Riri, Kumpulan Dongeng dan Cerita Anak Yuk dukung Riri dengan menekan tombol subscribe Jangan lupa bunyikan tanda lonceng untuk notifikasi Selamat menonton Rawang Tinkulua, Putri yang sangat manja Panasnya Eh, di tengah padang rumput begini hanya ada satu pohon? Yah, setidaknya aku bisa berteduh sejenak di sana. Selamat siang, Pak.
Sedang berteduh, Pak. Selamat siang, anak muda. Panas sekali, bukan? Berteduhlah di sini sejenak.
Barangkali mau sebotol minuman mineral dingin, anak muda? Wah, pas sekali, Pak. Terima kasih.
Ah, segar sekali. Air putih dingin memang cocok diminum saat panas begini, bukan? Hmm, ngomong-ngomong, pohon ini besar sekali ya, Pak. Kira-kira umurnya berapa ya? Pasti sudah sangat tua.
Oh! Pohon ini sudah berumur ratusan tahun, nak. Kamu pasti bukan orang asli daerah ini, ya? Pohon ini mempunyai kisah yang melegenda.
Apakah kamu mau mendengar ceritanya? Wah, tentu saja, pak. Saya senang mendengarkan cerita-cerita seperti itu.
Zaman dahulu kala, padang ini adalah rawah hisap. Tidak ada satu orang pun yang berani kemari karena sangat berbahaya. Tepat di pinggir hutan sana itu, ada satu rumah tua milik seorang janda miskin bernama Maksiah dan anak gadisnya yang bernama Siti. Hmm, sempurna. Aku memang cantik seperti putri kerajaan.
Hanya pangeran saja yang pantas menikah denganku. Aduh, musim hujan sudah mulai datang. Kayu bakar jadi sulit dicari. Ditambah, sekarang punggungku mulai sakit-sakitan seperti ini. Selamat siang, saya bawa kayu bakarnya Selamat siang, Maksiah.
Tolong ditaruh samping saja ya Maksiah, kau punya anak gadis bukan? Apakah dia sudah bekerja? Ah, belum. Ada apa ya, Bu?
Aku butuh orang yang membantu. Kalau mau, saya suruh dia bekerja di sini. Ah, terima kasih banyak, Bu. Apa?
Bekerja di warung? Masa gadis secantik aku bekerja di warung? Bagaimana jika kulitku yang mulus ini tergores?
Pemilik warung sudah berbaik hati memberimu pekerjaan. Cobalah dulu. Kubilang tidak ya tidak. Bekerjakan kewajiban ibu sebagai orang tua. Baiklah, kalau kamu memang tidak mau bekerja, paling tidak bantulah ibu untuk mengurus rumah ini.
Uh, merepotkan saja. Siti, ibu ke hutan mencari kayu bakar dulu. Tolong beres-beres rumah ya.
Ih, baju ibu bau sekali. Kucuci bajuku sendiri saja. Punya ibu, biar dicuci sendiri.
Ih, menjijikan sekali dapur ini. Kenapa ibu habis masak tidak langsung dicuci sih? Kucuci piringku sendiri saja, ah. Sungguh merepotkan sekali.
Tanganku jadi keriput seperti nenek-nenek. Ibu pulang nak Loh, kenapa masih banyak baju kolter begini? Rumah juga masih berantakan Ibu ini, setidaknya aku sudah mengurangi pekerjaan ibu.
Apa? Untuk saat ini, aku hanya akan mencuci bajuku sendiri. Punya ibu, harus ibu sendiri yang mencucinya.
Dan sekarang aku lapar, karena seharian beres-beres rumah. Ibu pulang bawa makanan, kan? Ibu hanya bisa membeli singkong dan jagung.
Tidak apa ya. Masa putri seperti aku makan singkong saja? Bagaimana kalau badanku jadi kurus kelaparan?
Tapi nak, uang ibu tak cukup untuk beli beras. Aku tidak mau tahu. Itu kan kewajiban ibu untuk memenuhi kebutuhan anaknya.
Kalau perlu, ibu kan bisa hutang saja. Baiklah, ibu akan meminjam ke teman almarhum ayahmu yang kaya. Ini semua salahku, aku terlalu memanjakannya sejak kecil, hingga Siti menjadi seperti ini.
Andai saja suamiku masih hidup, kami tidak akan kekurangan seperti ini. Ibu mau ke rumah Tuan Datuk. Kau sebaiknya ikut dengan ibu, nak.
Iya, iya. Aku juga mau jalan-jalan di kota. Aduh, aduh, aduh. Musim hujan ini rawa lebih berbahaya karena tidak banyak tanah kering untuk dipijak. Nak, tunggu ibu, nak.
Kalau tidak cepat, nanti keburu malam, Bu. Ih! Iya, tolong pelan sedikit. Ayo kita masuk ke dalam, nak.
Teman ayah pasti juga ingin bertemu denganmu. Tidak mau, aku malu. Kalau hanya berhutang, ibu temui sendiri saja.
Aduh, kamu ini. Kalau begitu, tunggulah di sini sebentar. Putri Siti!
Sedang apa kau di sini? Ah, aku... Oh, aku sedang mengantar pembantuku untuk membeli beras. Oh, baiklah.
Kukira kau mau berhutang di Tuan Datuk. Eh, enak saja. Maaf kalau aku salah. Ya sudah, aku duluan ya.
