Masa depan Indonesia bergantung pada generasi mudanya. Dan sayangnya gen Z saat ini kerap kali diidentikan dengan generasi yang nggak mau susah, ingin yang instan, dan juga lembek, dikit-dikit healing. Nah, terus gimana dong?
Apa yang sebaiknya kita lakukan? Di podcast ini, kita akan obrolin jawabannya bareng Veru Veriska, Direktur Eksekutif dari Pijar Foundation, lembaga non-pemerintah yang fokus pada pengembangan anak muda untuk masa depan Indonesia. Yuk kita simak. Mas Vero, terima kasih banget waktunya bisa main ke sini.
Thank you Mas Indrawan akhirnya bisa main ke sini juga. Keren studionya. Thank you. Kita mau ngomongin tentang Gen Z nih yang punya stereotyping dan labeling dan lain sebagainya dan kita kaitkan sama masa depan Indonesia. Dan aku yakin PGR Foundation yang Mas Vero dirikan, itu punya peran besar tuh nanti di situ.
Nah sebelum masuk ke situ Mas, jelasin dulu dong supaya teman-teman ini ya, punya pemahaman yang sama ya. Pijar Foundation itu apa? Geraknya di bidang apa? Programnya apa?
Cepat aja Mas. Oke, jadi gini, mungkin mulai dari bentuknya Pijar Foundation ini foundation ya, non-profit, filantrofi. Jadi misinya tuh gini sebenarnya Mas Jendrawan, kita ngeliat bahwa Indonesia tuh lagi ngalamin bonus demografi gede banget.
Gede banget. 75% bahkan warga negara kita itu anak muda. Dan kita akan mengalami yang namanya beberapa milestone penting ke depan.
2030 itu harusnya Indonesia itu jadi ekonomi terbesar 7 terbesar dunia. Terus kemudian 2045 kita pingin jadi... negara maju, indikatornya jadi salah satu dari lima besar ekonomi dunia.
Tapi kan sebelum kita ngomongin 2045, kita harus ngomongin 2030 nih. Apa yang terjadi di 2030? 2030, kita harus udah jadi tujuh besar ekonomi dunia, itu satu.
Kalau nggak, kita akan jadi negara kelas menengah selamanya. Kenapa bilang selamanya? Karena anak muda yang tadi bonus demografi itu, tahun 2030 mulai jadi tua, Mas. Mulai saya 2030 umurnya bakal mulai 40. Teman saya 45. Umur itu berarti udah mulai turun kan produktivitinya. Artinya, now or never nih.
Dan kita ngeliat 2030 dari sekarang itu kan cuma 6 tahun, 7 tahun ya. Nah, nggak lama. Artinya kita butuh cara-cara nggak biasa. Nah yang kita lakukan di Pijar adalah misi kita itu securing our spot di top 7 economy of the world di 2030. Itu dulu.
Caranya gimana? Udah sama kan? Caranya gimana? Kita percaya bahwa untuk mengamankan posisi kita ada 3, Mas.
Yang pertama, itu adalah kita butuh talent. Kita butuh talent. Kedua, kita butuh inovasi. Dan yang ketiga, kita butuh public policy. Ya.
yang sesuai dengan zamannya. Pertama, talent. Problemnya talent itu apa sih? Kita tahu bahwa dengan adanya AI dan segala macam ini, kita butuh cara-cara berbeda.
Baik cara kita mendidik, cara kita belajar, dan juga nanti menyiapkan generasi berikutnya untuk kerja itu nanti akan beda banget. Dari zamannya mas, zamannya saya, kerja itu akan beda banget. Artinya talent upskilling, reskilling sudah mutlak harus dilakukan. Yang kedua, Inovasi artinya kita harus menghasilkan inovasi-inovasi yang akan memecahkan masalah di masa itu.
Artinya kita bicara sustainability, transisi energi, kesehatan, healthcare, dan juga lainnya. Dan yang terakhir, kalau kita punya talent yang bagus, kita punya inovasi yang keren, tapi kalau public policy atau kebijakan yang nggak mendukung, ini dua ini nggak akan jalan. Makanya nomor tiga ini penting banget.
Nah, Pijar itu fokus di tiga-tiganya, Mas. Itu yang kita lakukan. Oke menarik ya.
Kita akan ngomongin tentang bonus demografi, khususnya kita akan zoom in ke generasi muda yang paling muda tapi sudah mulai masuk ke dunia kerja, Gen Z. Kalau milenial sudah sering dibahas, kita fokusnya ke Gen Z. Tapi sebelum ke situ, pertanyaan yang sangat cepat yang membuat aku penasaran. Mas Fero itu lama kerja di Microsoft. Bahkan bukan hanya Indonesia, sudah keliling dunia.
Artinya karirnya Mas Fero di Microsoft itu bagus. Dan orang kalau lulus Microsoft lebih kebuka karir tempat yang lain. Pertanyaannya adalah, apa yang membuat Mas Fero memutuskan untuk berpindah ke Indonesia? karir yang begitu bagus di perusahaan global itu untuk membangun sebuah yayasan, foundation. Menurut aku sih gini, Mas.
Jadi yang bikin aku excited kerja di Microsoft selama 11 tahun adalah misinya. Jadi misinya adalah produk yang kita bangun itu tidak hanya memberikan manfaat bagi Indonesia, tetapi juga bagi dunia. Jadi di Microsoft itu saya pernah di marketing, di sales, di consulting, dan terakhir itu di engineering. Di engineering, saya pegang...
untuk tim inovasi untuk Office dan Windows waktu itu. Dan produk yang tim saya ciptakan berarti dipakai sama hampir 1,5 miliar manusia. Itu exciting banget.
