Transcript for:
Kebangkitan Bluebird Pasca-Pandemi

Tahun 2016, perusahaan taksi Bluebird dihantam oleh kehadiran perusahaan transportasi online seperti Uber, Gokar, dan juga Grab. Baru aja keluar dari mulut harimau itu, Bluebird masuk ke mulut buaya, yaitu hantaman pandemi yang menghabisi semua bisnis transportasi kota. Tapi hebatnya, Bluebird bukan hanya tidak menyerah, namun ia berhasil membuktikan bahwa perusahaan yang usianya sudah setengah abad itu mampu terus bertumbuh. Di kuartal pertama tahun 2023 ini, mereka meraih kenaikan laba sampai 161%. Kok bisa ya? Gimana sih ceritanya? Dan strategi dan inovasi apa yang Bluebird lakukan? Saya ajak Anda untuk menyusuri kisah epik di balik kebangkitan perusahaan taksi legendaris ini. Intro Intro Kita mulai dari perjalanan awal Blue Bird yang dikelola keluarga alam rahum Joko Sutono sampai mereka eksis hingga hari ini. Kemudian dilanjut dengan situasi ketika Blue Bird terpapar efek disrupsi digital dan juga pandemi. Lalu kita temukan jawaban bagaimana mereka bisa bertahan dan bangkit kembali. Sehingga di bagian akhir kita petik hikmah perjalanan kisah ini. Sejarah Blue Bird tidak bisa terlepas dari sosok Joko Sutono, seorang ahli hukum yang menjadi dekan pertama di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Serta pendiri dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian atau PDIK, dan juga Akademi Hukum Militer atau AHM. Sedangkan istrinya Mutiara adalah pebisnis telur yang pada tahun 1962 membeli BMO dari Departemen Perindustrian. Bimu itu lalu dioperasikan oleh kedua anaknya secara bergantian, yaitu Purnomo Prawiro dan Chandra Suharto untuk melayani penumpang di jalur harmoni kota di Jakarta. Pada tahun 1965, Joko Sutono wafat dengan tidak mewariskan banyak harta bagi keluarganya. Aku tak dapat meninggalkan apa-apa kepada anak-anakku. Aku hanya meninggalkan nilai-nilai yang ideal. Begitu kata-kata alam marhum tertulis di patungnya yang kini berdiri di depan kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Meskipun demikian, setelah sang ayah wafat, keluarganya menerima hadiah dari PT IKA dan AHM berupa sedan Opel dan Mercedes. Suatu ketika setelah Joko Sutono wafat, Mutiara mengumpulkan ketiga anaknya, Purnomo, Chandra, dan Mintarsih. Saat itulah Mutiara berbicara kepada mereka. Kalian semua tahu, kita mendapatkan dua mobil dari pemerintah. Beberapa hari ini ibu terus berpikir hendak kita apakan kedua mobil itu. Dan sekarang ibu sudah punya satu ide. Yaitu kita jadikan taksi. Semoga kalian setuju. Itulah keputusan awal keluarga almarhum Joko Sutono menjalankan bisnis taksi. Sampailah pada tahun 1971 ketika keluarga itu sudah memperbanyak armada taksinya hingga mencapai 60 unit. Di tahun itu mereka mengajukan pinjaman ke Bank Bumidaya supaya armadanya bisa menjadi 100 unit. Jumlah sebanyak itu memang harus dipenuhi ya supaya bisa mendapatkan izin bisnis taksi meteran yang ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta. almarhum Ali Sadikin yang mendorong perlunya Jakarta memiliki taksi meteran sebagai wujud kota metropolitan. Akhirnya pada 1 Mei 1972, Jakarta mulai dipenuhi taksi berwarna biru dengan logo burung terbang melesat yang dikenal dengan Bluebird. Armada pertamanya adalah sedan Holden Torana 2640cc dan terus bertambah menjadi 500 unit pada tahun 1978 dan menjadi 2000 unit pada