Salah satu peristiwa yang tak pernah luput dari ingatan rakyat Sulawesi Selatan adalah tindakan brutal tentara Belanda yang dipimpin Kapten Raymond Westerling. Peristiwa itu terjadi pada bulan Desember tahun 1946 sampai Februari tahun 1947. Aksi brutal yang hanya berlangsung lebih kurang dua bulan itu menghabisi ribuan warga sipil dan pejuang di Sulawesi Selatan Apakah yang melatar belakangi peristiwa tersebut? Dan siapakah sebenarnya Raymond Westerling? Berikut penjelasannya Pada bulan Januari tahun 1942, tentara Jepang menyerbu Indonesia, kendati Belanda melawan, namun akhirnya harus menyerah tanpa syarat kepada Jepang.
Pada tanggal 8 Maret 1942, orang-orang Belanda baik sipil dan militer, maupun Sinyo dan Noni Belanda, ditawan oleh Jepang, lalu ditempatkan di kam-kam interniran yang tersebar di Pulau Jawa. Sementara itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook, melarikan diri ke Australia Kemudian pada tanggal 3 April tahun 1944, Van Moek membentuk pemerintahan di pengasingannya Australia, yang disebut NICA, atau Netherlands Indies Civil Administration. Namun, setelah tentara sekutu mengalahkan Jepang pada tanggal 14 Agustus tahun 1945, maka pemerintahan sipil di Indonesia diserahkan kepada NICA.
Tentu saja mereka senang, karena bisa menjajah kembali Indonesia Oleh sebab itu, NICA yang dipimpin Van Mook, berusaha mempersenjatai kembali KNIL yaitu tentara kerajaan Belanda, yang ditempatkan di Indonesia Selanjutnya, tentara NICA gencar mengadakan provokasi dan teror di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Makassar, sehingga memancing kerusuhan. Pada tanggal 24 September 1945, tentara NICA Belanda mendarat di Makassar, dan langsung membebaskan warga Belanda dan tentara Kenil, yang ditawan Jepang. Namun kedatangan mereka ditentang oleh pemuda pejuang yang pro-republik, bahkan pemuda seperti Emisa Elan, Walter Mungisidi, dan lainnya, pelan-pelan membangun kekuatan.
Pemuda Republikan ini, mulai dengan berani menurunkan bendera Belanda yang terpasang di rumah-rumah dinas orang Belanda, sehingga suasana kian memanas. Pada tanggal 28 Oktober 1945, pemuda pelajar melakukan serangan serentak. Mereka berhasil merebut stasiun radio dan tangsi militer.
Namun, perebutan tempat-tempat itu tak berlangsung lama, karena tentara NICA Belanda yang lebih kuat segera bertindak. Meski upaya penyerangan dan pemberontakan terhadap Belanda berujung kegagalan, tetapi kaum Republikan di Makassar dan sekitarnya terus bergerak. Sementara itu, untuk melemahkan posisi negara Indonesia yang berpusat di Pulau Jawa, maka Belanda berusaha mendirikan negara bagian di luar Pulau Jawa. Pada tanggal 10 Februari tahun 1946, Van Moek mengusulkan pembentukan Persemakmuran atau Commonwealth bersama Indonesia Belanda.
