, tapi sampah yang dikelola oleh TPA. Satu lagi limbah dari hutan. Jadi sama-sama dari material yang kita anggap sebagai tidak ada harinya, tapi bisa jadi listrik. Saya Lukman, sekarang di CPI.
Kita mulai aja ya. Yang pertama mau saya bahas itu potensi biomasa dan sampah. Jadi kita ini dulu deh, narik ke belakang dulu sampah dan biomasa ini kenapa sih menarik di Indonesia.
Kalau sampah teman-teman pasti udah tahu lah gitu. Jadi masalah di hampir semua kota di Indonesia. Kayaknya nggak ada kota yang tidak ada masalah dengan sampah. Ratusan kabupaten, kota media kita tuh selalu punya masalah dengan penanganan sampah.
Dari mulai yang skala besar sampai yang skala kecil. Kita bahas potensinya dulu. Nah ini sebelum bahas potensi, saya mau bahas dulu nih. Dari sisi perusahaan, dari sisi pengembang IPP yang bisnisnya mencari untung, tentunya melihat potensi harus dong. Karena kalau kita bicara energi terbarukan di Indonesia, selalu kita bicarnya potensi.
Nah ini lucu juga ya, kita bicarnya selalu potensi. Tapi sulit menjadikannya sebagai hal yang konkret gitu. Jadi potensi aja terus, potensi hidro berapa gigawatt, potensi panas bumi berapa gigawatt.
Tapi lalu yaudah ketika bicara realisasi 1%, 0,5% dari potensi. Jadi tidak pernah ada, ya not even 5% lah gitu, kita bisa menggali potensi kita. Nah sebagai pebisnis, saya nggak bisa lihat itu sebagai hal yang bisa dijual. Jadi saya mencari energi mana sih yang sebenarnya paling cocok di Indonesia.
Nah ini bisa teman-teman kita lihat bareng-bareng ya. Ini bukan berarti saya tidak menganggap energi yang lain penting, tapi sebagai pebisnis saya harus ambil prioritas. Mana yang lebih penting dan bisa diaplikasikan di banyak tempat di Indonesia. Yang pertama saya analisa adalah kemampuan supply stabil 24x7. Kenapa harus seperti ini?
Karena kalau teman-teman tahu, negara kita itu kan negara kepulauan. Kita punya grid listrik yang terpisah-pisah. Sekarang pertanyaan saya, grid yang punya 500 kV saja, transmisi itu ada di mana?
Ini nggak kayak forum undang-undang, saya bisa nanya ya. Ada di mute semua ya. Jadi gini, yang punya 500 cafe itu cuma ada di Jawa.
Yang punya transmisi besar, yang dulu sempat outage ya, terus satu pulau mati, itu di Jawa. Yang lain paling 150 cafe, 75 cafe, dan terpisah-pisah. Sehingga kalau grid seperti itu, tidak terlalu besar, kena beban intermittent dari solar TV dan angin, yang bebannya fluktuatif, itu jadi terganggu gridnya.
Jadi perlu ada baterai, perlu ada semacam stabilizer, sehingga jadinya nambah kos. Nah, daripada nambah kos, mending kita sudah seleksi saja mana energi terbarukan yang bisa 24-7, bisa nyala terus-menerus selama 24 jam. Ada biomasa, ada hidro, ada geotermal, atau panas bumi.
Lalu kita lihat lagi yang aspek berikutnya, menyuplai beban dasar atau baseload. Kenapa beban dasar ini penting? Karena... beban dasar inilah yang menjadikan PLN itu bisa membeli dengan harga yang kompetitif, tidak membebani gridnya PLN.
Ini kan kalau kita bicara bisnis listrik di Indonesia, kan kita harus berhadapan atau berjualan dengan PLN. Jadi kita janganlah berpikir kita bisa jual ke masyarakat, karena sistem kita undang-undang ketenagaan listrik itu amanahnya nggak seperti itu. Harus ada peran PLN sebagai distributor atau penyalur kepada masyarakat, karena ada harga subsidi dan lain sebagainya, sehingga kita harus jual ke PLN. Nah, baseload atau beban dasar, beban yang stabil itu hanya bisa diperoleh dari biomasa, hidro, dan geothermal.