Dari mulai kita merencanakan produknya seperti apa sampai muncul di produk itu benar-benar exciting. Jadi ada satu purpose, dan purpose-nya kita itu kalau di Microsoft dulu, itu kan helping people to achieve more. Perusahaan biar bisa maju, orang biar bisa lebih pinter, orang biar bisa lebih produktif, dan segala macam.
Tapi pada akhirnya, kan Microsoft publiknya meraih perusahaan. Artinya tiap tahun kalau saya penjual, saya akan dapat target penjual selalu naik. Saya satu saat berpikir, saya ini bekerja memang punya misi, tetapi tiap tahun target saya naik karena Wall Street bilang target kita harus naik.
Sampai kapan sih kita harus jualan terus, kita harus ini terus. Ada nggak satu tujuan yang lebih berarti? Akhirnya sejak beberapa...
Tahun kebelakang, bertemu dengan beberapa orang yang sepemikiran, kita berpikir bahwa kayaknya ada suatu energi berlebih dari para profesional seperti kita yang merasa bahwa kita sudah melihat dunia dan kita ingin menciptakan perubahan yang sistemik di Indonesia dan ternyata nggak cuma saya doang, ada beberapa orang, kita bikin bareng, jadilah Pijar Foundation. Jadi berangkat dari suatu kegelisahan. bahwa kerja itu tujuannya apa sih? Itu tujuannya kan tujuan.
Tujuan untuk siapa sih? Jangan untuk diri kita sendiri, tapi untuk dunia. Pertanyaan berikutnya adalah, gimana kita bisa bikin lebih sistemik?
Nah, Pijar Foundation waktu itu jadi jawabannya sih sebenarnya. Oke. Kembali ke topik utama, ngomongin Gen Z ini. Jadi, kaitannya dengan bonus demografi yang celahnya semakin sempit tadi.
Maka Pijar Foundation dengan teman-teman kita, teman-teman kan berupaya untuk mendukung teman-teman talenta muda ini. Ada milenial, ada gen Z. Kita fokus pada gen Z ini. Kenapa kok gen Z yang saya ingin fokuskan? Karena label terhadap gen Z itu unik-unik dan konotasinya seringkali negatif.
Dibilang, pengen seba insta, nggak mau susah, kemudian juga lembek, dikit-kit healing. Watermelon dan strawberry generation ya. Nah, kan ini celaka.
Bonus demografi kita, window-nya makin sedikit. Sementara generasi mudanya kayak gitu. Sebelum kita ngomongin lebih lagi tentang gimana cara ngebenerinya, aku pengen tahu dulu pandangannya Mas Kero nih tentang Gen Z. Apakah ya... Mengamini apa yang disampaikan oleh kebanyakan orang seluruh taping terkait Gen Z, termasuk yang Prof. Enad bilang, strawberry generation itu, mungkin Anda memiliki perspektif yang berbeda tentang Gen Z. Nggak bisa dipungkiri bahwa generasi mereka ini lahir di era yang serba mudah, Mas. Zaman saya dulu, mau dapetin informasi harus ke perpustakaan, harus browsing, harus nanya orang, saya mau nyari mentor aja harus nyari orangnya, dan segala macam.
Sekarang tuh kalau kita buka TikTok, Kita buka Instagram, itu algoritma sudah di-craft buat kita. Kita sudah makan kanan-kiri banyak banget informasi, tetapi sepotong-potong. Akhirnya apa? Kita melihat suatu gambaran ideal dunia itu harusnya gimana itu dapat, tetapi kita tidak dikasih lihat gimana cara menuju ke sana. Jadi misalnya gini, kita selalu melihat misalnya Michael Tate, atau misalnya kita melihat siapa.
Semua yang diceritakan itu kisah suksesnya, betapa mereka punya Ferrari 5, mereka punya mansion di mana, dan segala macam. Semua ingin kayak begitu. Tapi yang lupa itu adalah bahwa menuju ke sana itu ada darah, dan air mata, dan keringat. Jadi itu yang hilang menurut saya.
Jadi mimpinya tetap terjaga, semua anak-anak ini ingin mencapai hidup yang ideal, tetapi mereka harus sadar bahwa semakin tinggi mimpi kita, itu semakin berat harusnya perjuangannya kita. Dan perjuangan itu benar-benar harus dimaknai bahwa akan ada stres di situ, akan ada kesedihan di situ, akan ada penolakan di situ, dan namanya anak muda gen Z kan ada istilah yang sering mereka ucapkan, healing. Sebenarnya nggak ada yang salah dengan healing, tetapi ketika healing itu terlalu sering dan terlalu mudah, artinya ada yang salah di situ. Maksudnya gini, bahwa kita harus diajarkan bahwa untuk Hidup ini tuh kejam, bahwa hidup ini tuh nggak apa ya, nggak akan mudah untuk kita. Hidup ini tuh bakal ngasih kita tantangan-tantangan yang akan di luar kemampuan kita.
Tapi kalau saya umpamakan, ibarat kita mau ujian lah mas, gitu kan. Kita mau naik kelas harus ujian kan. Ujian kan nggak enak ya. Ujian harus belajar, stres harus... begadang dan segala macam, ya itulah hidup.
Masalahnya ketika kita melihat ujian itu sebagai sesuatu yang menyingkirkan. Dan akhirnya kita menggunakan healing sebagai excuse, and that's a problem. Dan saya tidak mengeneralisir Gen Z, tetapi yang saya harapkan dari teman-teman Gen Z ini adalah bahwa mereka menyadari semakin tinggi mimpi mereka, mereka harus siap dengan semakin kencangnya tekanan terhadap diri mereka sendiri.
