Tapi yang mungkin membuat saya waktu itu masuk itu ya karena itu jurusan yang paling paling bonafit lah, dimanyakan orang kayak zaman itu paling komponer lah kalau yang paling pinter masuk sana padahal ya saya pengen masuk teknik, tapi teknik yang gak banyak rinyetnya ya kira-kira komputer gitu Mereka merasa kalau jurnalisme yang tradisional itu tidak dapat membangkitkan emosi pembaca ketika membaca karena hanya menyajikan fakta. Karena Fiksi Kreatif itu punya kontrak yang serius dengan pembaca, di mana kontrak yang paling penting adalah kontrak konsepsi. Dan ini tidak boleh dilanggar, yaitu bahwa tidak ada satupun fakta yang diciptakan. Bahwa semua yang kita sampaikan adalah fakta.
yang kita sampaikan adalah kenyataan yang tidak ada yang kita imajinasikan dari fakta itu Sobat Kuat, kembali lagi bersama saya, Jajang, di Makassar dalam rangka Makassar International Writers Festival. Dan tentu saja acara ini luar biasa karena ada seorang penulis yang bagi saya sendiri saya ngefans banget karena begitu saya membaca karya pertamanya, Selimut Debu. Itu 1 kali 24 jam saya selesai.
Saya bisa ngantuk nih, sempat kuat. Nah langsung aja nih, Pak Agustinus. Selamat sore.
Selamat sore, Pak Jajan. Terima kasih berkenan hadir di podcast kuatbaca.com. Terima kasih juga untuk undangannya dan selamat sekali bisa hadir dalam acara ini. Jadi safari kita ini harusnya sesuai dengan nama yang, nama genre yang... Beliau angkat nih, bersafari, selimut debu kang.
Eh, Pak, kita mulai dari situ deh. Kenapa dulu sampai berpikir menulis karya, hasil, catatan perjalanan, dan memang itu di daerah yang truly dari sisi safety ini nggak bisa kita jamin. Ini pertanyaannya di perjalanannya atau di menulisnya nih?
Di perencanaannya. Kenapa bisa begitu? Dulu saya juga, apa ya, istilahnya di Indonesia itu, waktu saya di Indonesia saya nggak terlalu suka jalan-jalan.
Dan saya sebenarnya penakut sih dulu, sebelum keluar negeri. Jadi waktu saya kecil, itu kalau keluar rumah, Pertama, sering diolok-olok karena saya Cina. Jadi, saya bahkan keluar rumah sendiri nggak berani. Jadi, kemana-mana harus temani pembantu. Terus di...
kemana-mana naik becak. Karena takut diolok-olok orang. Di Monjokerto ya? Di Lumajang.
Dan di zaman Orde Baru itu kan hal yang cukup banyak dialami orang-orang Tionghoa di Indonesia. Nah terus keadaan sedikit berubah ketika saya pergi ke China untuk kuliah pertama kali. Dan di situ pertama kali saya tidak perlu khawatir dengan warna kulit saya, dengan sipitnya mata.
Dan itu mulai menumbuhkan keberanian. Dan saya mulai melakukan perjalanan ke... Negara-negara di sekitar Cina.
Jadi yang paling, yang namanya mahasiswa kan nggak punya duit banyak ya. Jadi ya saya pergi ke Mongolia. Dan Mongolia pada masa itu kan sangat rawan ya.
Mongolia itu saya di hari pertama kena rampok, di hari kedua kena rampok. Tapi kemudian perjalanan di Mongolia itu sangat berkesan buat saya karena ada tantangan petualangannya. Dan saya pertama kali melihat dunia yang...
Wow, tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, karena kan kita hampir tidak ada informasi tentang sempurna. Makanya tahun berikutnya, tahun 2003, saya pertama kali pergi ke Afganistan. Dan waktu pertama kali ke Afganistan, itu juga berhadapan dengan dunia yang beda sekali dengan apa yang kita dengar tentang negara itu. Karena kan kalau kita lihat berita tentang Afganistan, semuanya konflik. Tetapi di Afganistan itu ada alam yang indah, penduduk yang ramah.
Makanan yang kaya dan hal-hal yang itu seperti saya menemukan dunia yang sangat ya sangat diluar bayangan dan itu membuat saya jatuh cinta pada Afghanistan setelah saya lulus kuliah di Beijing. Tahun 2005, saya kemudian melakukan perjalanan ke negara-negara di sekitar Tiongkok dan salah satunya adalah ke Afganistan. Karena saya sudah jatuh cinta sebelumnya ke Afganistan, saya belajar bahasanya dan ketika saya berkeliling Afganistan dalam 4 bulan, saya bisa menyelamatkan...
negara itu dengan sangat mendalam karena ya karena saya sudah bisa bahasanya. Belajar di sana juga. Memang ini sobat kuat ya. Beliau penulis bukan cuma sekedar penulis, beliau ini saintis karena sekolahnya komputer science.
