Transcript for:
Kebebasan dan Kemandirian Menurut Fromm

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi rupil alamin. Assalatu wassalamu ala asyrafil anbiya wal mursalin. Sayyidina wa maulana Muhammadin. Wa ala alihi wa ashabihi wa mandabiahum bi ihsanin ila yaumiddin. Amma batu. Bismillah. Mari kita lanjut lagi. Belajar lagi. Malam hari ini kita mengawali bulan yang baru. Berarti temanya juga baru. Di bulan Agustus ini kita akan mengambil tema kebebasan dan kemerdekaan. Ya meskipun... Tema kebebasannya kita ambil dari banyak perspektif, tidak sekedar kemerdekaan politik, tapi juga di level individu, di level religius, maupun level spiritual. Malam hari ini kita awali dari perspektif psikologi. Untuk ngecek diri kita, benar tidak sih kita itu ingin bebas dari beliau, eris from. Karena kadang-kadang kita tidak sadar, mulut kita bilang saya ingin bebas, saya tidak mau terikat. Tapi dalam kenyataannya sebenarnya kita sedang lari dari kebebasan. Minggu depan kita belajar dari Tan Malaka Kalau ini yang kebebasan atau kemerdekaan di ranah politik Beliau punya konsep merdeka 100% Setelah itu kita geser ke warna spiritual, kita belajar dari Krishnamurti yang salah satu tema bukunya judulnya Bebas dari... yang dikenal kemudian minggu terakhir kita belajar di ranah moral akhlak belajar membebaskan diri dari nafsu jadi macam-macam macam temanya, biar teman-teman enggak bosan. Kalau saya isi kemerdekaan politik semua, kemarin bayangan saya itu tapi ya mesti teman-teman bosan nanti. Saya khawatir ada yang komentar politik terus nanti gitu. Yalah, ya macam-macam lainnya, ya no politiknya, ya ada psikologinya, ya ada spiritualnya, ya ada akhlaknya. Saya juga biar enggak bosan. Karena kadang-kadang satu tema dari ranah yang sama itu ya, isinya kadang mirip-mirip. Makanya kita awali sekarang dengan psikologi. Materi malam hari ini agak padat, jadi teman-teman siap-siap ya. Agak banyak juga, ini zaman saya mahasiswa dulu saya baca buku ini, Lari dari Kebebasan. dari Shrom yang salah satu bukunya dulu juga pernah kita bahas yaitu The Art of Loving, Seni Mencintai. Nah buku Seni Mencintai itu menurut saya bagian dari konsep besar beliau tentang psikologinya manusia yang nanti dikenal sebagai psikologi humanistik. Yang antara lain bisa kita pahami lewat buku lari dari kebebasan ini Bismillah ya kita belajar coba malam hari ini kita tengok diri kita, kita ada di mana Apalagi ini kan teman-teman banyak yang muda-muda ya, yang biasanya mengidamkan kebebasan. Apa iya begitu? Nah nanti kita belajar dari Erich Fromm ini. Filosof, ahli psikologi, psychoanalisis, kemudian juga psikologi sosial juga, dikenal sebagai salah satu eksponen madhab Frankfurt. Beliau kelahiran tahun 1900, meninggalnya 1980, pas berarti usianya 80 tahun. Dan orang pinter ya, kalau tidak pinter ya tulisannya tidak banyak, pengaruhnya juga besar. Meskipun hidupnya juga tidak mulus-mulus amat. Beliau ini hidup dalam lingkungan keluarga yang agak sulit. Ayahnya introvert, ibunya dikenal agak narsis. Itu kombinasinya, yang satu narsis, yang satu introvert. Sehingga pengalaman di rumah itu mungkin salah satu inspirasi beliau. Beliau juga pernah ditinggal pacarnya. Waktu umur 12 tahun. Jangan kaget. Jadi pacarnya ini bunuh diri. Jadi perempuan yang dia cintai bunuh diri karena ingin ikut ayahnya. Ayahnya meninggal, dia tidak kuat, depresi, terus bunuh diri. Nah ini fenomena-fenomena ini nanti mungkin antara lain yang dilihat oleh Erich Fromm. Kemudian dia masuk ke filosofinya tentang manusia khususnya nanti psikologi yang dikenal di aliran humanisme. Baik, bismillah kita lihat ya. Seperti apa gagasan-gagasan beliau tentang manusia? Di ranah psikologinya yang menurut beliau salah satu gayanya manusia itu ada yang lari dari kebebasan. Kalau kalian cari bukunya sebenarnya ada kalau mau membaca ya, tapi biasanya kalau saya bilang gini kalian tertarik nanti bukunya dibeli tapi membacanya tidak. Yuk, bismillah kita mulai. Saya awali dari sini. Salah satu pandangannya Erich Fromm adalah beliau melihat manusia itu secara eksistensial. Kita sebut saja eksistensial itu ketika dia menjalani hidupnya. Sesuai yang dia inginkan, itu sering ketemu dikotomi-dikotomi. Yang dikotomi ini sering menggelisahkan, harus dicari solusinya. Karena kelihatannya kok sama-sama benar dan tak berat. Yang namanya dikotomi kan saling berlawanan sebenarnya. Dikotomi pertama yaitu tabrakan situasi antara hidup dan mati. Kita itu ingin menseriusi hidup, menikmati hidup dan lain sebagainya, tapi kita juga sadar bahwa nanti saya akan mati. Sementara, masak saya sudah secapek itu kerja, secapek itu melakukan ini itu membangun keperibadian, menata hidup dan lain sebagainya. Kok Yontilala akhirnya mati. Ini kan menggelisahkan, kegelisahan bahwa saya berakhir mati itu membuat manusia galau secara eksistensial. Gimana kemudian caranya saya tetap bisa tahan lama? Kemudian ada banyak jalan dilakukan untuk mengatasi kesadaran bahwa saya akan mati. Antara lain termasuk muncul banyak sekali konsep-konsep termasuk dalam agama-agama yang menegaskan bahwa tidak usah takut karena mati bukan akhir. Nanti masih ada hidup sesudah mati. Ini juga nanti jadi dikutomi lagi. Kadang-kadang keyakinan bahwa sesudah mati nanti masih ada tubi kontinyutnya, bukan final, juga membuat kita terus tidak terlalu serius dengan hidup ini. Itu yang banyak dikritik kemarin kan oleh Nidja dan kawan-kawan, oleh kalemah-kawan. Terus kita jadi lemah, kita jadi tidak apa-apa saya kalah di dunia, nanti di akhirat baru saya sukses. Tidak apa-apa kita dijajah, kita ditindas orang. Wong, dunia ini tidak akhir segalanya. Kita jadi pasif, kita jadi males. Jadi, ini yang oleh Erich Fromm disebut ada dikotomi-dikotomi yang membingungkan kita. Terus gimana ya Pak enaknya? Itu yang disebut dikotomi tadi. Ya jangan tanya saya ya Pak, mau pikir sendiri. Setiap orang punya jawaban versi masing-masing. Makanya ada orang yang memaknai ini, terus saya harus hidup sepenuhnya, menikmati, berkarya, kreatif sebelum kematian itu datang. Sehingga orang masih mengingat saya. Tapi ada juga yang memaknai hidup, jangan terlalu ngoyo, jangan terlalu serius, karena hidup ini hanya ilusi, yang sejati nanti setelah mati, macam-macam makna diberikan. ini dikotomi pertama disebut dikotomi karena mungkin kayak tadi ada pertentangan-pertentangan dan kita tidak tahu solusi idealnya seperti apa masing-masing orang dengan aliran dan kecenderungannya punya jawaban sendiri-sendiri yang kedua Ini juga lanjutannya, ada dikutumi antara tujuan dan waktu. Kita kan selalu oleh banyak orang di sebuah hidup ini punya tujuan. Sebuah hidup ini kita aktualkan semua potensi diri kita, kita realisasikan diri kita seideal mungkin. Gantunglah cita-citamu setinggi langit, kan selalu begitu. Tapi di sisi lain kita juga ada problem waktu. Kalau cita-citamu setinggi itu, apa waktunya cukup? Kalau kamu ingin membentuk dirimu si ideal itu, apa kamu sempat merasakan kebahagiaan? Saya akan bahagia kalau sudah. Lulus S3 terus kerja di perusahaan yang luar biasa. Terus bisa gajinya satu bulan sekian M. Yang itu ditempuh dalam waktu panjang. Padahal kita tidak tahu sebatas mana usia kita. Berapa lama durasi waktu yang diberikan Tuhan untuk kita hidup. Ini kan yang disebut dikutumi. Kita mau jawab gimana ya susah. Ya tetap harus serius pak. Tapi kalau terlalu lama. terlalu capek serius, kita tidak sempat menikmati terus sakit, terus meninggal bagaimana? Oh berarti saya harus menikmati dulu ya Pak, tidak usah serius-serius. Kalau kamu tidak serius-serius masa depanmu bagaimana kalau usiamu panjang? Itu yang disebut dikutomi, kamu bingung lagi. Malam hari ini tambah stres nanti kamu pulang Ternyata masalah