Transcript for:
Pendidikan Khusus dan Inklusi di Indonesia

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sehat dan salam bahagia. Saya Toto Bintoro, praktisi pendidikan khusus dari Universitas Negeri Jakarta. Berbicara tentang pendidikan khusus ini selalu menarik untuk kita diskusikan. Dari sejak Indonesia Merdeka, tentu pemerintah telah memikirkan dan membuat berbagai kebijakan untuk memberikan layanan yang terbaik bagi anak-anak berkutuan khusus ini. Dari mulai menetapkan sebutan terminologi Ini memiliki sejarah yang panjang. Dulu dikenal anak-anak cacat, penyandang cacat. Di eufemism, dihaluskan menjadi anak tunang. Diperhalus anak luar biasa. Kurang halus lagi, diperhalus lagi dengan anak berputusan khusus. Dari sisi lain ada yang menyebut penyandang disabilitas. Apapun disebutannya, mereka-mereka ini adalah ciptaan Tuhan, titipan Tuhan. Yang harus diberikan layanan yang terbaik, agar ke depan mereka-mereka ini menjadi insan yang mandiri. berguna bagi dirinya sendiri, tentu bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan khusus di Indonesia ini dalam perjalanannya dulu dilaksanakan sangat segregatif, dan sekarang ini mulai dilaksanakan pendidikan yang inklusif. Tentu pendidikan inklusif ini pendidikan yang sangat ideal, sangat sesuai dengan filosofi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, semboyan binika tunggal ika. Berbeda-beda tapi dalam satu kesatuan. Dalam konsep pendidikan khusus, dinika tunggal ika ini adalah dalam keberaneka ragaman ini, diferensiasi ini, tapi bagaimana semua bisa dilayani dalam satu kesatuan. Maka inilah filosofi pendidikan inklusif, pendidikan untuk semua, pendidikan yang terbuka aksesnya untuk semua. Nah sekarang mana sesungguhnya yang lebih baik? Pendidikan segregatif yang dipisahkan dari pendidikan pada umumnya, atau pendidikan inklusif. Pendidikan untuk semua, dilaksanakan bersama-sama. Tidak ada pemisahan di sana. Sesungguhnya semuanya baik, tergantung kepada pelayanannya. Nah, permasalahan pendidikan khusus di Indonesia ini sering terkooptasi oleh sistem pendidikan pada umumnya. Sebut, Kalau di Indonesia ini mengembangkan satu kurikulum, maka sesungguhnya pengembangan kurikulum ini paradigmanya adalah dikembangkan untuk pendidikan pada umumnya. Jadi karena pendidikan khusus ini dalam tanda petik masih termarjinalkan, maka pendidikan khusus ini mengikuti arus yang terjadi pada pendidikan umum. Kurikulum di Indonesia ini berganti-ganti. Dari kurikulum 74, basis kompetensi, tingkat satuan pendidikan, sekarang K13. Maka pada saat pergantian kurikulum itu, pendidikan khusus juga mengikuti pergantian itu. Padahal sesungguhnya pendidikan khusus harus independen, harus berpihak pada anak-anak berputar khusus. Dan harus percaya diri membuat satu kurikulum tersendiri untuk pendidikan khusus ini. Ya kurikulum, pendidikan khusus. Kurikulum itu intinya hanya ada empat komponen. Ada tujuan, ada isi, ada proses, dan ada evaluasi. Tujuan tentu, pendidikan ini... Bertujuan untuk apa? Untuk anak berputusan khusus ini. Isi materi yang akan diajarkan apa? Membuat tujuan dan isi untuk pendidikan khusus tidak sulit. Yang sulit di mana? Proses pembelajaran agar anak-anak berputusan khusus ini bisa menguasai materi. Yang lebih menarik lagi adalah pendidikan khusus untuk anak-anak yang mengalami hambatan komunikasi dan bahasa. Materi bisa dicapai, tujuan bisa tercapai. Kalau mereka punya bahasa, sama saja dengan kita yang berbahasa Indonesia, kalau kita tidak memiliki tuvel yang cukup, tidak memiliki bahasa yang cukup, maka pada saat kita pergi ke daerah lain yang bahasanya berbeda, atau kita keluar negeri di negara yang berbahasa Inggris, dan kita tidak cukup memiliki bahasa itu, maka di sana kita termasuk orang yang mengalami gangguan komunikasi. Termasuk kalau harus belajar di sana dan tidak punya bahasa, maka tidak bisa mengakses seluruh isi materi dan apa yang disampaikan oleh pendidik. Demikian juga yang terjadi dengan anak berkebutuhan khusus. Kalau mereka-mereka, anak-anak yang mengalami hambatan komunikasi dan bahasa ini, tidak memiliki kecukupan bahasa, mau di sekolah segregasi di SLB, mau di sekolah inklusi, sama saja. Mereka hanya datang ke sekolah, pulang lagi tanpa mendapatkan apa-apa. Permasalahannya di mana? Di pendidik. Jadi pendidik harus memiliki kompetensi bagaimana proses ini. Yang keempat adalah evaluasi, bagaimana mengevaluasi yang berkeadilan. Kita kembali berbicara tentang model pendidikan di Indonesia tadi. Ada pendidikan segregasi, ada yang inklusi. Saya katakan semuanya sama-sama baik. Di pendidikan segregasi, kalau bisa mengantarkan anak-anak ini menjadi pengetahuannya