Nah ini apakah ada korelasi dengan bidang yang dipelajari dan kemudian... antara hobi, dan kemudian memang mau dan mampu menuliskan. Gimana itu hubungannya?
Jadi, sebenarnya saya ngambil Computer Science bukan karena saya suka programming. Saya terjujur baru ngerti programming setelah saya kuliah di jurusan IT, Computer Science. Tapi yang mungkin membuat saya waktu itu masuk itu ya karena itu jurusan yang paling, apa, paling bona fit lah istilahnya.
Kan orang kayak zaman itu paling... populer lah, kalau yang paling pinter masuk sana gitu, padahal ya saya pengen masuk teknik tapi teknik yang gak banyak rinatnya ya kira-kira teknik komputer gitu kan, cuman kemudian saya nyadari itu bukan hal yang saya sukain bukan, saya gak terlalu suka duduk di depan komputer hanya berhadapan dengan mesin dan hanya bekerja tentang bahasa mesin tapi satu sisi yang cukup positif dari kuliah di Tiongkok adalah Kalau kita ngambil jurusan sains atau engineering, teknik kita juga wajib untuk ngambil jurusan sosial atau bahasa. Dan selama saya kuliah di sana, saya juga belajar bahasa-bahasa asing kayak bahasa Jepang, bahasa Rusia, Jerman, dan Perancis.
Empat bahasa saya belajar waktu itu. Dan saya juga mengambil mata kuliah linguistik dan budaya. Dan saya merasa ternyata ini jurusan atau mata kuliah yang lebih. lebih dekat di hati saya.
Saya tertarik sekali dengan mata kuliah linguistik dan bahasa dan budaya. Bagaimana budaya mempengaruhi bahasa dan bagaimana bahasa mempengaruhi budaya. Dan itu yang kemudian membuat saya mungkin suatu hari nanti saya pengen deh travelling ke negara-negara Asia Tengah yang saya juga tertarik pada budayanya dan saya pengen belajar bahasa mereka dan budaya mereka dan hubungan antara bahasa dan budaya itu. Itu yang kemudian terwujud setelah saya lulus, orang tua saya mengizinkan saya untuk mengambil jalan hidup yang saya pilih sendiri. Dan saya jalan ke Asia Tengah untuk belajar bahasa dan budaya mereka.
Ya itu seperti mewujudkan mimpi. Ada Hans Tiu kan bilang, majunya sebuah bangsa itu satu karena ada kode bahasa, kode sastra, sama kode budaya. Jadi memang ternyata Pak Agustinus menemukan itu di... Komputer sains di Beijing ya?
Enggak sengajanya di Beijing, karena ada mata kuliah, yaitu linguistik dan budaya. Dan itu mata kuliah yang buat saya sangat berpengaruh. Bahkan sampai hari ini, beberapa topik yang dibahas itu masih membekas dalam pikiran saya.
Misalnya, bagaimana budaya sebuah bangsa itu dipengaruhi oleh bahasanya, dan bagaimana bahasa itu juga dipengaruhi oleh budaya. dalam tradisi Cina, bagaimana nama-nama orang Cina berubah seiring zaman itu kemudian membuat saya ketika berada di lokasi saya pun menggunakan topik-topik dan teori-teori yang saya pelajari di waktu kuliah itu untuk mengamati, oh nama-nama orang Afghan seperti ini, nama-nama yang digunakan orang Nusmeen seperti ini dan nama-nama itu juga menunjukkan lingkungan geografis mereka, pemikiran mereka. Jadi ternyata ketika kita belajar linguistik itu kan bukan cuma kita belajar bahasa asing, tetapi kita juga belajar budayanya, nama-namanya, ritual-ritual tradisi mereka, dan banyak hal yang dapat saya pelajari dari perjalanan fisik di negara-negara. Jadi saya pribadi sangat tertarik sama karya-karya beliau memang karena itu non-fiction. Kenapa Pak Agustinus juga...
non-fiction menjadi dasar daripada setiap karya Pak Agustinus? Ya, karena satu sisi, saya sendiri bukan pembaca fiksi yang baik. Kenapa? Mungkin kan kalau membaca fiksi kan kita juga perlu imajinasi yang kuat dan saya sering ketika membaca itu, saya susah mengimajinasi. Contoh, ketika saya membaca Harry Potter, dengan saya menonton film Harry Potter, lebih mudah saya nonton filmnya daripada membaca.
