Transcript for:
Isu Pendidikan dan Sosial di Indonesia

Di Indonesia itu jasa pendidikan itu tidak masuk dalam PPN, tidak kena PPN. Tapi barang pendidikan, sepatu, seragam, buku, tas itu kena PPN. Ini sama seperti tidur itu gratis tapi kalau tutup mata bayar.

Jadi kita kalau tidur tuh buka mata saja begini. Lama-lama begini kan sakratul maut kita. Seperti yang saya bilang di putaran pertama tadi, Jakarta memang banyak bangunan.

Pemukiman juga padat. 2030, kalau Jakarta ini selalu dibangun seperti ini, itu saking padatnya nanti, itu kita keluar kamar, itu sudah masuk kamar orang lain. Jadi begitu keluar kamar, begitu keluar kamar. Ah, Om Tante, permisi ya.

Eh, Om Tante, atas bawah ya. Jalan-jalan jadi tidak ada, mobil, motor tidak bisa jalan karena jalan tidak ada, bangunan semua. Akhirnya transportasi pakai apa?

Flying Fox. Jakarta, Surabaya, Monas ditinggikan, Tugu Pahlawan ditinggikan. Flying Fox.

Dari Jakarta, wuuuuh. Dari belakang ada yang nyusul, Mijon, Mijon, yang haus Mijon, Mijon. Indonesia itu memang terlalu terpusat di Jakarta terlalu terpusat di Jakarta pencuri bahkan makanya kejahatan itu juga datang ke sini begitu pencuri itu teman-teman di timur itu dapat tangkap itu pasti dapat Pukul sampai busuk. Sampai busuk.

Busuk. Pencuri di sini itu dapat foto. Dapat syuting. Wawancara masuk TV.

Masuk penjara fasilitas mewah. Makanya anak-anak timur disana tuh pikir-pikir, ah kita pencuri yang sama, tapi kok kita tidak pernah masuk TV ya? Kita pencuri di Jakarta saja. Akhirnya mereka datang ke sini, pencuri di sini, dapat tangkap, alhamdulillah. Dipukul sampai busuk juga.

Sampai busuk. Sampai busuk. Karena apa? Kenapa mereka tidak masuk TV? Karena mereka ini bukan pencuri yang berijasa.

Iya. Akhirnya mereka pulang ke timur lagi. Untuk sekolah.

Tapi mereka tidak sadar di Timur sekolah itu juga susah. Jadi sama saja begitu. Dan media-media di Jakarta itu teman-teman, itu isinya itu keluhannya orang Jakarta saja. Media-media di Indonesia isinya keluhan orang Jakarta saja. Kami di Timur sampai tahu keluhan kalian di sini begitu.

Saya heran begitu. Ya polusi, banjir, macet, mencet, woy macam-macam. Ah, macam-macam gitu.

Dibilang banjir kelebihan air, itu diliput. Kami disana kekurangan air, itu luput. Luput.

Banjir begitu, banjir datang tiap tahun dibilang melumpuhkan ekonomi. Eh, saya kasih usul ya. Biar itu ekonomi tidak lumpuh, tiap kali banjir datang, buat pasar terapung macam di Banjarmasin.

Iya. Jadi tiap kali banjir datang begitu semua pakai sampan mulai berjualan. Dayung-dayung, keliling komplek, di pangkalan ojek ada David cuci-cuci sampan.

Itu itu itu perdagangan jadi efektif karena orang-orang mau tawar menawar itu akan pikir-pikir Om itu baju berapa? 100 ribu ade. Ah terlalu mahal 50 ribu saja.

Ah tidak bisa ade pasnya ada 80. Ah 50 tidak bisa ada 80. Ah ya sudah saya ketinggal. Eh ade-ade tidak apa-apa 50 50. Kenapa tidak bilang dari tadi? Ini saya dayung lagi. Dayung lagi, sepuluh kali tawar-menawar pulang-pulang lengan putus.