Akhirnya kedua pihak melakukan perundingan pada Maret tahun 1946 di bawah pengawasan diplomat Inggris, Archibald Clark Kerr. Dalam perundingan itu, pihak Republik Indonesia menekankan agar Belanda terlebih dahulu menyatakan kesediaannya untuk mengakui kekuasaan Indonesia Namun, Van Mook menolak keinginan mendasar pihak Indonesia sehingga perundingan berakhir dengan kegagalan Macetnya perundingan, membuat Van Mook berusaha mendekati kalangan elit di Indonesia Timur Tanpa diduga, Najamuddin Daeng Malewa, seorang elit politik Di Makassar, datang menemui Van Mook, ia menyatakan kesiapannya membantu. Alasannya, karena kecewa tidak diikut sertakan ke dalam delegasi Sulawesi, pimpinan Samratulangi, ke sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus tahun 1945 di Jakarta. Dukungan untuk Van Mook, tidak hanya pada tanggal 24 Desember 1946 Berdiri negara bagian, yang disebut negara Indonesia Timur Sebagai negara bagian dari Republik Indonesia Serikat, atau RIS Negara Indonesia Timur ini meliputi wilayah Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku dengan ibu kotanya Makassar Kemudian, Cokorda Gederaka Sukawati dari Bali terpilih sebagai Presiden dan Najamuddin Daeng Malewa dari Makassar sebagai Perdana Menteri Kendati Van Mook berhasil mendirikan negara Indonesia Timur akan tetapi pemuda pejuang di Sulawesi Selatan tidak tinggal diam, bahkan terus melakukan kontak dengan pejuang di Pulau Jawa mereka sebagian berangkat ke Pulau Jawa untuk mendapatkan pelatihan militer Beberapa pemuda Sulawesi yang berangkat ke Pulau Jawa, seperti Andi Matalata, Kahar Muzakar, Muhammad Saleh Lahade, Andi Muhammad Yusuf, Andi Sose, Usman Balo, Andi Sele, dan lainnya, mengordinir kekuatan untuk dikirim ke Sulawesi.
Pemuda-pemuda pejuang yang telah mendapatkan pelatihan militer dikirim kembali ke Sulawesi bahkan Jenderal Sudirman memberikan mandat kepada Andi Matalata untuk membentuk Tentara Republik Indonesia di Sulawesi Kelompok-kelompok pemuda pejuang membentuk kelas karan kemudian melakukan serangan gerilya terhadap pos-pos militer Belanda di sejumlah tempat Menyikapi kondisi itu membuat pemerintah Belanda mengirim pasukan khusus ke Sulawesi Selatan untuk menumpas perlawanan pemuda pejuang. Pada tanggal 5 Desember 1946, 120 pasukan khusus Belanda yang dipimpin Kapten Raymond Westerling tiba di Makassar. Mereka mendirikan markas di Matoanging, Makassar.
Westerling ditugaskan menyusun strategi untuk menumpas abis pemberontakan dengan caranya sendiri Siapakah sebenarnya Raymond Westerling? Raymond Westerling Lahir pada tanggal 31 Agustus tahun 1919 di Istanbul, Turki Dan meninggal pada tanggal 26 November tahun 1987 di Purmeren, Belanda Mulai masuk dinas militer pada tanggal 26 Agustus tahun 1941 di Kanada Di sana Westerling dijuluki si Turki Pada tanggal 27 Desember 1941, Westerling bergabung unit militer Belanda dan bertugas di Brigade Infanteri Bermotor Kerajaan Belanda yang kemudian dikenal sebagai Brigade Putri Irene. Pada pertengahan tahun 1942, bersama 48 orang Belanda, Westerling mengikuti pelatihan dasar komando di pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Pada tanggal 31 Mei 1943, Westerling bertugas di Isben, Inggris.
Selanjutnya, pada tanggal 15 Desember 1943, Westerling bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya, berangkat ke India. Tiba di Kedgaon, India, pada tanggal 15 Januari 1944, kemudian bergabung dengan Komando Asia Tenggara, dibawah Panglima Laksamana Madiam Monbeten. Pada tanggal 31 Agustus 1945, Westerling bekerja untuk Kerajaan Belanda, dan dikirim ke Medan Sumatera Utara, dengan tugas untuk membebaskan tawanan Jepang. di kam tahanan Siringo-Ringo, Labuhan Batu.
Orang-orang Belanda menyambut gembira pembebasan mereka setelah ditawan Jepang hampir 3 tahun. Pada tanggal 20 Juli tahun 1946, Westerling diangkat menjadi komandan pasukan khusus DST untuk memadamkan pemberontakan di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 5 Desember, Pada bulan Jember 1946, Westerling bersama 120 pasukan khusus mendarat di Makassar, dan mendirikan markas di Stadion Matoanging. Selama di Sulawesi Selatan, pasukan Westerling bergabung dengan tentara Nika dan Kenil Belanda. Westerling ditugaskan menyusun strategi untuk menumpas abis pemberontakan, dengan caranya sendiri.