Wind, solar nggak bisa. Kenapa? Karena sama-sama tahu tergantung sama cuaca, angin, atau ada cahaya matanya atau nggak. Nah, lalu masuk aspek berikutnya. Bisa nggak dibangun di area 3T seluruh Indonesia?
Kenapa area 3T ini penting? Nanti saya jelaskan di slide berikutnya. Karena di sini listriknya masih sedikit.
Kalau kita hanya melihat Jawa, Jawa itu very much oversupply sekarang. Apalagi nanti pembangkit 2000 MW masuk yang dari Batang, terus Pertamina pembangkitnya masuk yang 1760 MW, jadi very much oversupply. Sementara di Indonesia Timur listriknya kurang, nanti kita lihat ada ilustrasinya.
Lalu ada aspek pembukaan lapangan kerja, karena kami bekerja... Dengan memanfaatkan dana-dana murah dari luar, lewat portal atau platform Sustainable Development Goals atau SDGs, yang Bapak-Ibu semua juga mungkin pernah dengar. Sehingga aspek lapangan kerja ini penting.
Maksudnya gimana? Maksudnya adalah pembangkit EBT atau pembangkit energi terbarukan itu harus punya efek multiplikasi kepada warga sekitar. Membuka lapangan pekerjaan. Sehingga kami pilih mana yang menarik bagi donor untuk... bisa kontribusi, itu yang kita mainkan.
Jadi kita melihat appetite-nya orang. Nah, yang paling penting, yang paling bawah nih, pengembangan skala kecil. Kita bicara khususnya PLTSA ya, selalu kita bicaranya, misalnya teknologi insinerator gitu, yang kapasitasnya let's say di atas 700 ton sampah per hari, atau di atas 1000 ton sampah per hari. Masalahnya di Indonesia, di pulau-pulau, di pulau Jawa atau di pulau-pulau lain, kota atau wilayah yang punya sampah segede gitu, nggak lebih dari 10. Paling cuma Jakarta, Surabaya, Semarang mungkin, Solo setahu saya nggak sampai 1000 ton per hari. Ya benar Mas Amsiro ya?
Solo kayaknya nggak sampai ya? Atau Jogja lah gitu misalnya. Ya, betul.
Jadi nggak sampai gitu. Padahal semua kota punya masalah sampah. Tapi kalau kita hanya nembak teknologi yang...
bisa digerakkan di skala-skala besar, ya kita nggak bisa bikin di mana-mana dong kota di Indonesia. Kemarin saya ke Terenggalek aja, Terenggalek sampahnya 100 ton per hari. 200 ton paling banyak.
Itu kan kecil sebenarnya. Tapi tetap jadi masalah. Nah, itu dia. Nah, lalu kita punya tantangan, risiko suplai bahan bakar.
Kalau sampah rendah ya, ini saya bilang yang biomasa ini tinggi. Sehingga ini kita perlu hadapi dengan berbagai macam engineering lah dari sisi pengelolaan masyarakat. Nah sekarang kita lagi ngomongin emisi karbon karena mau ada karbon tax.
Jadi untuk informasi juga ke teman-teman sekalian. Bentar lagi PLTU itu akan dipajakin dari pajak karbon. Jadi tarifnya Rp30 per kilogram CO2.
Jadi nanti pengembang PLTU itu harus bayar pajak tambahan karena sudah mencemari lingkungan. Itu komitmen dari RUHU pajak yang baru. Jadi namanya pajak karbon. Itu juga jadi tantangan. Karena kayak PLN atau IPP, banyak sekali mereka punya PLTU itu jadi tambahan.
Sementara kalau kita bikin PLTBM dan PLTSA atau sampah, ini luar biasa penyerapan emisi karbonnya. Karena kita ada forestasi atau penghijauan, ada biochar, jadi ampasnya PLTBM itu kayak gini nih teman-teman, yang warna hitam. Ini tuh pupuk sebenarnya, bisa dikembalikan ke tanah, membantu soil menyerap CO2 dari tanah. Jadi PLTBM ini win-win sekali.
