Transcript for:
Kuliah Dr. Quraish Shihab tentang Islam

GITA WIRJAWAN: Halo teman-teman hari ini kita kedatangan Doktor Quraish Shihab, seorang cendekiawan Islam dan penafsir kontemporer. Pak Quraish, terima kasih banyak. Kehormatan. QURAISH SHIHAB: Terima kasih. - Saya ingin dengar cerita dari Bapak, mungkin kita mulai dengan asal usul Bapak dari Sulawesi Selatan terus ke Malang terus mengambil keputusan setelah itu ke Kairo. Silakan Bapak. - Jadi orang tua saya itu dosen, pendiri universitas, dan sangat memberi perhatian pada pendidikan. Beliau guru besar dalam bidang Tafsir Al Quran. Sikap beliau, keahlian beliau itu dikagumi oleh putra-putrinya. Saya salah seorang yang sangat kagum sehingga saya juga ingin mengikuti jejak beliau. Maka salah satu cara adalah masuk ke pesantren. Maka, tahun '56 saya ke Malang, masuk ke pesantren sampai ada pengumuman bahwa Departemen Agama mendapat beasiswa dari Al Azhar. Saya ikut ujiannya dan ternyata lulus. Maka, saya ke Kairo pada tahun '58. Di tahun itu, belajar di Al Azhar, setelah tes penempatan masuk di tingkat awal SMP. Demikian dari tahun ke tahun berlanjut, hingga mencapai tingkat Doktoral. - Luar biasa. Dan Doktornya itu juga setelah Bapak mungkin pulang lagi ke Indonesia terus balik lagi ke sana. Betul. Saya di Kairo selama '58 - '72, jadi setelah 13 tahun tidak bertemu orang tua. Kembali ke Makassar dan ketika itu saya mengajar. Tapi orang tua selalu berpesan, "Jangan kembali sebelum meraih gelar Doktor". Jadi begitu kembali selalu diingatkan saya harus ini. Saya kembali lagi ke Kairo untuk itu. Bapak sering menyampaikan banyak hal tentunya. Salah satu yang sering kali disampaikan adalah perbedaan tafsir atas tulisan dan tafsir atas sikap. Mungkin bisa dijelaskan. - Menafsir tulisan kita terikat dengan teks. Dan teks itu harus dipahami sesuai pemahaman teks itu pada masa teks itu ditulis. Saya tidak bisa memahami kata "ibu" 40 tahun yang lalu, kecuali seorang wanita yang melahirkan anak. Tapi sekarang berkembang, bahasa berkembang, sehingga kata "ibu" juga bisa diartikan "istri". Kita ketika menafsirkan teks harus memahami ini kapan ditulis, baru kita bisa menafsirkannya, menjelaskannya, "Oh ini maksudnya begini. Ini maksudnya begini." Itu satu. Tapi perilaku, kita bisa tafsirkan perilaku. Hanya saja salah satu yang harus diperhatikan, apakah yang berperilaku itu melakukan perilakunya, melakukan apa yang ditampilkannya tulus dia tidak bersandiwara. Baru kita bisa memberikan penafsiran. Jadi itu. Nah, kesulitan menafsirkan atau kekeliruan dalam menafsirkan suatu teks, apalagi teks Al Quran adalah karena tidak memahami makna kata itu ketika Al Quran diturunkan. Berikutnya Bapak juga sering menyampaikan tiga inti ajaran dalam Islam yaitu iman, Islam, dan ihsan. Itu bersumber dari hadis Nabi. Suatu ketika Malaikat Jibril datang mendekat pada Nabi, memegang lutut beliau lalu bertanya, "Apakah iman?" Dijawab, "Iman itu percaya kepada Allah, percaya kepada Rasul, percaya pada Hari Kemudian, percaya pada Malaikat, percaya pada kitab-kitab suci. Itu iman." Sedangkan Islam, Islam itu adalah melaksanakan rukun Islam yang lima itu. Ihsan itu adalah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau kamu tidak dapat melihat-Nya maka yakinlah bahwa Allah di dekatmu. Nah saya ingin lebih merinci lagi. Iman itu pembenaran hati, bukan pembenaran akal, karena sekian banyak hal-hal yang tidak terjangkau oleh nalar manusia. Mari kita ambil contoh: bagaimana Hari Kemudian itu? Di sini, jika yang menyampaikannya itu orang yang kita kenal, jujur, berpengetahuan, dan sebagainya, maka kita membenarkannya ketika itu dia dinamai iman. Iman itu bisa digambarkan ... Ada hal dikatakan, "Anda harus percaya bukan karena Anda tahu tetapi karena Anda tidak tahu". Jadi dalam ajaran agama ada wilayah-wilayah ajarannya yang kita tidak bisa menalarkannya. Itu iman. Kalau Islam itu pelaksanaan. Jadi, iman itu selalu disertai dengan tanda tanya. Iman itu diibaratkan