Pada tanggal 11 Desember tahun 1999, 9 orang yang mencoba melarikan diri. Sementara jenazah para korban, diangkut dengan truk oleh pasukan Nika dan Kenil, dan dibawa entah kemana. Setelah itu, rakyat disuruh pulang ke rumah masing-masing.
Operasi yang berlangsung dari jam 4 subuh hingga tengah hari itu telah mengakibatkan trauma bagi penduduk setempat pasalnya mereka menyaksikan langsung kekejaman itu Operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus Pada dini hari tanggal 13 Desember tahun 1946, pasukan Westerling menyasar kampung-kampung di kawasan Tanjung Bunga Makassar. Bahkan lebih brutal, pasukan Westerling menembak mati 61 penduduk yang mencoba menyelamatkan diri, kemudian membakar rumah-rumah penduduk yang masih tidur di dalamnya, dan menewaskan penghuninya sebanyak 20 orang. Sehingga dalam operasi ini, menelan korban jiwa sebanyak 81 jiwa Berikutnya, pada dini hari tanggal 15 Desember tahun 1946, gabungan tentara Nika dan Kenil serta pasukan Westerling, menyasar kelurahan Kalukuang, kecamatan Talo, Makassar.
Mereka mencari pejuang yang bernama Walter Mungin Sidi dan Ali Malaka, yang bermarkas di wilayah itu, namun kedua pejuang tidak ditemukan. Westerling menuduh penduduk menyembunyikan kedua pejuang yang dicari itu akhirnya kekesalannya dilampiaskan dengan menembak mati 23 penduduk Kalukuang Selanjutnya, pada dini hari tanggal 17 Desember tahun 1946, pasukan Jagal Westerling menyambangi Kelurahan Jomaya kecamatan Tamalate, Makassar Di daerah ini, pasukan Westerling, dengan tanpa ampun, membantai 33 penduduk Setelah beberapa wilayah di Makassar dibersihkan, aksi berikutnya ke wilayah Takalar. Berdasarkan laporan intelijen Belanda, di daerah ini, terdapat sekitar 150 pasukan TNI dan 100 anggota Laskar bersenjata yang sedang menyusun kekuatan.
Oleh sebab itu, pada tanggal 19 Desember 1946, pasukan Westerling bersama 11 peleton tentara Kenil, melakukan penyerangan ke daerah Polo Bangkeng. Di desa Bulukunyi, Polo Bangkeng, pasukan Westerling mendapat perlawanan dari pasukan Lapris, dan menewaskan beberapa laskar. Pasukan penjagal itu, terus menelusuri wilayah kecamatan Polong Bangkeng Kemudian menyerbu desa Komara, dan desa Balang Tanaya Dalam operasi di Polo Bangkeng ini, korban jiwa lebih meningkat Sebanyak 330 penduduk, tewas dibunuh Selanjutnya, pasukan Westerling membidik wilayah Goa Di wilayah ini, pasukan gabungan Westerling melancarkan serangan sebanyak 3 kali Yaitu serangan tanggal 26 Desember 1946 Kemudian serangan tanggal 29 Desember tahun 1946, serta serangan tanggal 3 Januari 1947. Dalam operasi ini menewaskan penduduk Goa sebanyak 257 orang.
Serangan-serangan pasukan Westerling ternyata kebanyakan menyasar penduduk dengan tujuan melemahkan semangat pasukan TNI dan Laskar Pejuang. Dalam kenyataannya, strategi kejisi Turki itu dianggap berhasil dengan menurunnya semangat Laskar Pejuang di Sulawesi Selatan. Roda pembantaian terus berputar, pada sore hari tanggal 3 Januari 1947, Westerling bergerak ke Bulukumba. Berdasarkan laporan intelijen Belanda, bahwa di daerah ini merupakan salah satu sumber pejuang, yang sering datang bergabung ke Makassar untuk membuat onar.