Dan mereka juga harus semakin tough. Karena mereka harus tahu bahwa yang namanya diamond, atau berlian, itu kan dibuat dari tekanan dan juga panas ya. Yaitu hukum alam kan? Artinya makin dikasih panas, makin dikasih tekanan, dan ternyata mereka bertahan, artinya kan mereka berlian yang sebenarnya.
Jangan sampai kita cuma pengen jadi berlian, tapi sebenarnya kita cuma jadi kaca. Artinya Mas Fero mengamini lah ya, apa yang jadi story typing terhadap Gen Z itu ya? Iya.
Mereka perlu melakukan banyak kerja. Oke. Baikin lagi ke tantangan bonus demografinya kita.
Kalau seandainya gen Z kita tetap terus kayak gitu, apa hal yang akan terjadi untuk Indonesia di 2030 nantinya? Oke. Persaingan kita di 2030 itu ternyata tidak cuma sesama anak bangsa, tetapi juga sesama manusia di berbagai negara, tetapi juga sama mesin. Itu harus kita sadari. Itu harus kita sadari.
Ada persaingan baru namanya mesin ya? Mesin. Persaingan barunya di... Artinya apa? Jangan manja.
Karena pekerjaan-pekerjaan yang seperti misalnya sosial media saja, nulis caption, sekarang sudah bisa di-automate. Bikin gambar, sekarang sudah bisa di-automate. Artinya apa?
Kalau kita hanya bisanya itu-itu saja, Masyarakat akan mengambil pekerjaan kita. Ini masalahnya yang paling mengerikan, dan saya paling nggak bisa tidur kalau malam. Indonesia punya ratusan juta anak muda. 75% demografi kita anak muda. Mereka sekolah di SMA, SMK, Mereka lulus dari universitas, tujuannya apa sih?
Pingin kerja, kan? The problem adalah, orangnya banyak, lapangan pekerjaan makin dikit. Kenapa? Perusahaan makin berhemat karena kondisi geopolitik global yang tidak menentu, dan AI itu bisa membuat pekerjaan itu diambil oleh mesin, dan mesin itu nggak pernah protes, nggak pernah sakit, nggak pernah cuti, dan nggak pernah demo. Artinya apa?
Kalau saya jadi pengusaha, AI atau mesin adalah cara yang paling mudah untuk meningkatkan produktivitas dan juga... Cara yang paling mudah untuk menurunkan biaya. Artinya, ini lulusan yang ratusan juta ini dari sekolah-sekolah, institusi, dan juga akademi ini mau ke mana? Jadi itu yang paling mengerikan buat saya. Artinya adalah, anak-anak Gen Z ini akan dihadapkan pada kenyataan bahwa, jangan lagi berpikir jadi karyawan menurut saya, karena pekerjaan-pekerjaan akan banyak diambil oleh mesin.
Maka mereka harus switching ke entrepreneurship. Dan itu perang asli. Oke. Itu menarik keentrepreneurship ya.
Aku ingin bahas itu nanti di belakang. Aku masih ngomongin Gen Z ini, stereotyping tadi. Itu stereotyping yang generation yang tadi instan dan sebagainya itu hanya di Indonesia saja atau global fenomena? Saya pikir global fenomena.
Karena drivernya teknologi dan informasi yang berlebih. Dan itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di mana-mana. Dan ketika informasi banyak, kita jadi merasa pintar banget.
Padahal ilmunya masih cetek. Jadi generasi ini punya resiko yaitu adalah merasa tahu banyak, tapi sebetulnya masih tahunya sedikit. Tidak hanya di Indonesia. Kita semua ini kan adalah produk dari generasi kita.
Saya lebih senior, lebih dari 10 tahun di atasnya Mas Firo. Itu ada satu generasi. Saya besar di dunia MTV, dulu TV swasta baru muncul.
Saya kecilnya itu hanya nungguin kapan unyil muncul. yang sudah muncul, jenaka muncul, nggak bisa punya pilihan banyak. Mas Vero sudah lebih baik lagi situasinya, dan yang sekarang lebih baik lagi.
Kalau saya melihatnya kita nggak bisa menyalahkan generasi manapun karena mereka adalah produk dari masanya. Jadi kalau misalnya generasi orang tua saya yang lahir di masa Indonesia baru merdeka, mereka lebih kuat, punya daya juang, loyalitasnya tinggi, disebut dengan baby boomers, itu karena memang wajar. Memang lingkungannya ngebangun dia jadi seperti itu. Maka value systemnya kayak gitu. Nah begitu...
Adik-adik kita atau mungkin anak-anak saya, kan saya sudah punya anak yang sudah masuk ke gen Z, itu jadi kayak tadi, itu karena memang lingkungannya, alamnya yang membentuk dia seperti itu. Jadi kita nggak bisa bilang salin anaknya, karena lingkungannya kayak gitu. Cuma bukan berarti kemudian kita memaklumi itu, karena tadi ada risiko besar kalau seadanya ini nggak diapa-apain.
Nah pertanyaan saya adalah gini, ini mungkin katanya dengan perannya pijar fondasi, karena fokusnya ke talenta muda, menyadari bahwa memang mereka kayak gitu bukan berhasil, tapi memang desain oleh alam semesta di mana mereka berada. Apa yang... Menurut Mas Firo, bisa dilakukan oleh kita. Kita itu berarti masyarakat umum dulu. Nanti aku akan masuk kepada korporasi.
Karena keluhan yang paling banyak aku dengar adalah justru malah dari perusahaan-perusahaan. Para pimpinan-pimpinan itu, anak jaman sekarang, anak jaman sekarang. Kita juga ngerasain. Tapi aku taruh korporasi agak belakang dulu. Aku ngomongin Pijar Foundation yang lebih luas.