Kalau PLTU ngeluarin Faba, Fly Ice Bottom Ice, dia ngeluarinnya adalah biochar, yang kita bisa jadikan pupuk, kita bisa jadikan arang, dan kita bisa bakar lagi, karena ini masih punya nilai kalor. Apalagi PLTSA ya, PLTSA itu luar biasa pengurangan emisi karbonnya sampai di angka 460 ribu metric ton CO2 per tahun untuk skala 12 MW. 12 MW itu paling skalanya Surabaya lah.
segini besar dia bisa ngurangin karbon. Karena apa? Karena sampah kalau dibiarkan akan mengeluarkan metan. Metan itu, 1 kg metan itu seperti 31 atau 21 kg CO2, saya lupa angka pastinya. Tapi besar sekali.
Nah ini jadi peluang kita lah gitu. Sebagai pebisnis tentunya kita melihat peluang ya, peluang yang ujungnya adalah bridging dana murah dan lain sebagainya. Jadi saya lanjutkan. Nah ini. Ini kelihatan ya, kenapa Indonesia Timur itu jadi kota yang kita prioritaskan lagi.
Untuk PLTBM ya, sorry. Kalau PLTSA, it's around Java Island lah, karena yang paling banyak di sana. Nih lihat, mirisnya PR teman-teman juga nih yang menjadi mahasiswa nih.
Bahwa saat ini infrastruktur ketenagaan listrik kita itu belum merata gitu. Ini kalau lihat teman-teman, Jawa ya terang sendirian gitu. Sementara yang namanya Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Papua, ini masih gelap.
Padahal kalau lihat di negara lain kan merata ya, kayak Tiongkok merata, terus Malaysia kita lihat juga merata. India sangat merata kelihatan di sini. Nah ini PR kita semua. Dan selama ada tantangan, pasti ada peluang kalau untuk pengembang.
Jadi peluang kita juga besar untuk melistriki daerah sini. Tentunya dengan sumber daya yang tadi. Nah, ini potensi biomasa dan potensi sampah. Kalau sampah nggak usah kita bilang lah.
Nggak usah kita cari angka lah. Biar aja foto yang bicara. Ini yang kanan ini Jakarta.
TPA Bantar Gebang itu sudah 11 tingkat. Eskavatornya ini saya cuma ngambil sebagian. Bawahnya ada lagi.
Jadi sudah jadi gunung di Bantar Gebang. Yang kiri ini Lewi Gajah. Itu sudah pernah melakukan, karena tumpukan gas metan yang tidak terangkut ke udara, sehingga tekalannya tinggi, meledak, dan korban jiwanya sangat banyak waktu itu.
Yang kanan bawah ini TPA di Suwung, di Bali. Ini juga sudah padat, tidak bisa lagi ditambah sampah baru. Makanya Pak Gubernur Bali bilang melalui peraturan Gubernur bahwa sampah harus diselesaikan di tempatnya.
Nah itu kata ungucinya, sampah harus diselesaikan di tempatnya. Itu pun yang menjadikan kami meneliti teknologi yang bisa skala-skala kecil. Karena tujuan akhirnya nanti kita mengolah sampah itu tidak di TPA, tapi di tempatnya, TPS kah, atau di sumbernya langsung. Yang skalanya juga tidak terlalu besar.
Nah, masa-masa nggak usah dilihat. Di sini kelihatan banget negara kita hijaunya luar biasa. Jadi potensinya besar sekali. Saya ke Denmark waktu itu mereka bilang nanam pohon sampai jadi feedstock biomasa itu 25 tahun waktunya.
Kita cuma butuh 3 tahun untuk mencapai ketinggian yang sama. Jadi negara kita ini kaya, potensinya besar. Kita belum gali aja dengan optimal. Kita bisa gali itu.