seperti seorang yang sedang mendayung di tengah ombak dan gelombang. Nun jauh di sana dia lihat pulau, dia mendayung ke sana, selalu ada tanda tanya dalam hatinya, "Apakah saya bisa sampai di sana atau tidak?" Itu iman. Tapi ketika dia sampai di sana, sudah bukan iman karena dia sudah tahu. Jadi di atas iman itu ada yang dinamai yakin. Nah kita dituntut iman, tidak harus yakin. Iman; kita percaya bahwa Tuhan Maha Esa, kita percaya bahwa Tuhan maha mengetahui dan sebagainya. Bagaimana itu tidak terjangkau oleh nalar kita? Itu iman. Kalau ihsan, pelaksanaan tuntunan-tuntunan agama itu dilakukan sesempurna mungkin, sehingga itu dilukiskan seperti seorang yang diawasi oleh majikannya. Ketika dia melakukan sesuatu, pasti dia akan melakukannya sebaik mungkin. Nah itu ihsan. Menurut Bapak kalau saya coba bungkus dalam konteks Indonesia. Bagaimana agar kita bisa memperbaiki keimanan, keislaman, dan keihsanan? Iya. Jalan satu-satunya adalah pengetahuan. Mungkin setelah pengetahuan itu kita perlu juga keteladanan. Tidak ada nasihat yang lebih baik daripada nasihat kepada siapa pun untuk menambah pengetahuan. Dan dengan bertambahnya pengetahuan kita akan membenarkan apa yang berada di luar jangkauan akal. Kayak begini: setiap objek ada cara mendekatinya. Kalau kita keliru di dalam cara itu, pasti hasilnya keliru. Saya sering beri contoh, saya ingin mengetahui panjang ruangan ini. Salah kalau saya bawa timbangan, ya kan? Bawa meteran. Kalau saya ingin mengetahui manisnya jeruk, saya tidak perlu membawanya ke laboratorium, ya kan? Nah itu sesuatu sebenarnya aksioma, tapi sering kali orang keliru dalam melakukan pendekatan. Ingin bukti secara logika bahwa ini begini. Itu tidak bisa. Akal itu hebat tapi memiliki keterbatasan. Ini kalau saya perhatikan, di ruang perpustakaan Bapak ini banyak sekali buku. Bagaimana kita itu bisa membudayakan budaya baca buku, supaya nyambung dengan untuk mencari pengetahuan. Iya yang pertama saya kira keteladanan. Di rumah, orang tua membaca, pasti anaknya ikut membaca. Dan itu tadi sejak kecil. Anak-anak saya sejak kecil setiap bulan saya antar ke toko buku beli buku. Sampai sekarang cucu hadiahnya hadiah buku. - Sampai sekarang?

  • Sampai sekarang. Cucu-cucu saya yang kecil-kecil, sampai sekarang begitu. Jadi kita beri keteladanan. Jadi yang paling penting itu adalah keteladanan dan itu didapatkan sejak dini, sejak kecil. Ada juga pandangan dari Bapak mengenai Islam wasathiyah. Kepentingan kita untuk lebih mengedepankan moderasi. Ini kita hidup di era ataupun zaman di mana kecenderungan ekstremisme ini terjadi di mana-mana. Nah itu gimana menurut Bapak? Bagus. Saya ingin dulu membedakan antara wasathiyah moderasi dengan ekstremisme. Kalau saya berkata ekstrem itu sudah mencapai ujung sana. Tapi kalau saya berkata moderasi, itu berada di tengah. Jadi sebenarnya moderasi itu bukan lawan dari ekstremisme. Hanya saja di Barat mereka menggunakan ekstremisme karena mereka mentoleransi hal-hal yang belum mencapai ekstremisme. Kalau di Islam, tidak. Ada batas pertengahan. Minimal kamu harus berada di sini, begitu melampaui batas itu sudah terlarang, dinamai itu ghuluw melampaui batas. Di Barat tidak segan-segan orang menghina para Nabi. Kalau kita tidak, ada batas dalam ucapan. Nah wasathiyah, pertengahan itu adalah posisi di mana sesuatu itu berada di antara dua ujung. Ujung ini dan ujung ini, yang di sini. Pendapat ini sangat populer, sampai-sampai itu sudah dikenal sejak zaman Plato dulu, zaman filsuf-filsuf Yunani, mereka berkata bahwa wasathiyah itu, moderasi itu adalah kebaikan yang berada di antara dua keburukan. Sesuatu yang baik adalah yang berada di antara dua keburukan. Kita ambil: dermawan, kikir. Ada atau ini boros, ini pertengahannya itu. Hanya saja dalam pandangan filsuf-filsuf muslim masa kini, bahwa kita tidak bisa menjadikan makna moderasi itu sebagai pertengahan antara dua kebaikan, karena ada kebaikan yang tidak ada pertengahannya. - Menarik.