tahun 1985. Ada beragam merk dan berbagai jenis mobil yang mereka miliki, karena Bluebird Group memang sekarang terdiri dari Big Bird, Pusaka Bluebird, Silver Bird, Golden Bird, dan juga Iron Bird. Bluebird nggak hanya merajai Jakarta, melainkan juga di beberapa kota lain, meskipun tidak semuanya tentu saja. Karena seperti di Yogyakarta, dominasi mereka masih di bawah V3, perusahaan taksi yang berjaya di kota Gudet atau Bosowa di Makassar. Tetapi bersaing dengan sesama taksi konvensional bagi Bluebird itu udah biasa. Yang nggak biasa adalah ketika kemudian datang pesaing yang tidak terduga, yaitu taksi online. Bluebird terpukul hampir dibuat KU. Apa yang terjadi? Dan bagaimana Bluebird merespon? Seperti kita tahu, Gojek di bawah kepemimpinan Nadiem Akarim muncul di tahun 2010. Dan sejak itu, landscape transportasi di negeri ini jadi berubah. Awalnya Gojek memang hanya layanan ojek biasa, tapi penerapan aplikasinya kemudian merevolusi transportasi berbasis digital. Armada Gojek tumbuh cepat dan mampu menjangkau pasar yang lebih luas. E-Marketer menyebutkan, hanya dalam beberapa tahun setelah meluncurkan aplikasinya, Gojek berhasil menguasai pangsa pasar yang sangat signifikan. Pada tahun 2018 misalnya, Gojek menduduki peringkat kedua sebagai platform ride-hailing paling populer di Indonesia. Dengan 29% pengguna internet di Indonesia memanfaatkan aplikasinya. Membandingkan Gojek dengan Bloomberg tentu aja nggak Apple to Apple ya, karena yang satu Ojek, yang satunya lagi kan taksi. Tapi Gojek lah yang membuka jalan untuk masyarakat. menerima kehadiran taksi online seperti Uber, Grab, dan tentu saja Go-Kart. Perubahan berlaku masyarakat yang semakin pro terhadap layanan transportasi online itu akhirnya mengancam eksistensi taksi konvensional. Dan Bluebird merasakan akibatnya. Pada tahun 2018, pendapatnya turun 30%. Setelah ditimpa badai disrupsi itu, datang lagi badai berikutnya yaitu pandemi COVID-19 yang mengakibatkan mobilitas masyarakat berkurang dan layanan taksi otomatis jadi lesu. Termasuk berkurangnya penumpang taksi dari bandara yang selama ini menjadi andalan Bluebird. Amelia Nasution, CMO PT Bluebird TBK masih ingat momen tersebut dan dia mengatakan yang paling berdampak adalah layanan taksi di bandara. Tutupnya beberapa operasional maskapai sangat terasa bagi kami. Laporan keuangan perusahaan mencatat pada kuartal kedua tahun 2020 permintaan layanan Bluebird itu turun 60% jika dibandingkan dengan priode yang sama di tahun 2019. Penurunan itu mempengaruhi operasional dan mengakibatkan berkurangnya karyawan sampai 10% dari 29 ribu pada tahun 2019 menjadi 26 ribu pada akhir tahun 2020. Penghasilan ribuan pengumum pun ikut berkurang secara drastis dan taksi yang beroperasi di setiap hari berkurang dari 30 ribu unit menjadi 12 ribu unit saja. Setelah pendapatannya terus menurun hingga mengalami kurigian sebesar 161,35 miliar di tahun 2020, Bluebird mampu mencatatkan pendapatan sebesar 2,22 triliun rupiah dengan laba bersih sebesar 9 miliar pada tahun 2021. Begitu menurut laporan resmi dari Bluebird. Nah, nggak berhenti di situ. Sepanjang tahun 2022, Bluebird bahkan mencatatkan laba bersih sebesar 364 miliar rupiah. Meningkat tajam hingga mencapai lebih dari 40 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Pertanyaannya adalah, apa yang membuat Bluebird... bisa