kita banyak dalam hidup ini Yang ketiga, ini nanti yang dibahas yang ketiga ini Dua yang pertama kalian baca sendiri, kejar sendiri Kalau ingin tahu versinya Eris Rom Tapi kita fokus di yang ketiga karena temanya kebebasan Yaitu dikotomi antara kesendirian dan kebersamaan dulu ngaji filsafat pernah membahas secara terpisah kesendirian kemudian satu sesi lagi kebersamaan saya yakin begitu kalian mendengarkan kesendirian Kalian merasa cocok? Iya, hakikatnya hidup itu sendiri memang. Kita lahir sendiri, berjuang sendiri, mati sendiri kan begitu. Tapi begitu mendengarkan yang kebersamaan. Iya, saya tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Apa bisa saya mengklaim diriku sendiri? Tidak bisa. Jadi kalian merasa sama-sama masuk di dua tema itu. Kenapa? Karena itu memang eksistensi kita ya dua-duanya itu. Ya sendiri, tapi sekaligus butuh orang lain. Ini yang disebut dikotomi. Kita sadar bahwa saya ya saya, bukan orang lain. Aku punya keinginan sendiri, karakter sendiri, cita-cita sendiri, kaya hidup sendiri. Orang lain juga versinya mereka masing-masing. Di sisi lain kita juga sadar, tapi mengaktualkan diriku, hidup seperti ideal yang ada di kepalaku. Tidak mungkin terwujud tanpa bantuan orang lain. Boleh kalian sebut cita-citamu apapun. Itu pasti melibatkan orang lain. Tidak kok Pak, saya ingin uzlah saja. Misalnya menjauh dari orang banyak. Ya kamu menjauh, tapi kan kamu juga anaknya seseorang, saudaranya seseorang. Kamu punya kebutuhan ini, kebutuhan itu. Sama sekali tidak bisa. Kamu jauh dari orang lain. orang lain ini yang disebut dikotomi ingin sih asik sendiri menikmati diriku sendiri me time ku sendiri terus-terusan tapi apa ya mungkin hidup tanpa terikat orang lain jadi antara sendiri dan bersama itu selalu terjadi tarian-tarian konflik dalam diri kita Jadi ini dasarnya, ini namanya dikotomi eksistensial. Hidup kita itu ternyata banyak dikotomi-dikotomi. Dikotomi-dikotomi itu tidak selalu antara yang benar dan salah, seperti saya bilang, ini dua-duanya hakiki sih, tapi sering tabrakan kepentingan dalam hidup kita. Baik, kita lanjutkan. Jadi malam hari ini kita ada di wilayah ketiga. Gimana sih membaca dikutumi kesendirian dan kebersamaan? Kok sampai manusia itu lari dari kebebasan? Nah, sekarang kita lihat, ini dasar berfikirnya Erich Fromm. Kenapa kok ada orang terus lari dari kebebasan? Padahal kalian kalau ditanya, apalagi yang muda-muda, mesti bilang kita harus bebas, Pak. diikat atau terikat itu tidak enak kita selalu ingin begitu nah kita lihat kalau tadi dikotomi eksistensial dalam diri kita ada kegelisahan eksistensial Apa kegelisahan eksistensial itu? Saat kita terpisah dari orang lain atau terpisah dari lingkungan kita atau terpisah dari alam kita, itu kita pasti gelisah. Momen jauh, momen perpisahan, momen LDR-an, kalian yang ngerti ya. Itu kan momen yang pahit. Apa ada kamu yang senang-senang dalam perpisahan, kan? Jadi kamu gelisah saat mengalami perpisahan sendiri itu tidak enak dalam perspektif ini. Jadi kamu ingin kalau kamu pas sedih ada orang lain untuk berbagi, kalau kamu pas senang ada orang lain yang ikut merayakan dan menyelamati kamu. Jadi ini salah satu kondisi eksistensial yang sering menggelisahkan kita. Sementara di sisi yang lain kita jadi manusia ingin mandiri. Ingin tidak terikat oleh orang lain. Ingin aku bisa menyelesaikan semua masalahku sendiri. Kan kita ingin begitu. Di sisi lain kalau jauh dari orang lain kita merasa kesepian. Ada enggak di sini kalau pas lagi suntuk obatnya yuk keluar nyari teman ngobrol guyon-guyon seneng-seneng terus kita ceria lagi Kalau setak saja di kamar atau di rumah, ya kita rasanya suntuk, sepuyang. Dosen di WA nggak bales-bales, skripsi nggak selesai-selesai. Nanti kan kamu setak di situ, padahal itu asik kamu sendiri. Tapi kan terus kamu keluar, nyari teman, ngobrol, ngalor-ngidur, nggak jelas tapi terus kamu gembira ketika berhubungan dengan orang lain. Jadi momen perpisahan, momen jauh dari orang lain itu menyakitkan. termasuk jauh dengan lingkungan, jauh dengan alam. Sementara hidup ini mengajarkan kita secara ideal untuk mandiri. Manusia itu semakin modern, semakin maju, semakin tersekat-sekat. semakin terisolasi zaman dulu orang guyuk sekarang mungkin jarang ya di kampung saya dulu waktu kecil kalau ada padang bulan tanggal 14, 15 itu nongkrong di luar semua ngobrol yang anak-anak main guyuk rukun, tapi situasi hari ini tidak ada yang semacam itu, kalian di kamarmu sendiri dengan gadgetmu masing-masing Kita semakin tersekat-sekat. Kemudian kita juga tambah pinter. Apa saja bisa kita penuhi kebutuhan kita tanpa bantuan orang lain. Sekarang mesin apa saja banyak. Segala sesuatunya otomatis. Sekarang kamu di kamar mandi saja, kalau mau setelah buang air, setelah apa, itu ya sekarang. Otomatis semua kamu tidak perlu ngapa-ngapain sudah dibersihkan oleh mesinnya. Apa saja sekarang otomatis jadi kamu mandiri tidak perlu bantuan orang lain. Padahal tadi jauh dari orang lain, tersekat dari orang lain itu menggelisahkan. Kamu ingin bebas merdeka tapi begitu kamu bebas beneran tidak nyambung dengan banyak orang lain. Kamu bisa melakukan apa saja pada akhirnya kamu akan kesepian. Tambah mandiri kan tambah tidak perlu bantuan orang lain. Tambah tidak perlu bantuan orang lain. Kamu sebenarnya tambah bebas. Mau apa saja. Tapi ada efek lain. Ya itu kamu jadi kesepian. Apalagi gaya hidup hari ini. Kita tambah egois, tambah individualis. Orang hidup di kamarnya masing-masing. Apartemennya masing-masing. Kosnya masing-masing. Tidak keluar-keluar. Kalau dulu masih mending keluar nyari makan, sekarang tinggal ngeklik GoFood sudah datang. Jadi itu situasi hari ini yang membuat orang gelisah. Diam-diam dia kemudian ingin nyari teman lah. Kalau dulu di... Siapa? Sartre kan manusia itu neraka bagiku karena ada orang lain aku enggak bebas. Tapi sekarang karena kamu gelisah kamu nyari teman. Itu kan sama saja nyari neraka. Kalau versinya Sartre kan manusia orang lain itu neraka. Berarti kamu nyari teman, nyari orang lain untuk dekat, untuk bergaul. Yang karena hadirnya orang lain itu kamu jadi enggak bebas. Sebebas waktu kamu sendiri. Nama lainnya kamu kayak cari neraka Tapi gimana lagi tuntutan jiwamu begitu Inilah nanti yang disebut orang lari dari kebebasannya Karena dia tidak bisa hidup sendiri Nah dari situ nanti Kegelisahan, kesepian tadi membuat orang setidaknya melakukan dua strategi kata Erich Fromm. Ada strategi yang sehat, ada strategi yang tidak sehat. Strategi yang sehat itu cinta, kerjasama, makanya beliau menulis The Art of Loving. Ada strategi yang tidak sehat yaitu lari dari kebebasan. Kita menggadaikan kebebasan kita. Malam hari ini kita tema lari dari kebebasan berarti tema banyak orang yang secara tidak sehat menggadaikan kebebasannya demi kegelisahan eksistensial bahwa dia merasa kesepian karena jauh dengan orang lain. Jadi ada di ranah kedua. Oke, sekarang kita mulai masuk ke materinya, seperti apa sih lari dari kebebasan itu. Yang pertama, Erich Fromm mengawali dari ayo kita pahami kebutuhan kita itu apa saja sih sebenarnya. Tadi kan kita gelisah itu karena ada kebutuhan yang tidak terpenuhi, yaitu kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain. Sekarang kita cek. Karena kalau kebutuhan ini tidak terpenuhi, kita akan gelisah lagi. Nah kata Iris Fromm, setidaknya kita punya lima kebutuhan pokok. Bukan kebutuhan pangan ya, kalau makan, minum, tidur, awin itu otomatis. Tapi ini kebutuhan eksistensial untuk kita bisa hidup bahagia. Kita perlu memenuhi lima kebutuhan ini. Ini saya tulis bahasa Inggrisnya ya, karena terjemahan Indonesia-nya agak panjang. Yang pertama, relatedness, keterhubungan. Tadi sudah dijelaskan