  • Kita ambil contoh: keadilan dan baik itu pertengahan antara apa dengan apa? Terkadang kebaikan itu sudah mencapai puncak karena itu mereka berkata bahwa sebenarnya wasathiyah itu yang dimaksud adalah ketepatan; tepat. Tepat waktunya, tepat kadarnya, tepat masanya, tepat sasarannya. Kalau saya memberi anak kecil uang satu juta, itu terlarang. Dia tidak dapat menggunakan satu juta. Walaupun secara umum orang akan berkata, "Oh itu baik, itu dermawan." Tidak. Kalau seorang memberi saya senjata, itu bukan kebaikan, karena itu tidak tepat. Saya bukan seorang yang dituntut memperjuangkan sesuatu dengan kekerasan, ya kan? Jadi pokoknya harus tepat. Bisa jadi ada sesuatu yang tepat untuk ditegur, tapi bukan waktunya di sana. Mau menegur istri waktu di pesta perkawinan, itu tidak tepat. Mau marah melebihi kadarnya, itu tidak tepat. Tapi kurang dari kadarnya juga tidak tepat. Jadi itu sebenarnya makna yang dikandung oleh wasathiyah. Lakukanlah segala sesuatu sebaik mungkin sehingga tercapai tujuan dengan memperhatikan waktu, tempat, kadar, sasaran, cara. - Mencari titik optimal, mencari keseimbangan. - Iya. Mencari keseimbangan. Betul. - Saya mau coba sambung ini dengan bagaimana percakapan anak-anak muda di sosmed, sosial media atau medsos, itu semakin terpolarisasi: yang satu ke sini, yang satu ke sini. Dan nggak ada yang mengatur karena kalau kita ke platform medsos itu tidak ada template-nya, tidak ada editorialisasinya, sehingga anak-anak kita terekspos dengan percakapan yang mungkin saja itu sulit mencari keseimbangan karena terjadi polarisasi. Nah ini gimana penyikapannya, Pak Quraish? - Sebenarnya salah satu yang harus diperhatikan adalah mengajak diri kita untuk membatasi bicara. Sekian banyak kata-kata hikmah yang mengatakan begini, misalnya "Jangan berbicara menyangkut apa yang engkau tidak ketahui." "Jangan semua yang engkau ketahui kamu bicarakan." "Jika ada orang lain yang bisa berbicara, diamlah. Karena kalau dia benar dan engkau hadir di situ, engkau akan dinilai setuju pendapatnya. Tapi kalau dia salah, kesalahannya hanya tertuju pada dia, Anda tidak salah." Jadi batasi pembicaraan. Nah kita di sosmed ini segalanya diungkap. Al Quran sudah mewanti-wanti sejak semula agar supaya membatasi diri daripada pembicaraan. Itu ada ilustrasi, anggota tubuh manusia ini setiap saat berkata kepada lidah, "Lidah, tolong jangan banyak bicara, karena kalau kamu salah yang kena getahnya itu kamu." Jadi batasi pembicaraan. Tapi bagaimana Pak Quraish, kalau ... Saya paham bahwa yang harus disalahkan adalah manusianya bukan teknologinya. Tapi kalau manusianya ini sulit sekali untuk mengobati diri, yang dibutuhkan tentunya kesabaran, kan? Tapi apa yang kita bisa lakukan selama kita bersabar diri untuk kita bisa memperbaiki diri kita sendiri? Sekali lagi, banyak membaca. Kalau Anda banyak membaca, Anda akan mengetahui kebenaran itu. Kalau Anda banyak membaca, Anda bisa menambah pengetahuan dan meraih pengalaman orang lain. Kalau Anda banyak membaca, Anda akan mengetahui bahwa pengetahuan itu bermanfaat dan harus digunakan pada tempatnya. Jadi itu sebabnya dikatakan sangat mengherankan wahyu pertama yang diterima Nabi itu adalah baca, iqra. Aneh bahwa perintah itu ditujukan kepada dia yang tidak pandai membaca. Perintah itu ditujukan kepada masyarakat yang tidak tahu baca tulis. Tapi kenapa iqra? Karena itulah kunci meraih peradaban. Itulah kunci untuk meraih kemajuan dalam segala bidang. Dan membaca di ayat itu, dia tidak tentukan objek bacaan. Baca apa saja. Syaratnya cuma satu: demi karena Allah. Nah jadi kuncinya: membaca, membaca, membaca. Saya itu kesulitan untuk membujuk orang untuk berbudaya baca buku karena mereka lebih suka megang HP 10 jam sehari. Padahal kalau mereka melihat HP sejam saja cukup. 9 jam ini bisa dipakai untuk baca buku.