bangkit dari hantaman disrupsi dan juga kelesuan pandemi. Kebangkitan Bluebird tentu tidak terlepas dari berubahnya dua situasi, yaitu berubahnya orientasi dunia startup dan juga meredanya pandemi. Munculnya fenomena teh winter telah mempengaruhi industri ride hailing secara signifikan termasuk Gojek dan juga Grab. Sebelumnya berkat dukungan investasi yang besar tarif Gojek dan Grab itu bisa lebih murah dari taksi konvensional. Tapi ketika investasi dan valuasi mereka menurun, kedua perusahaan ini terpaksa harus melakukan pemangkasan dan juga efisiensi operasional. Pendanaan Gojek pun turun sampai dengan 50% dan pekerjanya juga berkurang 9%. Begitupun Grab yang menghadapi tantangan serupa, pendapatan investasinya menurun sehingga operasionalnya perlu disesuaikan. Mereka nggak bisa lagi tuh memberikan subsidi yang besar, diskon, promosi, sehingga akhirnya tarif layanan ride hailing mulai mendekati tarif taksi konvensional. dengan gap yang tidak terlalu besar. Pada saat yang sama, pandemi juga mulai meredah. Pada Desember 2022, pemerintah mencabut kebijakan PPKM, sehingga aktivitas ekonomi kembali bergeliat dan mobilitas transportasi menjadi kembali normal. Termasuk permintaan layanan taksi Bluebird yang kembali meningkat. Direktur utama Bluebird, Sigit Joko Sutono, mengakui bahwa dengan meredahnya kasus COVID-19, maka mobilitas masyarakat kembali normal dan mereka mulai menggunakan transportasi umum untuk berpergian. Tetapi tentu saja ya kebangkitan Bluebird gak sepenuhnya hanya semata-mata karena faktor eksternal tadi. Bluebird juga melakukan serangkaian langkah strategis di saat terjadi serangan disrupsi maupun pandemi yang membuat perusahaan akhirnya bisa kembali merupuk untung. Tanyaannya apa aja tuh langkahnya? Pertama, ketika terjadi disrupsi Bluebird memutuskan untuk merangkul pesaingnya yaitu berkolaborasi dengan Gojek. Mereka yakin bahwa kerjasama tersebut merupakan bentuk win-win solution. Skema kerjasamanya terbilang nggak rumit sih. Karena Gojek kan sebagai perusahaan IT hanya menambah layanan pemesanan taksi Bluebird pada aplikasinya. Everybody wins. Walaupun Bluebird sudah memiliki aplikasi My Bluebird, tetapi kerjasama itu dinilai oleh pimpinan Bluebird tetap bisa menguntungkan para driver. Karena menurutnya, dengan tambahan channel, para driver itu punya peluang untuk bisa mengambil penumpang lebih banyak. Bluebird merasakan pemesanan taksinya memang akhirnya jadi meningkat. Nah, strategi kolaborasi ini menjadi survival mode untuk Bluebird di tengah gempuran gelobang tumbuhnya taksi online. Bluebird juga menempatkan Alamanda Santika Santoso sebagai komisaris independen. Dia adalah mantan Vice President People and Culture. culture di Gojek. Keputusan itu katanya diminta oleh Ibu Noni Sri Ayati Purnomo sebagai komisaris utama dan itu menunjukkan bahwa Bluebird ingin bertransformasi menjadi perusahaan yang ejal dengan menarik orang-orang terbaik meskipun berasal dari para kompetitornya. Yang kedua, Bluebird fokus meningkatkan pelayanan para pengemudinya karena mereka sadar betul bahwa pelayanan pengemudi yang excellence itu adalah keunggulannya. Bahkan Gojek pun ingin kerjasama untuk meningkatkan pelayanan para pengemudinya. Karena dengan sistem kerja kemitraan, Gojek itu kan susah ya untuk memastikan kualitas pelayanan dari para pengemudinya kepada