Pasca Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, seluruh masyarakat di negeri ini terkena euforia mempertahankan kemerdekaan, tak terkecuali media dan pers di Indonesia. Mantan redaktor pelaksana harian Indonesia Raya, Atmakusuma Astradmaja, menjadi saksi bagaimana media-media yang berdiri di republik ini bersikap kritis, baik terhadap kekuatan asing yang mengancam kemerdekaan, maupun terhadap... jalannya pemerintahan yang baru berusia muda.
Seingat saya, lebih banyak media pers pada masa udah lama dulu, pada tahun-tahun awal kemerdekaan, mulai tahun 1945 sampai hampir. ya kurang lebih pertengahan tahun 1950-an, melakukan investigative reporting. Karya-karya pers kita kala itu, baik berupa laporan investigasi, maupun laporan mendalam atau in-depth reporting, tak jarang berbuah tekanan dari penguasa.
Jadi pada masa sudah lama dulu, Indonesia Raya itu di-brattle 5 kali. Biasanya hanya beberapa hari atau beberapa minggu, tapi yang terakhir bulan Oktober tahun 1958, itu boleh dikatakan pemberendelan terakhir pada masa Orde Lama. Kemudian setelah pemberendelan yang kelima kali itu, tahun 1958, Muhtar Lubis sudah dalam tahanan. Ada kadang-kadang dia mengalami tahanan kota, tahanan rumah, atau tahanan di dalam penjara, baik di Jakarta maupun pernah juga dipenjarakan di Madiun. Nah, tapi ternyata nasib Indonesia Raya sama sulitnya.
baik pada masa pemerintahan order baru maupun pada masa pemerintahan order lama. Sebetulnya kami tidak mempunyai alasan yang jelas kenapa Harian Indonesia Raya bersama-sama 10 surat kabar harian dan surat kabar mingguan yang lain di Indonesia dan 1 majalah berita di Bredel. Setelah terjadi apa yang disebut Malapetaka 15 Januari atau Malari, yaitu demonstrasi mahasiswa yang berlangsung.
Sumber Hari-Hari Salah satu yang menonjol dalam investigasi yang dilakukan oleh Harian Indonesia Raya adalah kasus korupsi Pertamina pada tahun 1969 yang melibatkan Direktur Pertamina, Ibnu Sutowo. Korupsi itu hampir membuat bangkrut Pertamina. Sementara, di sisi yang lain, rekening pribadi Ibnu Sutowo mencapai 90 miliar rupiah. Gambaran tentang kerasnya perlakuan penguasa terhadap pers yang melakukan peliputan investigasi juga dituturkan oleh mantan wartawan Harian Sinar Harapan, Aristides Katopo. Kalau sebenarnya dari awal kita 50 tahun.
1961 yang pertama kali terbit dan kita tahun 2001 kan kemudian diberi ide 86 2001 itu di terbit lagi. Masalahnya kalau sekarang sih lumayan masih secara hukum kan. Kalau dulu kita diculik oleh entel ya kan. Ya pernah saya di kantor dijemput katanya dari ternyata kasarnya diculik lah. Sebenarnya yang paling sensitif waktu itu justru yang disebut yang non-budgeter.
Karena waktu kita memberitakan ini adalah yang masuk anggaran. Mestinya kan semua pemasukan terekam di situ. Jadi misalnya suatu ketika wawancari Hatta mengatakan kalau dari setiap 4 dolar, 1-2 dolar itu tidak masuk budget negara. Tapi itu adalah diperuntukkan untuk cendana dan untuk waktu itu militer dan mendanai kekuasaan Golkar dan sebagainya.
Nah itu tidak masuk ke tidak. tidak ada di budaya negara biaya operasi Gokar atau operasi militer. Bondan Maknyus Winarno, mantan wartawan senior yang pernah bekerja sebagai jurnalis di majalah SWA dan penulis kolom di beberapa media, bercerita mengenai upayanya melakukan peliputan investigasi saat membongkar skandal tambang emas pahlawan.
di busang Kalimantan Timur. Uniknya, ketika melakukan peliputan investigasi ini, Bondan sudah tidak lagi menjadi wartawan, tapi pengusaha. Dunia karena ada satu isu yang menurut saya sangat tidak masuk akal, tapi dipercaya orang.