Somehow, apa ya? Saya agak ada kelemahan di dalam membaca fiksi. Di satu sisi, ketika saya membaca non-fiksi, dan karena saya tinggal di luar negeri, kebetulan bahan bacaan saya yang non-fiksi itu lebih banyak buku-buku dalam bahasa Inggris. Dan buku-buku perjalanan mereka, travel writing yang mereka tulis, itu membuat saya seperti terlibat dalam perjalanan itu. Jadi benar-benar saya mengalami wisata atau perjalanan hanya dengan membaca buku.
Saya sangat menikmati itu, yang kemudian juga tentu mempengaruhi cara saya menulis, karena buku-buku yang saya baca kemudian menjadi standar. Oh, penulisan perjalanan yang baik itu seperti ini. Jadi, itu kemudian mempengaruhi bagaimana saya menetapkan standar dalam tulisan-tulisan saya, maupun standar saya dalam mengevaluasi mana tulisan perjalanan yang baik, ataupun yang kurang baik. Jadi, saya memang lebih menikmati.
Tulisan dan fiksi yang bercerita dan storytelling, karena mungkin itu adalah bacaan-bacaan yang membesarkan saya. Oke. Kemarin juga di kelasnya, di sesinya Pak Agustinus ini, ada seorang guru datang dari Papua. Saya perhatikan, dia duduk depan saya. Terus dia bilang, jadi saya membaca buku-buku Pak Agustinus, dan saya sampaikan di ruang-ruang kelas, dan saya ingin mendengar langsung.
Nah, jadi sempat kuat, sesi kali ini sesi yang luar biasa, karena... Apa bentuk bertemu beliau itu sangat sulit? Karena beliau sekarang sedang banyak bergiat di bidang traveling.
Coba ceritain bagusnya terus gimana itu? Ya karena, ya gimana ya, kebetulan film Titik Nol kan sebentar lagi meluncur di Netflix. Saya sudah mulai banyak teman-teman yang minta, temanin dong jalan-jalan ke sini, jalan-jalan ke sini.
Akhirnya kerjasama dengan beberapa teman kita bangun sebuah travel agent yang khusus untuk kita melakukan perjalanan secara mendalam ke destinasi-destinasi yang gak biasa. Misalnya? Yang gak biasa itu apa? Ya Uzbekistan. Ntar lagi, Uzbekistan sekarang udah mulai mainstream nih.
Saya juga udah bikin yang ke Tajikistan. Jadi penyusuri perbatasan Amudarya yang saya ceritakan di buku saya, Garis Batas. Jadi kalau jalan...
Banyaknya kita juga adalah pembaca buku saya. Kita jadi semacam napatilas. Napatilas buku sambil traveling bareng penulisnya. Jadi ada satu hal yang berbeda, tuntutan yang juga berbeda dari sebagian pembaca buku saya. Mereka pengen menghidupkan pengalaman yang mereka baca dari buku itu sekalian sama travelingnya.
Jadi akhirnya muncullah pekerjaan ini. Jadi misalnya untuk beberapa destinasi, Seperti Uzbekistan, saya sudah banyak kali membawa kelompok-kelompok yang ke sana dan setiap kali pergi saya juga berusaha untuk menghadirkan story yang berbeda. Misalnya pada Juni nanti, ini saya baru pulang dari Uzbekistan, besok selama beberapa hari lagi saya petangkan lagi ke Uzbekistan, bawa grup.
Dan ini untuk Sufi Trip, jadi kita belajar. Sufi Trip? Iya, Sufi Trip bersama Pak Haidar Bagir dari Bizan. Kita akan...
Belajar tentang ajaran-ajaran sufi di Uzbekistan. Jadi kita akan mengunjungi makam-makam guru sufi seperti Hakim At-Tirmizi, kemudian juga ada makam dari pemimpin agama Islam, hadis seperti penulis hadis Imam Al-Bukhari, kan makamnya di sana. Dan juga kita belajar dari praktisi-praktisi sufi yang ada di Uzbekistan.
Jadi ini juga trip yang spesial. pulang-pulang dari sana Pak Agustinus jadi Kiai Haji Agustinus kayaknya ada yang bilang A-A-Gustinus Pak Agustinus saya membayangkan itu begini ya kayaknya genre kreatif non-fiction yang Pak Agus kembangkan ini seharusnya lebih cocok untuk mencapture bagaimana Indonesia yang beragam ya saya membayangkan itu, betul nggak Pak Agus? jadi sebenarnya genre iya Non-fiksi kreatif itu bukan saya mengembangkan, ya ini sebenarnya genre yang sudah populer di Amerika, di negara-negara barat. Non-fiksi kreatif itu sebenarnya adalah berawal dari jurnalisme sastrawi.
