Pada video sebelumnya, kita telah membahas masa praaksara di Indonesia. Sekarang, kita akan memasuki rentang waktu di mana Indonesia sudah mulai masuk ke masa aksara atau masa sejarah. Awal dimulainya masa sejarah setiap bangsa dan negara berbeda-beda, tergantung dengan artefak tulisan tertua yang ditemukan di negara tersebut.
Di Indonesia sendiri, Artefak yang memiliki Aksara muncul pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia. Agama dan kebudayaan Hindu-Buddha mulai masuk ke Indonesia sekitar abad ketiga Masehi. Sebelumnya, masyarakat Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme. Animisme yaitu kepercayaan pada roh nenek moyang yang mendiami suatu benda. Sedangkan, dinamisme yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki kekuatan gaib.
Penyebaran agama Hindu-Buddha di Indonesia berkaitan erat dengan hubungan dagang antara Indonesia dengan China dan India. Sambil berdagang, para pedagang asing berinteraksi dengan penduduk setempat dan mengenalkan agama serta kebudayaan Hindu-Buddha. Para ahli sejarah mengumumkakan beberapa teori mengenai masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia. Teori pertama yaitu teori Brahmana oleh Vanler.
Menurut teori ini, kaum Brahmana atau pemuka agama datang ke Indonesia atas undangan untuk menyebarkan agama Hindu-Buddha. Teori kedua yaitu teori Kesatria oleh Bosch, di mana penyebaran agama Hindu-Buddha dilakukan oleh para Kesatria dan Prajurit. Teori Waisya oleh Krom menyatakan bahwa pengaruh Hindu-Buddha disebarkan oleh para pedagang. Sedangkan menurut Van Faber, penyebaran Hindu-Buddha dilakukan oleh para pekerja India seperti pelayar dan nelayan yang disebut juga dengan teori Sudra. Ada juga teori Arus Balik yang menyatakan bahwa orang Nusantara belajar agama ke India dan menyebarkan agama tersebut setelah kembali ke Nusantara.
Dari teori-teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses penyebaran agama Hindu-Buddha terbagi menjadi dua. Yang pertama yaitu masyarakat Nusantara berperan pasif dengan mempelajari agama Hindu-Buddha melalui masyarakat India dan Cina yang datang ke Nusantara. Kedua, masyarakat Nusantara berperan aktif, yaitu masyarakat Nusantara pergi belajar langsung ke India dan Cina kemudian kembali sebagai penyebar agama.
Masuknya agama dan kebudayaan Hindu-Buddha inilah yang memicu munculnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Nusantara. Kerajaan Hindu tertua di Indonesia, yaitu Kerajaan Kutai Martapura. yang berdiri pada abad keempat masehi. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam.
Kerajaan ini didirikan oleh raja pertamanya yang bernama Kudungga. Nama Kutai diberikan oleh para ahli karena tidak ada peninggalan yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini. Kerajaan Kutai mengalami masa kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Mula Warman, yang merupakan anak dari Asma Warman dan cucu dari Kudungga.
Hal ini diketahui dari peninggalan sejarahnya yang berupa tujuh prasasti Yupa, yang ditulis menggunakan bahasa Sansakerta dan huruf Palawa. Yupa tersebut merupakan tugubatu peringatan yang dibuat oleh para Brahmana atas kedermawanan Raja Mula Warman. Prasasti yang ditulis dalam tiang batu merupakan ciri khas kebudayaan Kerajaan Kutai.
Yupa yang ditulis menggunakan huruf Palawa memunculkan fakta adanya pengaruh India Selatan di Kutai pada masa ini. Tiang batu atau yupa ini merupakan kelanjutan dari budaya purba zaman Megalithicum atau zaman batu besar. Kerajaan Kutai berakhir pada saat Raja terakhirnya, Maharaja Dhanmasetia mati di tangan Raja Kutai Kertanegara. Kerajaan Buddha di Sumatera muncul sekitar abad ke-6 dan ke-7 Masehi. Berdasarkan catatan sejarah, ada dua kerajaan, yaitu Kerajaan Melayu dan Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Melayu diperkirakan berpusat di daerah Jambi, di tepi alur sungai Batanghari. Keberadaan kerajaan ini diperkuat oleh catatan perjalanan seorang pengelana dari Cina yang bernama Yixing. Nama Kerajaan Melayu juga muncul pada Kitab Negara Kertagama yang menyebutkan mengenai ekspedisi penaklukan ke Sumatera yang disebut dengan Ekspedisi Pamalayu. Sejarah kerajaan di Sumatera sejak abad ke-7 didominasi oleh kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan ini awalnya berpusat di sekitar sungai Batanghari, pantai timur Sumatera, lalu meluas hingga ke semenanjung Malaya dan Jawa Barat. Pengetahuan sejarah mengenai kerajaan ini didapat dari sumber asing berupa catatan perjalanan Itzing dan beberapa prasasti, serta sumber dalam negeri berupa prasasti antara lain. Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuwo, Prasasti Kota Kapur, Prasasti Prasasti Sida Yarta, Prasasti Telaga Batu, dan Prasasti Karang Berahi.