Yaitu ketika ada berita, si Michael Degusman itu loncat dari helikopter, terjun, artinya bunuh diri. Menurut saya itu sangat tidak masuk akal. Satu, saya sangat menduga.
Michael Degusman itu sudah menikmati banyak, sudah kaya dari kasus BLEX. Maksudnya sudah kaya begitu hanya lompat. Nah saya kembangkan, kemudian kok tiga hari kemudian ada berita bahwa mayatnya ditemukan.
Ada fotonya lagi. Saya pikir ini bukan foto mayat yang jatuh dari 800 feet, dari 800 kaki. Nggak mungkin seperti ini.
Pasti sudah hancur. Nah dari situ saya langsung... muncul, ini sudah pasti kematian yang dipalsukan pada waktu itu kemarahan saya ada dua satu, bangsa Indonesia itu dipermalukan tapi kok gak merasa malu Lah kan kita yang dibohongin sama geologis itu. Kita diem aja.
Bahkan beberapa pejabat kita ngikut-ngikut kan. Disangkanya bener-bener ada emas. Goblok sekali.
Kedua, ini yang menyedihkan. Anda tahu nggak berapa ratus ribu buruh di Kanada yang dana pensiunnya hilang, lenyap karena dipakai untuk membeli saham dari X. Saya piluh, karena itu ini ada masalah kemanusiaan. Saya harus membongkar supaya jangan lagi kejadian kayak gini. Dan Indonesia itu diperalat untuk kriminal internasional ini.
Karya Bondan yang dibukukan dengan judul Sebongkah Emas di Kaki Pelangi itu memuat detail bagaimana investigasi itu ia lakukan. Semua clipping surat kabar dan majalah karena saya harus mengetahui masalahnya kan. Terus seluruh... Selebihnya, dan itu harus saya lakukan secara cepat, selebihnya saya langsung pergi ke Busan. Saya dua kali ke Busan.
Saya sudah di situ, tapi nggak bisa ketemu. Saya tahu adiknya ada di situ, isinya ada di situ, tapi saya nggak ketemu. Tapi saya mengamati suasana.
Dari situ saya... pergi ke kuburannya Michael D. Guzman. Lalu, kalau ini baru tujuh hari dikubur, tidak disiarai, apa artinya?
Menurut Anda apa? Bahwa jenazah itu memang bukan jenazah Michael D. Guzman, dok. Betul, ya?
Dan nggak tahu kenapa saya nggak pakai dukuni. Tiba-tiba ada informasi masuk ke saya melalui email. Mas, tau gak bahwa Michael Degusman itu punya gigi palsu diatasnya? Oh, nggak tahu? Nah, itu yang saya beritahukan kepada National Bureau of Investigation, FBI-nya Filipina.
Tolong dia antas lidiknya. Saya punya informasi ini, bahwa dia punya gigi palsu. Itu yang kemudian dicekkan ke keluarga, dituntut sampai sekarang.
Minta dental records-nya. Sesudah buku itu terbit, saya kan dituntut oleh Ide Bagus Ujana, mantan Menteri Pertambangan. Sebetulnya tuntutannya kepada saya adalah mencemarkan nama baik. Di jaman Orde Baru, wajah keras pemerintah memang kerap dimunculkan kepada pers yang mencoba kritis terhadap jalannya pemerintahan. Departemen Penerangan adalah momok yang menakutkan itu.
Ambil saja contohnya, sejak tahun... 1983 hingga 1994 saja tercatat 13 media ditutup oleh Departemen yang dikomandani harmoko yang tak lain juga bekas wartawan di zaman orderama bahwa langkah-langkah Penertiban ini terpaksa diambil dalam rangka pembinaan dan pengembangan pers nasional yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 dan demi kepentingan pembinaan yang stabilitas nasional di negara Republik Indonesia. Saya sendiri yang mengendaki, tapi begitu rapat kepolkam, mengapur sama Pak, meliputkan Pak Anu, Pak Susil Sudarman, dan meninggal juga.