ya, keterhubungan. Kita perlu orang lain. Ini fitroh, makanya manusia disebut makhluk sosial. Kita memerlukan kehadiran orang lain. Yang kedua, kebutuhan transendensi. Nanti kita jelaskan satu-satu. Kebutuhan transendensi itu kebutuhan kita melampaui diri kita. Kita jangan hanya menerima apa yang terjadi dengan hidup kita, dengan diri kita secara pasif, tapi kita juga meng-upgrade-nya biar kita lebih maju, lebih unggul. Manusia itu kalau dia merasa stuck, mandek, tidak maju itu dia juga gelisah. Kalau dia merasa aku kok tidak berkembang-berkembang ya, itu kalian kan merasa gelisah. Maka kalian memerlukan transendensi, melampaui dirimu yang sekarang. Yang ketiga, ada kebutuhan rootedness, kebutuhan mengakar, kebutuhan kalian punya tempat punya keterkaitan dengan. asal usulmu punya hubungan dengan tempat tinggalmu yang nyaman, itu namanya mengakar. Kalau kalian ditanya, kalian tahu kamu orang mana, tipe apa, dan lain sebagainya. Kebutuhan mengakar, nanti kita jelaskan satu-satu. Kemudian, a sense of identity, rasa identitas, siapa aku? Orang yang tidak bisa bilang siapa aku, itu orang yang paling gelisah. kamu siapa sih? saya itu enggak tahu pak, saya itu orang kayak gimana itu dia mesti gelisah kamu enggak bisa melayani dirimu sendiri ketika kamu enggak punya sense of identity dan yang terakhir frame of orientation punya kerangka orientasi hidup ini mau kamu arahkan kemana Kita cermati satu-satu ya kebutuhanmu, mungkin selama ini kamu tidak pernah mikir kamu ada kebutuhan ini. Yang kita pikirkan kan kebutuhan, besok saya bisa makan apa enggak Pak, masa depan saya gimana Pak, saya bisa enggak ya jadi suami yang baik dan lain sebagainya, pikiranmu kan selama ini itu. Ternyata kamu ada kebutuhan lima ini yang paling dasar. Coba kalian cek, kalian sudah bisa memenuhi ini apa enggak? Yang pertama, relatedness, keterhubungan. Jadi dorongan untuk terkoneksi dengan orang lain. Kita sadar kita itu unik, tapi kita perlu orang lain. Tidak mungkin kita bisa hidup sama sekali 100% isolatif, tidak mungkin. Kita perlu orang lain untuk melakukan apa saja, bahkan hal yang paling simpel. Kita juga memerlukan orang lain. Hal yang paling simpel itu contohnya, Baca buku misalnya, kan itu hak saya baca buku atau tidak? Iya, tapi kalau tidak ada penulis yang ngarang buku, kamu tidak mungkin baca buku. Kalau tidak ada orang yang bisa memproduksi lampunya, kamu tidak bisa baca karena gelap. Kalau tidak ada orang-orang sekililingmu yang tidak mengganggumu saat membaca juga, kamu tidak akan nyaman membaca buku. Jadi tidak mungkin kita melakukan apapun tanpa dukungan orang lain. Baik langsung atau tidak langsung. Itu yang disebut relatedness. Nah, karena keterpisahanmu dan kejauhanmu dari orang lain akan membuatmu gelisah. Tapi jangan lupa kata Eris Vlah, ada tiga jenis keterhubungan yang dua negatif hanya yang satu yang positif. Jadi hubungan kita dengan orang lain itu ada jenisnya submissive, ada jenis power, dan yang ketiga ada jenis love. Submissive itu pasrah. Di saking inginnya kamu punya teman, saking inginnya disukai orang lain, saking khawatirnya ditinggal orang lain, terus kamu manut saja, pasrah saja, apain saja aku, yang penting jangan tinggalkan aku. Itu namanya submissive. Karena aku perlu dirimu, maka aku pasrah, kamu apain saja. Kamu suruh apa saja, kamu perlakakan aku kayak gimana pun, ayo. Ini namanya submissive, ini negatif. Kebalikannya yang kedua, kalau yang kedua ini hubungan level power. Kalau ini dominatif, jadi kamu harus patuh padaku ya, kamu harus manut aku ya, kamu harus ikut apa yang aku katakannya, ini dominatif. Ini salah satu gaya orang yang ingin tidak ditinggalkan tapi kebetulan dia punya power. Maka yang dia lakukan apa? Mendominasi. Awas loh ya, kalau kamu jauh-jauh dari aku nanti kalau kamu butuh enggak tak tolong loh. Terus orang lain enggak berani menjauh. Kalau kamu perlu contekan enggak tak kasih loh ya. Kalau kamu perlu tumpangan aku enggak mau barengi kamu loh. Jadi kamu kalah power. Nah, yang menang power bisa mendominasi, yang kalah power dia akan submissive. Kalau bisa, yang ideal relasi itu yaitu cinta. Cinta itu apa? Saya sudah capek menjelaskannya. Kamu cari di sesi-sesi bertebaran di mana-mana. Itulah. Relasi ideal, karena di luar cinta, relasimu antara submissive dan dominatif. Menarik nanti Erich Fromm menjelaskan, lawannya relatedness adalah satu sikap yang sering kita singgung, namanya narsisismo. Relatedness ini orang sadar bahwa saya perlu yang lain Tapi ada orang yang tidak punya kesadaran ini Orang yang tidak punya kesadaran relatedness itu orang yang jenisnya narsis Kalian sering kan mengkritik orang, kamu narsis banget Itu sebenarnya dia kesadaran relatednya rendah Narsis itu apa? Kita sebentar ya biar kalian tahu, biar ngomongnya pas. Jadi narsisisme itu ketika seseorang cenderung fokus untuk mengejar pengakuan atau mengejar cinta dari orang lain untuk mengisi kekosongan emosional dan kekurangan dalam diri mereka sendiri. Jadi... Orang narsis itu orang yang selalu mengejar pengakuan validasi dari orang lain tentang dirinya. Jadi melesetnya apa orang-orang narsis ini? Dia lupa tentang kenyamananku, hakikat diriku, yang membahagiakan aku. Apa dia melewatkan itu karena dia fokus? dipuji orang, dia fokus diakui orang, dia ingin dicintai orang. Fokusnya ke situ kata Erich von Kretsch. Akarnya apa? Akarnya adalah dia menganggap dirinya itu sangat layak dicintai. Aku sehebat ini, aku seganteng ini, aku secantik ini, harusnya banyak yang jempolidom. Ini kita menyebutnya narsis. Makanya kalau kamu foto kan terus pakai filter 3-4 kali itu kan. Biar apa? Biar divalidasi orang lain. Wah cantik banget sekarang, kok awet ya? Terus kamu senangnya luar biasa, padahal yang komen ya basah basi. Iya kan kalau? Kalian sendiri kalau ada temenmu gitu terus kamu komen, wah tambah ganteng nih, kamu kan bahasa bahasi kan? Nggak selalu serius untuk ganteng beneran, biar menyenangkan temen saja. Jadi akarnya di situ. Kenapa sih ada orang sampai segitunya? Untuk melindungi dirinya dari rasa kesepian dan rasa ketidakberdayaan. Bahwa banyak kok yang suka padaku. Banyak kok yang muji-muji aku, banyak kok yang jempol aku, fotoku satu saja yang jempol sekian ratus kok, kan kamu senang. Jadi setiap kali kamu posting bolak-balik kok tengok, kok masih dua ya yang jempol. Kalau sudah gitu kamu gelisah, sudah kan? Padahal sak kos-kosan ini ada 10 orang loh yang jempol hidup. Berarti sak kos-kosan aja enggak semuanya suka padaku. Kamu bisa begitu pikiranmu. Nah cirinya kalau di Erisulam ya orang yang merasa perlu untuk terus menerima pengakuan dan pujian orang. Dia baru merasa berharga kalau sudah dipuji orang, kalau sudah diakui orang. Dia menggantungkan kebahagiaannya pada orang lain. Ini relatedness, tapi kalau sudah di level narsis harus dievaluasi lagi karena kita tidak jadi diri kita sendiri. Kata Erich Fromm, narsis ini biasanya subur di tengah masyarakat yang mementingkan kompetisi dan individualis. Jadi masyarakat yang selalu membanding-bandingkan, yang selalu kamu kalah cakep sama ini, kamu kalah hebat sama itu, terus kamu tertantang untuk membuktikan bahwa aku sudah sehebat ini loh, aku sudah seganteng. ini loh, aku sudah secakep ini loh makanya hati-hati dengan budaya kompetisi atau budaya individualistik karena budaya yang semacam ini melanggengkan gaya hidup yang narsis akhirnya apa efeknya hubungan kita dengan orang lain jadi tidak sehat Jadi, kalau tidak hati-hati, pasti kita jatuh ke submissive, atau kalau kita punya power, ya kita dominatif. Dominatif itu ya maksa orang memvalidasi. Ayo, menurutmu aku cakap tidak? Oh itu temanmu sudah susah itu. Dilema dia, mau jujur bagaimana, tidak jujur bagaimana. Oke, mungkin