Pada tahun 70-an itu kan para jurnalis di Amerika merasa kalau jurnalisme yang tradisional itu tidak dapat membangkitkan emosi pembaca ketika membaca. Karena hanya menyajikan fakta, kemudian muncul teknik penulisan. yang menggabungkan unsur-unsur sastra dan disini kita turut bermain dengan tokoh kita bermain dengan emosi dan mengadopsi teknik-teknik penulisan sastra untuk menyampaikan non-fiksi jadi materinya non-fiksi teknik penceritaannya adalah teknik teknik penceritaan fiksi.
Jadi kita hanya meminjam tekniknya fiksi, tapi semua materinya bahan dasarnya adalah fakta atau non-fiksi. Dan buat saya sendiri sebagai pembaca non-fiksi, lebih mudah buat saya untuk membaca buku yang non-fiksi kreatif karena ada unsur storytelling jadi kita bisa tahu, oh ini bagian ini memang sangat penting dan berkesan dan ternyata teknik ini kemudian diadopsi oleh berbagai genre non-fiksi yang lain, seperti travel memori autobiografi, bahkan tulisan jurnalistik, sejarah, itu semua mengadopsi tulisan ini. Pernah baca Sapiens?
Sapiens, ya. Sapiens, itu kan juga kita baca, itu kan sebenarnya buku sejarah, tapi kita bacanya enak sekali, gitu ya. Karena ya itu adalah teknik non-fisiokratik, dimana pakai teori-teori sastra, dimana kita juga mempertimbangkan emosi pembaca, dan kita juga berinteraksi dengan pembaca lewat tulisan kita. Dan ketika pembaca membaca bahkan materi. yang berat pun akan terasa ringan karena disampaikan dengan storytelling.
Kalau dalam konteks Indonesia, memang non fiksi kreatif belum cukup banyak. Bahkan di Indonesia sendiri ada kebingungan terhadap genre ini. Contohnya buku saya kan, Selimut Debu, Gadis Batas, Titik Nol, itu kan semua adalah buku non fiksi, tulisan perjalanan. Tapi di Indonesia lebih sering dikategorikan sebagai fiksi karena tekniknya lebih mudah.
penulisannya fiksi. Nah di satu sisi juga ada pertimbangan. Kalau kita ditaruh di, kalau buku-buku itu ditaruh di buku non fiksi, orang mungkin tidak akan menyentuh buku itu karena menganggap non fiksi itu berat, membosankan. Tetapi ketika ditaruh di buku fiksi jadi orang pada beli karena merasa, oh ini seru gitu.
Tapi itu sebenarnya non fiksi. Jadi memang di Indonesia agak rancu karena mengira non fiksi pasti membosankan dan fiksi pasti asik. Padahal non fiksi juga bisa dibuat asik. untuk dibaca, kalau kita menggunakan teknik non-fisi kreatif bahkan kalau boleh saya tanya lebih lanjut Pak Agustinus, investasi untuk menemukan fakta, data di non-fisi kreatif itu lebih mahal kan?
karena ya belum tentu juga sih mahal atau enggak kan relatif ya, maksudnya saya juga enggak mahal-mahal amat, traveling mungkin dari sisi waktu ya, akan bertahun-tahun karena memang untuk menghasilkan non-fisi kreatif ini yang bagus kan berdasar dari materi kita, kedalaman materi kita seperti apa. Kemudian riset lapangan kita seperti apa, riset bacaan kita seperti apa. Karena memang tantangannya untuk non-fiksi kan kita tidak boleh menciptakan fakta.
Kalau kita menciptakan fakta, satu aja fakta yang diciptakan, itu kita sudah masuk ke rana fiksi. Bahkan ketika kita cuaca yang nggak hujan pun kita tulis hujan supaya romantis, itu kita sudah menciptakan fakta. Itu sudah nggak bisa disebut.
non-fiksi. Jadi non-fiksi kreatif itu punya kontrak yang serius dengan pembaca di mana kontrak yang paling penting adalah kontrak non-fiksi. Dan ini tidak boleh dilanggar, yaitu bahwa tidak ada satupun fakta yang diciptakan.
Bahwa semua yang kita sampaikan adalah faktual. Bahwa semua yang kita sampaikan adalah kenyataan yang tidak ada yang kita imajinasikan dari fakta itu. Jadi dalam hal itu memang itu tatangannya. Tetapi di sisi lain bukan berarti kita kita gak ada ruang kreatif atau namanya juga non-fiksi kreatif. Ruang kreatif kita di mana?