Kita punya feedstock biomasa yang melimpah, kita punya sampah yang melimpah. Hanya bedanya adalah kita tidak sama dengan negara lain. Nah tadi Pak. Sekretaris kan bilang, di Jepang, di Eropa itu tidak ada masalah dengan sampah.
Pertanyaannya kok kita jadi masalah ya? Ya karena pertama mereka sudah ditopang dengan kebijakan yang kuat. Dan skema bisnisnya menguntungkan. Jadi kalau kita bicara Eropa, PLTSA di sana atau Waste to Energy di sana itu membakar sampah untuk menghasilkan dua hal. Yang pertama listrik, yang kedua energi thermal.
Kenapa energi thermalnya diharvest atau dihasilkan? Karena dipakai untuk penghangat di sekitar area. Jadi centralized heating system namanya. Karena punya musim dingin.
Jadi jual panasnya laku. Beda sama kita. Kita kan nggak ada musim dingin. Sehingga yang bisa dijual dari PLTSA hanya listriknya aja. Nah ini yang menjadikan sulit sekali mencari imbal hasil yang baik atau profit dari PLTSA.
Karena biasanya teknologinya kemahalan. Nah kita udah mencari mana teknologi yang lebih terjangkau. Nah nanti kita lihat lah. Terus sampah kita itu mostly bisa kebakar semua. Ini kita teliti dari berbagai daerah, ini angka-angka general.
Jadi berapa sih plastik, berapa sih organik. Total around 93% itu kita bisa olah. Yang tidak terbakar itu kaca, logam, material-material beton, batu, tanah, pasir itu cuma 7%.
Jadi signifikan sebenarnya kalau kita bisa mengolah sampah, jadi energi yang bisa kita jual. Salah satunya energi listrik. Saya lanjutkan ya. Nah, lalu kita nyari teknologi ini, saya langsung singkat saja, kita ketemulah dengan yang namanya gasifikasi.
Saya mau jelaskan kenapa akhirnya kita milih gasifikasi instead of insinerator. Jadi, ini agak-agak chemical sedikit. Konversi biomasa jadi energi itu ada banyak. Ada konversi secara kimia, ada konversi secara thermal.
umum lah di dunia gitu. Kimia ada anaerobik dan gas landfill. Tapi untuk Indonesia, forget it lah.
Karena nggak menghilangkan sampah. Ini hanya menyerap gas metannya aja untuk dijadikan bahan bakar, untuk ditampung lagi, atau lain sebagainya. Sehingga secara bisnis tidak sustain atau tidak berkelanjutan. Yang paling berkelanjutan dan yang paling banyak aplikasi di dunia adalah thermal.
Ada yang namanya pakai boiler konvensional atau kita kenal istilahnya insinerator. ada pake pembakaran modifikasi atau gasifikasi, dan pyrolysis. Nah, lalu dari dua ini saya membandingkan. Tujuannya untuk apa? Untuk bisa jualan.
Mana sih yang paling tepat teknologinya di Indonesia? Makanya saya list down beberapa aspek, dari konsumsi biomasa atau sampah, efisiensi skala kecil, biaya capex investasi, konstruksi, pembersihan gas buang, dan skala optimum. Tadi saya bilang di awal bahwa saya melihat potensi pasar sampah itu tidak di skala-skala besar, tapi di skala-skala kecil, mulai dari sekitar 20 ton per hari lah misalnya. Itu skala-skala kecamatan mungkin kalau di Jawa, tapi kalau di luar Jawa itu bisa jadi hampir satu kota tuh. Kalau di Bali itu sampahnya ITDC yang kita lagi teliti 30 ton per hari.
Tapi karena sekarang lagi pandemi, yang pakai hotel berkurang jadi 800 kilo per hari. Kan kecil sekali. Tapi itulah risiko kita. Jadi jangan nembak skala besar saja, karena cuma sedikit yang bisa dipakai. Skala-skala kecil banyak.
Kota-kota di Jawa Tengah, di Jawa Timur, punya sekitar 400-300 ton sampah kering per hari. Itu juga bisa kita manfaatkan. Sehingga gasifikasi kita ambil, karena dia luas, bisa makan 90% sampah, dia efisien pada skala kecil.