kamu diplomatis ya. Kapan sih kamu tidak cakep? Kan mesti bilangnya gitu. Mungkin ya sekarang. Tapi ya kan kamu sulit jawabnya. Mau jujur enggak? Itu berarti kamu disubmissive dia yang dominatif. Oke, ini yang pertama, ini juga kebutuhan kita, kebutuhan terhubung dengan orang lain. Tapi semoga tidak jatuh di submissive, dominatif, apalagi terus memunculkan watak narsis. Kita lanjutkan. Yang kedua, Transcendency. Saya bilang tadi ya, kebutuhan kita untuk berkembang, melampaui kondisi kita saat ini. Jadi kita bangkit dari kondisi pasif, menuju kondisi penuh makna dan kebebasan. Kita hidup ini kan kalau kata para filosof eksistensialis, sifatnya faktisitas. Faktisitas itu selalu terjatuh dalam fakta. Nah, kalau kita ingin jadi orang hebat, kita tak lukkan fakta tadi. Kita lampau ini yang disebut transendensi. Kalian misalnya mungkin ada yang dulu zaman mahasiswa baru, bayanganmu tentang kuliah itu apa? Begitu kuliah beneran, wala ternyata cuma kayak gini kuliah itu. Itu namanya kamu terlempar dalam fakta ternyata kuliah itu seperti ini. Mungkin dulu ngaji filsafat yang gak pernah kesini, bayangannya kayak gimana begitu kesini. Yalah ternyata gini ngaji filsafat itu, bayanganmu apa, faktanya apa. Keterlemparanmu dalam fakta, itulah yang disebut faktisitas. Orang hebat yang adalah orang yang mampu menaklukkan faktisitas ini. Oh kalau memang faktanya begini, saya harus melakukan ini. Itulah yang disebut transendensi. Kita bisa tetap hidup bermakna, kita bisa tetap unggul, bisa tetap maju. meskipun berhadapan dengan fakta apapun yang kita hadapi. Ini namanya kemampuan transendensi. Kita melampaui diri kita yang sekarang, melampaui fakta-fakta nyata yang kita hadapi hari ini. Ini juga kebutuhan, karena orang itu kalau tenggelam dalam fakta, juga menggelisahkan. Aku kok manut saja ya, aku kok enggak kreatif ya, aku kok enggak kelihatan ya, enggak berkarya ya, orang-orang kok enggak menyebutku sama sekali ya, misalnya itu kan menggelisahkan. Kamu bukan sesuatu dalam tanda petik dan itu menggelisahkan. Disitulah orang kemudian kreatif, ingin menunjukkan ini loh aku. Sayangnya, kata Erich Fromm, ada dua jalan. Orang melakukan transendensi, ada yang jalur kreatif, ada yang jalur destruktif. Yang jalur kreatif, banyak kita berkarya lewat seni, agama, filsafat, termasuk lewat cinta, memproduksi ini itu, ini namanya jalur kreatif. Peradaban. Segala capean-capean teknologinya yang kita lihat hari ini itu contoh orang melampaui dunianya secara kreatif. Laptop, HP, mikrofon ini dan lain sebagainya. Contoh bagaimana kita bisa melampaui dunia kita. Kalau saya tidak ada mikrofon ini, misalnya saya ngomong seperti ini, baris kedua di situ sudah tidak dengar suara saya. Tapi fakta suara saya yang tidak terlalu keras dibantu oleh mikrofon. Ini melakukan transcendensi secara kreatif. Tapi ada juga orang yang melampaui dunia dan dirinya secara destruktif. Dengan cara merusaknya. Nanti kalau rusak saya bisa... Mengontrolnya saya bisa melampauinya. Makanya ada kriminalitas, ada kejahatan ini itu. Itu ya sebenarnya berawal dari pola transendensi yang destruktif. Ada banyak orang yang ingin mengubah dunia secara destruktif dengan cara merusaknya. Termasuk melakukan pembunuhan-pembunuhan. Kata Erich Fromm, manusia itu satu-satunya makhluk yang bisa membunuh dengan alasan selain mempertahankan diri. Biasanya makhluk-makhluk yang lain itu seandainya mengeluarkan racunnya atau membunuh binatang yang mengganggunya dan lain sebagainya, itu alasannya mempertahankan diri. Satu-satunya yang bisa membunuh tanpa alasan mempertahankan diri itu manusia. Wah alasanmu banyak membunuh itu kan, bisa karena malu, bisa karena stres, bisa macam-macam dan itu khasnya manusia. Jadi kalian memang istimewa, tidak terancam apa-apa bisa membunuh orang. Nah ini yang disebut transendensi secara destruktif. Maka kalian hati-hati, transcendensi memang kebutuhanmu, tapi semoga kalian penuhi secara kreatif. Terus, yang ketiga, ada rootedness, keberakaran. Di kejelasan akarku di mana? Ini kebutuhan untuk kita mengikat diri di dunia kita. Jadi kita ingin selalu bisa menyebut Dan bisa menyikapi perubahan apapun yang kita hadapi dalam hidup ini. Kalau di Erisom dicontohkan, contoh paling sederhana ketika kita selalu menjaga hubungan, ketersambungan kita dengan ibu kita. Itu kan salah satu akar kita. Kita ingin selalu berakar di dunia kita, tidak terombang-ampingkan. Saya orang Indonesia budayanya begini, tradisiku seperti ini, hidupku di daerah ini, makanya kayak ngomong saya begini. Ini bagian dari rootedness. keperluan, keberagaran kalian kan gelisah kalau disebut kamu orang mana sih kok gak jelas gitu Indonesia kok sudah gak kelihatan kamu kan gak nyaman kalau digitu kan katanya kamu anaknya orang terpandang tapi gayamu kok begitu kamu kan gak mau digitu kan kenapa? kita punya kebutuhan akar Kalau kita dicabut dari akar kita, kita akan gelisah. Kita selalu mendefinisikan diri kita sesuai akar kita. Nah, tentang akar ini, Erich Fromm menyebut ada dua gaya rootedness, ada gaya negatif, ada gaya positif. Gaya negatif namanya fiksasi, kalau gaya positif itu namanya keutuhan diri. Kita pelajari pelan-pelan, malam hari ini saya bilang materinya banyak padat, mungkin nanti rekamannya kalian ulang-ulang. Jadi fiksasi itu Kita menyambungkan diri dengan akar, tapi keterikatan kita dengan akar itu keterikatan yang tidak sehat. Sehingga apa? Menghambat pertumbuhan pribadi kita. Kita jadi tidak maju, kita jadi tidak berkembang karena keterikatan kita dengan akar kita. Jadi mungkin ada hal tertentu yang Bapak kamu maju, tidak Pak. Di tempat saya kayak gini saja cukup Pak. Ini namanya fiksasi. Kalau di tempat saya Pak, yang penting sekolah, kemudian kawin, kerja, sudah selesai Pak. Tidak usah mikir aneh-aneh. Dan kamu merasa, ya itulah aku dan budayaku. Terus kamu tidak mau maju, tidak mau berkembang. Ini jenis fiksasi. Ini mengikat sih, mengakar sih, tapi secara negatif. Kemudian kita tidak bisa menyikapi perubahan. Ketika lingkungan sekeliling kita berubah, kita tidak bisa beradaptasi. Tidak Pak, biasanya begini. Ini sekarang ada teknologi ini loh Mas. Tidak Pak, kalau pakai teknologi bukan kita. Kalau kita itu sejak dulu face to face begini, tidak ada. Ini namanya kita tidak bisa mengadaptasi perubahan. Ini namanya fiksasi. Kita tidak berkembang, yang lain berkembang. Semua kita sendiri yang tidak berkembang. Pak, di tempat saja itu pak, HP harum pak, anti HP, TV harum pak, internet itu neraka semua isinya pak, misalnya. Sementara dalam hidup ini kamu tidak bisa sekarang itu, tanpa HP, tanpa medsos, tanpa itu. Tapi kamu kukuh untuk tidak berubah demi akarmu, ini yang disebut fiksasi. Ini yang oleh Eris Ram disebut keterikatan keberagaran yang negatif. Nah yang ketiga, ada lagi biasanya mungkin di budaya tertentu yang mengutamakan status, mengutamakan kekayaan, mengutamakan prestasi dan kita terjebak di situ. Sehingga tidak bisa mengekspresikan apa keinginan kita yang sebenarnya. Kalau di sini pak, umur-umur 16 tahun harus sudah nikah. Kalau belum nikah, wah itu. Ini namanya budaya tertentu. Kalau di sini pak, yang penting punya rumah, punya mobil. Standarnya itu sih. Kalau belum punya itu masih belum disebut sukses. Terus kita terikat di situ jadi tidak maju di situ. Itu yang disebut fiksasi. Padahal situasi berubah, dunia ini dinamis, macam-macam bahkan situasi orang beda-beda tidak bisa diseragamkan. Oh kalau di sini Pak, ya minimal hafal Al-Quran 30 juz lah, baru dia bisa. Nah ini misalnya, oh kalau di tempat sini bukan itu, kalau di tempat sini yang penting apa gitu. Ini keberagaran negatif. Istilahnya fiksasi, pokoknya ini yang ini, tidak bisa ditawar lagi. Semoga teman-teman