[Musik] Seorang arkeolog Buddha asal Thailand datang ke Indonesia untuk meneliti Candi Borobudur yang diakini sebagai salah satu peninggalan Buddha terbesar di dunia. Tapi apa jadinya jika di tengah penelitian ia menemukan bukti mengejutkan yang justru mengarah pada Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis? Temuan ini bukan hanya mengubah cara pandangnya terhadap sejarah, tapi juga mengubah seluruh jalan hidupnya. namanya Dr. Anurak Sutham. Ia adalah seorang arkeolog ternama asal Thailand yang sudah mengabdikan hidupnya lebih dari 20 tahun untuk meneliti situs-situs peninggalan peradaban Buddha di Asia Tenggara. Dr. Anurak Sutham lahir dan besar di Ciangmai, sebuah kota di utara Thailand yang dikenal dengan banyaknya kuil tua dan situs bersejarah. Sejak kecil ia sudah tertarik pada benda-benda kuno. Ketika teman-temannya bermain di luar rumah, ia lebih senang membaca buku sejarah atau ikut ayahnya mengunjungi kuil-kuil setempat. Minatnya terhadap masa lalu terus tumbuh. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengambil jurusan arkeologi di Universitas ternama di Bangkok. Setelah lulus dan menyelesaikan program doktoralnya, D. Anurak mengabdikan hidupnya untuk meneliti peninggalan-peninggalan Buddha di berbagai negara Asia Tenggara seperti Myanmar, Laos, Kamboja, dan negaranya sendiri. Namanya mulai dikenal di kalangan akademisi internasional setelah beberapa kali berhasil menemukan artefak dan struktur kuno yang memberi pemahaman baru tentang penyebaran ajaran Buddha di wilayah tersebut. Ia sering diundang sebagai pembicara di konferensi arkeologi dan beberapa tulisannya diterbitkan di jurnal ilmiah internasional. Meski telah menjadi sosok terkenal, kehidupan pribadinya sangat sederhana. Ia tinggal di rumah kecil tidak jauh dari pusat kota Ciangmai. Ia tidak memiliki kendaraan mewah atau gaya hidup yang berlebihan. Setiap pagi ia rutin mengunjungi kuil untuk bermeditasi dan memberi penghormatan kepada para biksu. Ia dikenal rendah hati dan jarang berbicara panjang lebar kecuali saat membahas sejarah dan arkeologi. Drter Anurak juga sangat disiplin. Ia selalu mencatat dengan rinci setiap temuan di lapangan. Bahkan untuk hal-hal kecil yang sering diabaikan orang lain. Dalam setiap penelitiannya, ia tidak pernah terburu-buru mengambil kesimpulan. Ia percaya bahwa sejarah tidak boleh ditebak, tetapi harus dibuktikan dengan data yang jelas. Rekan-rekannya menganggapnya sebagai sosok yang penuh dedikasi. Ia jarang terlibat dalam konflik, lebih senang bekerja tenang di laboratorium atau menggali di bawah trik matahari. Selama bertahun-tahun, fokus utamanya adalah mencari dan melestarikan peninggalan budaya Buddha yang ia anggap sebagai bagian penting dari warisan spiritual dan identitas bangsanya. Di usia 48 tahun, ia merasa telah mencapai banyak hal dalam dunia akademik. Namun, jauh di dalam hati, ada rasa penasaran yang belum terjawab, pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul dan hubungan antar budaya yang tidak selalu dijelaskan dengan tuntas dalam literatur sejarah yang ia pelajari. Suatu pagi, di ruang kerjanya yang dipenuhi rak-rak buku dan kotak penyimpanan artefak, Dr. Anurak menerima sebuah email resmi dari sebuah universitas di Indonesia. Dalam email itu dijelaskan bahwa pihak universitas bersama lembaga penelitian sejarah dan budaya tengah menyusun proyek studi besar-besaran tentang Candi Borobudur. Mereka mencari pakar arkeologi dari luar negeri untuk berkolaborasi dan nama dr. Anurak direkomendasikan oleh salah satu kolega lamanya dari konferensi di Singapura. Isi undangan itu menjelaskan bahwa penelitian kali ini tidak hanya akan fokus pada aspek arsitektur dan seni, tetapi juga mencoba memahami konteks sosial dan keagamaan dari pembangunan candi tersebut. Proyek ini akan melibatkan tim lintas disiplin mulai dari arkeolog, ahli sejarah agama, antropolog, hingga peneliti budaya lokal. Rencananya penelitian akan berlangsung selama beberapa bulan dan lokasi utamanya adalah kawasan Candi Borobudur serta situs-situ sekitarnya. Dr. Anurak mempelajari lampiran dokumen dengan saksama. Di dalamnya tercantum rencana kerja lapangan, pembagian tugas tim, dan beberapa foto dari hasil survei awal. Beberapa struktur terlihat telah dipindai menggunakan teknologi pemetaan 3D menunjukkan relief dan jalur arsitektur candi yang kompleks. Ia membaca dengan penuh perhatian, terutama saat melihat data geologis dan potensi area yang belum banyak diteliti. Candi Borobudur bukan tempat yang asing baginya. Ia pernah membacanya di banyak literatur sejarah, tapi belum pernah mengunjunginya secara langsung. Selama ini ia hanya mengetahui Borobudur sebagai pusat ziarah Buddhis yang megah. Dibangun pada abad ke-8 oleh Dinasti Syailendra. Ia menyadari ini adalah kesempatan langka untuk mengamati langsung struktur yang selama ini hanya ia lihat di foto dan buku. Ia mencatat tanggal perjalanan, memeriksa ulang paspor dan dokumen penelitiannya, lalu mulai mengatur persiapan keberangkatan. Tidak banyak pertimbangan yang ia buat karena ajakan ini sejalan dengan minat utamanya. Selain itu, penelitian lapangan seperti ini selalu menjadi bagian penting dalam pekerjaannya. Ia sudah terbiasa menghadapi medan berat, cuaca tropis, dan perbedaan budaya di tiap negara yang ia kunjungi. Dalam beberapa hari, ia menyelesaikan laporan proyek terakhirnya di Ciangmai dan menyerahkan tugas-tugas laboratorium kepada asistennya. Peralatannya dikemas dengan rapi. Kamera dokumentasi, notebook penelitian, peta-peta kuno, dan peralatan pengukur tanah. Ia juga membawa beberapa buku referensi tentang arsitektur buddhis klasik dan catatan tentang dinasti Shilendra untuk digunakan sebagai pembanding saat penelitian dimulai nanti. Penerbangan dari Bangkok menuju Yogyakarta memakan waktu beberapa jam dengan satu kali transit. Setibanya di Bandara Internasional Yogyakarta, Dr. Anurak dan dua orang asistennya langsung disambut oleh perwakilan dari universitas yang mengundangnya. Setelah beristirahat semalam di penginapan yang telah disiapkan, keesokan paginya mereka berangkat ke Magelang. Lokasi Candi Borobudur berada. Perjalanan darat menuju Magelang memakan waktu kurang dari 2 jam. Mobil yang mereka tumpangi menyusuri jalanan yang melewati sawah, perkampungan, dan perbukitan yang perlahan mengarah ke utara. Sesekali dokter Anurak mencatat hal-hal yang menarik di sepanjang perjalanan, termasuk struktur bangunan tradisional dan pola lahan yang terlihat masih alami. Begitu memasuki kawasan kompleks Candi Borobudur, suasana langsung berubah menjadi lebih aktif. Banyak pengunjung yang datang, baik wisatawan lokal maupun asing. Tim dari universitas dan pihak pengelola situs sudah menunggu di pintu masuk untuk memfasilitasi akomodasi penelitian. Mereka menyerahkan dokumen izin, peta area kerja, dan informasi teknis lainnya. Candi Borobudur menjulang di tengah kawasan yang terbuka dengan latar belakang perbukitan menoreh yang terlihat jelas. Bangunan itu terdiri dari se tingkat. Enam berbentuk bujur sangkar di bagian bawah dan tiga berbentuk lingkaran di bagian atas dengan