Nah yang paling penting untuk pebisnis itu biaya investasi. Biaya investasi atau capex-nya itu tidak terlalu mahal. Tidak semahal insinerator sampai 9 juta per megawatt.
Konstruksi juga tidak terlalu rumit karena simple. Nah isunya kalau bikin PLTSA kan lingkungan pasti. Kita lihat dari gas buang.
Karena di insinerator kenapa mahal? Karena gas buangnya itu... dimodifikasi pakai beberapa alat tambahan kayak CCS dan lain sebagainya, supaya ketika dibuang, gasnya bersih.
Eh sorry, itu untuk isinerator ya. Gasnya bersih, jadi dia kompleks gitu. Apalagi sampah di Indonesia, itu sampah yang tidak terpilah gitu.
Campuran. Kadang-kadang sampah kantong keresek barengan masuknya sama ban. Kadang-kadang sampah kantong plastik atau kertas, bareng masuk sama dipan kasur orang gitu. Jadi, apa ya... tidak mudah untuk di Indonesia.
Pasti bapak-bapak dari dinas LHK sudah ngerti lah soal ini. Kita juga waktu lihat, ternyata benar ya yang kata orang ada kursi, ada ban, ada bantal, dan sebagainya. Skala optimum juga kita lihat, insinerator itu baru bisa skala-skala besar, di atas 8 MW, 10 MW. Sementara yang butuh PLTSA di Indonesia sebenarnya skala-skala kecil.
100 KW atau sekitar 20 ton sampah per hari sampai 10 MW lah. Solo itu yang jadi proyek. kami supply sebagai solution provider itu juga 10 MW kalau nggak salah.
Tahap satunya 5 MW. Nah, teknologinya kayak gini, simple aja. Yang coba kami kembangkan dan sedang kami lakukan studi di beberapa kota, kita pakai yang namanya gasifikasi aja.
Gasifikasi itu apa sih? Gasifikasi itu brief to say, dia mengubah zat padat atau sampah dalam hal ini atau biomasa jadi gas. Alatnya di sini nih. Namanya kan gasifikasi. Jadi mengubah sesuatu menjadi gas.
Melalui proses yang namanya pyrolysis dan gasifikasi itu sendiri. Nah dia nggak pakai oksigen di dalam ini. Sehingga kalau teman-teman tahu reaksi pembakaran kan C dan H plus O2 menjadi CO2 plus H2O. Nah ini O yang kanan hilang semua.
Hilang satu maksudnya. Jadi C dan H menjadi CO sama H2. O-nya hilang.
Nah, CO dan H2 itu adalah gas yang punya nilai kalor. Makanya namanya gas sintetik. Jadi gas buatan, gas hasil produksi, punya nilai kalor, itulah yang kita jejelin ke dalam mesin gas.
Jadi nggak dibakar. Kita nggak ngambil energi panasnya dari pembakaran, justru energi panas itu kita pakai untuk mengubah zat padat menjadi gas. Justru gas yang keluar, kita dinginin.
Kita saring pertama, karena dia pasti masih nyangkut, tarnya. Lalu kita dinginin pakai cooling tower, karena ini temperatur seribu di gas si fire-nya. Kita butuh di gas engine ini temperatur lingkungan, 50 up to 100 centigrade. Yaudah, kita dinginin, kita saring.
masuklah ke dalam gas engine. Jadi listrik. Gas engine ini sama kayak mesin mobil, pakai piston, resiprokal bentuknya, di paralel dengan generator. Jadi listrik. Dan ini bisa base load, bisa diatur bebannya, mau berapa kilowatt, berapa megawatt, berdasarkan spek.
Nah inilah yang membuat kita merasa, kayaknya ini deh yang cocok di Indonesia. Karena, Alatnya aja simple, nggak serumit kalau kita bikin insinerator. Dan kalau lihat dari sini kan ini nggak butuh rotating equipment ya selain di gas engine. Jadi risiko IPC-nya lebih mudah.