Ruang kreatif kita adalah bagaimana kita menceritakan fakta itu. Bagaimana kita mengurutkan data, bagaimana kita memainkan emosi pembaca, bagaimana kita memilah-milah fakta untuk disampaikan. Di situ ruang kreatif kita.
Dan itu bisa kita gunakan untuk membuat pebaca hanya dalam fakta-fakta kita yang kita sampaikan dapat cerita. Saya korbannya. Terhanyut.
Saya tidak tidur. Asli, saya tidak akan lupa membaca itu. Kemarin saya menarik juga di sesinya Pak Agustinus, ada bagian yang diceritakan.
Siapa ya kemarin ya? Yang diinvestigasi kemudian akhirnya gugur itu siapa? Oh itu Three Cups of Tea.
Ya, Three Cups of Tea itu... Siapa sih nama penulisnya? Saya lupa lagi.
Lagi main abad dan jadi memoriak ya. Three Cups of Tea itu buku yang sangat fenomenal. Pernah baca waktu itu? Belum-belum.
Itu salah satu buku travel writing yang populer dan berhasil. Jutaan kopi laku di dunia. dan bukunya juga sempat dipromosikan di Oprah sehingga menjadi sangat unik buku itu menceritakan tentang seorang traveler Amerika yang pergi ke Pakistan kemudian dia mengalami kejadian tak terduga di Pakistan yang kemudian membuat dia mendedikasikan hidupnya untuk membangun membangun pendidikan, dengan membangun sekolah-sekolah dan dia kemudian membangun NGO untuk tujuannya untuk mendanai pembangunan sekolah-sekolah di Pakistan dan Afghanistan dan banyak para pembaca buku yang bersimpati donatur-donatur sehingga NGO itu menjadi besar kemudian ada jurnalis investigasi yang merasa bahwa ada banyak kejanggalan jadi Cerita ini, dia sendiri termasuk salah satu donatur dari NGO yang didirikan penulis ini, Greg Mothersen.
Dia melakukan investigasi dan dia menemukan bahwa banyak hal yang disampaikan oleh penulisnya itu ternyata bohong. Misalnya penulisnya bilang dia diculik, dia diculik oleh Taliban dan sebagainya. Terus kenyataannya dia bukan diculik, tapi dia...
lagi jalan-jalan sama temen-temennya, jadi dia menceritakan temen-temennya itu sebagai penculik jadi itu hanya satu contoh kecil dan banyak sekali contoh-contoh kebohongan lainnya yang diungkap dalam buku tandingannya yaitu Three Cups of Lies atau apa jadi itu pun jadi buku yang fenomenal karena semacam menguak kebohongan dari buku populer yang mengklaim dirinya sebagai non-fiksi sebenarnya tidak akan masalah kalau penulisnya tidak bilang itu buku non-fiksi. Penulisnya bilang ini buku fiksi yang terinspirasi kisah nyata, itu oke. Tapi ketika dia bilang itu buku non-fiksi, maka ada kontrak non-fiksi itu yang harus dipenuhi. Yaitu bahwa tidak ada satupun dari bagian dari buku ini yang merupakan imajinasi dari fakta.
Penulis boleh berimajinasi, tapi dia memberitahukan pembacanya ini adalah imajinasi saya, nggak apa-apa. Tapi bagian-bagian yang dia klaim sebagai fakta harus benar-benar faktor. Jadi pembaca harus bisa melihat jelas dalam buku non-fiksi kreatif.
Mana yang non-fiksi, mana yang fakta, dan mana yang imajinasi. Jadi kontrak non-fiksi itu luar biasa ya? Itu penting sekali.
Kalau di Amerika, di Barat, itu bisa dipermasalahkan di pengadilan. Kalau kita mengklaim buku kita non-fiksi, tetapi kita memasukkan hal-hal yang merupakan... fakta-fakta yang kita imajinasikan berarti kita sudah melanggar kontrak non-fiksir dan kita bisa dipermasalahkan di depan hukum jadi ini sangat serius misalnya jurnalis menyampaikan berita-berita yang gak benar itu pun juga bisa dipermasalahkan karena kan beritanya kan data-data kita harus valid, ya kalau kita mengklaim kita memberi laporan jurnalistik ya kalau data-datanya adalah hasil rekayasa kita kan sama aja kita menyebarkan hoax ya hoax ya Pak Gusirus pernah jadi wartawan gak sih? saya pernah Pernah ya?
Di Beijing? Di Afghanistan. Di Afghanistan saya sebagai jurnalis butuh. Di kantor perintah lokal.