keberakarannya tidak secara negatif, tapi yang dinamis, yang mengerti situasi. Itulah nanti yang disebut keutuhan. Cirinya keutuhan ada tiga. Yang pertama, refleksi diri terus dilakukan. Siapa aku, apa peran yang harus aku mainkan, kemana aku ini harus berkembang, itu namanya refleksi diri. Kemudian fleksibel dan adaptif. Jadi kalau situasi berubah, ya kita tahu kita harus mengadaptasinya. Tidak menyangkal atau menghindar. Yang ketiga, iya kita terhubung tapi tetap otonom. Ini yang agak sulit ya. Berhubungan dengan orang lain tapi tetap kita mandiri. Iya sih kita mengakar. Iya sih saya orang daerah situ Tapi untuk hal semacam ini Saya punya pendirian sendiri Ini namanya terhubung tapi tetap otonom Iya sih saya lahir dari budaya Seperti itu Tapi saat ini saya punya pandangan sendiri Punya gaya hidup sendiri Jadi yang menurut saya lebih produktif. Ini namanya utuh. Kamu jadi dirimu sendiri tapi sekaligus terhubung dengan orang lain. Tidak putus akarmu. Karena putus akar itu menggelisahkan. Inilah ciri ketiga. dari kebutuhan eksistensial manusia. Yang keempat, ini masih panjang, teman-teman harus siap energinya. Sense of identity, rasa identitas. Kata Erich Fromm, man may be defined as the animal that can say I. Manusia bisa didefinisikan sebagai binatang yang bisa bilang aku. Itu manusia, maksudnya bukan sekedar ngomong aku sih. Menyadari keakuannya. Burung beberapa bisa dilatih ngomong aku, aku gitu. Tapi manusia yang sadar keakuannya, punya kesadaran aku. Di luar manusia tidak ada. Ini versi Erich Fromm. Nah, sadar tentang diri yang khas siapa aku, aku harus bagaimana, yang baik yang harus aku lakukan apa? Namanya sense of identity. Kalian harus bisa menjawab kalau ditanya siapa kamu? Ya jawaban pertanyaan mesti namamu kan, ya kalau nama ya mesin juga bisa. Maksudnya apa? Orang seperti apa sih dirimu? Setelah ini teman-teman boleh lah ya pulang nanti coba bikin satu dua kalimat, tiga kalimat boleh, empat kalimat boleh, yang menggambarkan diri kalian masing-masing. Aku adalah orang yang seperti ini loh, boleh diawali dari kategori-kategori yang kalian sudah tegas misalnya Saya itu orang Indonesia, Indonesia itu menurutku begini loh, saya seorang muslim dan muslim yang baik itu menurut saya begini loh Dan saya sudah di level ini, coba kalian definisikan dirimu Ini namanya orang yang punya rasa identitas, bisa menunjuk dirinya. Pernah tidak kalian menyebut namamu sendiri, mungkin rasanya agak aneh di telinga. Jadi ada yang bilang orang yang bisa mengambil jarak dari dirinya, ini orang yang bisa objektif membaca dirinya. Pernah enggak kamu menyapa dirimu sendiri? Eh, Faiz, Faiz, enggak enak ya? Kamu coba. panggil namamu sendiri. Di telang kamu rasanya tidak enak. Tapi itu latihan. Coba kamu ambil jarak dari dirimu. Apa kamu itu? Ini sebab ngomong saja sejak tadi. Misalnya itu memarahi diri. Ini agak mengambil jarak. Nanti ya pulang dari sini, kamu sapa dirimu sendiri. Jangan keras-keras nanti orang menganggap kamu. Karena itu tadi namanya sense of identity, tapi hati-hati juga sense of identity itu kalau versinya eritrom ada yang problematik, ada yang sehat. Jadi ada sense of identity yang masalah, yaitu ada orang yang bermasalah di identitasnya. Yang pertama ada tipe orang yang kehilangan identitas. Tidak bisa menyebut, saya tidak tahu pak, saya tidak jelas pak, saya itu apa, saya itu bagaimana, ini problem. Yang kedua, ada tipe orang yang krisis identitas, ini juga masalah. Krisis identitas itu, saya tidak tahu apa, saya masih bisa menyebut diri saya ini seorang muslim yang... baik, seorang Indonesia yang sesungguhnya ada lain saya itu mahasiswa atau bukan, saya masih bingung apa layak kayak saya ini disebut mahasiswa, ini namanya kamu sedang krisis identitas jadi krisis masih mending ya, kalau yang hilang itu sudah kamu bingung menyebut dirimu, kalau krisis itu kamu bisa menyebut dirimu, tapi kamu ragu-ragu Orang menyebutnya krisis identitas. Saya ini tergolong orang masih remaja atau sudah dewasa ya Pak. Saya juga masih bingung. Kok perasaan saya pinginnya dianggap remaja terus, tapi pikiran saya tidak bisa bohong, sudah mulai masalah-masalah orang dewasa. Ini namanya kamu sedang krisis. Jadi ada hilang identitas, ada krisis identitas. Kalau yang sama sekali benar-benar mikir, ya memang kamu mungkin belum punya identitas. Kalau di Indonesia kan belum punya kartu identitas itu 17 ke bawah. Disebutnya belum punya KTP, tapi ini bukan identitas yang KTP itu ya, ini identitas kesadaran. Yang ketiga, fiksasi. Jadi fiksasi itu problem identitas juga. Orang yang tergantung, terikat berlebihan pada kondisi sekelilingnya untuk mendefinisikan dirinya. Sehingga dia tidak bisa secara otentik mengekspresikan dirinya apa adanya. Yang sehat, chain of identity itu yang pertama refleksi tadi ya, hasil renungan yang mendalam tentang diri kita. Yang kedua, otonom. Pak Opo tidak perlu rujuan sana-sini, boleh. Tapi keputusannya, kamu siapa, apa dan bagaimana, kamu sendiri yang memutuskan. Yang ketiga, seimbang. Seimbang itu, ya jangan terlalu individualistik, tapi juga jangan mengorbankan individu-mu untuk masyarakat, untuk hidup bersama. Jadi imbang saja. Ya kita memang butuh yang lain, tapi tidak dengan mengorbankan individualitas kita. Jangan individu saja nanti kita jadi egois, jangan mikir yang di luar diri masyarakat saja. Jangan-jangan nanti jatuh jadi altruis, mengorbankan diri kita demi yang lain. Yang imbang saja, karena kita perlu dua-duanya. Dan yang ketiga, sense of identity yang positif, yang sehat itu kita senantiasa berkembang. Tambah baik, tambah baik itu membahagiakan. Saya kemarin nilai baiknya tujuh, sekarang nilai baiknya delapan. Tambah berkembang. Baik, jadi ini yang keempat. Ini kebutuhan kita ya. Jadi kegelisahan eksistensialmu antara lain ketika kamu ada masalah dengan identitas. Yang kelima. Frame of orientation. Frame of orientation itu seperangkat pandangan, keyakinan tentang hidup. Hidup yang baik itu begini loh, ini loh yang harus kita lakukan, kesini loh kita harus menuju, ini namanya frame of orientation. Kalau kita tidak punya frame of orientation, hidupnya ngapur, ngarang. Kadang-kadang kita menyebutnya simple, ini yang dimaksud tujuan hidup, kasarnya begitu. Tapi yang dimaksud adalah kita pahami dunia ini, kemudian kita rumuskan, oh berarti hidup itu ini yang terbaik. Ini yang harus saya lakukan. Inilah yang disebut frame of orientation. Orang yang tidak punya frame of orientation kita menyebutnya hidupnya tidak terarah, tidak bertujuan. Ini juga yang patut kalian tanyakan untuk diri kalian masing-masing. Tujuan hidupmu apa? Frame of orientation-mu bagaimana? Menurutmu orang yang terbaik yang harus dilakukan dalam hidupmu itu apa? Versi terbaik dirimu menurutmu bagaimana? Itu frame of orientation. Nah ini mulai ya kita serius sih hidup kita. Selama ini kan mungkin sebagian hidup kita itu autopilot. Melaku seandainya. Jadi sejalan-jalannya, saya sebut autobin, diculiknya yang melaku diw. Tidak pakai dipikir, tidak pakai dievaluasi, biasanya begitu ya begitu. Mas, tidak lulus sampai mata kuliah hari ini, tidak apa-apa, nanti diulang. Tidak kamu pikir kenapa aku tidak lulus, salahnya kemarin di mana, problemnya apa, akarnya di mana, kamu tidak boleh mikir itu. Itu yang saya maksud, hidupmu kamu biarkan jalan begitu saja. Nah, sekarang mulai ya dibikin. Frame of orientation-nya, kemudian tadi sense of identity-nya, rooted dan related. kemana, dan seterusnya. Karena ini kebutuhan eksistensial. Sebagian besar kegelisahanmu berawal dari sini. Overthinkingmu selama ini juga banyak berakar di sini sebenarnya. Nah, tentang frame of orientation ini, Erifrom menyebut ada dua jenis. Ada yang irasional, ada