Gimana caranya ngebantu mereka nih, adik-adik kita ini, supaya mereka siap untuk bergaduh nanti? pada masanya ketika datang? Kita di Pijar Foundation, kita punya program namanya Feature Skills.
Feature Skills.id itu intinya adalah gini, bahwa zaman saya kuliah, saya itu kalau belajar itu dari dosen. Dan namanya dosen, punya kecenderungan mengajarkannya teori. Tidak salah, tetapi yang harus kita pahami adalah bahwa yang namanya teori pastikan terlambat dibandingkan inovasi. Inovasinya kejadian dulu, kemudian dibahas, ditulis, diajarkan.
butuh perambatan dari inovasi terjadi sampai teori itu diajarkan 2, 3, sampai 5 tahun. Artinya apa yang saya pelajari di kampus pasti terlambat 5 tahun. Dan yang kita lakukan kita balik, Mas.
Jadi kita bawa industri-nya, kita bawa perusahaannya untuk ngajar di kampus. Di Indonesia kan ada 4.700 kampus di seluruh Indonesia. Nggak mungkin semua korporasi ini disuruh untuk ngajar satu-satu.
Akhirnya kita bikin satu platform saja digital, sudah dipakai 45.000 pengguna, dimana perusahaan, apapun itu, nggak perlu sebut namanya, tapi sekarang kita sudah punya 88 mitra, mereka mewajibkan karyawannya ngajar di tempatnya kita. Itu berarti seperti programnya Mas Nadiem ya, dengan kampus perdekannya itu ya? Kita pakai itu. Kita pakai itu sebagai vehicle. Itulah kenapa Mas, tadi aku bilang, talentnya ada nih, ada yang orang yang mau ngajar.
Inovasinya ada, platformnya kita bikin. Tapi, alhamdulillah, Kementerian Pendidikan punya namanya MBKM. Merdeka Belajar, Kampus Merdeka. Akhirnya itu bisa terjadi.
Bedanya apa? Yang kita ajarin, yang mereka ajarin dari para industri ini, jadi SKS. Cuma kan isunya, isu mentalitas, bukan isu intelektualitas.
Saya akan menemukan. Jadi itu tidak menolong mentalitas stroberinya itu. Jadi satu yang kita lakukan adalah itu. Kedua, kita numpangin ke Kampus Merdeka.
Kenapa? Karena motivasi anak Indonesia dalam belajar itu tuh... bisa dibilang perlu ditingkatkan, tetapi cara masuknya adalah lewatnya itu, kewajiban SKS. Kalau ini mata kuliah yang kita bikin ini nggak jadi SKS, nggak ada yang mau pakai, Mas.
Tapi karena apa yang kita bikin di Bijar Foundation ini direkognis sebagai SKS, sebagai kuliah, maka anak kalau masuk ke sini, dapat nilai mereka bisa masuk ke transkrip. Wah, bisa ya. Yaudah, gue masuk. Itu entry point-nya dulu.
Nah, terus kemudian ketika masuk, caranya adalah menunjukkan ke mereka betapa mengerikannya masa depan dan betapa jauhnya gap pengetahuan yang mereka punya dengan apa yang dimiliki oleh dunia nyata. Itu yang kita lakukan. Jadi kita sengaja nunjukin ke muka mereka bahwa, hey, dunia sudah sampai sini loh.
Kamu baru sampai sini. Dan kalau kamu tidak menutup gap ini, kamu nggak bisa jadi apa-apa. Jadi orang mau berubah, Mas, kalau ada harapan dan ada keinginan, kan? Jadi harapannya kita kasih, keinginannya kita tunjukkan.
Itu yang kita bisa lakukan di PGR Foundation. Hop dan fear-nya kita tunjukin ke mereka. Hop dan fear itu kan menarikkan motivasi. Motivasi itu hanyalah sesuatu yang akan, sesuatu yang membuat mereka mau bergerak. Tapi mereka sampai ke sananya itu kan kita nggak tahu.
Banyak variabel yang harus dimainkan. Salah satunya adalah ada enabler-nya, apa nggak lingkungannya tepat, apa nggak dikasih tools, apa nggak ada yang nge-guide, apa nggak kan, kayak gitu ya pertanyaannya. Mungkin kita harus melakukan sesuatu yang lebih, kita diskusi ya dari konteks saya. Misalnya tadi contohkan dengan adanya AI sekarang kan gampang banget buat caption, gampang banget buat kertas, buat musik, buat puisi, apa pun, buat gambar dan sebagainya, sangat mudah.
Mungkin, sekali lagi ini cuma diskusi ya, jadi aku justru ingin mencari otak Anda. berdasarkan gagasan ini. Mungkin masalahnya adalah kita memberikan tantangan kepada mereka dengan standar tantangan yang kita dapetin dulu di masa lalu. Yang mana tidak lagi adil. Misalnya begini, dulu waktu saya kuliah, Dulu saya pengen sekolah film, cuma nggak jadi sekolah film, dan akhirnya saya jadi sekolah manajemen.