Kemudian di Beijing saya juga bekerja di radio internasional. Luar biasa. Jadi emang betul-betul beliau, saya bukan puja-puji depan orangnya ini, karena emang Bapak ini menginspirasi saya.
Saya serius banget soal itu. Kemudian kita flashback ke penciptaan karya pertama. Begitu karya jadi, terus memilih penerbitan, gimana dulu?
kan wizen tulisannya? enggak, buku pertama, kedua, tiga, empat saya gravidia jadi sebenarnya saya nggak memilih penerbit mungkin karena saya beruntung, penerbit yang memilih saya jadi saya nggak pernah mengalami seperti penulis kebanyakan yang dilakukan penulis lain yaitu kita melakukan proposal karya kita kepada penerbit Kebetulan penerbit yang mencari saya, karena waktu itu saya mengawali tulisan perjalanan saya dari blog. Saya punya blog perjalanan, buku harian perjalanan saya yang ditulis dalam bahasa Inggris.
Kemudian editor dari Kompas waktu itu menghubungi saya dan mereka tahun 2008 mereka memulai rubrik Kayak kompas.com dan mereka membuat rubrik berjalanan. Jadi mereka kontak saya untuk membuat rubrik saya sendiri, kolom saya sendiri yaitu dari buku harian saya. Dan buku harian saya kemudian dimuat secara harian di kompas.com dalam bahasa Indonesia. Dan itu menjadi sangat populer sehingga banyak peneliti kemudian menghubungi saya untuk menerbitkan karya saya. Dan karya saya yang tiga buku berjalanan pertama.
Semuanya didasarkan dari rubrik metualang yang ada di kompas.com. Tetapi tentu ditulis pulang. Tapi kemudian pindah ke Mijan misalnya itu kenapa?
Pindah ke Mijan sebenarnya bukan pindah sih, karena memang tidak ada kontak. ...kontrak eksklusif, tapi di satu sisi memang saya dibesarkan dengan media. Dan buku ini, karena buku kita dan mereka ini, menyangkut mungkin banyak topik yang sangat sensitif untuk dalam hal agama, topik-topik tentang terorisme, terorisme berbasis agama, dan sebagainya.
Dan saya merasa ketika saya... Tim Misan Itu editor-editor yang sudah berpengalaman Dalam menangani atau menampilkan Topik-topik seperti ini Sehingga ketika Saya mengalami kesulitan dalam Proses berkarya Dimana saya perlu teman-teman diskusi Teman-teman yang membantu Saya untuk memperkaya bacaan saya Dan memperkaya diskusi saya Saya sangat terbantu Oleh editor-editor Misan Yang yang memberikan banyak diskusi-diskusi yang kontemplatif sehingga akhirnya buku ini bisa terselesakan. Dan di satu sisi, Mizan sebagai penerbit yang identik dengan Islam, penerbit buku Muslim, tentu untuk topik-topik seperti ini saya merasa lebih aman untuk mendapatkan dukungan. Apalagi ada nama Bapak Haydar Bagir yang juga membaca karya ini dan turut. mengoreksi seandainya karya ini ada ada kesalahan dalam buku ini jadi itu merupakan satu kepercayaan diri yang besar buat saya untuk menyelesaikan buku ini karena kita dan mereka ini kan membahas topik identitas secara luas dan banyak isu-isu sensitif disitu dan memang saya perlu backup dari teman-teman yang paham isunya dan bisa berdiskusi dengan saya dan juga dari sisi editing menjamin bahwa topik ini materi ini disampaikan dengan cara yang benar, baik, dan aman.
Mungkin selanjutnya nih, ada nggak sih misalkan refleksi individual ketika melakukan traveling yang tidak masuk di dalam karya Pak Agus Stinus? Refleksi individual mungkin banyak sekali ya, karena kan karya saya lebih fokus pada isu identitas. Jadi tentu kalau masalah-masalah yang tidak berhubungan dengan identitas biasanya tidak saya tulis dalam buku saya.
Jadi kalau tentang personal, tentang keluarga itu agak berat. Sebenarnya dalam titik 0 ini adalah buku yang ketiga saya menempatkan memoir, itu lebih banyak refleksi-refleksi yang bersifat keluarga yang sebenarnya jarang saya tulis, tapi mau nggak mau harus keluar dalam buku saya. Memang mungkin dari sisi saya pribadi saya kurang banyak ya bicara tentang perasaan diri, mungkin juga sifat saya yang introvert ya, saya juga kurang banyak bicara tentang emosi diri.