Sehingga kalau bikin civil work juga bangunannya bisa lebih murah. Karena bikin PLTSA di Indonesia syaratnya satu, harus murah aja udah. Nggak bisa mahal. Karena apa?
Karena pemerintah masih menganggap PLTSA itu adalah investasi, bukan cost center, sehingga harus mendatangkan keuntungan, termasuk pengembang juga harus dapetin keuntungan jadi kayak gini sistemnya saya lanjut ke emisinya jadi emisinya itu orang kan pasti pada nanya ini pasti kalau PLTSA ini emisinya luar biasa karena yang dibakar atau dikonversi sampah, kalau gasifikasi kita nggak bakar ya, kita manggang lah kalau bakar kan langsung ketemu api langsung ini kan nggak Nggak ketemu O2, nggak ketemu api secara langsung. Jadi kita panggang, sehingga standar emisinya pun di bawah standar LHK. Ya, intinya aman lah.
Lalu abunya seperti ini, non-toxic. Kita concern sekali dengan masalah abu ini, tapi digasifikasi itu dia non-toxic, sehingga bisa, justru bisa dijual lagi nih, kayak batu ini bentuknya. Jadi pengeras jalan dan lain sebagainya. Kalau yang biomasa, karena kita makannya adalah tanaman atau kayu, abunya ini adalah pupuk. Jadi bisa jadi uang sebenarnya.
Kalau PLTSA nggak bisa untuk jadi pupuk. Karena kan bukan dari organiknya. Dia campuran, jadinya seperti ini. Dengan SDGs, kita ada beberapa aspek yang kita bisa telusuri dari mulai affordable clean energy, terus industri innovation and infrastructure. Karena kalau nanti kebutuhannya masif, pasti jadi industri deh.
Kita nggak mungkin impor karena to alatnya gampang dibikin. Teman-teman jana badra ini, alat ini bisa dibikin di Indonesia. Mas Amsiro pahamlah, ini alat bukan alat yang rocket science, ini sudah ada sejak lama, dan bisa dibikin di dalam negeri.
Jadi kalau ada industri, ada kebutuhan yang masif, bukan nggak mungkin ini jadi satu industri baru. Daripada kita terlalu fokus pada solar PV atau baterai, kita melupakan potensi lain yang namanya gasifikasi ini. Padahal ini potensinya besar. Terus climate action, ya itu tadi.
Dari semua sumber energi terbarukan, sampah itu yang paling banyak menghemat CO2. Karena sampah dibiarin jadi masalah. Biomasa Anda biarin, nggak jadi masalah.
Batu bara Anda biarin, nggak jadi masalah. Gas alam Anda diemin, ya SID saja gitu. Karena dia terkubur di dalam bumi. Tapi sampah didiemin, oh it's gonna be a big problem.
Kita nggak mau ada wikajah berikutnya, yang metannya meledak. Padahal itu adalah energi semuanya. Sehingga kalau kita bikin PLTSA, kita menyelamatkan hidup di air dan di darat.
Ini kalau Pemda bisa packaging ini ke donor juga, I'm sure donor itu pasti akan melihat. Karena it's all about money di sini. Donor, dana-dana filantropi, even IKEA Foundation mau mendanai ini dan lain sebagainya. Jadi peluangnya banyak. bergantung pada APBN karena ruang fiskal terbatas, justru dana-dana dari luar negeri banyak yang bisa kita drive ke sini.
Nah teman-teman di Jana Badra ini mumpung masih mahasiswa, belajar nih SDGs. It's gonna be a big cake dalam 5-10 tahun mendatang. Karena lihat, ingat ya, PLN sudah nggak bikin PLTU baru.
Jadi PLTU yang sekarang malah mau di-scrap, malah mau di-retire dengan program-program baru. Terus kalau PLTU-nya dihilangkan apa? Ya ini.
Ya sampah, ya biomasa, ya solar PV. Jadi ini semua adalah peluang-peluang baru. Ini bukan bisa jadi disrupsi, ini sudah jadi disrupsi ekonomi sekarang untuk energi. Kita lagi jalan nih.