Dengan menggunakan truk, pasukan Westerling tiba di Bulu Kumba pada tanggal 4 Januari 1947. Dalam pembantaian yang dilakukan di Bulu Kumba, pasukan Westerling menyerang beberapa lokasi, seperti wilayah Dampang, Ponre, dan lapangan pemuda Bulu Kumba. Pembantaian dilakukan secara berkeliling di setiap kampung dengan tujuan mencari tokoh pejuang Ratusan rakyat bulu kumba yang tidak berdosa dibantai pasukan DST Westerling Beberapa pejuang bulu kumba seperti Abdul Aziz Paturusi, Andi Mapijalan, Andi Syamsuddin Matola, dan Andi Sirajuddin menjadi korban keganasan Westerling Dalam operasi ini, tentara Westerling gabungan tentara Kenil Belanda menewaskan sekitar 250-379 rakyat Bulu Kumba. Pembantaian demi pembantaian, dari Bulu Kumba, tentara Westerling bergerak ke daerah Sinjai dan terus ke wilayah barat Sulawesi Selatan.
Salah satu wilayah yang tidak dimasuki pasukan Westerling adalah Kabupaten Boneh karena sebelumnya Raja Boneh Andi Pabenteng melakukan negosiasi dengan Kapten Westerling di pinggiran Sungai Tangka, Perbatasan Boneh dan Sinjai Pada masa pemerintahan Raja Boneh Andi Pabenteng dapat mengendalikan keamanan dengan cara menjinakkan para pejuang Karena menurutnya, sia-sia melakukan perlawanan tanpa didukung persenjataan Selain itu, Andi Pabenteng digadang-gadang sebagai Ketua Hadat Tinggi di negara Indonesia Timur Oleh sebab itu, pada waktu pasukan Barret Merah Westerling melakukan pembantaian di banyak tempat, Andi Pabenteng berhasil meyakinkan Westerling untuk tidak masuk ke dalam wilayah kekuasaannya. Sehingga Andi Pabenteng berhasil menyelamatkan rakyat Bone dari pembantaian pasukan Westerling. Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling dalam menekan semangat para pejuang, maka pada tanggal 6 Januari 1947, Kepala Staff Kenil Belanda, General Simon Spur, memberlakukan keadaan darurat untuk wilayah Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, Westerling semakin masif melakukan aksinya di wilayah Sulawesi Selatan. Setelah melakukan pembersihan di wilayah Afdeling Makassar dan Afdeling Banteng, maka sejak tanggal 15 Januari 1947, sasaran selanjutnya adalah wilayah Afdeling Parepare, yang meliputi Baru, Sidenreng Rapang, Enrekang, dan Pindrang, kemudian Afdeling Mandar yang meliputi Majene, Polewali, Mamasa, dan Mamuju.
Di wilayah-wilayah Afdeling ini, gabungan pasukan Westerling, pasukan Nika, dan Kenil mendapat perlawanan sengit dari para pejuang. Bahkan wilayah ini menimbulkan korban jiwa paling banyak di kalangan rakyat dan pejuang. Salah satu tokoh yang dihukum adalah Andi Abdullah Baumasepe, yang dieksekusi pasukan Westerling, pada tanggal 2 Februari 1947 di Pinrang. Dan masih banyak tokoh-tokoh pejuang lainnya dalam wilayah Afdeling Parepare dan Afdeling Mandar yang menjadi korban keganasan Westerling Tak hanya itu, rakyat yang dituduh melindungi para pejuang dalam satu kampung merdeka mereka digiring ke lapangan dan dieksekusi pasukan si Turki yang bengis itu jumlah korban tidak diketahui dengan pasti namun seberapapun jumlahnya hal itu tidak dibenarkan karena melanggar hak asasi manusia Sementara itu, Kepala Staff Kenil, Jendral Spur, menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka operasi dinyatakan selesai mulai tanggal 21 Februari 1947. Selanjutnya pasukan DST Westerling ditarik kembali ke Pulau Jawa pada tanggal 23 Maret 1947. Dengan keberhasilan menumpas para ekstremis di Sulawesi Selatan, membuat kalangan militer maupun sipil Belanda dengan congkak menjadi bangga.