yang rasional. Yang irasional berarti yang tidak masuk akal. Negatif berarti. Apa itu? Kamu selalu ingin. Divalidasi secara eksternal. Ini irasional. Padahal hidup-hidupmu, kamu tahu yang terbaik untukmu apa, tapi kamu tidak yakin, tidak mantap, selalu ingin divalidasi orang, seperti orang narsis tadi. Ya tentu saja akhirnya kamu tidak bahagia, kebahagiaanmu kamu gantungkan ke komentarnya orang. Walaupun tidak stres kamu kalau seperti ini yang sekarang netizen itu, jempolnya ngeri-ngeri. Barang baik itu bisa diisengi di komentari yang negatif dan kamu stres gara-gara orang iseng. Sekarang kan pedomanya kalau tidak ada kamu tidak rame. Akhirnya kamu bikin rame-rame terus. Kadang-kadang yang benar jadi salah, yang salah jadi benar dibolak-balik alasannya biar rame. Dan terus kamu belisah karena itu. Kamu menunggu validasi yang semacam itu, ya mesti kamu stres. Kadang-kadang kamu jadi tidak yakin dengan dirimu. Aku ini baik beneran apa enggak ya? Kok enggak ada yang like sama sekali ya? Yang aku lakukan ini manfaat apa enggak ya? Kok enggak ada yang komen sama sekali? Kamu gelisahmu di situ terus. Karena kamu selalu nunggu validasi dari orang lain. Kalau kalian sudah mantep, saya tahu kok Pak ini bener, ini baik, dan saya yakin sekali. Terserah orang mau bilang apa, saya akan jalan. Ini yang lebih sehat, tapi kalau kamu hanya nunggu validasi dari luar, tentu saja kamu akan capek. Yang kedua, tentu saja yang irasional itu perspektif yang terdistorsi. Kamu salah memahami hidupmu, keliru memahami dunia ini, bisa saja dari orientasi yang salah. Frame-nya keliru. Misalnya, bahagia itu yang penting duit, Pak. Sekarang apa saja duit? Itu termasuk yang terdistrus. Ya, Pak. Buktinya banyak orang duitnya banyak, ya stress. Kalau memang kunci utamanya itu. Oh, berarti yang penting senang, Pak. Walaupun banyak orang senang, tapi akhirnya ya mules masuk penjara. Dan lain sebagainya. Ayo hati-hati. ketika framemu salah, hidupmu akan kacau. Jangan ambil frame yang irasional. Nah yang keempat, yang selanjutnya orientasi yang rasional, itu selaras dengan kenyataan, kebutuhan kita, mendukung pencapaian kebahagiaan, mendukung hubungan yang sehat dan bermakna, dan seterusnya. Baik, jadi dasarnya ini tadi ya, kita punya lima kebutuhan yang ternyata lima-limanya berhubungan dengan kebebasan kita, kemandirian kita memaknai hidup, otonomi kita untuk menjalani hidup ini. Kita lanjutkan. Nah, dari lima kebutuhan tadi pada akhirnya muncul problem kebebasan. Ini baru materinya yang tadi pengantarnya. Halo, yuk, arahnya ke sini memang nanti. Akhirnya apa kata Erich Fromm? Manusia itu. termasuk makhluk yang paling aneh di alam semesta ini. Kenapa? Yang pertama, mereka ingin kebebasan, ingin mandiri, ingin bisa memenuhi sepenuhnya hidupnya. Tapi dalam sejarah kemudian dia mendapat banyak kebebasan. Sebagai efeknya terus mereka tersekat-sekat. Akhirnya kebebasan jadi beban. Kenapa? Kebebasan menjauhkan mereka dari yang lain. Dan terus disimpulkan kebebasan ternyata berhubungan dengan kesepian. Semakin kita bebas, semakin sepi. Kita kan sejak kecil diminta untuk hidup mandiri. Ternyata hidup mandiri itu menyakitkan secara mental. Coba kita cek. Kita awalnya selalu didampingi oleh ibu kita. Ini sejak kecil ya. Ibu kita juga berusaha agar kita mandiri tanpa bantuan ibu kita. Begitu kita mandiri, kita terpisah dari ibu kita. Terpisah dari ibu kita kan pahit, menyakitkan. Di kita ya sakit, di ibu kita ya sakit. Tidak hanya ibu, orang tua semua begitu. Orang tua harus menyekolahkan anaknya, naruh anaknya di pondok dan lain sebagainya. Diasramakan dan lain sebagainya, yang intinya dijauhkan dari orang tuanya. Ini kan momen menyakitkan. Tapi demi dia bisa mandiri. Begitu dia mandiri beneran, ya memang benar-benar terpisah dari orang tuanya. Karena dia tidak butuh lagi orang tuanya. Mungkin kalian sering ya, ditelepon orang tuamu, kamunya sendiri males nelfon sih, orang tuamu yang nelfon yang kangen, dan kamu merasa gak terlalu butuh selain kiriman uangnya. Jadi saya yakin kamu nelfon duluan ya kalau duitmu habis kan itu, sisanya kamu bisa ngurus hidupmu sendiri sekarang, makanya kamu gak banyak nelfon sekarang. Jadi momen ketika kita semakin mandiri adalah momen kita semakin jauh dari orang lain, semakin kesepian. Inilah hubungannya kebebasan dan kesepian. Ini salah satu bebannya kebebasan. Jadi kalau di bukunya Eris Rom itu ada The Burden of Freedom, beban dari kebebasan itu antara lain kesepian. Yang kedua, Beban dari kebebasan adalah kecemasan. Jadi, selain cemas bahwa kita nanti sendirian, juga cemas karena begitu kita bebas, kita harus membuat pilihan sendiri, menentukan sendiri, menjalani sendiri, dan bertanggung jawab sendiri. Ini membuat kita wahai ya, kalau saya yang memutuskan sendiri seandainya meleset, ya saya tanggung jawab sendiri. Karena saya mele sendiri nanti males-malesan orang akan marah padaku. Bisa enggak ya saya? Kalau kalian dipaksa orang untuk mele, bukan pilihanmu terpaksa menjalani, seandainya ada apa-apa, kamu mudah lempar tanggung jawabnya. Oh itu kemarin bukan pilihan saya, apa-apa itu. itu maksud jurusan filsafat. Saya tidak ingin, misalnya, terpaksa saya ambil jurusan filsafat. Kalau kamu gagal, orang tidak akan menyalahkanmu. Kamu bisa lempar tanggung jawab itu. Kemarin dipaksa sih Tapi kalau itu Pilihanmu sendiri Kamu bebas mandiri Kamu milih sendiri Disitu ada resiko Kamu harus bertanggung jawab Atas semua keputusan Dan ini mencemaskan Kamu jadi khawatir Keliru enggak ya Bisa enggak ya saya Mampu enggak ya saya Karena pilihanmu sendiri Ini beban kebebasan yang kedua. Inilah mengapa nanti terus banyak orang yang lebih milih lari saja dari kebebasan. Ternyata kebebasan itu pahit. Yang kalian kejar-kejar selama ini ternyata ada efeknya. Efeknya apa? Kesepian dan kecemasan. Ini secara psikologi ya. Jangan kesusuh dijempolkan. Wah kalau dulu kita rugi ya Pak, merdeka jadi bebas kita harusnya. Tidak itu, maknanya tidak ke sana. Jadi ini makna psikologisnya. Nah, ada beban ini ya, problemnya sebenarnya kalau begitu kita jangan bebas, bukan, kata Erich Fromm. Jadi arahnya ke sini nanti. Yang pertama, banyak orang memang terus lari dari kebebasan, ini yang dikritik oleh Erich Fromm. Jadi kecemasan tadi, kesepian tadi terus membuat orang lari dari kebebasan. Seperti apa sih caranya orang lari dari kebebasan itu? Menurut Erich Fromm, secara umum orang lari dari kebebasan mengambil tiga rute. Yang pertama, otoritarianisme. Yang kedua destruktifness dan yang ketiga conformity. Jadi karena tadi kebebasan dirasakan sebagai beban, terus orang mencari pelarian biar beban yang berat tadi tidak... Ditanggung pelariannya kemana tiga jalur ini? Otoritarianisme, destruktifness, dan conformity. Kita lihat ya, jangan-jangan kita termasuk ada di sini. Otoritarianisme itu kita menghindari kebebasan dengan cara menggabungkan diri kita dengan orang lain dan masuk ke satu sistem tadi dengan logika power tadi. Jadi kita masuk lewat jalur. Power atau submissive, ini masuk ke sistem otoritarianistik. Kita menyerahkan kebebasan kita pada orang lain atau pada satu lembaga, kita manut diatur-atur biar tidak bertanggung jawab seperti kalau saya bebas. Atau ketika kita punya power, kitalah yang mendominasi dan ngatur-ngatur orang lain. Jadi ini antara submissive dan power tadi ini yang authoritarianism. Sudahlah saya ikut lembaga ini saja atau saya ikut orang ini saja. Dan itu kan kalau saya ikut berarti nanti bukan saya yang memutuskan. Dia yang saya ikut ke sana. Jadi saya tidak ikut tanggung jawab. Atau karena saya punya power, yang lain yang saya akrut untuk ikut saya. Disitulah nanti tanggung jawabnya jadi tanggung jawab bareng-bareng bukan saya