hebat, keterampilannya bagus, sikapnya bagus, mereka juga akan bisa kembali kepada masyarakat. Tentu lebih bagus kalau dia sejak dini dipergaulkan di sekolah reguler, di inklusi ini. Tetapi tidak semudah yang kita semua bayangkan. Bahwa pendidikan inklusi ini adalah pendidikan yang sangat indah untuk disampaikan, didiskusikan, dibayangkan. pada saat mereka bisa bersama-sama bergaul dengan anak-anak reguler. Tapi pertanyaannya adalah, siapkah sekolah? Sekolah itu ya kepala sekolahnya, gurunya, murid-muridnya untuk bisa menerima mereka-mereka yang berkebutuhan khusus ini, anak-anak istimewa ini. Ada tiga elemen dasar di dalam membangun pendidikan inklusif. Saya meminjam teori dari General Electric. Bagaimana General Electric ini membangun sebuah korporat dari mulai visi, misi sampai tercipta dan terlaksana menghasilkan produk-produk yang diterima oleh masyarakat. Dan seluruh stakeholdersnya merasa memiliki General Electric ini. General Electric menggunakan tiga elemen PTC, policy, technical, dan culture. Culture, budaya, ini bisa terbentuk. kalau elemen policy dan elemen teknisnya ini ada. Bagaimana kalau PTC ini kita pinjam untuk pendidikan inklusif di Indonesia? Tentu pemerintah, P ini sudah dibuat nih policy-nya. Dari mulai undang-undang sistem pendidikan nasional, di sana disebutkan apa itu pendidikan khusus, apa itu anak berkebutuhan khusus, sampai dibuatkan turunan berbagai peraturan menteri, dan kementerian PPN Bapenas membuat aturan baru bagaimana mengimplementasikan peraturan pemerintah nomor 19 bagaimana layanan untuk disabilitas ini menjadi satu rencana aksi bisa berpihak kepada penyandang disabilitas atau kalau di sekolah khusus ya anak-anak berputaran khusus ini. Nah, palsi itu tidak cukup hanya dibuat regulasi undang-undang, peraturan pemerintah, perpres, kepusuhan menteri, tidak. Tapi apakah dengan undang-undang ini Pak, mengapa harus inklusif? Dan apa syaratnya inklusif, kebijakannya ini? Nah, tiga hal ini harus menjadi prakondisi. Kalau inklusif ini harus dilaksanakan, prakondisinya harus tiga elemen ini. Yang pertama, palsi tadi. Nah, palsi ini itu harus dipahami dari mulai level menteri, dirjen, direktur yang menangani pendidikan khusus. Kalau inklusif termasuk yang menangani pendidikan reguler. Apakah Pak Dirjen Pau Dikdasmen juga memahami apa itu pendidikan inklusif? Dan bagaimana persyaratannya? Bukan hanya di direkturat yang menangani pendidikan khusus. Tidak, semuanya harus paham. Karena Indonesia ini sudah otonomi daerah, maka gubernur, bupati, wali kota harus paham. Sampai kepada kepala dinas. Apa strategi, apa teknis agar pendidikan inklusif ini bisa terlaksanakan? Kenapa ini saya sampaikan? Karena ini akan berpengaruh nanti kepada bagaimana satu sistem pendidikan di sekolah itu, kurikulumnya, kurikulumnya tidak boleh langsung tiba-tiba mengadopsi dari kurikulum anak-anak reguler ini. Harus dimodifikasi, disesuaikan dengan kebutuhan anak. Karena pendidikan inklusif itu adalah sistem pendidikan menyelesaikan kepada anak. Sementara pada pendidikan reguler, anak-anaknya menyelesaikan kepada sistem pendidikan nasional. Nah ini satu pendekatan yang berbeda. Nah maka dari para kepala dinas ini diturunkan sampai kepada kepala bagian seksi sekarang karena fungsional ini para koordinatornya, sampai kepada para pengawas dan kepala sekolah, baru kepada para guru yang paling sederhana. Anak berputar khusus kalau mereka hambatannya penglihatan tidak terlalu sulit, karena mereka sudah punya bahasa. Dan dengan adanya bahasa, komunikasi pembelajaran terjadi. Bagi anak berkebutuhan khusus yang tidak punya bahasa dan komunikasi, maka komunikasi pendidikan dan pembelajaran tidak akan terjadi. Komunikasi itu hakikatnya understand and understood, memahami dan dipahami. Guru memahami apa yang disampaikan, murid memahami. Atau materi dipahami oleh murid. Kalau tidak terjadi memahami dan difahami ini, maka tidak akan terjadi proses komunikasi pendidikan dan pembelajaran ini. Ini yang terjadi, terutama untuk anak-anak yang mengalami gangguan atau disertai hambatan komunikasi dan bahasa. Apakah itu anak dengan autistik, apakah anak dengan hambatan pendengaran, apakah anak dengan gangguan komunikasi yang lainnya. Sarat pertama adalah punya bahasa dulu. Nah, ini palasinya. Nah, yang kedua tadi T, teknis. Teknis ini yang paham adalah pengawas, kepala sekolah, sampai ke guru. Kalau guru kebingungan, tanya kepada siapa? Lu dulu kan sudah kuliah di program studi pendidikan khusus, yakinkah semua lulusan atau sarjana pendidikan khusus ini sudah siap menjadi guru-guru, atau guru pendidikan khusus, guru pembimbing khusus di sekolah-sekolah inklusi?