Sehingga reputasi Westerling dan pasukan khusus destenya, melambung tinggi. Mereka tidak sadar, korban-korban keganasan Westerling, adalah rakyat yang tidak berdosa. Sebagian sejarawan menyebutkan, mudahnya Westerling melakukan aksinya dalam waktu yang singkat karena adanya segelintir pengkhianat dari golongan pribumi di tiap daerah yang menjadi penunjuk jalan dan berpihak kepada Belanda demi uang, mereka rela mengorbankan saudara-saudaranya Akan tetapi, ada juga diantaranya dipaksa harus berhianat, jika tidak, ia harus mengalami nasib yang sama Mengenai jumlah korban peristiwa pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan, hingga saat ini masih belum jelas, dan banyak versi yang paling terkenal adalah angka 40.000 jiwa ini angka yang diucapkan Kahar Muzakar ketika menghadap Presiden Soekarno di Yogyakarta tahun 1947 Kahar Muzakar menggambarkan betapa bengisnya pembantaian di Sulawesi Selatan yang memakan banyak korban jiwa Kahar membandingkan peristiwa Bondowoso di Jawa Timur yang merenggut 46 nyawa Peristiwa Bondowoso ini selalu dikoarkoarkan sementara korban 4.000 orang di Sulawesi Selatan atau malah 40.000 jiwa itu kurang dihiraukan Mendengar laporan itu, Soekarno terkejut dan mencucurkan air mata. Sejak saat itu, istilah korban 40.000 jiwa, kerap digunakan Soekarno dalam pidato-pidatonya. Istilah itu Soekarno gunakan untuk mengobarkan semangat perlawanan pemuda, di seluruh tanah air.
Versi lain menyebutkan dari Raymond Westerling sendiri Dalam wawancaranya pada tahun 1969 Westerling mengaku hanya membunuh 600 orang Sementara, menurut penelitian Angkatan Darat yang dilakukan pada tahun 1950-an jumlah korban sebanyak 1.700 orang Tahun 1969, pemerintah Belanda juga melakukan pemeriksaan diperkirakan angka kematian akibat pembantaian sebanyak 3.000 orang Data ini disebutkan dalam buku yang berjudul Tragedi Westerling, Sang Pembantai Rakyat Indonesia Versi terakhir berasal dari Anhar Gonggong, sejarawan dari Pinrang, yang ayahnya juga turut menjadi korban pembantaian. Anhar Gonggong menyebut angka 10.000 sebagai jumlah korban dari pembantaian yang dilakukan Westerling bersama pasukannya. Ternyata perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya itu memperoleh izin dari Jendral Spur dan Wakil Gubernur Jendral Belanda Johannes van Boek Jadi yang sebenarnya bertanggung jawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah pemerintah dan angkatan perang Belanda Pembantaian oleh tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan kemanusiaan dan tuntutannya tidak ada kadar luarsanya. Pada tanggal 12 September tahun 2013, pemerintah Belanda, melalui duta besarnya di Jakarta, Cet Deswaan, menyampaikan permintaan maafnya kepada seluruh korban pembantaian.
Atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas kejadian-kejadian ini. Hari ini saya juga meminta maaf kepada para janda dari Bulukumba, Pinrang, Polewali Mandar dan Pare-Pare, kata Swaan Selain itu, pemerintah Belanda juga memberikan kompensasi kepada 10 janda yang suaminya menjadi korban pembantaian tersebut masing-masing sebesar 20 ribu euro atau 301 juta rupiah Bagi rakyat Sulawesi Selatan, peristiwa pembantaian itu, tak pernah luput dari ingatan hingga masa akan datang. Kendati demikian, peristiwa itu harus dibungkus emas permata, betapa besar jasa dan pengorbanan, para pejuang dalam mempertahankan tanah air dan bangsanya, sehingga akan menjadi renungan, bagi generasi selanjutnya.