Ditemukan juga peninggalan berupa candi, yaitu Candi Muara Jambi dan Candi Muara Takus. Dari sumber-sumber sejarah tersebut, diketahui bahwa Raja pertama yang dianggap sebagai pendiri Kerajaan Sriwijaya adalah Dapu Tahyang. Ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan daerah Jambi yang sebelumnya merupakan wilayah Kerajaan Melayu. Puncak kejayaan Kerajaan Sriwijaya berlangsung di bawah kekuasaan Raja Balaputra Dewa. Wilayah kekuasaannya semakin meluas hingga ke semenanjung Malaya.
Perluasan wilayah ini membuat Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang menguasai alur pelayaran dan jalur perdagangan di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Sriwijaya kemudian menjadi pusat pembelajaran agama Buddha dan pusat penyebarannya ke Asia Tenggara. Raja terakhir dari Kerajaan Sriwijaya adalah Sri Sangrama Wijaya Tunggawarman.
Sriwijaya mulai runtuh dengan adanya serangan dari Kerajaan Shola dari India. Melalui ekspedisi Pamalayu, Kerajaan Melayu yang berada di bawah Sriwijaya pun dikuasai oleh Singasari. Kerajaan pun semakin melemah dan akhirnya runtuh pada akhir abad ke-14 akibat serangan Kerajaan Majapahit. Pada abad ke-4 hingga ke-7 Masehi, Kerajaan yang berkuasa di wilayah barat Pulau Jawa adalah Kerajaan Tarumanegara.
Kerajaan ini didirikan oleh Raja Pertamanya Jaya Singawarman yang berlokasi di daerah Bogor, Jawa Barat. Sumber sejarah dari Kerajaan Taruman Negara berupa tujuh buah prasasti. Prasasti Ci Aruten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara Ci Aten, Prasasti Tubu, Prasasti Pasir Awi.
dan Prasasti Munjul. Sumber sejarah lain yaitu catatan sejarah penjelajah Cina bernama Fahien, yang menyebutkan keberadaan kerajaan Taruman Negara. Ada pula catatan dari kerajaan dinasti Sui dan dinasti Tang. Peninggalan Prasasti yang ditulis dengan bahasa Sansakerta dan huruf Palawa menunjukkan kuatnya pengaruh Hindu India pada kerajaan ini. Dari beberapa prasasti tersebut, dapat diketahui bahwa raja besar yang memimpin kerajaan Taruman Negara adalah Raja Purnawarman.
Kehidupan masyarakat kerajaan Taruman Negara mengandalkan sektor pertanian dan perdagangan. Hal ini dibuktikan dari isi prasasti Tugu yang dibuat pada masa Raja Purnawarman mengenai penggalian sungai. Penggalian ini berupaya untuk menghindari banjir dan untuk mengisi irigasi pertanian. Taruman negara mengadut agama Hindu beraliran Wisnu. Hal ini didasarkan dengan penemuan prasasti kebun kopi.
Pada prasasti tersebut memuat dua kaki gajah air wata. Namun berdasarkan berita Fahien, menyebutkan bahwa ada pula sedikit masyarakat yang beragama Buddha dan animisme. Pada tahun 670, pada akhir nafas kerajaan Taruman Negara, Tarus Bawa yang menggantikan Raja Lingga Warman, membagi dua kerajaan menjadi Kerajaan Sunda yang dipegang oleh Tarus Bawa dan Kerajaan Galung yang dipegang oleh Reti Kandayun.
Kerajaan ini kemudian berkembang menjadi Kerajaan Pajajaran yang awalnya bertempat di Galuh, Jawa Barat. Berdasarkan penemuan Prasasti Sang Hyang Tapak, diperkirakan bahwa pusat kerajaan dipindahkan dari Galuh ke Pakuan Pajajaran di Jawa Barat bagian tengah dengan raja yang berkuasa yaitu Sri Jaya Bupati. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Lingga Buwana, Kerajaan Pajajaran sempat terlibat dalam Perang Bubat dengan Kerajaan Majapahit yang saat itu diperkirakan. Pemerintah oleh Hayam Murug Sumber-sumber rujukan tertua mengenai adanya perang ini tercantum dalam serat para raton serta kidung Sunda Kerajaan ini mengalami masa keemasan pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja Ratu Jaya Dewata atau lebih dikenal dalam literatur Sunda sebagai Prabu Siliwangi Di Bobur, dibangun pura untuk menghormatinya, bernama Pura Parahiangan Agung Jagad Karta. Pada masa pemerintahan Ratu Jaya Dewata, mulai ada penduduk pajajaran yang menganut agama Islam.
Pada pemerintahan selanjutnya, kerajaan pajajaran runtuh akibat serangan bertubi-tubi dari pasukan kerajaan Islam Bantan. Sebagian orang yang selamat dari serangan itu menyingkir kepedalaman dan membentuk komunitas yang mengisolasi diri mereka dari luar. Sebagian peneliti berpendapat bahwa komunitas inilah yang sekarang bernama suku Baduy. Kisah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia tidak terhenti sampai di sini.
Pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia masih terus berlanjut dengan diwarnai berbagai konflik dan perebutan kekuasaan. Kisah kerajaan Hindu-Buddha dan para penguasanya akan berlanjut pada cerita selanjutnya.