  • Betul. Ya. Itu dari pembiasaan. Kenapa orang-orang Jepang bisa membaca di kereta api? Artinya manusia bisa kalau mereka mau.
  • Betul. - Dan itu pembiasaan, dibiasakan di rumah. Orang tua harus membiasakan anak-anaknya membaca. Berikan dia buku yang dia senangi, jangan belikan buku yang dia tidak suka. Baca apa saja. Dan Iqra itu bukan Iqra Al Quran saja. Tidak ada objeknya, dan Iqra itu bukan hanya dalam arti membaca teks tertulis. Bacalah alam raya, bacalah manusia, bacalah sejarah. - Ini nyambung ke mungkin pertanyaan berikutnya. Saya mau minta pandangan Pak Quraish mengenai bagaimana kita bisa beragama dan juga bernalar? Sering kali kita melihat orang yang mengklaim atau mendeklarasikan diri bahwa mereka beragama, tapi kayak mereka nggak bernalar. Nah itu bagaimana Pak Quraish? Kita harus dudukan dulu. Ajaran agama itu ada yang terjangkau oleh nalar, ada yang tidak terjangkau oleh nalar. Saya akan beri contoh kita berwudu bisa dinalar itu. Kita salat Dzuhur 4 rakaat, Subuh 2 rakaat. kita bisa ubah Subuh 4, itu di luar jangkauan nalar. Tapi ada dalam kehidupan sosial itu dibutuhkan nalar. Tanpa nalar tidak jalan. Jadi di sini agama membutuhkan nalar. Imam Ghazali ada memberi contoh: tuntunan-tuntunan agama itu bagaikan matahari Anda tidak bisa memahaminya karena Anda bisa silau dengan cahayanya. Maka Anda perlu alat supaya melihat tapi tidak silau. Kita perlu kacamata hitam. Nalar itu adalah kacamata hitam yang menjadikan kita mampu membaca tanpa silau. Jadi karena itu dalam ajaran agama nalar sangat dibutuhkan. Bahkan sesuatu bisa berubah ketetapan hukumnya, setelah ada campur tangan nalar untuk berkata bahwa itu tidak ini. Karena itu pula ada ungkapan "Tiada agama tanpa nalar". Kita sekarang dalam masa-masa ini, kita tidak bisa menggunakan nalar orang dulu untuk masa sekarang. Kita juga bisa melakukannya dengan nalar itu. Itu dulu sewaktu masanya seperti itu. Dalam penafsiran banyak sekali itu kita temukan. Misalnya firman Allah: Allah mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dulu orang berkata mengetahui jenis kelaminnya. Sekarang tidak bisa lagi. Kita harus pakai nalar. Jadi banyak hal yang dalam beragama itu berkaitan dengan nalar. Mungkin nggak tafsir itu berubah karena situasi dan kondisi yang bergeser dalam waktu? Harus berubah. Seandainya masa sahabat Nabi mereka punya pendapat-pendapatnya. Seandainya mereka hidup masa kita, pasti pendapatnya yang lama mereka abaikan. Harus berubah. Kitab suci ini ditunjukkan kepada semua manusia sepanjang masa. Kitab suci ini memerintahkan kita untuk menggunakan nalar dalam memahaminya karena berpikir menggunakan nalar dipengaruhi oleh banyak hal: dipengaruhi oleh kondisi sosial, adat istiadat, dipengaruhi oleh kecenderungan seseorang, dipengaruhi oleh perkembangan ilmu. Semua ini bisa mempengaruhi nalar dalam memahami teks. Kalau tidak demikian, itu istilahnya, kita menjadi orang yang terlambat lahir. Mestinya kita lahir 50 - 60 tahun yang lalu. Sekarang tidak demikian. Saya mau coba putar balik. Kalau mungkin nggak benar kalau kita menggunakan tafsir yang terjadi ratusan tahun yang lalu untuk situasi dan kondisi terkini, ya kan? Tapi kalau saya putar, apakah kita bisa menafsir hal yang terjadi ratusan tahun yang lalu dengan standar yang kita miliki sekarang? Standar harus tetap sesuai dengan perkembangan zaman. Tidak bisa kita ambil standar mereka, kecuali kalau standar mereka masih dapat diterima masa kita. Tapi kalau tidak, orang akan lari dari beragama. Jadi harus kita sesuaikan. Di sinilah peran para pakar untuk memberikan penafsiran-penafsiran baru bagi ajaran agama supaya sesuai dengan kondisi masyarakat. - Saya melihat ini sudah mulai kelihatan di beberapa negara Barat. Ini yang seringkali disebut budaya "woke". Yang mana mereka menggunakan standar hari ini untuk menilai, menafsir, apa yang terjadi puluhan tahun yang lalu. Itu kalau menurut saya di luar nalar.