pelanggan. Direktur PT Bluebird, Andre Joko Sutono mengatakan, pengemudi itu yang utama karena berkat manusianya, jasa layanan kita jadi bisa lebih unggul. Begitu seriusnya masalah ini ditangani, sampai mereka membuat program Pasti Segar, bekerjasama dengan perusahaan deodoran untuk menyediakan deodoran bagi para pengemudinya. Excellence-nya pengemudi Bluebird terukur dari sikap ramah dan kompeten. Mereka tidak bingung ketika harus memilih jalan dan tidak terus ngajak ngobrol sewaktu kita memang nggak ingin diajak ngobrol. Selain itu, mereka dibekali kemampuan berkendara yang aman, nyaman, dan juga efisien. Dalam hal ini, Andre mengatakan safety driving itu wajib. Sebelum bergabung, mereka diberikan beberapa pelatihan. Kalau sudah lulus, baru bisa bawa mobil. Kualitas seperti itu merupakan hasil kumulatif dari pelatihan berkelanjutan dan budaya perusahaan di dalam Bluebird. Memelihara kualitas pelayanan para pengemudi adalah upaya Bluebird menjaga keunggulan kompetitifnya. Kualitas pelayanan dan keamanan pelanggan adalah dua area yang sudah menjadi kekuatan mereka sebagai taksi konvensional. Mereka paham bahwa pengalaman baik yang dirasakan pelanggan tentang layanan tersebut menjadi faktor penting dan nilai tambah di tengah adanya disrupsi digital. Walhasil, Bluebird menghadapi persaingan dengan memaksimalkan sumber daya internalnya. Saya jadi teringat teori Resource Based View, yang menurut teori ini, perusahaan dapat mencapai keunggulan kompetitif dengan memanfaatkan sumber daya internal yang berharga dan unik. Dalam konteks Bluebird, mereka sudah memiliki brand dan reputasi yang kuat, serta basis pengemudi yang terlatih dan juga loyal. Nah itulah yang dioptimalkan, sehingga mereka pun bisa survive dan pulih kembali. Yang ketiga, Bluebird menggunakan pendekatan Engage Everybody yang bertujuan untuk meningkatkan layanan mobility as a service. Melalui tiga strategi layanan. Yang pertama adalah multi-channel yang memudahkan pelanggan mengakses layanan Bluebird. Yang kedua adalah multi-payment yang memudahkan pelanggan untuk bertransaksi melalui berbagai metode pembayaran. Dan ketiga adalah multi-product yang memberikan beragam pilihan layanan mobilitas sesuai dengan kebutuhan sang pelanggan. Strategi 3M ini didukung aplikasi MyBluebird yang diperbarui sehingga pelanggan bisa langsung memilih layanan mobilitas yang diperlukan dengan satu klik saja. Mulai dari layanan taksi, sewa mobil, kirim barang, hingga shuttle ke luar kota. Pengguna juga bisa mendapatkan data perjalanannya sehingga mereka memiliki pendataan transaksi dan perjalanan yang lebih transparan. Yang keempat, Bluebird mendiversifikasi bisnisnya dengan menyediakan layanan logistik yang disebut Bluebird Kirim. Sigit mengatakan, kami mempersiapkan SDM berkualitas, terutama di bidang teknologi informasi atau IT, yang saat ini menjadi tim terbesar setelah tim operasional. Merkut tenaga ahli bidang tech, business, dan strategic transformation sangat dibutuhkan untuk bisa mengeluarkan ide-ide aplikasi layanan baru. Layanan non-taksi ini berkontribusi positif pada pertumbuhan bisnis Bluebird, karena belakangan permintaan logistik terus meningkat. Meski demikian, Sigit mengakui mereka masih harus menemukan segmen yang tepat, karena bisnis logistik termasuk red, Ocean yang persaingannya ketat banget. Kelima, pimpinan