ratusan arca Buddha dan panel relief yang memuat kisah-kisah dari ajaran Buddha Mahayana. Bagi dok. Anurak, inilah pertama kalinya ia berdiri langsung di hadapan struktur yang selama ini hanya ia lihat melalui foto dan peta arkeologi. Namun, ia tidak hanya datang untuk mengagumi. Bersama asistennya, ia mulai melakukan pengamatan awal di bagian-bagian yang sudah ditentukan dalam rencana kerja. Mereka membawa catatan kamera digital khusus untuk dokumentasi detail relief dan perangkat pemindai permukaan. Dalam beberapa jam pertama mereka memfokuskan diri di tingkat keempat dan kelima candi, tempat yang dianggap memiliki nilai simbolik dan artistik tinggi. Dr. Anurak mencermati satu persatu relief yang terukir di dinding. Ia mencatat ukuran, bentuk, arah ukiran, serta kondisi pelapukan batu. Ia juga mengamati gaya pahatan kepala arca, gestur tangan, dan atribut yang dibawa oleh tokoh-tokoh dalam relief tersebut. Ia terbiasa menganalisis pola visual untuk mengetahui pengaruh budaya, zaman pembuatan, serta tujuan keagamaannya. Hari pertama di lapangan dihabiskan untuk survei awal dan penandaan titik-titik penting untuk dianalisis lebih lanjut. Tim dokumentasi lokal membantu dengan pemetaan digital dan pengambilan foto resolusi tinggi. Drter Anurak tidak terlalu banyak berbicara. Ia lebih banyak bergerak sendiri. berpindah dari satu sisi candi ke sisi lainnya sambil terus mencatat dan memotret. Ketika matahari mulai turun, ia kembali ke tempat penginapan di sekitar kawasan candi untuk menyusun laporan harian dan mengklasifikasi data yang baru dikumpulkan. Ia tidak menunjukkan kelelahan. Matanya masih fokus menelusuri gambar-gambar relief yang telah ia potret sebelumnya. Baginya ini adalah langkah awal dari sebuah proyek besar. Sejauh ini semua berjalan sesuai rencana. Belum ada yang luar biasa. Tapi ia tahu semakin dalam sebuah candi diteliti, semakin besar kemungkinan untuk menemukan sesuatu yang belum terungkap dan ia tidak pernah menganggap sepele apun yang ada di lapangan. Beberapa hari setelah pengamatan awal, Dr. Anurak mulai menyusun rencana analisis yang lebih mendalam. Ia memutuskan untuk memfokuskan penelitian pada beberapa panel relief yang berada di tingkat keempat dan kelima. Karena area ini dianggap mewakili ajaran Buddha dalam bentuk naratif yang utuh, ia membandingkan pola-pola visual dengan relief di situs-situs lain yang pernah ia teliti di Thailand, Laos, dan Kamboja. Saat proses dokumentasi detail dilakukan, perhatian do. Anurak mulai tertuju pada beberapa panel yang tidak sesuai dengan pola umum yang ia kenal dalam seni budhist klasik. Salah satu relief menunjukkan bentuk benda menyerupai alat yang tidak ia kenali dalam simbolisme buddhis. Bentuknya menyerupai semacam perangkat dengan struktur persegi panjang yang terhubung ke lingkaran kecil. Tidak ada referensi yang sesuai dalam catatan seni budhist India ataupun Asia Tenggara yang ia miliki. Di panel lain, ia menemukan sosok manusia yang digambarkan tidak dengan atribut khas tokoh dalam ajaran Buddha, tetapi dengan pakaian yang lebih menyerupai gaya Timur Tengah atau Asia Barat. Gaya rambut, postur tubuh, dan bahkan ekspresi wajah tokoh tersebut terlihat asing dibandingkan tokoh-tokoh bodhisatva atau makhluk suci lainnya yang biasa ditemukan di candi-candi Buddha. Ia juga memperhatikan adanya simbol berbentuk bintang segi delapan di salah satu ukiran yang terletak agak tersembunyi di balik arca utama. Simbol ini tidak lazim dalam ikonografi Buddhis dan lebih sering ditemukan dalam artefak yang terkait dengan peradaban Timur Tengah kuno. Ukuran dan posisi simbol tersebut membuatnya tampak bukan sebagai ornamen dekoratif biasa, melainkan memiliki maksud tertentu. Kejanggalan tidak hanya muncul dari simbol, tetapi juga dari susunan cerita dalam relief itu sendiri. Beberapa urutan naratif terlihat tidak konsisten dengan kisah-kisah Jataka yang biasanya mendominasi relief di candi-candi Buddha. Misalnya, terdapat satu panel yang menggambarkan barisan burung dan hewan berkumpul di sekitar sosok manusia yang memegang semacam tongkat panjang. Narasi ini tidak ia temukan dalam literatur buddhis manapun yang ia ketahui, tetapi justru mengingatkannya pada kisah-kisah kepemimpinan nabi-nabi dalam tradisi Abrahamik. Dr. Anurak mendokumentasikan semua temuan itu dengan detail. Ia menandai letak panel-panel tersebut di peta digital, mencatat ukuran, arah cahaya alami yang mengenainya, dan kondisi batu. Ia juga memotret dengan berbagai sudut untuk melihat apakah ada ukiran tersembunyi yang hanya terlihat dalam cahaya tertentu. Hasil-hasil dokumentasi ini kemudian ia susun dalam kategori tidak sesuai pola tradisi Buddhis. Meskipun tidak langsung menyimpulkan apapun, catatan kejanggalan ini menjadi perhatian serius. Ia membandingkan relief-relief ini dengan referensi dari berbagai belahan dunia termasuk situs di Asia Barat Daya. Dalam beberapa hal, ia mulai melihat kemiripan walau masih terlalu awal untuk menarik kesimpulan. Yang pasti bagian-bagian relief yang ia teliti memperlihatkan bahwa Candi Borobudur mungkin tidak sesederhana seperti yang selama ini diajarkan di buku-buku sejarah. Penemuan ini mendorongnya untuk memperluas fokus. Ia mulai membuat daftar elemen-elemen yang tampak tidak konsisten, termasuk bentuk alat, simbol, pakaian, dan urutan narasi visual. Ia menyiapkan laporan awal untuk tim lokal dan akademisi Indonesia. Tetapi sebagian dari temuan itu ia simpan dalam catatan pribadinya. Bagi dr. Anurak, penelitian ini telah memasuki tahap yang tidak biasa. Bukan karena kekeliruan, tapi karena terlalu banyak elemen yang tidak cocok dengan konteks yang selama ini diyakini. Setelah mendokumentasikan kejanggalan-kejanggalan pada beberapa relief di tingkat tengah Candi Borobudur, Dr. Anurak menyadari bahwa pendekatan awal yang ia gunakan, yakni pendekatan arsitektur dan ikonografi Buddhis konvensional, tidak sepenuhnya cukup untuk menjelaskan seluruh isi struktur candi ini. Banyak detail yang tidak sesuai dengan pola umum seni dan ajaran Buddha Mahayana yang selama ini ia teliti. Alih-alih memaksakan interpretasi berdasarkan asumsi lama, ia memilih untuk menyusun ulang kerangka kerja penelitiannya. Ia mulai memperluas titik-titik observasi ke tingkat dasar dan bagian paling atas dari candi yang sebelumnya tidak ia fokuskan. Ia juga mulai melibatkan pendekatan lintas disiplin dengan membandingkan elemen-elemen visual di Borobudur dengan berbagai catatan arkeologis dari luar tradisi Buddhis. Dalam catatan lapangannya, ia menambahkan kolom baru, simbol tak terklasifikasi, dan pola nonbuddhis. Relief yang sebelumnya ia anggap sebagai ornamen dekoratif kini, ia periksa kembali dengan lebih teliti. Ia mencatat kemiripan beberapa motif dengan pola geometris yang ditemukan di wilayah timur tengah kuno. Beberapa simbol tampak menyerupai bentuk-bentuk yang sering muncul pada artefak dari peradaban Mesopotamia atau Arabia Selatan. Ia menyusun tabel perbandingan sederhana antara simbol di Borobudur dan simbol pada prasasti atau ukiran batu dari kawasan lain. Selain itu, ia juga mengamati bagaimana susunan