  • Iya. Di luar nalar. Jangan gunakan alat masa kini yang belum diketahui orang lama untuk menilai masa lampau misalnya. Sebelum ditemukannya listrik, lilin pun sudah hebat. Apa kita mau gunakan cara kita sekarang untuk menilai mereka yang itu? Tidak. Orang sekarang ada penemuan-penemuan masa lalu yang sangat berpengaruh sampai masa kini; penemuan roda, itu salah satu penemuan umat manusia yang paling hebat dan yang masih digunakan sekarang. Tapi ada juga yang sudah tidak berlaku lagi. Bapak menyampaikan tadi Imam Ghazali. Ini terkait dengan kejayaan Islam abad 8 sampai 13. Tentunya kita menginginkan untuk itu bisa terjadi lagi di kalangan muslim. Gimana caranya untuk kita bisa bangkit lagi? kita menyaksikan tokoh-tokoh, sosok-sosok seperti Harun al-Rashid, Al Ma'mun, Al-Mansur, Al Ghazali, Al-Biruni, Al Khwarizmi, yang kalau menurut saya itu adalah polimat yang sangat menguasai multidimensi dan mengedepankan moderasi, mengedepankan keterbukaan. Saya melihat dalam 5 abad tersebut, mereka itu bisa bersinar karena banyak atribut, tapi salah satunya adalah keterbukaan mereka terhadap ilmu dan pengetahuan yang datang dari mana pun; Yunani, Tiongkok, India, mana pun. Dan itu ajaran Islam. Nabi bersabda, "Hikmah itu milik orang muslim dari mana pun dia temukan dia lebih wajar memilikinya." Sehingga kalau ada sesuatu yang dilakukan orang lain walaupun non-muslim, tapi itu baik, kita terima. Keterbukaan itu perlu. Ilmu milik Tuhan. Dia bagikan kepada orang-orang yang memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh. Jadi saya kira demikian. Jadi kembali lagi mau mengembalikan kejayaan Islam hanya dapat kembali melalui pengetahuan. Dan pengetahuan tidak dapat diperoleh kecuali dengan banyak membaca serta dengan membersihkan hati. Sekian banyak penemuan-penemuan yang sangat berpengaruh hingga kini itu sebenarnya karena kebetulan. Itu karena Tuhan di surat Iqra itu menjelaskan bahwa Tuhan mengajar melalui pena, melalui bacaan, dan mengajar tanpa alat. Mengajar tanpa alat itu menjadi intuisi, ilham, wahyu itu tidak ada keterlibatan manusia di situ. Penemuan daya tarik bumi itu kebetulan. Penemuan berat jenis sesuatu; kebetulan. Jadi itu bisa terjadi karena ada hubungan dengan Tuhan. Dia memberi manusia ilham, Dia memberi manusia kemampuan inspirasi sehingga dia dapat menemukan hal-hal yang luar biasa. Nah di sini kita lihat perbedaan antara pandangan Islam dan pandangan sekuler. Pandangan sekuler hanya berkata bahwa ilmu pengetahuan diperoleh melalui cara-cara tertentu yaitu pengamatan, eksperimen, dan sebagainya. Selain dari itu tidak. Kita Islam berkata ada selain dari itu, yaitu pencerahan batin. Sekularisme, ini saya mau coba sambung dengan Indonesia sebagai negara demokrasi liberal. Kita melakukan transisi tahun '98 untuk menjadi demokrasi liberal. Bagaimana untuk memupuk keharmonisan antara semangat demokrasi dengan semangat keislaman ataupun semangat keagamaan? - Problema kita itu sebenarnya salah satu yang paling utama, orang-orang yang berada di posisi yang dilihat orang banyak tidak mencerminkan sesuatu yang baik. Kita lihat foya-foya, kita lihat penyelewengan, itu dilakukan oleh orang-orang yang mestinya menjadi contoh. Orang-orang yang baik-baik sering kali terpinggirkan sehingga manusia lebih cenderung memilih yang menyenangkan, walaupun akibatnya parah. Jadi mestinya kita berusaha menciptakan