Sekarang pemain-pemainnya lagi pada wait and see, kalau sudah jalan, PLN kasih clearance, kita bisa provide tarif yang bagus, ya sudah, tinggal bergulir saja. Mumpung teman-teman masih muda, pelajari ini. Saya sudah cukup telat belajar ini. Dulu saya di Toshiba bikin power plan-nya PLTU. Sekarang saya baru nyetir ke sini, baru sekarang.
Ya mungkin kalau cuma bicara konsep tanpa foto-foto ini kayaknya kurang menarik. Jadi saya diminta Mas Syamsiro juga untuk coba kasih kontribusi kita di secara global dan di Indonesia. Jadi saya pertama coba ngasih foto dayang biomasa, karena ini proyek pertama kita.
Ini biomasa. itu kita tidak pakai konsesi lahan. Jadi bukan sawit nih, bukan kayak sawit, bukan kayak hutan industri, bukan.
Kita beli dari masyarakat. Jadi yang tadinya si PLTD beli diesel dari luar, impor, itu kita ganti. Kita ganti jadi biomasa, biomasanya kita beli ke masyarakat. Jadi masyarakat di sekitar sana itu proaktif ngumpulin kayu.
Ini juga untungnya kenapa kita pakai gasifikasi, karena kayunya bisa macam-macam. Nggak harus tertentu, harus empty fruit bunch, atau harus kaliandra. Bisa macam-macam. Bisa gamal, bisa bambu, bisa ranting yang kalian temuin di pohon. Dan dibeli.
Biomasa itu butuhnya puluhan ton per hari. Dan itu akan menjadi uangnya masyarakat. Dibeli dengan harga sekitar 400 rupiah per kilogram. Masyarakat juga sebelumnya jualan buat kayu bakar gitu. Sekarang belinya, kalau biasa supply-nya adalah 10 kilo per hari, ini butuh sampai 200 kilo per hari.
Masyarakat termotivasi nggak? Termotivasi. Karena ini ujungnya uang.
Kita juga pembang developer dapat untung. Karena kita bisa jualan listrik ke PLN dengan harga yang masih masuk gitu. Nah ini survei dari Kementerian Keuangan ya, Pak Aguna ini partner kita juga. Ini lucu juga ya di foto ini ya. Saya mau highlight foto ini nih.
Kenapa? Karena jadi ATM. Jadi ibunya ini, si ibu yang baju merah ini, dia masuk hutan, kumpulkan kayu-kayu, nggak dia jual dulu.
Kalau dia butuh uang, dia baru jual. Makanya dia taruh di sini nih, kayunya nih. Ini duit semua nih bagi dia.
Dan memang jadi duit gitu. Lalu kita lihat juga, kalau kita bicara SDGs kan ada gender equality ya. Ini perempuan loh yang kerja.
Jadi bukan laki-laki semata nih yang bisa cari uang. Jadi peran gender ini keangkat di sini. Ini untuk PLTBM.
Kalau PLTSA tidak langsung ke sini, tapi ya lebih besar kepada CO2 itu tadi. Kita bisa menyerap metan dan lain sebagainya. Nah ini peralatan kami yang di Mentawai. Sekarang lagi off karena PLN lagi oversupply listrik, jadi nggak kita operasikan dulu.
Nah ini residunya nih, bambu. Kayak begini nih, tadi yang saya kirim foto di depan. Ini bisa dijual, jadi pupuk. Bayangin loh ya, ini tuh suplainya rutin per hari.
Dari biomasa yang tadi kita terima, kita olah, ampasnya bisa kita jual. Coba bisnis gitu menarik nggak? Menarik.
Ini dijual jadi pupuk laku, tapi kalau mau edit value lebih tinggi, teman-teman beriketing jadi arang. Kalau bambu, bisa dijual untuk sisa. Sisa tuh yang rokok panjang itu tuh, yang pakai selang. Itu tuh harganya tinggi. Nah ini kalau otak bisnisnya jalan, pasti melihat ini menarik.