saja. Ini jalur otoritarianisme. Kalau secara psikologis kata Erich Fromm versi ekstrimnya otoritarianisme adalah sadomasisme dan sadisme. Jadi sadomas apa? Masochisme dan sadisme Masochisme itu Orang yang senang dijajah, senang ditindas, senang disakiti Sadisme kebalikannya Ini versi ekstrim dalam arti ya sudah Tidak beres ini Kalau ini harus perlu psikiater Orang disakiti tapi senang Minta disakiti terus Asal jangan kamu tinggalkan aku. Itu masuk hisma. Sebaliknya sadisme. Dia mendapatkan kesenangan, kepuasan dengan menyakiti orang lain. Ini bentuk ekstrimnya submissive dan power atau dominasi tadi. Ini jalur authoritarianisme. Saking takutnya menghadapi resiko bebas yang bertanggung jawab. Khawatir kesepian dan lain sebagainya, dia rela mengabdi pada yang lain atau menyetir yang lain biar dia tidak sendirian. Ini jalur otoriter. Yang kedua, ada orang lari dari kebebasan lewat jalur destruktif, merusak. Menghancurkan diri, menghancurkan orang lain untuk biar dia tidak terjebak dalam kebebasan yang menuntut tanggung jawab tadi. Kriminalitas, terorisme, dan lain sebagainya ini termasuk jenis pelarian yang destruktif. Bentuk ekstrimnya, kata Erickson, kalau tadi kan masochisme dan sadisme, bentuk ekstrimnya kalau ini adalah suicide, bunuh diri. Jadi saking takutnya kesepian, saking takutnya dengan tanggung jawab ini, tanggung jawab itu, melalui kebebasan bisa merusak orang lain, merusak yang di luar dirinya, bisa juga merusak dirinya sendiri. Antara lain puncaknya adalah bunuh diri Nah ini jalur kedua, jalur destruktif Jadi banyak orang lari dari kebebasan Orang bunuh diri itu kan sebenarnya pilihan hidupnya banyak Tidak hanya mati, tapi dia khawatir dituntut tanggung jawab ini, tanggung jawab itu. Khawatir cemas ini, cemas itu. Akhirnya lebih milih mengakhiri hidupnya. Ini jalur destruktif, jalur yang negatif. Dan yang ketiga, jalur conformity. Ini mungkin yang kadang kita lakukan, jalur conformity itu kita melarikan diri dari kesendirian, keterasingan, kecemasan dengan mengkompromikan individualitas kita sesuai keinginannya orang lain. Ada yang bilang jenis conformity itu seperti bunglon. Bunglon itu kan ada di mana kalau tempatnya hijau ya dia berubah jadi hijau. Kalau tempatnya merah, ya dia berubah jadi merah. Biar apa? Biar dia tidak sendirian. Itu yang bahasa saya tadi ya, menggadekan individualitasnya. Saya tidak suka sih, tapi daripada nanti saya tidak disukai banyak orang, sudahlah saya jalani saja. Ini conformity namanya. Saya tidak terlalu serg sih, tapi nanti kalau dibenci orang saya juga susah. Biarlah saya. Ini namanya conformity. Jadi selalu mengkompromikan yang dia anggap baik, benar, indah, dan lain sebagainya. Sesuai maunya banyak orang. Inilah pelarian ketiga dari kebebasan. Akhirnya kita tidak jadi diri kita. Apakah itu lewat jalur otoritarianisme, destruktifness, maupun konformiti? Baik, ambil nafas dulu. Kalian direnungi ya, jangan-jangan kita termasuk pelarian-pelarian ini. Hidup begitu indahnya oleh Allah kita ditakdir satu-satunya makhluk yang bebas milih. Kita itu makhluk yang mukhoiar, tapi ternyata kita sering takut dengan kebebasan itu dan lari dari kebebasan itu. Ketika diberi kebebasan, kita tidak berani memutuskan. Kuatir tanggung jawabnya juga kuatir kesepian. Enaknya ngaji tema apa ya? Sudah Pak, terserah Pak Faiz saja. Dibebaskan, milih kamu Pak, serah. Tugas semester ini nulis makalah ya. Terserah kalian nulisnya seperti apa. Terus kamu tanya, berapa halaman Pak? Spasinya berapa Pak? Kemudian formatnya bagaimana Pak? Sudah dibebaskan. Bila bebas kamu malah tanya, ingin diatur. Kenapa? Kuatir keliru, kuatir salah. Pilih kuatir. Ini termasuk mental lari dari kebebasan. Jadi kebebasan itu tidak sekedar. Kemampuanmu untuk lepas dari ikatan ini, ikatan itu Tapi juga kemampuan dan keberanianmu untuk milih dan memutuskan Justru di yang kedua inilah yang lebih berat Itulah mengapa nanti Eris Vrom membagi ada kebebasan negatif dan ada kebebasan positif. Kebebasan negatif itu bebas dari, kebebasan positif itu bebas untuk. Kalau kebebasan negatif, oke lah. Kita tidak mau terikat ini, terikat itu. Biasanya di kampanye-kampanye, di orasi-orasi itu yang diangkat kebebasan negatif ini. Tapi begitu kebebasan positif, kita bingung. Dulu ada perjuangan luar biasa itu ya, dari order baru ke transformasi. Itu kan kita ingin bebas dari, tapi begitu masuk ke fase bebas untuk kita kebingungan. Padahal justru kunci kemandirian individualitas itu ada di kebebasan yang positif ini. Kebebasan untuk. Nah, bebas untuk ini oleh Erich Fromm. Dia sebutkan adalah pengungkapan penuh dan otentik potensi-potensi rasional maupun emosional kita. Kita harus belajar untuk bebas mengungkapkan apa yang kita inginkan, apa yang kita tuju, hidup yang baik versi kita. Ini kebebasan positif. meskipun norma-normanya harus juga kita perhatikan ini kalau dilari dari kebebasan ada kalimat kalau ingin menjalankan Jelankan kebebasan yang positif, harusnya kita bebas meskipun tidak merasa sendirian. Tetap ada rasa keterikatan dengan yang lain. Kita ya kritis tapi tidak ragu-ragu. Kadang-kadang kita itu kritis, tapi kita sendiri ragu-ragu karena khawatir resikonya. Kita juga mandiri, tapi tetap merasa bagian dari masyarakat. bersatu dengan yang lain, tapi tetap mempertahankan individualitas. Inilah aku yang menjadi bagian dari kelompokku, dari masyarakatku. Kalau bisa seperti ini, inilah yang kita sebut kebebasan positif. Jadi tadi ya, diawali dari kebutuhan-kebutuhan kita secara eksistensial yang kemudian berhadapan dengan beban kebebasan yang diidealkan oleh Erich Fromm dengan kebebasan yang positif. Jangan lari dari kebebasan, tapi bebaslah secara positif. Nah, bebas secara positif itu caranya bagaimana, kuncinya apa? Kuncinya di cara kita Membangun karakter. Masuklah sekarang di karakter. Oh masih panjang materinya. Tidak apa-apa ya. Jadi kita harus bisa memainkan. Karakter ideal demi mewujudkan kebebasan yang positif tadi. Karakternya manusia itu menurut Erich Fromm, ada yang non-produktif, ada yang produktif. Ada model reseptif, yang non-produktif ya. Ada model eksploitatif. Ada model hoarding. Hoarding itu model penimbun, pengumpul. Kemudian ada yang keempat yaitu model marketing, model pasar. Nanti kita lihat apa sih yang dimaksud karakter-karakter ini. Kemudian yang karakter produktif ada tiga jenis yaitu working, bekerja, loving, mencintai, dan reasoning. Melakukan aktivitas berpikir atau berefleksi. Yuk kita belajar, masih ada waktu 30 menit belajar karakter. Boleh ambil nafas, boleh minum dulu yang masih sisa. Saya temani. Ayo kita lihat, ini ada empat karakter non-produktif. Setiap karakter sebenarnya ada positif dan negatifnya. Makanya tadi saya sebut kepandean kita memainkan karakter-karakter ini. Yang pertama karakter reseptif. Karakter reseptif itu tipe orang yang pasif dan tergantung. Dia hanya mengandalkan yang di luar dirinya. Dia menunggu aku mendapat apa dan begitu aku dapat apa, saya terima apa adanya. Ini karakter reseptif. Orang yang karakternya reseptif, kata Erich Fromm, orang yang dalam cinta itu menunggu dicintai bukan belajar mencintai. Jadi ini reseptif, nunggu ditembak, tidak mau nembak. Nunggu, pasti bahwa saya sudah dapat, kalau sudah dapat dinikmati. Ini reseptif. Kalian yang prinsipnya saya nerima saja Pak, dapat apa yang saya nikmati. Kalau fokusnya ke sini saja, maka kalian namanya reseptif. Negatifnya apa? Orang reseptif itu negatifnya dia pasif, tidak aktif, pasrah. Biasanya terus jatuhnya jadi kurang percaya diri. Kenapa kurang percaya diri? Karena selama ini pasrah saja dia tidak yakin bahwa upayaku itu bisa menghasilkan sesuatu. Ikhtiarku bisa membuahkan ini, membuahkan itu. Jadi pokoknya