tokoh-tokoh, pemimpin-pemimpin, yang bisa menghayati tuntunan-tuntunan agama sekaligus memahami kebutuhan masyarakat dewasa ini. Kita tidak ingin kembali menerapkan Islam sebagaimana diterapkan pada zaman khalifah-khalifah yang lalu. Tapi kita juga tidak ingin kita menerapkan Islam tetapi tidak dipahami oleh masyarakat. Terkadang kita terlalu terikat pada teks, padahal itu tidak berdampak positif. Kita ambil contoh orang biasa hanya "Bismillahirrahmanirrahim" Surat ada Bismillahirrahmanirrahim dipikirnya itu sudah Islam karena ada pakai Basmalah, bukan itu dong. Nabi pernah menghapus kata "Bismillahirrahmanirrahim". Jadi kembali lagi pengetahuan tentang agama. Islam adalah agama yang disalahpahami. - Saya sepakat. Sekali lagi mengenai demokrasi. Saya akhir-akhir ini menemukan adanya beberapa paradoks. Salah satunya adalah bagaimana semakin banyak di negara-negara demokrasi liberal itu penyeleksian talenta itu dilakukan lebih berdasarkan loyalitas dan atau patronase, bukan berdasarkan meritokrasi. Dan itu kalau menurut saya merupakan diskon untuk kita bisa menjadi negara demokrasi yang lebih kuat atau lebih kaya. Nah pandangan Bapak gimana mengenai ini? Terlepas apakah kita berkata Islam mengenal demokrasi atau tidak. Yang jelas, pertama, perlu ada musyawarah. Dan demokrasi itu sebenarnya musyawarah. Majelis Permusyawaratan Rakyat; Musyawarah. Musyawarah tidak bisa dilakukan terhadap orang bodoh. Jangan bermusyawarah dengan orang bodoh, jangan bermusyawarah dengan penakut, jangan bermusyawarah pada ambisius, jangan bermusyawarah kepada yang penakut, ini syarat-syaratnya. Kalau orang-orang yang bertugas bermusyawarah sangat ambisius, sangat kikir,
  • Serakah. - serakah, penakut, itu tidak akan berhasil. Jadi memperbaiki syarat-syarat bagi yang memenuhi syarat-syarat untuk dipilih. Kalau sekarang siapa pun, apalagi kalau ada politik uang, tidak ada gunanya musyawarah itu. Kata musyawarah itu terambil dari akar kata yang bermakna sarang lebah. Lebah itu menghasilkan madu. Jadi bermusyawarah meraih madu, yang bermusyawarah itu bagaikan lebah. Lebah itu sangat disiplin, sangat bersih. Dan kalau dia menemukan bunga, dia tidak langsung ambil. Dia menari-nari mengajak yang lain untuk bersama-sama mengambil, itulah musyawarah.
  • Kompak. - Karena itu ada yang berkata, "Islam tidak mengenal demokrasi." Kita berkata Islam mengenal demokrasi dalam arti musyawarah, apalagi suara terbanyak. Apa suara terbanyak itu mutlak? Belum tentu suara terbanyak itu yang baik. - Bahkan begini Pak Quraish, saya akhir-akhir ini menafsir bahwasanya demokrasi itu bukan semata pendistribusian kekuatan tangan saja, tapi yang harus didistribusikan itu terkait dengan integritas, intelek, nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, kesehatan, kesejahteraan, dan lain-lain. Tapi saya melihat bahwasanya akhir-akhir ini, di mana-mana mereka mengartikan demokrasi itu hanya dalam konteks kapasitas masing-masing orang itu bisa nyoblos. Tapi belum tentu yang nyoblos itu berintegritas, belum tentu yang nyoblos itu berpendidikan, belum tentu yang nyoblos itu memiliki nilai moral, nilai sosial, nilai budaya yang semestinya untuk menciptakan keseimbangan yang tadi diinginkan. - Karena itu ada ungkapan: Yang mana lebih baik? Demokrasi yang menghasilkan pimpinan yang tidak wajar daripada sikap diktator otoriter yang melahirkan kebijakan dan keadilan. Yang mana lebih baik?