Tapi saya tetap, karena suka film, saya buat film sendiri. Ketika dulu saya buat film sendiri, wah itu susahnya sangat mati kan. Pinjam kamera dari teman, editing tools-nya itu sangat langka sekali, harus pinjam ke kampus, atau bahkan saya beli yang sangat-sangat sederhana, ngebuat sendiri. Bahkan zaman dulu, wah pokoknya beribad banget gitu. Tapi zaman sekarang, anak-anak itu kan mudah sekali kan dengan handphonenya dia, udah bagus banget kameranya, dipake handphone.
cukup pakai handphone-nya dia, dia bisa mengedit dan sebagainya dengan audio yang sangat mudah semacam itu Sangat sederhana. Bahkan sekarang lebih canggih lagi dengan adanya AI mereka nggak perlu ngedit. Dia cuma masukin bahan baku gambar dan audionya saja, AI yang akan mengeditnya sampai jadi. Nah yang jadi challenge yang kejadian begini, saya masih berpikir bahwa anak-anak zaman sekarang itu harus diberikan challenge ngebuat video yang begini. Kayak zaman dulu saya di challenge harus buat video seperti itu.
Yang saya setengah mati buatnya dengan struggling-nya saya. Nah kalau saya kasih challenge yang sama kepada anak saya, Dia bisa selesaikan dalam waktu 5 menit. Yang dulu saya butuh waktu 5 hari.
Terus dia bilang, kamu tuh males sih pakai AI. Ya bukan males, dia cerdas menurut aku. Hari gini lo nggak pakai AI kemana aja.
Yang jadi masalah adalah bapaknya ngasih challenge, salah. Harusnya tantangannya bukan begitu, tantangannya bukan di aspek tekniknya. Tantangannya adalah, kita punya masalah yang sangat besar.
Saya ingin Anda menyelesaikan masalah besar ini yang dimiliki oleh masyarakat sekitarnya, sekolahnya, atau apapun. Dan saya ingin Anda mengambil tindakan. Untuk kamu bisa menemukan cara yang terbaik, silahkan gunakan AI. Cari mentor yang dengan mudah kamu bisa dapetin dengan aplikasi.
Jadi mungkin, mungkin, mungkin, ini 2 sisi saya. masalahnya sebenarnya bukan di mereka. Karena mereka hanya produk dari generasinya. Misalnya yang melewati generasi Z nih ya.
Masalahnya adalah, kita hanya nih, gue lah paling nggak, yang orang tua, kita tetapin standar yang salah kepada mereka. Ngasih tantangan yang salah kepada mereka. Habis itu nyalain tools-toolsnya gitu. Itu sama kayak zaman dulu kita mau buat bisnis di Maringapel, lu pake kalkulator sih, gitu. Lu pake pulpen dan kertas, hari-hari gini, lalu kapan lakunya, gue mendingan gue jualan ya dibandingkan gue sibuk hitung-hitungan akutansinya, kan kayak gitu kan.
Apa pendapatan lu tentang itu? Aku melihatnya gini, Mas. Jadi AI itu ibarat kalau kita flashback ke berapa puluh tahun yang lalu ketika kalkulator ditemukan lah misalnya. Ketika kalkulator ditemukan, para guru-guru, para dosen itu juga khawatir, gitu. Wah, ini gimana nih?
para siswa yang tadinya bisa menghitung 1 tambah 1 pakai angka atau pakai apapun, memahami esensi 1 tambah 1 sama dengan 2, kenapa bisa tinggal pencet-pencet-pencet jadi. Nah, jadi aku melihatnya begini, bahwa ada alat dan ada fundamental. yang alat itu memang harus dikuasai.
Definitely setuju banget sama Mas Indrawan bahwa kita harus bisa nguasain AI, kita harus nguasain chat GPT, kita harus bisa pakai tools-tools seperti copay.ai dan segala macam, dan bahkan di PGR Foundation pun kita udah semuanya pakai AI powered juga. Tapi yang nggak boleh missing adalah the fundamental-nya. Proses berfikirnya.
Misalnya, oke kita bisa bikin nih caption video seperti ini pakai AI. Kadang-kadang kita so expert in the tools but not expert in the fundamental. Karena misalnya, bikin film, selain menggunakan tools, alat, editing, software, dan segala macam, kan kemampuan yang fundamental apa?
Storytellingnya kan. Jadi artinya apa? Tools diperlukan, tetapi fundamental juga harus juga diperlukan.
Jangan sampai kita menjadi master dari tools, tetapi kita tidak memiliki pemahaman dari dasar-dasarnya. Istilahnya adalah, kalau main bola nih, jangan sampai kita nggak bisa passing, dribbling, tetapi kita bisa juggling. Jangan sampai kita punya teknik-teknik yang fancy, tapi teknik-teknik yang dasar nggak punya.
Karena nanti gini, ketika kita cuma ngertinya tools, ya ini menurut saya ya mas, kita diskusi mas. Ketika kita ngertinya tools, ini ibarat kalau kita ikut bimbel ngerti rumus cepat gitu. Tapi kita nggak tahu... kenapa sih rumuh cepat itu kayak begini? Kita kan misalnya fisika gitu.
Hukum Newton, F sama dengan masa kali percepatan. Mau diputar gimana pun, kondisinya kan intinya itu. Kalau kita paham fundamentalnya, kita bisa turunin rumuh satu ini jadi apapun.
Tapi kalau kita hanya memahami rumuh cepatnya, oh kalau ketemu bidang miring kayak begini ya rumuhnya ya, kalau ketemu ini kayak begini ya, nanti kita jadi manusia yang case by case. Menurut saya seperti itu. Artinya, alat dan fundamental harus sama-sama di asasi.
Oke, saya setuju. Jadi sistem pendidikan kita harus pertama-tama fokus pada fundamental dulu. Yang mana sebenarnya itu pun juga masih harus ada PR juga.
Yang kedua adalah jangan musuhin teknologi tadi. Justru kita harus ajarin juga. Jadi si Ana itu diajarin dua hal.