tingkat dan orientasi bangunan ini berbeda dari candi-candi budhis lain yang pernah ia teliti. Struktur Borobudur tampak lebih kompleks dalam pengaturan ruangnya. Ada pengulangan pola tertentu yang tidak hanya berfungsi sebagai media cerita ajaran Buddha, tetapi juga seolah memuat struktur informasi lain yang belum dikenali secara pasti. Ia kemudian mengakses arsip digital yang berisi hasil survei tanah dan data pemindaian batu dari tahun-tahun sebelumnya. Dari data tersebut, ia menemukan bahwa fondasi candi memiliki beberapa lapisan tambahan yang tidak biasa, termasuk blok batu yang tampak seperti pernah dipindahkan atau disusun ulang. Hal ini memperkuat dugaan bahwa pembangunan candi tidak dilakukan dalam satu periode saja, melainkan melewati fase-fase panjang yang mungkin melibatkan lebih dari satu pengaruh budaya. Langkah selanjutnya, ia mulai mempelajari sejarah interaksi budaya di wilayah Nusantara pada masa-masa awal sebelum dan sesudah abad ke-8. Ia mengakses literatur tentang perdagangan maritim kuno dan mencatat bahwa wilayah ini pernah menjadi titik temu para pedagang dari India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Afrika Timur. Dalam konteks itu, kemungkinan masuknya pengaruh budaya nonbudhis ke dalam struktur atau simbolisme Borobudur menjadi semakin masuk akal untuk ditelusuri. Drter Anurak mulai menyusun hipotesis awal bahwa pembangunan Candi Borobudur mungkin melibatkan akulturasi budaya yang lebih luas daripada yang selama ini diajarkan. Ia tidak serta-merta menyimpulkan bahwa Borobudur bukan candi Buddhis, namun ia membuka ruang bahwa fungsi dan pengaruhnya lebih kompleks. Catatan penelitiannya mulai mengarah pada keterlibatan unsur-unsur budaya lain, bahkan mungkin pengaruh dari luar kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Dalam laporan internal yang ia buat untuk dirinya sendiri, ia mulai menyusun garis waktu alternatif pembangunan candi. Ia menuliskan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dan mulai menyusun daftar situs-situs lain di sekitarnya yang mungkin memiliki keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan Borobudur. Termasuk dalam daftar itu adalah situs Candi Ratu Boko yang terletak di wilayah Yogyakarta serta reruntuhan kecil di sekitar Magelang yang belum banyak dikaji secara akademik. Arah penelitiannya telah bergeser. Ia tidak lagi sekadar mencari bukti keagamaan dalam konteks budhis, melainkan menelusuri kemungkinan pengaruh lintas budaya dan interaksi historis yang lebih kompleks. Setiap catatan baru yang ia tulis kini tidak hanya mencerminkan analisis akademis, tetapi juga menunjukkan keterbukaan pada temuan yang bisa saja melampaui kerangka teori yang selama ini ia yakini. Beberapa hari setelah memperluas arah pencarian dan merancang ulang pendekatan penelitiannya, Dr. Anurak memfokuskan perhatiannya pada bagian-bagian relief yang sebelumnya jarang didokumentasikan secara mendetail. Ia memeriksa ulang dinding di sisi barat candi pada bagian dasar dan sisi tangga sempit yang jarang dilewati pengunjung. Di sanalah ia melihat sesuatu yang menarik perhatian. Pola geometris yang tersusun dalam bentuk bintang 8 sudut dengan garis yang membentuk susunan simetris. Ukiran tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan simbolisme buddhis yang selama ini ia pelajari. Ia mengambil foto dari berbagai sudut dan mengukurnya secara rinci. Pola tersebut tertata rapi, simetris, dan berbeda dari motif bunga teratai atau mandala yang umum dalam seni rupa buddhis. Di sisi lain dinding, ia menemukan pola serupa dalam versi yang lebih kecil terpahat dalam bentuk setengah lingkaran yang dibingkai oleh garis-garis lurus. Ia membandingkan motif ini dengan katalog simbol kuno yang ia simpan secara digital dalam perangkat penelitiannya. Hasil pencocokan awal menunjukkan kemiripan kuat dengan desain arsitektur dari kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Khususnya pada bangunan-bangunan peninggalan masa awal peradaban Islam dan praislam di wilayah Arab Selatan. Selain bentuk bintang sudut, ia juga menemukan motif berulang berupa garis melingkar yang mengelilingi titik pusat menyerupai pola roset yang biasa ditemukan pada gerbang atau jendela bangunan tua di kawasan Yaman dan Oman. Pola ini sering dikaitkan dengan simbolisme ilmu pengetahuan dan ketertiban kosmos dalam seni arsitektur Timur Tengah. Dalam beberapa sumber literatur sejarah yang pernah ia baca, pola-pola semacam ini digunakan bukan sebagai ornamen semata, tetapi sebagai representasi sistem nilai dan pengetahuan pada masa peradaban kuno dan awal Islam. Dr. Anurak mulai menyusun katalog temuan simbol ini dalam format baru. Ia menambahkan kolom yang membandingkan relief Borobudur dengan elemen visual dari situs seperti Alhijr di Arab Saudi, reruntuhan Marib di Yaman, dan bangunan kuno di wilayah Levan. Ia mencatat bahwa meskipun bahan dan teknik pembuatan berbeda, bentuk dasar dan prinsip simetri pada pola-pola ini sangat mirip. Ia juga mencatat letak posisi simbol dalam struktur bangunan. Beberapa simbol tidak diletakkan di tempat sembarangan, melainkan seolah mengarah pada titik-titik tertentu di dalam candi. Beberapa berada dekat dengan tangga naik. Yang lain terletak di balik arca-arca yang tidak banyak mendapat sorotan dalam studi sebelumnya. Letak dan penempatannya membuat dr. Anurak berpikir bahwa simbol-simbol ini mungkin memiliki fungsi lebih dari sekadar dekorasi. Bisa jadi simbol-simbol tersebut menunjukkan arah, menandai siklus waktu, atau berfungsi sebagai bagian dari sistem pengetahuan kuno. Penemuan ini membuka kemungkinan bahwa ada pengaruh atau bahkan keterlibatan langsung dari budaya lain dalam pembangunan Borobudur, khususnya budaya yang membawa warisan simbolisme geometris khas Timur Tengah. Ia mencatat bahwa pengaruh semacam itu bisa saja masuk melalui jalur perdagangan laut yang telah aktif sejak abad ke-6 dan ketujuh. Kapal-kapal pedagang dari wilayah Arab dan Afrika Timur sudah sejak lama berlayar ke Asia Tenggara dan interaksi lintas budaya mungkin lebih dalam dari sekadar pertukaran barang. Dalam laporan pribadinya, Drter Anurak mencantumkan penemuan ini sebagai temuan penting. Ia memberi kode pada simbol-simbol yang ditemukan, menyusun dokumentasi foto dan sketsa digital. serta menyertakan referensi pembanding dari situs-situs di Timur Tengah. Ia juga menyusun daftar pustaka tambahan termasuk kitab-kitab sejarah Islam awal dan manuskrip geometri dari dunia Arab klasik. Kini arah penelitian Dr. Anurak semakin jelas. Ia tidak hanya menghadapi kemungkinan adanya pengaruh budaya asing dalam struktur Borobudur, tetapi juga bukti fisik yang menunjukkan keterlibatan langsung dari simbol-simbol yang secara historis tidak berkaitan dengan ajaran Buddha. Penemuan ini mendorongnya untuk mencari lebih banyak lagi jejak yang bisa menghubungkan antara Borobudur dengan dunia luar yang selama ini jarang dikaitkan dengan situs tersebut. Setelah mencatat berbagai simbol yang tidak biasa di Borobudur, Drter Anurak mulai menyusun daftar situs lain yang mungkin memiliki keterkaitan sejarah atau