Tetapi ketika saya menulis buku Titik Nol, yang merupakan buku bestseller saya di Gramedia, dan yang sebentar lagi akan jadi film di Netflix, nah itu adalah buku yang benar-benar menggali sisi itu, menggali sisi yang selama ini selalu saya hindari. Dan mungkin karena itulah buku itu menjadi lebih populer, lebih sukses dan bisa dibuat menjadi pinang. Tapi dalam topik yang secara alamiah lebih banyak saya bahas, memang topik yang berhubungan dengan identitas. Tadi terkait dengan identitas, mungkin ini juga yang melekat di Pagustinus, kalau pakai baju lurik, kemarin hijau, sekarang merah. Oh, lurik ini sebenarnya dari...
dari Nepal kayak lurik cuma karena saya sendiri suka baju etnik ini juga dari Nepal ini sebenarnya gabungan antara Nepal itu kan di tengah India sama China jadi desainnya dia itu antara Tibet dengan India jadi kalau baju ini karena saya pakai karena kebetulan Makassar sangat panas dan baju lengan panjang ini biarpun panas rasanya sejuk karena dia nyerap nyerep banget bahan dari India bahan apa ya? ini kakten jadi 100% jadi gak berasa panas walaupun lengan panjang dan saya sih alasan praktis alasan praktis aja tapi di satu sisi saya juga suka mengadopsi dari aspek-aspek indah dari tempat-tempat yang saya kunjungi ke dalam diri saya, jadi mungkin dalam pakaiannya, dalam makanannya, selalu saya membawa sesuatu dari tempat-tempat itu wih luar biasa ya saya tidak membayangkan betapa serunya kehidupan beliau saat ini ya sekarang saya lagi sering ke usaha Jadi setiap malam nyemil bismis sambil inget Uzbekistan atau kacang pistasio Itu tadi travel agent namanya apa Agus? Wesko Travel Wesko dalam bahasa Jawa Wes, Wes udah berangkat aja Wesko Oh Wesko Berkantor di?
Di Jakarta Jakarta, oke Kalau temen-temen mau ikut travel gimana caranya? di pantau aja di IG nya wisgo.revo tapi emang ada base-basenya gitu ya? iya kita ada beberapa base dan destinasi nya juga yang gak biasa kayak Uzbekistan negara-negara Asia Tengah Ada nanti kita bergaduh di Turkmenistan, negara yang terisolasi.
Kemudian Tajikistan menyusuri perbatasan dengan Afganistan. Kita juga akan pergi ke pasar Afganistan. Kemudian ada rencana ke Pakistan, ke perbatasan hybrid pass.
Yang baca Sri Modepu, tau kan? Kita akan ada rencana ke sana juga. Kemudian ada juga Laos. Saya juga bekerja sama dengan teman-teman penulis ya. Karena ini program kayak traveling with the authors.
Jadi berjalan bersama penulis. Jadi saya nanti... juga kerjasama dengan teman-teman penulis, kita akan membuat program-program bagi para penulis yang sesuai dengan karakter buku mereka dan destinasi mereka. Contohnya adalah dari The Hill of Story, nanti misalnya kita akan buka ke Laos, karena kan dia nulis tentang ada Laosnya juga.
Jadi setiap pergi itu, kalau di Wisco Travel, Ejelit Travel itu, pasti disertai oleh Pak Agustinus ya? Nggak semua, tapi... hampir semuanya, ya sekarang sebagian besar masih saya tapi setidaknya semua destinasi dan itinerary saya yang kumulasi, jadi menjamin bahwa ini bukan jalan-jalan biasa tapi juga perjalanan yang berbahaya.
Tadi kemudian kita nyambung lagi nih Pak Gus, terkait dengan ada gak sih hal pribadi yang mungkin itu jadi semacam refleksi yang kuat begitu ketika melakukan banyak perjalanan apa? Puisi mungkin? Puisi? Saya sendiri merasa bahwa dalam setiap perjalanan itu kontemplasi itu penting jadi kayak kita perlu ruang hening ruang hening itu bisa dengan meditasi bisa dengan membaca bisa juga dengan melamun itu ruang hening yang penting dalam perjalanan supaya kebijaksanaan dalam perjalanan itu dapat kita selamatkan Kalau kita hanya terus-menerus menyerap informasi tapi tidak ada waktu untuk merenungkannya, ya itu akan susah. Dan ya tadi Kang Sejam menyebut puisi juga, saya sendiri suka dengan beberapa puisi karya Rumi, Rumi ataupun Hafiz atau penulis-penulis yang spiritual.
Dan bukan cuma yang sufi, tapi juga dari berbagai agama yang lain. Karena buat saya itu adalah jendela hati. Kita ngelihat keluar, sekaligus masuk ke dalam lewat puisi.