Diajarin fundamentalnya supaya logiknya dia dapat. prinsip-prinsip berdasarkan pendapat. Yang kedua, diajarkan menggunakan tools supaya mengakselerasi proses dia solving problem. Nah, supaya kemudian ini dua ini bisa berada di level Yang lebih tinggi kan nggak mungkin begini kan, aku ngajarin anak-anakku sehingga dia sampai pada level aku. Itu salah banget kan.
Level aku itu kan level 30 tahun yang lalu gitu. Terus kalau aku memaksakan anakku ada di levelku, cara solving problem aku sekarang, itu kasian banget dia nantinya kan gitu kan. Problem dia.
lebih kompleks. Jadi kita harus juga selain ngajarin dia fundamentalnya, ajarin dia penggunaan tools-nya, habis itu, harus beri dia challenge, sehingga dia bisa solving problems yang lebih kompleks, dibandingkan problems yang saya dapetin waktu kuliah dulu. Makanya kalau di Pijar itu kita percaya, dua hal ini penting, tapi belajarnya dari siapa?
Belajarnya harus dari expert dan para praktisi yang sudah makan asam garam, misalnya mau belajar bikin podcast. Belajarnya dari Mas Indrawan yang sudah membuat podcast secara canggih dan mengerti gimana caranya mengembangkan audiens. Jadi, mentor atau ekspert itu akan memperpendek jarak dan waktu untuk menuju ekspertis yang dimau.
Oke. Gen Z itu kan nggak semuanya strawberry. Nggak semuanya.
Aku melihat banyak juga yang keras. Oh ya, yang beberapa di antaranya saya undang ke podcast ini dan saya bilang, Anda luar biasa. Saya langsung malu sendiri kan.
Umur gua itu hampir dua kalinya lu. dan masih ada kemampuan yang lebih besar dibandingkan apa yang saya punya. Menurut Mas Fero, apa sih yang ngebedain di antara dua itu?
Mereka ada dalam lingkungan yang sama. Mereka dalam generasi yang sama. Habisnya kan mereka produk generasinya. Tapi kok ini di generasi yang sama, di dapur yang sama, tapi yang satu... Jadinya stroberi yang satu, hebat.
Kenapa? Ada beberapa faktor sih menurut saya. Yang pertama jelas lingkungan pergaulan itu mempengaruhi.
Lingkungan pergaulan dalam arti adalah dengan siapa mereka bergaul akan menentukan cara pikir mereka. menentukan cara bersikap dan bertindaknya mereka. Kedua adalah lingkungan mereka bergaul berarti menentukan benchmark mereka.
Oh, gue ingin jadi apa? Kalau misalnya kita punya bapak, yang bapak kita pilot. Saya mau dong... Saya mau dong kayak Bapak saya, karena ada benchmark. Bapak kita misalnya startup founder, saya mau dong kayak Bapak saya, dsb.
Tapi yang ketiga adalah lingkungan lagi, yaitu adalah informasinya mereka konsumsi. Dan gen Z ini kan adalah orang-orang yang peduli sebenarnya, karena mereka terlalu terbuka dengan informasi, sehingga hal-hal seperti perubahan klinik, terus kemudian hal seperti lingkungan, sosial, politik, mereka jadi sedar. Dan akhirnya, Oh my God, dunia kita nggak lagi baik-baik saja. Kita harus melakukan sesuatu."Akhirnya kegelisahan itu ditambah lingkungan mereka, ditambah benchmark mereka, membuat mereka lebih tergolong. Sehingga ada yang lebih tergolong dari yang lain tergantung menurut saya sih lingkungan dan juga informasi mereka terima. Itu akan membentuk kecemasan dan juga langkah yang akan mereka ambil untuk hidup mereka ke depan. Berarti PR terbesar kita, selain daripada pendidikan tadi yang dikatakan dengan industri dan sebagainya, adalah gimana kita memberikan lingkungan mikro kepada mereka. Karena kalau lingkungan makronya itu kan memang akhirnya membuat mereka jadi pengen instan, dekat-dekat healing, dan sebagainya. Itu kan lingkungan makronya. Dan kita nggak bisa apa-apain itu. Tapi kita bisa mengelola lingkungan mikro nya dia. Kita kontrol yang bisa kita kontrol. Itu kan bisa kita kontrol. Paling nggak di rumah kita orang tuanya nyontohin pada anaknya. Terus kita, kamu temannya siapa? Mainnya kemana? Itu kan yang kamu lakukan apa? Proyek yang kamu jalankan apa? Terus di challenge, dan kita pertemukan dengan orang-orang yang bisa jadi role modelnya dia. Ternyata kakak ini hebat sekarang tapi itu nggak mudah ya. Ternyata harus ada perjuangan ya. Dia akhirnya melihat dunia jadi lebih lengkap di lingkungan mikro yang itu kita desain. nggak kita lepaskan. Karena kalau kita lepaskan, dia akan kejebak di lingkungan makro yang membuat dia jadi strawberry tadi. Betul. So, sekarang pertanyaannya adalah dalam konteks koperasi. Mas Baru kan di Microsoft lama. Berapa tahun, Mas? 11. 11 tahun. Lumayan lah ya. Untuk ukuran milenial yang katanya tiap 3 tahun pindah itu lama banget. Makanya itu luar biasa. Dan Mas Baru kan pengalaman di Indonesia, di negara-negara lain, ketemu dengan milenial yang lain di berbagai negara, dan juga mungkin gen Z di berbagai negara. Berdasarkan perhatian Anda, bahkan observasinya Mas Veru di Microsoft, dan pengalaman Anda sendiri mengalami masing-masing, ketika Mas Veru misalnya ditanya oleh seorang eksekutif perusahaan di Indonesia, yang lagi ngeluh, karyawan gua, anak buah gua, yang GNZ ini susah. Dimarahin dikit, pengen resign. Belum apa-apa, udah punya klien yang 2 tahun sekali mau pindah-pindah. Pengennya carinya yang cepat, yang instan. Aduh, gua pusing. Itu yang penting nih."Persyaratannya Mas Fero kepada mereka berdasarkan pengalaman Mas Fero di Microsoft, dan observasinya apa?