visual. Ia meninjau peta wilayah dan laporan-laporan arkeologi terdahulu yang mencakup daerah sekitar Borobudur. Di antara semua situs yang muncul dalam catatannya, satu nama mendapat perhatian lebih Candi Ratu Boko. Candi Ratu Boko terletak di wilayah perbukitan yang menghadap ke arah selatan kota Yogyakarta. Tidak terlalu jauh jika ditempuh dengan perjalanan darat dari Magelang. Situs itu dikenal sebagai kompleks keraton atau istana. Dan meskipun disebut candi, struktur bangunannya berbeda dari Borobudur. Situs ini memiliki gerbang besar, benteng batu, dan bekas struktur yang tampaknya berfungsi sebagai tempat tinggal atau pusat kegiatan administratif. Dr. Anurak mengatur perjalanan bersama timnya untuk menuju ke lokasi tersebut. Ia membawa peralatan dokumentasi lengkap termasuk kamera arkeologi resolusi tinggi, perangkat pemindaian 3 deringan, serta referensi digital yang sudah ia siapkan berdasarkan temuan sebelumnya. Tim teknis lokal yang bekerja bersamanya juga dilibatkan dengan tugas khusus untuk memeriksa batuan dan struktur arsitektur yang masih tersisa di Ratu Boko. Sesampainya di lokasi, mereka melakukan survei awal terhadap keseluruhan situs. Dokter Anurak tidak hanya tertarik pada bangunan utama, tetapi juga pada area-area di luar struktur pusat, termasuk sumur kuno, kolam, dan sisa-sisa tembok yang sebagian tertimbun tanah dan semak. Fokus penelitiannya adalah mencari elemen-elemen visual atau simbolik yang mirip dengan temuan di Borobudur. Di bagian utara kompleks, ia menemukan blok-blok batu yang tidak membentuk struktur utuh lagi. Namun, masih memiliki ukiran tipis yang sebagian besar sudah terkikis waktu. Dalam salah satu potongan batu, ia melihat adanya pola lingkaran ganda yang dikelilingi segitiga kecil. Bentuk yang jarang ditemukan dalam arsitektur Hindu maupun Buddhis di Nusantara. Ia mencatat letaknya dan mencocokkannya dengan gambar yang tersimpan di katalog digitalnya. Pola ini memiliki kemiripan dengan motif-motif kuno dari wilayah Arab Selatan, khususnya yang terkait dengan simbol-simbol kerajaan Saba. Selain ukiran, tata letak Ratu Boko juga mencuri perhatiannya. Situs ini tampak dibangun dengan pertimbangan posisi geografis dan garis pandang yang luas. Dari salah satu titik tertingginya, pengunjung dapat melihat garis cakrawala yang sangat luas ke arah barat dan selatan. Dr. Anurak menganggap ini sebagai indikasi bahwa tempat ini bukan hanya berfungsi sebagai istana atau benteng, tetapi juga mungkin memiliki nilai astronomis atau simbolik yang penting. Ia mencatat arah gerbang utama dan kemungkinan orientasi bangunan terhadap posisi matahari pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Beberapa bagian situs seperti struktur gerbang utama dan area pemujaan tampak memiliki lapisan pembangunan yang berbeda. Beberapa batu terlihat lebih tua dari yang lain. Ini menandakan bahwa situs ini telah digunakan selama beberapa periode dan mengalami pembaruan berkali-kali. Ia mencatat bahwa keberadaan banyak reruntuhan yang tidak disusun ulang dengan baik dapat mengindikasikan adanya pergeseran fungsi tempat ini dari satu masa ke masa lain. Dr. Anurak mulai menyusun peta perbandingan antara Borobudur dan Ratu Boko. Ia tidak mencari kesamaan bentuk, tetapi keterkaitan struktur dan pola pembangunan, catatan visual, posisi simbol, jenis batuan, dan arah bangunan menjadi bahan utamanya. Dalam laporan awal yang ia susun, ia menggaris bawahi kemungkinan bahwa Ratu Boko bukan sekadar pelengkap Borobudur dalam konteks sejarah Jawa kuno, tetapi mungkin merupakan bagian dari jaringan situs yang memiliki hubungan tematik atau fungsional yang lebih luas. Berdasarkan laporan arkeologi lama yang ia temukan di perpustakaan digital lokal, terdapat catatan bahwa Ratu Boko pernah disebut-sebut sebagai pusat kekuasaan seorang tokoh perempuan yang tidak sepenuhnya dijelaskan dalam naskah-naskah lokal. Hal ini menambah minatnya karena ia teringat akan referensi mengenai Ratu Bilkis dari kerajaan Saba yang dalam beberapa tradisi disebut sebagai pemimpin besar dengan peran penting dalam sejarah Nabi Sulaiman. Dr. Anurak belum menyimpulkan apapun. Namun pengamatan dan pencatatan yang ia lakukan di Ratu Boko membuatnya semakin yakin bahwa ia harus melihat situs-situs ini tidak secara terpisah, melainkan sebagai bagian dari jaringan sejarah dan budaya yang lebih besar. Temuan di Ratu Boko menjadi bagian penting dari arah baru penelitiannya yang kini semakin keluar dari batasan studi Buddhisme semata. Setelah beberapa hari melakukan pencatatan intensif di situs Candi Ratu Boko, Dter Anurak mulai menyusun ulang data yang ia temukan untuk dikaji lebih dalam. Di antara pola ukiran dan sisa bangunan yang telah dianalisis, ia melihat kecenderungan arsitektur yang tidak konsisten dengan gaya candi Hindu atau Buddha yang umum di Nusantara. Beberapa bentuk struktur terutama di bagian gerbang, saluran air, dan bangunan bertingkat menunjukkan desain yang memiliki kesamaan dengan konstruksi istana kuno dari luar Asia Tenggara. Ia meneliti kembali bentuk gerbang besar yang menjadi pintu masuk utama ke situs. Gerbang itu memiliki struktur bertingkat dengan ruang tengah terbuka dan tangga yang mengarah ke arah timur laut. Pola penyusunan batu-batunya lebih menyerupai struktur istana atau kompleks pemerintahan ketimbang candi peribadatan. Di sekitar gerbang terdapat beberapa pahatan batu berukuran kecil yang tampak seperti simbol kerajaan. Satu di antaranya menyerupai gambar seekor burung dengan ekor menyebar. Mirip dengan lambang-lambang yang pernah ia lihat dalam catatan arkeologi tentang kerajaan Sabah di Yaman. Ia mencatat bahwa dalam sejarah kuno, Kerajaan Sabah dipimpin oleh seorang ratu yang dikenal dalam berbagai tradisi sebagai Ratu Bilkis. Nama ini sering muncul dalam teks Arab klasik dan juga disebutkan dalam kitab suci Islam sebagai seorang penguasa wanita yang memiliki istana megah dan kecerdasan luar biasa. Dalam banyak referensi sejarah, istana Ratu Bilkis disebut dikelilingi oleh kolam air dan taman yang tertata rapi serta dihiasi oleh struktur berornamen geometris dan simbolik yang melambangkan kekuasaan dan keagungan. Yang menarik perhatian dokter Anurak adalah keberadaan sisa kolam berbentuk persegi panjang di situs Ratu Boko. Kolam ini terletak di dataran yang lebih rendah dan memiliki jalur air yang dirancang dengan kemiringan tertentu. Menunjukkan adanya sistem drainase yang canggih pada masanya. Di pinggir kolam, ia menemukan fragmen batu yang memiliki pola ukiran seperti sulur tanaman dan matahari dengan garis-garis memancar. Motif yang secara khas tidak ditemukan dalam ornamen Hindu atau Buddhis di Indonesia. Ia juga menemukan beberapa tumpukan batu berbentuk silinder pendek yang kemungkinan dulunya berfungsi sebagai pilar atau penyangga atap. Pada bagian atas batu tersebut terdapat ukiran berbentuk lingkaran konsentris dengan hiasan menyerupai mahkota. Mahkota itu tidak berbentuk seperti hiasan kepala khas raja-raja Jawa, tetapi lebih menyerupai gambaran hiasan kepala perempuan bangsawan dari Timur Tengah kuno yang sering dikenakan oleh