Iya, hati-hati di jalan. Huh, hampir saja ketahuan. Ibu lama sekali sih. Ayo nak, ibu sudah mendapatkan beras. Kita bisa pulang sekarang.
Ibu lama sekali sih. Aku sampai didatangi oleh temanku. Maafkan ibu, nak. Beras ini berat sekali. Kamu gantikan ibu sebentar untuk membawanya ya.
Ibu kan sudah terbiasa membawa kayu bakar yang lebih berat. Masa hanya beras tidak kuat? Loh? Maksiah, yang di depan itu putrimu, bukan? Kenapa ia tak membantumu?
Tidak apa. Kasian. Dia pasti kelelahan.
Aduh, kasian sekali, Mak Sia. Ibu, apa-apaan tadi? Memalukan sekali. Ibu pemilik warung itu juga menyebalkan. Berani sekali ia menyuruhku membawa beras.
Pelan-pelan, nak. Tunggu ibu. Tidak, kita harus segera menjauh dari kota. Tapi ibu sangat lelah. Sudah tidak kuat lagi.
Kalau lelah, ibu beristirahat saja sendiri. Aku ingin segera sampai di rumah. Bahkan. Di saat seperti ini, anakku tetap tidak peduli sama sekali. Ayo, Bu.
Sudah cukup istirahatnya, kan? Nanti keburu malam. Iya, nak.
Astaga, ibu ini bagaimana sih? Mengapa ibu selalu membuatku kesal? Gara-gara ibu, sekarang kita kehilangan banyak beras.
Aku juga lelah berjalan menuju ke rumah saudagar itu. Aku lapar, aku ingin makan, namun... Namun, ibu mengacaukan semuanya.
Aku tetap mau makan nasi. Jadi, ibu bereskan saja semuanya. Aku mau pulang duluan.
Badaanku sudah kotor semua. Aku tidak kuat lagi dengan semua ini. Rasanya aku sudah tidak sanggup mengasuh Siti.
Ia benar-benar jahat dan tega pada ibunya sendiri. Ya Tuhan, mohon ubahlah anak hamba agar menjadi anak yang berguna bagi orang lain. Izinkan ia menjadi anak yang baik. Hamba sudah tidak sanggup melihat sikapnya yang sungguh keterlaluan.
Astaga, kenapa tiba-tiba menjadi gelap begini? Aku harus cepat sampai rumah. Eh, bagaimana bisa kakiku masuk ke dalam lumpur?
Jelas-jelas, aku sudah hafal benar. Jalan mana yang aman untuk dilalui? Nggak!
Eh, bagaimana nasib selendang baru kuih ini? Sayang sekali jika selendang kuih ini terkena lumpur. Ibu! Ibu!
Tolong aku! Aku terhisap lumpur! Berdo'alah kepada Tuhan untuk menolongmu, nak.
Kaki ibu tidak bisa digerakkan sama sekali. Ah! Ini semua gara-gara ibu!
Aku tidak akan selamat! Siti! Tuhan, tolong kembalikan anakku.
Selendang baru Siti. Aku tak akan mengambil selendangmu. Aku harap selendang itu bisa menjadi tanda tempat peristirahatan terakhirmu.
Ibu pulang dulu ya, nak. Maafkan ibu karena tak bisa menolongmu. Di tempat selendang Siti terbenam, kini berdiri sebuah pohon yang sangat besar dan rindang.
Tak salah lagi, kau pasti adalah anakku. Kau tumbuh di tempat yang sama dengan selendangmu berada. Walaupun kau tak lagi di sisiku, tetapi kini kau bisa berguna bagi banyak orang, anakku. Sejak ada pohon itu, rawa seolah mengering dengan cepat dan berubah menjadi padang rumput yang hijau. Para penggembala bisa membawa hewan-hewan ternaknya ke sana.
Para penduduk desa pun sangat bersyukur. Nah, begitulah ceritanya nak. Pohon ini sengaja tidak ditebang untuk mengingatkan anak-anak agar mereka tidak bersikap seperti Putih Siti. Untuk apa berwajah cantik kalau manja dan berani pada orang tuanya sendiri?
Hmm, menarik. Doa Maksiah ternyata terkabul. Siti menjadi anak yang berguna bagi banyak orang, bahkan hingga ratusan tahun lamanya. Pohon ini sendiri dikenal dengan nama Rawang Tingkuluwa, yang artinya adalah selendang. Orang-orang meyakini bahwa pohon ini berasal dari selendang si Putih Siti.
Jika tak ada pohon ini, pasti aku sudah menghabiskan 10 gelas air es karena caking panasnya. Hahaha, oh iya, ngomong-ngomong sebetulnya 20 ribu ya nak. Ah, iya, saya hampir lupa membayar. Sedang mencari buku dongeng yang lengkap, ada Riri yang siap menemanimu. Dengarkan Riri bercerita untukmu.
Geledai yang ingin menjadi anjing Tidak sampai di situ, masih ada hal yang lebih mengejutkan peternak. Geledai kemudian melompat ke atas pangkuan peternak. Karena badannya besar, ia tidak bisa duduk di sana. Dengan seimbang, tubuhnya terguncang-guncang.
Semua anggota keluarga mulai menjerit. Akibat kekacauan tersebut, kursi yang diduduki peternak pun patah. Mau tau kelanjutan ceritanya?
Ayo gabung bersama Riri!