Bluebird berhasil memainkan strategi viral marketing. Teman-teman pasti ingat ya, waktu direktur utama PT Bluebird Bapak Sigit Joko Sutono jadi viral. Kenapa? Karena aksinya yang menyamar sebagai supir taksi. Di video itu tampak Pak Sigit turun ke jalan berseragam supir Bluebird lengkap dan papan nama di mobilnya. Persis seperti supir taksi. Bluebird pada umumnya. Nah, tangan video itu membuat Bluebird diperbincangkan banyak kalangan tepat ketika kinerja perusahaan begitu baik di awal tahun 2023. Yang gak kalah menarik adalah pernyataan Pak Sigit yang menjelaskan bahwa dengan menjadi pengemudi, dia bisa merasakan dan memahami masalah yang dihadapi oleh para pengemudi. Sekaligus, dia jadi dapat feedback langsung dari para pelanggan dan dapetin banyak sekali insight yang akan menjadi pijakan dalam dia nanti akan melakukan perbaikan dan juga membuat berbagai keputusan. Yang ke-6, Bluebird melakukan transformasi armada dengan kendaraan ramah lingkungan dan sudah 60 unit mobil listrik dioperasikan. Langkah ini bukan semata-mata untuk mendukung visi berkelanjutan, melainkan juga menghemat biaya operasional perusahaan. Bintarti A. Yulianto, VP Teknik Bluebird menjelaskan bahwa perawatan mobil listrik cenderung lebih murah karena tidak banyak komponen yang harus diganti secara berkala. Sehingga penghematannya bisa mencapai 30% dibandingkan dengan mobil combustion engine. Melalui visi berkelanjutan 50-30, Bluebird berharap bisa membuktikan komitmennya dalam mengurangi 50% emisi karbon dan buangan operasionalnya pada tahun 2030. Sehingga karena itu mereka akhirnya menargetkan tambahan 200-500 unit kendaraan listrik lagi. Apa pelajaran yang dapat kita petik dari perjalanan Bluebird melewati tantangan disrupsi dan pandemi? Setidaknya ada 3 yang... perlu kita simak. Yang pertama menyadari bahwa fenomena ride hailing gak bisa dihindari. Maka Bluebird lebih memilih berkolaborasi seperti dengan Gojek daripada mencoba untuk melawan mereka. Dengan kerjasama ini, Bluebird mampu memanfaatkan kekuatan platform digital Gojek untuk menjangkau pelumpang yang lebih luas. Sekaligus mempertahankan keunggulan yang mereka miliki sebagai penyedia layanan taksi konvensional. Kerjasama ini menjadi kunci dalam mempertahankan keberlanjutan bisnisnya di tengah era. disrupsi digital. Yang kedua teknologi dan tren boleh saja berubah. Tetapi nilai inti dan pelayanan unggulan yang Bluebird miliki tetap terus dipegang sebagai penopang kuat bisnisnya. Bluebird terus berkomitmen pada kualitas layanan yang tinggi termasuk kebersihan, keamanan, dan efisiensi pengemudinya. Sehingga di tengah disrupsi dan pandemi, Bluebird mampu mempertahankan standar layanannya. Ini adalah nilai tambah bagi pelanggan dan pembeda Bluebird dari para pesaingnya. Ketiga, walaupun gak insan, Bluebird mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi dan preferensi para pelanggannya. Seperti melakukan penyesuaian operasional dan merumuskan strategi kolaborasi dengan Gojek. Selain itu, ketika pandemi meredah, Bluebird cepat memanfaatkan kesempatan untuk memulihkan operasional dan pendapatannya. Keberhasilan Bluebird dalam menafigasi situasi ini menunjukkan betapa pentingnya fleksibilitas dan ketahanan dalam bisnis. Itulah ketiga pelajaran penting yang kita bisa petik dari kisah Bluebird yang menarik ini. Semoga bermanfaat.