tokoh-tokoh perempuan penting dalam sejarah. Dr. Anurak menelusuri catatan kuno yang tersimpan dalam arsip digital lembaga arkeologi yang sebelumnya meneliti situs ini. Dalam salah satu laporan dari awal abad ke-20, seorang peneliti Belanda sempat menyebut tentang keberadaan struktur yang tidak biasa dan menyebutkan kemungkinan bahwa tempat ini bukan hanya milik penguasa lokal, melainkan pernah digunakan oleh pihak luar yang membawa pengaruh budaya asing. Catatan itu tidak ditindaklanjuti pada zamannya karena dianggap tidak relevan dengan kerangka sejarah dominan pada masa kolonial. Setelah memetakan ulang lokasi-lokasi penting di Ratu Boko dan membandingkannya dengan istana-istana kuno di Timur Tengah, Dr. Anurak mencatat adanya kemiripan dalam susunan ruang dan orientasi bangunan. Ia mencurigai bahwa Ratu Boko mungkin tidak dibangun oleh kerajaan lokal saja, tetapi bisa jadi pernah digunakan atau bahkan dibangun oleh tokoh atau kelompok yang memiliki hubungan dengan budaya dari luar wilayah Nusantara termasuk kawasan Arab Selatan. Penemuan ini semakin memperkuat dugaan bahwa situs Ratu Boko memiliki keterkaitan dengan kisah Ratu Bilkis sebagaimana disebut dalam literatur klasik dan dalam Al-Quran. Meskipun belum ada bukti langsung berupa tulisan atau artefak bertuliskan nama, namun pola arsitektur, simbol, dan struktur ruang di situs itu mengarah pada kemungkinan adanya hubungan historis dengan penguasa perempuan dari wilayah jauh. Dr. Anurak merasa perlu melanjutkan penelitian ke tahap berikutnya. Ia menyusun laporan sementara dan mengatur rencana untuk menggali catatan sejarah Arab Selatan serta sumber-sumber Islam awal. Ia ingin mencocokkan lebih banyak data dan mencari kemungkinan adanya peran Ratu Bilkis dalam sejarah awal kawasan ini. Baginya, jejak yang tersisa di Ratu Boko bukan sekadar peninggalan lokal, tetapi mungkin merupakan potongan dari sejarah yang lebih besar dan belum sepenuhnya diungkap. Setelah menyusun catatan hasil penelitiannya di Candi Borobudur dan Ratu Boko, Drter Anurak memutuskan untuk menelaah lebih dalam kisah-kisah sejarah yang mungkin berkaitan dengan apa yang ia temukan. Ia mulai membuka jalur penelitian baru, yaitu melalui kitab-kitab suci dan literatur agama yang menyimpan banyak catatan sejarah kuno. Salah satu sumber yang ia anggap penting untuk ditelusuri adalah Al-Qur'an. Untuk mempermudah pemahaman, ia memilih versi terjemahan berbahasa Inggris dan Thailand yang tersedia secara digital. Ia tidak memulai dari halaman pertama, tetapi langsung menuju ke bagian yang disebut-sebut memuat kisah Ratu Bilqis dan Nabi Sulaiman, yaitu surat Annamel. Ia membuka surat itu dan mulai membaca dengan saksama, halaman demi halaman, ayat demi ayat. Dalam surat tersebut, ia menemukan kisah tentang Nabi Sulaiman yang memiliki kekuasaan luas, kemampuan berbicara dengan binatang, dan memimpin pasukan yang terdiri dari manusia, jin, dan burung. Yang menarik perhatian Dr. Anurak adalah bagian yang menceritakan tentang seekor burung hut-hut yang melaporkan keberadaan sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang ratu. Kerajaan itu disebut berada di tempat yang jauh dan memiliki istana yang megah dengan singgahsana besar dan sistem pemerintahan yang maju. Lebih lanjut dalam surat tersebut tertulis bahwa ratu itu menyembah matahari bukan Tuhan yang esa. Nabi Sulaiman kemudian mengirim surat kepadanya dan mengundangnya untuk meninggalkan penyembahan terhadap matahari dan mengikuti ajaran tauhid. Surat itu juga menyebutkan bahwa sang ratu akhirnya datang ke istana Nabi Sulaiman, mengamati keajaiban arsitektur di sana dan kemudian menyatakan keimanannya kepada Tuhan. Drter Anurak merasa keterangan yang tertulis di dalam surat itu memiliki keterkaitan yang kuat dengan beberapa elemen arsitektur dan simbolik yang ia temukan di Ratu Boko dan Borobudur. Ia mencatat bahwa kisah tentang singgahsana besar dan istana megah yang disebut dalam Al-Quran sangat relevan dengan tata letak serta sisa-sisa struktur bangunan yang ia pelajari di lapangan. kolam air, gerbang bertingkat, dan bangunan yang diduga sebagai ruang pemujaan semuanya seolah menjadi bagian dari gambaran yang dituliskan dalam kitab tersebut. Yang membuatnya semakin tertarik adalah kesesuaian antara narasi sejarah dalam surat itu dengan relief serta ukiran yang tidak lazim ditemukan dalam tradisi Buddha. Ia mulai membuat tabel perbandingan antara isi surat Annamel dan temuan lapangannya. Ia mencatat bagian-bagian yang selaras seperti keberadaan tokoh perempuan yang memerintah, adanya sistem pemerintahan yang kuat, serta unsur arsitektur yang menyerupai istana ketimbang candi keagamaan. Selain surat Annam, ia juga mulai menelusuri surat-surat lain yang mungkin berkaitan dengan sejarah para nabi dan kerajaan-kerajaan kuno. Namun, fokus utamanya tetap pada kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis. Ia menyimpan catatan digital berupa kutipan ayat dan mencocokkannya dengan foto-foto hasil dokumentasi di lapangan. Meskipun awalnya ia mendekati teks suci itu dari sudut pandang sejarah dan arkeologi, lambat laun ia mulai melihat bahwa isinya tidak hanya menyimpan kisah, tapi juga menyajikan pola penjelasan yang runtut dan sistematis. Ia merasa bahwa kitab ini menyampaikan informasi dengan pendekatan yang berbeda dari literatur sejarah pada umumnya. Ia menemukan konsistensi antara apa yang tertulis dan apa yang bisa diamati di lapangan, baik dalam hal struktur sosial, tata kota, maupun simbol-simbol kekuasaan. Setiap malam setelah menyusun data lapangan, ia meluangkan waktu untuk membaca terjemahan Alquran. Ia menandai ayat-ayat tertentu dan membuat ringkasan sendiri untuk dikaitkan dengan hipotesisnya. Dalam proses itu, rasa penasarannya semakin kuat. Ia tidak lagi melihat Al-Qur'an hanya sebagai teks agama, tetapi juga sebagai sumber informasi sejarah yang mampu membuka perspektif baru atas situs-situs yang selama ini ia anggap sebagai peninggalan peradaban Buddhis. Ia mulai menyadari bahwa untuk memahami sepenuhnya apa yang ia temukan di Borobudur dan Ratu Boko, ia harus membuka diri terhadap interpretasi lintas budaya dan lintas keyakinan. Surat Annamel menjadi titik balik dalam proses berpikirnya. Setelah menyusun data lapangan dan mencocokkannya dengan kutipan dari Al-Qur'an, Dr. Anurak merasa perlu untuk menguji pemikirannya dengan pendapat lain. Ia mulai menyusun laporan awal berupa draf hipotesis lengkap dengan foto, dena struktur, tabel perbandingan, dan kutipan ayat. Dalam draf tersebut, ia menyampaikan kemungkinan bahwa sebagian struktur di Candi Borobudur dan Ratu Boko tidak sepenuhnya mewakili gaya arsitektur Buddha, melainkan memiliki kesamaan dengan tradisi arsitektur kuno dari Timur Tengah. Dalam lingkungan akademis, ia terbiasa menguji gagasan melalui diskusi terbuka. Karena itu, ia mengajak beberapa kolega sesama arkeolog untuk meninjau hasil pengamatannya. Pertemuan dilakukan di ruang kerja sementara yang disediakan oleh Universitas Mitra di Indonesia. Di ruangan yang dipenuhi peta, cetakan relief, dan layar laptop terbuka, ia memaparkan hasil