Ini observasi saya. Yang pertama adalah kalau teman-teman itu buka LinkedIn-nya Kathleen Hogan, Kathleen Hogan itu Direktur HR-nya Microsoft, dia di LinkedIn itu ada piramid. Piramid ini dia sebut dengan 5P. Lima hal yang bikin orang itu betah, engage, dan bertahan di satu perusahaan. Ternyata yang nomor paling bawah itu, Mas, itu pay.
Kadang-kadang orang lupa hal ini, hal yang paling obvious, elephant in the room, tapi orang lupa. Kadang-kadang kita mikir, aduh gue pengen motivasi karyawan gue, kok nggak mau? Lihat dulu nomor paling bawahnya, pay. Are we paying them competitively or not? Nomor satu itu, karena pay itu adalah hygiene factor kan?
Apalagi di dunia serba demanding sekarang ini, pay itu penting banget. Dan mereka ngobrol satu sama lain, mereka ngebandingin satu sama lain. Pay itu basically how can we make sure mereka itu udah nggak mikir lagi cicilan handphonenya, cicilan motornya, cicilan rumahnya. Pay, nomor satu pay.
Baru di atasnya itu ada beberapa lapis lagi, tapi ada yang namanya purpose. Jadi apakah yang dikerjakan di dalam perusahaan itu berdampak nggak sih? Buat dia, buat dunia, dan ada maknanya nggak sih? Kadang-kadang itu kita cuma berangkat, absen, kemudian kerjain tugas dari bos, pokoknya nggak usah nanya, kerjain aja, tanpa paham kenapa kita harus ngerjain ini sih.
Kita misalnya kerja di satu perusahaan listrik. Kalau kita nggak paham, tugas kamu itu bukan kerja di perusahaan listrik. Tugas kamu itu make sure semua orang itu dapat listrik sehingga orang bisa sekolah.
Orang mau operasi, nggak jadi meninggal, dan seterusnya. Ketika orang paham tujuannya itu, maka dia akan menemukan makna dalam pekerjaannya dia. Itu yang kedua sih, Mas.
Jadi di Microsoft kita sangat ditekankan bahwa apa yang Anda lakukan di sini itu membantu jutaan orang di seluruh dunia. Yang kedua itu. Terus kemudian, yang ketiga juga adalah kultur di perusahaan itu. Jadi menurut saya di Microsoft itu sebetulnya kalau dianalisis lagi 11 tahun itu, saya sudah ganti pekerjaan, bisa 5 kali sudah ada.
Di dalam Microsoft. Artinya adalah kulturnya harus memungkinkan kita untuk Apa ya, untuk bisa maju dan memberikan kita fasilitas untuk maju. Contoh gini, di Microsoft, satu, kalau saya mau pindah pekerjaan, saya nggak perlu izin atasan saya.
Misalnya, Mas, saya ingin report ke Mas nih, saya nggak perlu izin atasan saya, si A, gitu nggak perlu. Saya tinggal approach Mas, Mas oke, tarik saya, saya diambil. Artinya apa?
Talent Mobile itu sangat fluid sekali. Kedua adalah performance review-nya kita. Itu ditentukan dari 3 hal.
Satu, yang jelas responsability. Kalau kita sales, berapa jumlah sales yang kita sudah bukukan, berapa produk yang kita jual, dan seterusnya. Tapi yang enak banget adalah yang dua ini, Mas. Yaitu yang pertama adalah bagaimana kita membantu orang lain, yang kedua adalah bagaimana orang lain membantu kita.
Ini hal yang nggak biasa loh. Jadi kita dinilai dari tiga ini. Kalau kita cuma pintar, tapi kita nggak pernah bantuin orang lain, dan kita nggak pernah minta bantuan orang lain, performa review kita akan kalah dibandingkan orang yang bisa dibilang, ya pintar pastinya, tetapi bantuin orang lain dan juga...
Itu masuk KPI? KPI. Bantuin orang lain itu masuk KPI? KPI.
Dan akhirnya orang itu didorong untuk menjadi sosial, menjadi orang lain. jadi orang baik, ketimbang hanya menjadi orang pintar. Di situ akhirnya kalau kita perhatikan kan banyak esodus di tahun 2013-2014-2015 jadi Microsoft.
Karena keadaan budaya itu. Masih zamannya si Ballmer ya? Ballmer pindah ke Satya. Ada esodus kan?
Karena keadaan budaya, menurut saya. Akhirnya orang-orang yang bertahan itu benar-benar yang saling bantu, saling support, dan segala macam. Dan cocok dengan gayanya Nadella. Dan cocok dengan gayanya Nadella. Dan kalau kita perhatiin, itu apa coba?
Gotong-royong kan, Mas? Artinya apa? Betulnya. perlu ada yang menulis tentang pengurusan Indonesia sebetulnya. Karena kultur kita sudah seperti itu.
Cuma mereka menuliskan dan menformalisasi itu dalam sistem. Kalau itu kan berfungsi untuk generasi tua. Bukan spesifik untuk Gen Z. Jadi milenial juga kalau dikasih model seperti itu akan produktif, dia akan tetap, bahkan anak-anak pun masih senang dengan itu.