Karena apa? Outputnya belinya murah, tapi bisa dijual lagi dengan harga yang lebih mahal. Nah ini proyek kita yang lain. Ini yang kiri atas ini di Turki.
Ini kotoran unggas ya. Yang kita olah jadi listrik. Jadi poultry waste. Kotorannya ayam nih.
Punya peternakan besar. Terus menghasilkan kotoran dalam jumlah besar. Ketika kering bingung mau diapain.
Karena nggak boleh dikubur. Di sana juga nggak ada taneman. Nggak bisa dijual. Jadi listrik aja udah. Jadi listrik dijual ke...
IPP-nya sana atau PLN-nya sana, jadi duit. Padahal kotoran itu limbah, kan. Nah, manusia itu seperti itu. Alatnya kayak gini doang, sederhana.
Skala-skala gini, di kota-kota kecil atau kota-kota pulau Jawa lah ya, kayak, jangan bilang Semarang lah, yang kecil-kecil lah. Purworejo misalnya, atau apa ya yang dekat Janabada ya, Sleman misalnya. Bisa nih pakai ini.
Kecil-kecil, dan terjangkau. Dan lihat, kalau kita pakai insinerator, kita butuh sumber air dalam... jumlah yang konstan dan besar.
Padahal nggak semua daerah menyediakan sumber air. Kayak Solo aja, walaupun sampingnya sungai, kita nggak boleh pakai sungainya tuh. Karena lingkungan, izin lingkungan. Makanya kita harus cari alat yang bisa dry system.
Ini kayak begini nih, ini nggak ada airnya nih. Filternya kering, terus pendinginannya pakai udara. Nah kita pakai cooling tower untuk mendinginkan, tapi airnya sirkuler.
Jadi nggak butuh besar-besar banget. Yang kiri bawah ini proyek yang di India. Ini yang pertama, Varanasi.
Kliennya NTPC, PLN-nya sana. Ini skala-skala 400 kilowatt. Jadi ini gambar orang ya, jadi nggak gede lah plannya.
Cuma segini aja udah. Nggak butuh area besar juga. Not even 1 hektare ini areanya.
Sehingga menarik kan kalau di Indonesia bisa jualan. Nggak butuh area besar, nggak butuh air. OM-nya mudah. Ini kan OM-nya mudah nih.
Cuma gini-gini doang nih. Paling yang butuh belajar yang gasifikasinya. Tapi yang lain sistemnya kan very simple. Ini gas engine-nya nih, yang kanan.
Kayak begini aja gas engine-nya. Mesin yang udah ada dari sejak berabad-abad lalu gas engine. Bukan mesin baru, cuma skalanya lebih besar. Kalau mesin mobil 1500 cc ini mungkin 15 ribu lah atau berapa lah gitu.
Saya nggak paham. Nah ini yang di Varanasi, Kuen kita, kita survei ke sana sebelum Covid, ke India, sekarang udah gak berani. Alatnya ya gini aja udah, masuk sampah secara otomatis, terus ini cooling tower yang tadi saya bilang, dan gak ada air juga. Jadi praktikal sekali nih kalau kita bisa coba untuk aplikasikan di Indonesia. Dan balik lagi, ini harganya, ya saya bisnis ya, bukan aksi sosial gitu, jadi harus nyari yang untung.
Untung itu apa? Dijual tarifnya bagus, pemasangannya nggak terlalu mahal. Itu aja udah dua hukumnya.
Ditambah yang ketiga, banyak dana-dana asing yang mau bantu. Kenapa? Karena kita menyelamatkan lingkungan. Dan mereka juga admit sampai itu bagian dari target mereka. Jadi no worries lah soal yang lain sebagainya.
Oke, saya singkat aja. Mungkin itu yang bisa saya sharing. Saya berharapnya kita jadi diskusi setelah ini. Kalau bisa lumayan panjang, saya bisa cerita. Dan saya juga ingin dapat input dari teman-teman dan dari Bapak-Bapak sekalian, dari praktisi dan stakeholder yang lainnya.
Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.