Salah satunya puisi Rumi yang buat saya berkesan, dan terlebih lagi setelah saya belajar meditasi, puisi ini jadi benar-benar hidup buat saya. Jadi Rumi pernah mengatakan, kepala kita adalah sebuah karawan serai. Setiap pagi, tamu baru berdatangan.
Setiap pikiran, bahagia ataupun sedih. Itu adalah tamu kita, sambutlah mereka. Nah, waktu itu saya hanya suka kata-kata itu, puisi itu kayaknya kuat banget gitu.
Tetapi setelah saya melakukan praktik meditasi, sudah praktik, saya menjalani meditasi 8 tahun sekarang, setiap hari saya belajar untuk mengamati diri, mengamati pikiran, saya pun belajar untuk merayakan. Setiap pikiran yang muncul, jadi ada pikiran marah, sedih, lisa, saya amati dan saya menerima bahwa itu adalah bagian dari diri saya. Tetapi itu bukan definisi saya.
Dan ketika saya bisa berdamai dengan segala pikiran saya, baik pikiran positif maupun pikiran negatif, saya bisa berdamai dengan konflik-konflik diri saya. Dan saya rasa ketika kita bisa berdamai dengan pikiran kita sendiri, dan kita bisa menjadi tuan dari pikiran kita sendiri, Maka kita bisa meraih pencerahan, karena kita akan sudah selesai dengan diri kita. Itu dia sebat kuat. Ya mudah-mudahan setengah jam ini bermakna bagi sebat kuat, karena bagi saya, apa yang Pak Agustinus jelaskan tadi-tadi, cukup memberi tafsir terhadap karya-karya Pak Agus. Jadi pertama sekali adalah kontrak yang...
begitu serius dengan non fiksi jadi dulu saya pernah pergi ke Ukraina sebelum konflik 2013 jadi sana tuh saya ngeliat sebelum konflik yang apa? Crimea itu itu sekitar 2 bulan saya disana, 2 bulan sebelum Crimea itu Saya membaca lagi buku-buku Pak Agus, gimana ya cara mensaripatikan data, karena saya juga seorang jurnalis, tetapi menjadi indah gitu, bertutur itu, kayaknya kok sulit gitu. Kalau dalam hal non fisik kreatif, karena kita menggunakan teknik penulisan sastra, mau gak mau kita harus belajar dari teknik penulisan sastra. Jadi, ya harus baca novel. Terus ketika kita ngeliat novel, baca novel, kok novel ini kuat ya?
Kuatnya artinya dimana? Apakah pemainan tokonya, dialog-dialognya, kemudian urutan ceritanya, ya kan? Kalau kita terlalu kronologis kan memang akan membosankan. Nah, kalau dari teknik penulisan sastra, mereka, para penulisan sastra itu sudah tahu dan terlatih untuk memainkan emosi pembaca lewat mengundang ke pengintauan pembaca, strateginya apa, nah itu yang kita adopsi.
Kadang dari quote-quote yang menarik dari orang-orang yang mereka ucapkan di situ, itu bisa menjadi pemotik. Kemudian bagaimana kita melemparkan isu pelakuan dari isu yang paling umum, dari general, masuk-masuk terus ke isu yang paling konkret dan kompleks. Isu yang kompleks harus dibiarkan.
Itu semua adalah teknik-teknik yang kita bisa pelajari dari penulisan sastra. Oke, Sobat Kuat, mungkin begitu ya. Semoga semakin banyak yang tertarik di kreatif non-fiction, karena kita kalau bisa membedakan antara...
Fiksi dan non-fiksi itu efek, dampak ke dirinya beda sih. Ya mudah-mudahan teman-teman bisa melihat itu semua ya. Dan buat saya, satu kelebihan non-fiksi adalah kita, setiap individu dalam dunia nyata adalah individu yang kompleks.
Sangat kompleks. Se-kompleks apapun tokoh-tokoh yang diceritakan dalam fiksi, tidak akan mengalahkan kekomplekskan individu dalam dunia nyata. Karena itu ketika non-fiksi kreatif benar-benar dipakai secara efektif, kita akan bisa memahami kekompleksan dunia dari tokoh-tokoh yang kita ceritakan. Karena tidak ada satu individu pun dalam dunia ini.
Kita yang individu yang sederhana. Itulah kelebihan dari karya non-fiksi. Baik, terima kasih Pak Agus.
Semoga kita bisa berjumpa lagi di kesempatan yang lainnya. Terima kasih banyak, kuat baca untuk undangannya. Terima kasih untuk percakapan yang menarik. Sampai jumpa lagi