Kalau kita mau pengetahuan, pertanyaan terakhir saya waktu saya ternyata sudah mau habis. Kalau kita mau pinpoint khusus untuk gen Z-nya saja, gimana mereka nggak jadi strawberry, sebenarnya sudah keseleksi mesin yang masuk ke Microsoft nggak strawberry, tapi kan ini kita ngasih saran kepada semua perusahaan yang ada, yang mungkin itu susah ke filternya. Nah gimana perusahaan bisa membuat Gen Z yang sudah kerja di perusahaannya dia, yang dilabelin atau dinilai atasannya Strawberry tadi, itu bisa perform well, syukur-syukur loyal.
Kasih challenge, kesempatan ya. Kasih challenge. kasih kesempatan dengan kasih tantangan, Mas.
Jadi percayakan proyek-proyek mereka, berikan mereka kepercayaan. Itu... Tapi gimana mau dikasih kepercayaan? Nanti kalau misalnya stres sedikit, minta healing. Mulai dari kecil dulu.
Jogel, keluar. Kan gitu kan? Ini nih ya, mau wakili curhatannya teman-temanku. Menurut saya, kasih kepercayaan itu jangan yang gede dulu. Yang kecil dulu, minimal misalnya.
Eh, besok ada company retreat, ada outing nih. kamu yang jadi ketua panitia, itu kan kalaupun gagal, gagalnya internal. Lihat, bersungguh-sungguh nggak? Dia deliver nggak?
Oh deliver nih, naikin lagi. Besok ada klien mau datang, tolong kamu yang nge-host, naik lagi, naik lagi, naik lagi. Kasih kepercayaan, tapi mulai dari yang kecil dulu, Mas. Tapi selain kasih kepercayaan dan tantangan, kasih sumber daya juga.
Eh, kamu besok nge-host off-site atau nge-host outing, tapi aku kasih budget sekian juta. Artinya mereka bekerja dengan sumber daya yang sudah dikasih. Jangan sampai disuruh kerja doang nggak dikasih sumber daya, frustasi juga. Jadi kasih tantangan dan kasih tanggung jawab sih, Mas. Challenge and support, ya.
Jadi kalau aku recap, berarti gen Z ini dia akan betah di satu perusahaan dan dia akan berhasil maksimal ketika dia dikasih kesempatan untuk menunjukkan kemampuan dirinya, menantang dirinya bahkan. Dan di saat yang sama juga dapat dukungan. untuk supaya dia benar-benar bisa sukses di dalam tantangan itu. Tapi kita harus ingat bahwa pada akhirnya, tugas kita sebagai perusahaan dan juga sebagai korporat adalah menyediakan ekosistem dan menyediakan lingkungan untuk mereka berkembang.
tapi perkara mereka mau berkembang atau enggak, itu pilihan mereka. Kita tidak bisa menjadi matahari untuk orang yang nggak mau bangun pagi. Artinya adalah bahwa perusahaan bisa kasih kesempatan, kesempatan training, at the end of the day it's your choice.
It's your choice, man. At the end of the day it's your choice. Artinya harus ada ruang di dalam perusahaan bahwa yang nggak mau bangun pagi tadi, kita harus bisa tunjukin pintu keluar. nggak perlu tunjukkan, tapi biasanya mereka akan mencari sendiri. Seperti itu.
Kalau yang aku dengar-dengar, nggak juga. Jadi, strawberry di dalam ada busuk. Hahaha.
Kalau dikeluarkan di dalam, alhamdulillah tuh. Kan kayak gitu, kita cari sitar yang beneran. Mungkin kalimat yang lebih tepat adalah, dibantu mencari kesempatan yang lebih baik, Mas.
Ah, itu kan bahasa AR. Hahaha. Jadi, ketahuan saya pernah ngurusin itu ya. Hahaha.
Oke, saya mendapat ideanya. Jadi, Karena kita balik lagi ya, bahwa nggak semua Gen Z tuh strawberry. Nggak semua.
Saya secara persen ketemu orang-orang Gen Z yang luar biasa hebat, yang luar biasa baik di dalam perusahaan ataupun dia sebagai startup, pelaku usaha, UKM, dan sebagainya. Mereka semua hebat. Gua bilang, luar biasa banget. Pertanyaannya kan apa yang ngebedain?
Ternyata tadi, mikro-environment yang kita ciptakan. Dan perusahaan harus berjuang untuk menciptakan mikro-environment tadi. Dan nggak semua orang beruntung punya mikro-environment yang mendukung, Mas.
Makanya ketika ada gen Z, yang masuk ke perusahaan, yang menemukan mikroenvironment seperti itu, maka logik kalau dia akan berhasil dengan baik dan setia. Jadi ketika ada perusahaan yang kemudian ngerasa, ini kok nih, wah, gue nih, mantap semuanya. ini strawberry semuanya, ini nggak pernah berhasil. Janganlah lu yang nggak menciptakan environment yang tepat.
Lu sebagai leader nggak ngasih challenge yang tepat. Lu nggak ngasih perusahaan, nggak ngasih support yang tepat. Jadi, jangan gunakan formula yang membuat lu betah di perusahaan ini ketika lu mulai 20 tahun yang lalu.
Formula yang sama ke anak Gen Z ini. Karena lain, lu mungkin pohon durian, ini pohon stroberi. Iya, beda.
Iklimnya beda kan? Iya, kan. Udah climate change kan ceritanya.
Nutrisi yang dibutuhkan berbeda. Asupannya butuh berbeda kan gitu kan. Excellent. Thank you so much.
Makasih banget, Mas Nero, untuk insight-nya. I learned a lot. Sukses untuk pijar dan program-programnya. Thank you so much. Thank you.
Thank you.