  • Sudah jelas. Dia otoriter tetapi hasilnya keadilan, kemakmuran masyarakat itu jauh lebih baik daripada namanya demokrasi tapi ini. - Betul sekali. Nah, maaf, saya mau balik lagi ke sosmed. Itu membuahkan budaya dan era dan juga pemikiran bahwa kalau mau mencapai posisi kepemimpinan itu yang lebih penting adalah dilakukannya festivalisasi atau sensasionalisasi, bukan intelektualisasi. Yang struktural adalah kita belum berbudaya baca, belum berbudaya untuk mencari pengetahuan, sudah gitu dijejali dengan situasi yang lebih menyongsong pencarian kepemimpinan itu berdasarkan sensasionalisasi atau festivalisasi, bukan intelektualisasi. Ibarat kata, ini akan cukup lama kita melihat situasi yang mungkin saja kurang bersinar seperti yang kita inginkan. Kita ingin menerapkan demokrasi itu bagus, tetapi masyarakat yang memilih dan mendukung harus diberi pemahaman yang benar. Kalau tidak kita akan rugi, kita akan tersesat, dan sebagainya. - Indonesia ke depan menuju tahun 2045, bagaimana Pak Quraish? - Saya selalu optimis. Jelas anak-anak muda kita sekarang cukup berpeluang untuk maju. Mestinya yang tua-tua sadar diri bahwa kita ini kakek, cucu kita lebih pandai dari kita sekarang. Saya ditegur oleh cucu saya, "Oh itu ketinggalan. Sudah ada penemuan baru seperti ini." Mereka menguasai internet, belajar dari komputer, dsb., yang kita tidak sempat untuk mencari itu. Jadi anak muda ini harus. Zaman Nabi itu anak-anak muda, bukan orang tua. Nabi berkata, "Saya didukung oleh anak muda, bukan oleh orang tua." Anak-anak muda umur 18 tahun, 20 tahun, 23 tahun, semangatnya ada, kekuatannya ada, dan pengetahuannya ada. Ini yang kita harus ... Kalau betapa pun baiknya seseorang, bijaksananya dia, tapi kalau terlalu lama duduk, bosan juga duduk itu. - Untuk anak-anak muda. Untuk mereka itu bisa beragama itu gimana? Sekali lagi, di sinilah diukur keberhasilan atau kegagalan dakwah. Sukses dakwah tidak diukur dengan gelak tawa pendengarnya, tidak juga diukur dengan ratap tangis mereka. Tapi diukur dengan kesadaran tentang makna-makna dibalik tuntunan agama. Kita terkadang tertawa, diukur. Diukur dengan bertambahnya pengetahuannya tentang agamanya, diukur dengan kesadarannya bahwa dia perlu menjadi lebih baik dari hari ini. Dan itu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Tidak harus di Perguruan Tinggi, tidak harus di sekolah-sekolah. Harus ada kerja sama, tapi bagaimana kita ini ... Tidak jarang kita baru saja mandi membersihkan diri, begitu keluar tubuh kita dipenuhi lagi oleh kotoran. - Apalagi Pak Quraish, untuk anak-anak muda? Tadi kita sudah ngobrol banyak mengenai iman, Islam, ihsan, terus wasathiyah, terus saya ingin mengakhiri pembicaraan ini dengan pesan-pesan dari Bapak kepada anak-anak muda. Bagaimana untuk mereka bisa beragama terus berikutnya mungkin bagaimana mereka bisa lebih berpendidikan. Kalau anggaplah pendidikan itu kita bisa perbaiki di rumah atau di rumah tangga, kita harus melihat ekosistem secara keseluruhan. Apakah itu di sekolah, di kantor, ataupun di masjid atau di tempat ibadah lainnya. Apa yang harus kita lakukan? - Saya tidak tahu, saya selalu itu berkata, "Anjurkanlah membaca." Kuncinya di situ. Kuncinya adalah membaca. Baca menambah pengetahuan, menambah kesadaran. Dengan membaca akan terbatasi kegiatan-kegiatan yang negatif. Mungkin ada satu hal yang saya ingin katakan dalam konteks ini. Harus dibedakan antara agama dan keberagamaan. Agama itu sudah sempurna, keberagamaan itu pelaksanaan ajaran agama. Dan ini bisa berkembang terus karena penafsiran agama berkembang. Jadi pelaksanaannya bisa berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Kalau kita sadar tentang ini, kita bisa mentoleransi orang yang berbeda penafsiran dengan kita. Ini juga harus ditanamkan pada anak muda bahwa ... Tadi kita ada sebut tentang wasathiyah, itu salah satu nama yang lain adalah Shiratal Mustaqim. Shirat