penelitiannya secara sistematis. Ia menjelaskan mengenai pola-pola simbolik yang ditemukan, kesamaan struktur ruang dengan istana kuno di Arab Selatan, dan referensi dari surat Annaml yang menjadi titik acuannya. Namun, tanggapan yang muncul tidak seperti yang ia harapkan. Beberapa rekan langsung menolak gagasan bahwa Candi Borobudur berkaitan dengan Nabi Sulaiman. Mereka menganggap pendekatan itu terlalu spekulatif dan keluar dari jalur arkeologi konvensional. Sebagian besar dari mereka tetap berpandangan bahwa Borobudur dibangun sebagai simbol peribadatan Buddha oleh Dinasti Shilendra berdasarkan kronologi sejarah yang telah lama diterima dalam komunitas ilmiah. Ada juga yang berpendapat bahwa mencampurkan teks-teks keagamaan dengan kajian arsitektur bisa memicu konflik interpretasi. Salah satu kolega senior bahkan memberi catatan bahwa teori semacam itu berisiko mengaburkan bukti konkret yang selama ini dikumpulkan oleh generasi arkeolog sebelumnya. Mereka menganggap pendekatan dokter Anurak terlalu berani dan terlalu banyak bergantung pada penafsiran teks. Meskipun kritik disampaikan secara ilmiah, Drter Anurak merasa kecewa. Ia tidak mengharapkan penerimaan penuh, tetapi penolakan yang langsung dan tegas membuatnya merasa terasing dalam tim. Beberapa kolega mulai menjaga jarak, sementara sebagian lainnya hanya menanggapi datar tanpa minat mendalam. Ia menyadari bahwa pandangannya mulai dianggap menyimpang dari garis riset utama kelompok. Kondisi ini membuatnya merenung. Ia tidak berniat mengganti keyakinan atau menyudutkan keyakinan orang lain. Tujuannya murni akademis. Ingin memahami dengan lebih jujur apa yang sebenarnya ia temukan. Namun reaksi tersebut justru menguatkan tekadnya untuk menelusuri lebih dalam secara mandiri. Ia mulai mengurangi partisipasi dalam diskusi kelompok dan lebih sering bekerja sendiri di malam hari. Memeriksa ulang setiap bukti yang ia kumpulkan. Ia menyadari bahwa ada risiko besar jika ia melanjutkan jalur penelitiannya sendiri. Nama baiknya sebagai akademisi bisa dipertaruhkan. Namun, ia juga merasa tidak bisa mengabaikan fakta-fakta yang ia temukan. Data yang terkumpul baik dari relief, bentuk arsitektur, maupun referensi kitab terlalu konsisten untuk dianggap kebetulan. Dalam beberapa hari ke depan, ia memilih untuk menutup sementara laporan awalnya dari publik. Ia tahu belum waktunya untuk menyampaikan semuanya secara terbuka. Ia butuh lebih banyak bukti, data pendukung, dan pengujian silang agar tidak dituduh menyebarkan spekulasi liar. Sementara itu, ia terus mencatat, menelusuri dokumen sejarah kuno, dan membuat rencana eksplorasi tambahan ke lokasi-lokasi lain yang mungkin berkaitan dengan jejak peninggalan dari zaman Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis. Setelah mendapatkan penolakan dari beberapa kolega, Drter Anurak memilih fokus bekerja sendiri. Ia mengatur ulang seluruh dokumen, foto, dan catatan dari penelitian lapangan. Di sisi lain, ia juga mulai membuat indeks tematik dari Al-Qur'an terjemahan untuk mencocokkan bagian-bagian tertentu dengan temuan arkeologis yang ia dokumentasikan. Metode kerjanya berubah. Ia tidak lagi hanya mengamati relief dan struktur fisik, tetapi mulai mengaitkannya langsung dengan ayat-ayat yang ia anggap relevan secara historis dan deskriptif. Setiap pagi ia membaca beberapa ayat. Setelah itu ia membandingkannya dengan citra digital dari struktur bangunan, ukiran simbolik, dan sisa reruntuhan. Beberapa ayat yang menguraikan tentang bangunan istana, sistem irigasi, tata letak kursi kerajaan, hingga penguasaan atas logam menjadi fokus utamanya. Ia membuat garis-garis analisis di atas cetak biru situs candi dan menambahkan keterangan dalam bentuk anotasi. Ia menemukan kecocokan pola antara deskripsi singgasana Ratu Bilkis dan struktur pelataran utama di Ratu Boko. Ia juga menemukan struktur kolam-kolam batu dengan jalur air yang menyerupai saluran irigasi tertutup. Sebagaimana disebut dalam kisah pertemuan antara Ratu Bilqis dan Nabi Sulaiman. Hal ini semakin menguatkan pendapatnya bahwa struktur tersebut dibangun bukan semata sebagai tempat peribadatan Buddha, melainkan sebagai kompleks istana dengan fungsi strategis. Selain itu, ia mengamati kembali simbol-simbol geometris di dinding Borobudur. Sebelumnya, simbol-simbol itu diasumsikan sebagai ornamen khas Buddhisme Mahayana. Namun, kini ia memeriksanya dari sudut pandang berbeda. Ia mencatat bahwa sebagian besar motif terdiri dari pola bintang, delan sisi, serta bentuk yang menyerupai huruf atau angka yang tidak umum dalam relief Candi Buddha. Ia mencocokkan motif tersebut dengan referensi simbolik dari artefak peradaban kuno di Timur Tengah, termasuk yang berakar dari kawasan Yaman dan Hijaz. Salah satu penemuan pentingnya adalah pola geometris delan arah yang tidak selaras dengan konsep mandala buddhis. Pola tersebut justru sejajar dengan model arah kiblat yang digunakan di beberapa masjid kuno. Bahkan sebelum teknologi modern digunakan untuk menentukan arah salat. Ia mencurigai bahwa orientasi struktur Borobudur tidak ditujukan ke Gunung Merapi atau konsep kosmis budhis sebagaimana teori sebelumnya, melainkan mengarah ke satu titik yang sama dengan koordinat arah kiblat dari wilayah itu. Dalam jurnal kerjanya, Drter Anurak menuliskan bahwa semakin ia mendalami hubungan antara ayat dan bukti fisik, semakin banyak kecocokan yang tidak bisa ia anggap kebetulan. Dari orientasi bangunan, jenis ukiran, sisa-sisa struktur kolam, hingga konteks simbolik. semuanya mengarah pada kisah yang diceritakan dalam Al-Qur'an. Setiap hari ia mencatat temuan baru, menyusun ulang laporan sebelumnya, dan mulai menyiapkan peta koneksi antara situs candi, referensi Alquran, serta lokasi-lokasi di Timur Tengah yang memiliki kemiripan struktural. Kumpulan data ini membuatnya yakin bahwa hipotesisnya memiliki dasar yang lebih kuat. Ia tidak lagi ragu seperti sebelumnya. Keyakinannya bertambah bukan karena keinginan untuk membuktikan teori baru, tetapi karena data yang ia temukan tidak bisa dijelaskan sepenuhnya dengan pendekatan Buddhisme klasik. Ia menyadari bahwa bangunan sebesar dan serumit Borobudur mungkin punya akar sejarah yang jauh lebih dalam daripada catatan resmi yang selama ini dikenal di kalangan akademisi. Keyakinannya ini tidak ia sebarkan ke banyak orang. Ia memilih untuk terus mengembangkan kajian ini secara pribadi dan hati-hati. Baginya, setiap kecocokan antara struktur fisik dengan isi ayat menambah alasan untuk menggali lebih dalam. Bukan hanya dari sisi arkeologi, tapi juga dari sisi teks dan sejarah keagamaan yang belum pernah ia sentuh sebelumnya. Setelah berminggu-minggu meneliti dan mencocokkan data di lapangan dengan isi Al-Qur'an, Dr. Anurak menyadari bahwa ia mulai memasuki wilayah yang bukan hanya berkaitan dengan arkeologi, tetapi juga dengan kajian keagamaan. Pengetahuan yang ia miliki mengenai sejarah Islam masih terbatas dan ia merasa perlu untuk mendapatkan pemahaman dari orang yang benar-benar menguasainya. Untuk itu, ia memutuskan mencari seorang ahli agama yang bisa membantunya memahami kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis dari sudut pandang Islam. Melalui informasi dari staf universitas setempat, ia mendapatkan rekomendasi untuk bertemu dengan seorang ulama yang dikenal karena keahliannya dalam tafsir Alquran dan sejarah Islam klasik. Ulama ini tinggal tidak jauh dari lokasi penelitian di sebuah pesantren sederhana di daerah pedesaan. Dokter Anurak mengatur waktunya dan berkunjung ke tempat itu di akhir pekan. Lingkungan pesantren tersebut sangat berbeda dari tempat ia biasanya bekerja. Suasananya tenang dan lebih bersifat komunitas. Tidak ada peralatan laboratorium, tidak ada laptop terbuka, hanya tumpukan kitab, catatan tangan, dan lembaran-lembaran referensi yang tersimpan rapi. Di sana ia diperlihatkan cara lain dalam membaca teks, yaitu dengan memahami konteks sejarah dan makna tersirat dalam setiap ayat. Sang ulama mulai menjelaskan secara sistematis tentang kisah Nabi Sulaiman berdasarkan Alquran terutama dari surat Annam. Ia menguraikan bagaimana Nabi Sulaiman diberi kekuasaan atas berbagai makhluk termasuk jin dan hewan serta bagaimana ia memerintah dengan kebijaksanaan dan keadilan. Kisah pertemuannya dengan Ratu Bilkis dijelaskan tidak sekadar sebagai cerita naratif, melainkan juga sebagai pelajaran tentang kepemimpinan, kekuasaan, serta pengakuan terhadap kebenaran dan tauhid. Penjelasan itu membuka cakrawala baru bagi dr. an. Ia mulai melihat kaitan antara kekuasaan Nabi Sulaiman dengan kemegahan struktur bangunan yang ia teliti. Penjelasan mengenai Istana Ratu Bilkis yang lantainya terbuat dari kaca juga mengingatkannya pada struktur mirip lantai kaca atau kolam batu berpola persegi yang ia temukan di Candi Ratu Boko. Selain membahas kisah tersebut, sang ulama juga menunjukkan bahwa Islam tidak memisahkan antara sejarah spiritual dan sejarah fisik. Dalam tradisi Islam, peninggalan peradaban terdahulu dianggap sebagai tanda dan pelajaran. Oleh karena itu, apa yang ditemukan oleh dr. Anurak di lapangan bisa jadi merupakan bagian dari jejak sejarah yang disebut dalam kitab suci. Dr. Anurak menyimak semua penjelasan itu dengan penuh perhatian. Meskipun ia belum membuat kesimpulan akhir, ia mulai menyusun ulang pendekatan penelitiannya. Ia merasa bahwa informasi dari ulama ini mengisi celah yang tidak bisa ia dapatkan hanya dari kajian akademis atau pembacaan teks terjemahan, pemahaman tentang konteks ayat, penggunaan bahasa Arab klasik, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya memberi warna baru bagi proyek penelitiannya. Setelah pertemuan itu, Dr. Anurak mencatat ulang poin-poin penting yang ia dapatkan. Ia mulai membuat kategori baru dalam dokumentasi penelitiannya, yaitu referensi tafsir dan konteks sejarah Islam. Hal ini menjadi bab tersendiri dalam laporan yang sedang ia susun sebagai bentuk integrasi antara ilmu arkeologi dan studi keagamaan. Pertemuan dengan ulama ini menjadi titik balik yang penting. Ia tidak hanya memperoleh pemahaman baru tentang ayat-ayat yang ia pelajari, tetapi juga menyadari bahwa apa yang ia teliti bukan sekadar peninggalan budaya, melainkan bagian dari narasi sejarah yang lebih besar. Narasi yang menyatukan lokasi geografis, struktur bangunan, dan kitab suci dalam satu kesatuan yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan. Sepulang dari pertemuannya dengan sang ulama, dr. Anurak tidak langsung kembali ke lokasi penelitian. Ia memutuskan untuk tinggal sementara di penginapan sederhana jauh dari pusat kota dan dari keramaian timnya. Ia membawa seluruh catatan, salinan ayat-ayat Alquran yang telah ia cetak, serta beberapa referensi tambahan yang ia peroleh dari pesantren. Hari-harinya diisi dengan membaca ulang semua data dan mencocokkannya satu persatu. Selama ini seluruh hidupnya berputar di sekitar dunia akademik, disiplin metodologi ilmiah, dan keyakinan buddhisme yang ia anut sejak kecil. Ia tidak pernah menyangka bahwa suatu proyek arkeologi bisa membawanya ke titik di mana ia harus mengkaji ulang pandangannya tentang kebenaran. Bukan karena ia ingin membuktikan suatu agama tertentu, tetapi karena bukti-bukti yang ia temukan terus mengarah ke satu jalur yang sama. Semua data yang ia kumpulkan selama puluhan tahun di berbagai negara, termasuk di situs Borobudur dan Ratu Boko tidak memberikan penjelasan yang lebih logis lain yang ditawarkan oleh sudut pandang Islam. Ia mulai menganalisis ulang riwayat hidupnya sendiri. Ia teringat bagaimana ia dididik untuk selalu berpikir terbuka dan objektif. Tapi dalam praktiknya, ia selama ini cenderung menutup diri dari hal-hal yang dianggap berada di luar tradisi yang ia pahami. Dalam keheningan malam di penginapannya, ia menyusun kronologi perjalanan spiritualnya sendiri dari seorang peneliti budaya Buddha yang konservatif hingga menjadi sosok yang perlahan terbuka terhadap tafsir kitab suci yang dulu tidak pernah ia baca secara serius. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan bukan lagi tentang bentuk struktur bangunan atau usia relief, tetapi tentang arah hidup, nilai-nilai yang ia yakini, dan makna dari semua pengalaman yang ia alami selama berada di Indonesia. Ia mulai merasa bahwa seluruh proses penelitian ini bukan sekadar pekerjaan lapangan. Ia merasa bahwa ia sedang dibawa ke arah pemahaman yang lebih dalam tentang sesuatu yang lebih besar dari sekadar ilmu. Ia menyendiri lebih lama dari biasanya. Tidak ada catatan lapangan yang ia buat selama beberapa hari. Komputer jinjingnya tetap tertutup. Buku-buku referensi pun tidak lagi dibuka untuk mencari pembenaran akademik. Sebaliknya, ia membaca ulang terjemahan Alquran dan mencatat hal-hal yang menyentuh akalnya. Ia tidak mencari pembuktian, melainkan pemahaman. Dalam momen itu, ia mengingat ajaran yang pernah ia pelajari tentang pentingnya kejujuran intelektual. Ia menyadari bahwa jika ia ingin tetap setia pada prinsip itu, maka ia tidak bisa lagi mengabaikan kebenaran yang perlahan mulai ia pahami. Semua bukti yang ia kumpulkan bukan hanya menyokong satu sudut pandang baru, tapi juga membuka dimensi spiritual yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ia tidak berbagi pemikiran ini kepada siapun. Bahkan timnya pun tidak tahu bahwa dalam diam ia sedang mengalami pergeseran besar dalam cara pandangnya terhadap dunia dan hidup. Ia hanya mencatat semua proses itu dalam jurnal pribadinya yang kali ini bukan berisi hasil penelitian ilmiah, tapi catatan refleksi tentang pergolakan keyakinan. Perjalanan batin ini tidak singkat. Ia tidak serta-merta mengambil keputusan. Namun perlahan ia mulai menyadari bahwa semua hal yang ia temui mulai dari simbol, struktur hingga ayat bukanlah kebetulan belaka. Semakin ia membuka pikirannya, semakin jelas arah perubahan yang ia alami. Dokter Anurak duduk sendirian di ruang kecil yang ia sewa di dekat lokasi penelitiannya. Di meja kayu yang sudah tampak tua terbentang catatan pribadinya, lembar-lembar terjemahan Al-Qur'an, dan salinan hasil penelitiannya di Candi Borobudur dan Ratu Boko. Ia telah menulis lusinan halaman tentang struktur bangunan, pola geometris, kesamaan simbolik, serta catatan tentang