Di akhir tahun 90-an hingga di awal tahun 2000, hadir nama Dadi Sumaat Maja yang tercatat sebagai jurnalis tangguh. yang bergelut dengan dunia peliputan telik sandi ini. Sebelum dikenal sebagai penulis buku, menelisik Lorong Gelap, sosok pekerja keras yang satu ini adalah mantan jurnalis editor dan orang yang membangun desk khusus investigasi di majalah Mingguan Tajuk.
Saat bekerja di majalah editor, Dadi Sumaat Majah pernah membongkar kasus kapal judi Royal Pacific yang berlabuh di Tanjung Priok. Putuskan kita akan masuk dan untuk mengangkat ini sebagai sebuah topik investigasi. Kenapa ini menarik?
Karena menurut kita ini pasti melibatkan orang-orang besar. Karena di zaman Soeharto dulu itu kan semuanya serba represif. Artinya kalau misalnya jarum jatuh pun di era itu, itu kan tahu di sisi aparat. Nah, kita putuskan lah kita masuk ke sana. Hanya persoalan ketika itu, kita nggak ngerti cara main judi.
Yang namanya blackjack, bakarat, terus yang namanya rolet, kita nggak ngerti sama sekali. Akhirnya, kita... Kita panggil pejudi, kita ajak ngobrol, kita akan masuk ke sebuah kapal, sebuah kapal judi namanya Royal Pacific dan sebagainya. Akhirnya oke, sekarang ajarin kita.
Nah mulailah diajarin. Black Jack seperti ini. Seperti apa, bakarat seperti apa, rolet seperti apa mainnya dan sebagainya.
Dadi yang sejak awal tahun 2000-an bergabung dengan televisi berita Metro TV, juga didaulat untuk menggagas sebuah tayangan investigasi di layar kaca yang diberi nama Metro Realitas. Ini menarik, jadi karena memang ini asing ketika itu kita dimasuk ke sini, benar-benar asing dan kedua broadcast ketika itu investigasi juga belum ada. Ya, gitu. Sementara tiba-tiba Metro mengeluarkan investigasi di broadcast. Persoalannya apakah benar seperti itu?
Awalnya pokoknya kita lakukan itu. Tetapi belakangan setelah kita menggeluti, oh salah. Akhirnya kita lepas dari sisi itu, kita benar-benar murni investigasi broadcast.
Kondisi telah berubah, kini media telah memperoleh kebebasannya, namun bukan berarti liputan investigasi serta merta meramaikan media-media kita. Nah, oleh karena itu saya melihat sekarang sangat sedikit media pesetak yang melakukan investigative reporting. Hanya ada beberapa, kalau bukan hanya satu dua. Persyaratannya saya kira karena memang berat dari segi biaya maupun dari segi tenaga kerja. Banyak lagi hal kecil yang bisa diinvestigasi menjadi peristiwa yang menarik.
Misalnya makanan ini yang sudah populer gitu, wih ternyata kandungan gulanya banyak banget nih. Nah apakah... Apakah baik untuk kesehatan kita? Nggak bagus ternyata. Misalnya gula, berapa sih recommended daily allowance-nya?
Sekian. Ternyata kalau kamu makan tiga biji kayak gini, sudah melewati jatah kamu sehari, gulanya. Ya tentu kita syukuri ya bahwa sekarang sudah ada kebebasan, bahkan di atas kertas juga dijamin di dalam undang-undang. Tetapi sekarang mungkin dari pihak penguasa secara kasar ya, tidak.
tidak begitu parah lagi. Kucinya yang satu, ketika mereka peduli kepada publik, ketika mereka tergugah terhadap kepentingan masyarakat, pada saat itulah mereka melakukan. Musik