itu jalan lebar. Setiap orang berjalan di jalan lebar itu. Di jalan lebar itulah bermuara semua jalan-jalan kedamaian. Kalau kita berjalan di jalan lebar, kita tidak mengganggu orang lain yang ada di samping kita. Dia tidak mengganggu kita karena jalannya lebar. Tapi kalau Anda memahami agama secara sempit, kita bertengkar terus, kita senggol menyenggol. Nah ini yang harus ditanamkan pada anak muda bahwa kita beragama itu Tuhan beri toleransi yang luar biasa sehingga kita bisa berbeda-beda. Populer Itu ungkapan yang sering saya kemukakan, "Tuhan tidak bertanya 10, berapa tambah berapa?" "Tuhan tidak bertanya 5 + 5 berapa, karena jawabannya cuma 1 = 10. Yang Tuhan tanya 10 itu berapa tambah berapa?" Bisa 9 + 1, bisa 2 + 8, 3 + 7, 6 + 4, 5 + 5. Itu keberagamaan. Dan pada dasarnya, hubungan dengan Tuhan itu dilandasi oleh pemaafan Tuhan. Sedangkan hubungan antara manusia itu dilandasi oleh tuntutan manusia. Jadi Tuhan itu jauh lebih baik dari manusia dalam konteks hubungan, karena Dia bisa memaafkan. Kalau manusia, kita berhutang sama manusia, dia tuntut kita terus. Hal-hal semacam ini kita ingin tanamkan pada anak-anak muda sehingga mereka dapat melaksanakan agama dengan santai. Kalau tidak, ini ada yang ini, ada yang ini, ada yang ini. Saya melihat di kalangan kita juga itu kecenderungan melakukan labelisasi itu kental sekali, dan itu membatasi pertumbuhan, karena kita nggak bisa menunjukkan keterbukaan untuk mendengar opini atau pandangan yang mungkin beda dari pandangan dia. - Betul. Jadi tidak bisa ada label-label. Kita muslim. Ada orang ditanya, "Anda Sunni atau Syiah?" Dia bilang, "Saya muslim." "Kalau sebagai bangsa, Agama Anda apa?" "Saya bangsa Indonesia." Kita cari titik temu, jangan kita menonjolkan perbedaan. - Nah yang terakhir. Ini tadi saya sempat ngobrol dengan Pak Quraish. Salah satu ukuran atau cermin dari ilmu pengetahuan itu adalah Nobel yang diberikan oleh Norwegia. Itu lebih dari 600-an hadiah Nobel yang diberikan untuk ilmu alam. Apakah itu fisika, matematika, kimia, dan lain-lain. Dari 600-an itu, hanya 3 orang muslim yang menang; Turki, Mesir, dan Pakistan. Lebih dari 150 dimenangkan oleh orang Yahudi, sisanya Nasrani, Katolik. Mungkin satu orang Hindu, Budha kayaknya belum ada. Populasi muslim di dunia itu kurang lebih 24% dari 8 miliar. Populasi Yahudi 0 koma sekian persen. Apakah itu merupakan ukuran yang harus kita perhatikan dan sikapi untuk kita lebih bisa berpengetahuan? Yang pertama dulu, itu harus kita perhatikan, kita harus akui bahwa sarjana-sarjana muslim sedikit sekali atau hampir tidak ada yang meraih hadiah Nobel. Tapi di sisi lain harus diakui juga bahwa dalam menentukan pilihan itu ada subjektivitas. Anda lihat saja sekarang, Tiongkok dengan kemajuannya, lihat di Amerika orang-orang Tiongkok menguasai sekian banyak teknologi. Tidak dapat hadiah Nobel. Jadi ada unsur subjektivitas dalam memberikan penilaian, walaupun dalam saat yang sama kita akui bahwa memang kita masih ketinggalan. Karena ini nyambung dengan tadi pembicaraan kita mengenai kejayaan Islam. Saya melihat bahwasanya kalau Nobel itu memberikan pengakuan terhadap prestasi orang muslim dari abad ke-8. Mungkin akan sangat didominasi oleh orang muslim, karena temuan-temuan yang dilakukan dari abad ke-8 sampai 13 itu luar biasa. Dan saya sepakat dengan Pak Quraish bahwa memang ini tidak terlalu objektif, ada mungkin subjektivitas, tapi juga bukan berarti kita nggak perlu memperhatikan. Karena seperti tadi, kapasitas atau keinginan kita untuk membaca aja masih minim. Karena kalau itu bisa ditingkatkan tentunya bisa nyambung dengan kapasitas kita untuk memenangkan. Ada pesan-pesan akhir Pak Quraish, untuk teman-teman? Sudah cukup. Andalah yang menyimpulkan. - Terima kasih banyak Pak Quraish, atas waktunya. - Terima kasih. Teman-teman, itulah Pak Quraish Shihab, cendekiawan Islam dan penafsir kontemporer. Terima kasih.