hubungan historis yang ia simpulkan dari lapangan dan referensi keagamaan. Namun selama beberapa hari terakhir, ia tidak menambahkan satu kalimat pun dalam laporan ilmiahnya. Di luar jadwal penelitiannya bersama tim, ia semakin banyak menghabiskan waktu untuk membaca. Ia tidak lagi membaca sebagai seorang peneliti, melainkan sebagai seseorang yang sedang mencari kepastian akan kebenaran yang ia rasakan, bukan hanya yang bisa ia ukur. Buku-buku tafsir, sejarah peradaban Timur Tengah, dan penjelasan tentang kehidupan Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis mulai memenuhi rak kecil yang ia susun dari kota-kota kardus. Ia telah menyalin banyak ayat Al-Quran ke dalam buku catatannya, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan kebijaksanaan, kekuasaan, dan tanda-tanda kebesaran Tuhan. Beberapa hari sebelum pengambilan keputusan, ia menghabiskan waktu dengan merenung. Ia telah mempertimbangkan semua aspek dari warisan kepercayaan keluarganya di Thailand, perjalanan akademiknya hingga pengalaman spiritual yang dialaminya sejak datang ke Indonesia. Tidak ada tekanan dari siapun. tidak ada desakan. Semua proses ini terjadi secara pribadi dalam kesadaran penuh bahwa pilihannya akan membawa konsekuensi besar dalam hidupnya. Ia telah berpikir panjang tentang bagaimana ia akan menjalani hidupnya setelah ini. Ia tahu keputusannya tidak populer di kalangan ilmuwan dan mungkin tidak dapat dipahami oleh sebagian rekan-rekannya di Thailand. Namun, ia tidak mencari pembenaran dari luar. Ia hanya mencari konsistensi antara hati dan pikirannya. Dan ia menyadari bahwa keputusan itu bukan sekadar pergeseran keyakinan, tetapi juga awal dari baba kehidupan yang baru. Pada hari itu, ia pergi ke masjid kecil yang lokasinya tidak jauh dari tempat ia tinggal. Ia datang tidak membawa kamera, tidak membawa alat tulis, dan tidak membawa tim. Ia datang sebagai seorang individu yang telah menyelesaikan proses pencarian panjang. Di masjid itu, ia diterima oleh beberapa orang yang mengenalnya hanya sebagai peneliti asing. Tidak banyak yang tahu bahwa ia akan mengambil keputusan penting tanpa sorotan publik, tanpa liputan media, dan tanpa upacara besar, Dr. Anurak mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan saksi yang cukup. Ia tidak menangis. Ia juga tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Ia hanya berdiri tegak, menyelesaikan prosesi itu dengan tenang. Setelahnya ia duduk kembali, menunduk dan diam cukup lama. Di dalam benaknya, ia menyusun kembali gambaran hidupnya dari awal, tidak untuk disesali, melainkan untuk dipahami. Hari itu menjadi titik akhir dari pencariannya dan sekaligus menjadi titik awal dari kehidupan barunya. Ia tidak meninggalkan keilmuannya tetap seorang arkeolog. Namun sekarang ia membawa nilai-nilai yang berbeda dalam cara ia memandang peninggalan sejarah. Ia tidak lagi melihat candi dan simbol sebagai benda mati, melainkan sebagai jejak pesan yang lebih luas. Pesan yang telah menuntunnya sampai kepada keyakinan barunya. Beberapa minggu setelah keputusannya menjadi seorang muslim, Dr. Anurak mulai mengatur ulang seluruh alur hidupnya. Ia tidak kembali ke Thailand dengan segera. Ia memilih untuk menetap sementara di Indonesia agar dapat menyelesaikan penelitian yang masih tertunda sekaligus memperdalam pemahaman terhadap agama barunya. Setiap pagi ia bangun lebih awal. Tidak lagi hanya untuk bersiap ke lokasi penggalian atau dokumentasi, tetapi juga untuk melaksanakan rutinitas ibadah yang kini menjadi bagian penting dalam kesehariannya. Agenda penelitiannya mengalami perubahan arah. Jika sebelumnya ia berfokus pada pelestarian dan interpretasi budaya Buddha di Asia Tenggara, kini ia membuka ruang baru dalam kerangka analisis sejarah. Ia mulai menyusun teori lintas budaya yang menghubungkan peradaban kuno dengan narasi-narasi dalam kitab suci. Ia menyadari bahwa tugasnya sebagai peneliti bukan sekadar menjaga artefak dari kerusakan, tapi juga membantu masyarakat memahami konteks sejarah yang lebih luas dari benda-benda yang selama ini hanya dilihat sebagai peninggalan masa lalu. Tim risetnya melihat adanya perubahan dalam cara kerja dan cara berpikirnya. Ia menjadi lebih teliti dalam mengkaji simbol-simbol dan lebih berhati-hati dalam menarik kesimpulan. Ia menyusun ulang kerangka penelitian Borobudur dengan memasukkan hipotesis yang sebelumnya dianggap tabu di kalangan akademik. Ia tahu bahwa tidak semua kolega akan menyambut baik pendekatannya, tapi ia tidak lagi menunggu persetujuan sebelum melangkah. Selama beberapa bulan berikutnya, ia mulai mengumpulkan data tambahan dari berbagai sumber. Tidak hanya dari situs-situs fisik, tetapi juga dari manuskrip, naskah tua, dan hasil penelitian arkeolog lain yang jarang dibaca. Ia juga membangun koneksi dengan sejarawan dan ahli tafsir dari berbagai negara untuk menguji ulang teori-teorinya. Dalam setiap temuannya, ia mencatat kemungkinan adanya pengaruh Timur Tengah yang masuk jauh sebelum masa yang umum diajarkan dalam buku sejarah modern. Selain penelitian, ia mulai aktif menulis. Ia menyusun buku baru yang menggabungkan pendekatan arkeologi dengan perspektif Islam. Buku itu bukan ditulis untuk menggantikan buku akademik lama, tetapi untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang asal-usul peradaban dan nilai spiritual yang terkandung dalam artefak sejarah. Ia menolak menjadikan keputusannya sebagai alat propaganda. Bagi dia, misinya bukan mengajak orang berpindah keyakinan, tapi memperlihatkan bagaimana pencarian jujur terhadap fakta bisa membuka jalan menuju pemahaman yang lebih mendalam. Ia juga mulai menerima undangan untuk berbicara di universitas-universitas baik di dalam negeri maupun luar negeri. Ia menyampaikan temuannya dengan lugas berdasarkan data, dan tanpa memaksakan pandangan. Ia menyadari bahwa keilmuan dan keimanan bisa berjalan beriringan tanpa harus meniadakan satu sama lain. Banyak yang tertarik dengan pendekatannya yang tidak biasa, terutama karena ia tidak datang dari latarak Islam sejak awal. Hidup barunya tidak lepas dari tantangan. Ia harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru, belajar tata cara ibadah, memahami hukum-hukum dasar, serta menjaga komitmennya terhadap ilmu. Namun, ia tidak merasa terbebani. Ia melihat semua itu sebagai bagian dari proses menjadi manusia yang utuh, berpengetahuan, berprinsip, dan bertanggung jawab terhadap kebenaran yang ia yakini. Dalam jurnal pribadinya, ia mencatat sebuah tujuan baru, menjembatani antara pengetahuan sejarah dan pesan spiritual. Ia ingin agar generasi berikutnya tidak hanya melihat candi, naskah, dan simbol sebagai benda mati, tapi juga sebagai petunjuk yang dapat mengarahkan manusia pada pemahaman akan jati dirinya. Dengan identitas barunya sebagai seorang muslim dan pengalaman panjangnya sebagai arkeolog, Dr. Anurak memulai babak baru dalam hidupnya. Ia tidak mencari panggung. tidak mengejar pengakuan dan tidak menuntut pembenaran dari siapun. Ia hanya ingin terus berjalan, meneliti, menulis, dan menyampaikan apa yang ia temukan dengan jujur dan terbuka. [Musik]