Metode pura-pura pergi itu tidak bisa, tidak bisa diterapkan di pasar terapung, tidak bisa. Apalagi kalau banjirnya pas deras begitu. Ade, mari sudah Rp50.000.

Sudah mari, iya Rp30.000, Rp30.000. Ya sudah gratis-gratis ini. Bukan begitu om, bukan saya tidak mau ke situ, ini sudah terbawa arus ini.

Teman-teman, teman-teman tau gedung kementrian desa tertinggal itu ada dimana? Ada di Jakarta! Fungsinya apa? Fungsinya apa?

Itu sama seperti kita buat orang-orangan sawah, taruh di laut. Buat apa? Mau usir paus pake orang-orangan sawah? Maksud saya, tempatkan segala sesuatu itu berdasarkan fungsinya.

Kementerian desa tertinggal ya taruh di desa tertinggal begitu. Taruh di desa tertinggal. Kalau taruh di Jakarta, tiap pagi dia bangun buka jendela begitu, dia buka, wah bangunan sudah banyak, gedung sudah banyak, wah Indonesia sudah maju. Kalau taruh di desa tertinggal begitu buka jendela, eh ini jendela dimana ini?

Saking tertinggalnya, jendela saya tidak ada. Iya, mungkin itu karena memang namanya kementerian desa tertinggal, jadi menterinya disini desanya ditinggal. Sebagai anak nelayan dari lama kera, saya melihat Indonesia itu seperti kapal tua yang berlayar tak tahu arah. Arahnya ada, hanya nakoda kita yang tidak bisa membaca.

Mungkin dia bisa membaca, tapi tertutup hasrat membawa ibu tak. Hasrat hidupi keluarga, saudara, kolega, dan mungkin istri muda. Indonesia itu memang seperti kapal tua dengan penumpang berbagai rupa. Ada dari Sumatera, Jawa, Madura, Sumbawa hingga Papua.

Bersatu dalam Nusantara. Pemerintah itu memberikan sertifikasi pada guru-guru tua tapi mereka menuntut agar guru-guru ini bisa kreatif Sekarang pertanyaannya apa yang bisa kita tingkatkan dari mereka yang 1-2 tahun lagi pensiun Yang bisa ditingkatkan tinggal amal dan ibadah saja Teman-teman, memaksa orang tua untuk kreatif itu sama seperti kita memaksa balita untuk mengerti statistik. Aduh ade lucunya.

Ede, rata-rata simpangan baku umur teman-temanmu berapa ya? Pingsan. Maksud saya begini teman-teman, kalau pemerintah itu memang mau memberikan tunjangan untuk guru-guru yang tua, ya sudah kasih saja, tidak perlu tuntut apa-apa dari mereka. Karena apa? Karena memang itu haknya mereka.

Teman-teman, kalau tidak ada mereka, siapa yang mau puluhan tahun mengajar di pelosok desa sana? Siapa? Sinyal saja masuk desa itu sinyal pikir-pikir.

Teman-teman, sudah 16 tahun kita tertati dalam reformasi. Ditipu oleh para politisi yang katanya berikan bukti, bukan janji. Tapi begitu ada tangis suara minor di pelosok negeri, mereka sibuk mencari koalisi, bukan solusi.

Makanya teman-teman, daripada sibuk nonton mereka yang debat di televisi, lebih baik datang ke sini, bisa cuci mata adatan TV ini. Teman-teman, ada 6.608 orang yang berbut kursi di DPR RI, 560 kursi. Ini berarti satu orang itu cuma punya peluang menang 8%.

8% memang tidak semua, tapi ada orang yang menghabiskan uang banyak. untuk mendapatkan posisi ini. Pertanyaannya sekarang adalah, orang gila mana yang mau menghabiskan uang banyak untuk investasi yang peluang dia kalah adalah 92%? Orang gila mana?

Makanya kalau ada yang bilang, ah anggota DPR itu gila, hey mereka itu sudah gila dari awal.