dia nunggu saja apa yang datang yaitu yang dinikmati. Tapi ada positifnya juga. Orang reseptif itu biasanya bosok jawanin riman. Setia, kemudian percaya. Percaya tidak pada dirinya, tapi pada... Kadang-kadang hidup kita kan perlu juga tiga sifat ini. Neriman, setia, dan percaya. Tapi kalau berlebihan jatuhnya terus jadi pasif, pasrah, kurang pede. Ini karakter pertama, disebutnya karakter yang non-produktif. Tapi kadang-kadang kita juga perlu ini, makanya tadi kemampuan kita mengelolanya. Yang kedua, kebalikannya reseptif, yaitu eksploitatif. Kalau eksploitatif, cirinya agresif dan self-centered. Self-centered itu menganggap dunia ini berputar sekitar dia saja. Akulah yang paling penting, jadi aku berhak mengambil apa saja, melakukan apa saja yang aku inginkan. Ini orang eksploitatif. Nah orang eksploitatif punya sifat negatif tentu saja, apa? Egosentris, angkuh, dan arogan. Jadi ego sentris itu ya kayak tadi ya, ego-nya tinggi sekali karena dia merasa sangat penting aku ini. Arogan, menang-menangan, angkuh, sombong. Tapi juga ada positifnya. Positifnya apa? Orang ini sangat percaya diri, punya kebanggaan. Biasanya kata Erisuma orang-orang seperti ini biasanya menarik, atraktif. Jadi rame kalau dia ada. Beda kalau yang reseptif tadi kan pasrah saja. Kamu maunya apa? Sudahlah monggo, terserah. Tapi kalau orang eksploitatif, kamu maunya apa? Kalau gini gimana? Kalau itu gimana? Saya suka yang ini loh, rame. Biasanya mereka lebih menarik. Tapi ya itu tadi sifat negatifnya. Egois, sombong, agak overpede. Agak aroka. Ada tipe yang ketiga. Mungkin ada yang di sini teman-teman. Yaitu tipe penimbun. Hoarding. Hidup ini. Apa ya. Seperti beg. Memelihara, menyimpan, menjaga yang sudah dimiliki. Biar tidak kebobolan. Cirinya apa orang penimbun itu? Penimbun itu biasanya posesif. Dengan yang dimiliki, kalau sudah punya pasangan, punya itu terus posesifnya luar biasa. Gampang curigaan, apalagi yang sering nonton sinetron, nonton drakor itu. Jangan-jangan, jadi khawatiran. Selalu modenya mode waspada, khawatir kehilangan. Maka terus jadi posesif. Kemudian kompulsif. Kompulsif itu ya, batinnya cemas terus. Terburu-buru agar untuk mempertahankan ini, mempertahankan itu Jadi menyimpan kecemasannya rapat-rapat Demi tidak kehilangan ini, tidak kehilangan itu Kayak kompulsif Dan biasanya kurang kreatif Karena fokusnya menjaga dan menyimpan Akhirnya kayak beg tadi, gulinya tidak banyak Kurang kreatif. Jadi, yaus pak, pokoknya kita pertahankan yang sudah kita miliki sekarang. Fokusnya itu. Positifnya tipe penimbun ini, dia biasanya hidupnya tertib, teratur. Waktunya ya terjaga. Jadi dia pokoknya jangan sampai sakit karena kesehatan adalah anugerah yang luar biasa. Jangan sampai nilai jatuh karena itu masa depan kita. Cara mikirnya gitu terus. Ini tipe hoarding namanya. Tipe penimbun. Jadi dalam hidupnya yang dia fikirkan, jangan sampai kehilangan yang sudah aku dapat. Padahal dalam hidup ini kadang-kadang capaian-capaian tertentu perlu pengorbanan-pengorbanan. Cuma di tipe hoarding ini fokusnya bukan di pengorbanan untuk capaian tapi mempertahankan yang sudah dimiliki kalau untuk kontak pasangan biasanya jadi posesifnya luar biasa banyak larangan-larangan hidupnya, tidak boleh ini tidak boleh itu, jangan ini, jangan itu pokoknya jangannya banyak sekali kenapa? khawatir kehilangan ini posesif Bisa sesama pasangan, bisa orang tua dengan anaknya dan lain sebagainya. Yang terakhir ada tipe marketing. Kok ada pak karakter marketing ya? Karakter marketing itu karakter yang fokusnya untung rugi. Saya melakukan ini, dapat apa? Untungnya apa? Ini tipe marketing. Saya sudah danten kayak gini, maksudnya enggak dapat satupun wisanya, itu tipe marketing. Saya sudah capek-capek melakukan ini kok nilainya masih jelek saja, itu tipe marketing. Kamu enggak mau rugi sedikitpun, ini tipe marketing. Negatifnya apa? Ada orang yang mikirnya untung rugi terus. Yang pertama biasanya orang-orang ini oportunis, dia akan pindah-pindah. Posisi asal menguntungkan tidak konsisten, dia tidak punya tujuan idealisme yang jelas. Idealismenya ya keuntungan. Kalau di kubu ini lumayan dapat jabatan ya pindah ke sana. Kalau ternyata di kubu sini gersang tidak dapat apa-apa ternyata ya pindah lagi ke sana. Ini tipe marketing, tipe penjual. Jadi saya ngasih apa, ya harus dapet apa. Kalau bisa dapetnya jauh lebih besar. Positifnya apa orang marketing ini? Adaptif dia. Jadi bisa pinter melihat situasi, kemudian milih yang bisa menguntungkan dia. Ini kan namanya adaptasinya cepat dia. Kemudian terbuka, dia tidak kaku. Luwes saja. Kemarin bilang A. lu kok sekarang bilang B enggak apa-apa sekarang B lebih menguntungkan jadi dia bisa adaptif, luwes menyikapi perubahan-perubahan situasi dan tentu saja orangnya menyenangkan, kenapa? dia perlu dapat keuntungan jadi ada empat tipe karakter receptive, exploitative hoarding dan marketing teman-teman mungkin harus punya kualitas-kualitas ini meskipun harus hati-hati karena ini ada dua sisi, yang satu positif yang satu negatif pinter memainkan ini kunci kebahagiaan kapan harus mempertahankan kapan harus mengambil, kapan harus pasrah, dan kapan harus mencari keuntungan Ini cara kita nanti mengelola kebebasan. Nah, dibalik karakter yang non-produktif, terdapat karakter produktif. Karakter produktif itu apa? Yang pertama, upaya kita mewujudkan yang potensi menjadi aktual. Ini produktif. Saya kelihatannya punya kemampuan bisnis ini Pak. Ya sudah, ayo kita aktualkan kemampuan bisnismu menjadi upaya bisnis beneran. Ini kalau kalian bisa ini namanya kalian produktif. Orang produktif juga dia bisa melampaui peran sosialnya yang dangkal. Pak, saya di masyarakat sudah terlanjur dicitrakan begini ya Pak, lampaui itu dengan lebih baik dengan cara apa? Mewujudkan potensimu yang lain. Mungkin ada banyak potensi yang lain yang perlu kamu keluarkan, tidak sekedar yang sudah dikenali oleh masyarakat. Jangan mandek di situ. Nah, ini bagian dari karakter produktif. Cirinya apa kalian punya karakter produktif? Yang pertama kerja. Yang kedua cinta. Yang ketiga mikir. Ini produktif. Kalau kalian tidak mau kerja, tidak mau mencintai, dan tidak mau mikir, selesai. Tidak mungkin kalian produktif. Berarti pilihan-pilihan kebebasanmu hubungkan dengan karakter produktif ini. Yang pertama kerja. Kata Erich Fromm, mari mengorientasikan kerja tidak sekedar untuk mendapatkan keuntungan atau mendapatkan gaji atau dari perspektif ekonomi saja, tapi mari kita jadikan kerja bagian dari pengungkapan diri eksistensial kita. Jadi kerja itu mewujudkan potensi kita. Jadi tidak sekedar cari uang, cari uang itu efeknya. Jangan jadi tujuannya, jangan jadi orientasi utamanya. Jadi keinginan kita untuk produktif melalui kerja. Kemudian cinta. Cinta itu persis dengan ketika dulu kita ngaji The Art of Loving. Jadi ada care-nya, ada respect-nya, ada knowledge-nya, ada responsibility-nya, dan lain sebagainya. Cinta adalah satu-satunya jalur yang bisa menyeimbangkan kebutuhan kita akan orang lain sekaligus kebutuhan kita untuk aktualisasi diri. Dalam cinta, yang dua jadi satu dan yang satu tetap dua. Kita tidak kehilangan individualitas kita, juga tidak memutus kebersamaan, itu cinta. Kita tetap jadi diri kita, tapi sekaligus. Tersambung dengan yang lain. Kebersamaan kita menguatkan diri kita masing-masing. Itulah cinta. Kalau ada cinta yang meruntuhkan individualitas, mesti kata Erickson, cara mencintainya keliru. Atau kalau cinta malah jadi egois mengutamakan individu, juga pasti cara mencintainya keliru. Cintailah secara produktif. Cinta. dirinya, kamu dengarkan di ngaji filsafat yang lama. Kalau dijelaskan lagi, bolak-balik. Yang terakhir, mikir. Berpikir juga yang produktif. Jadi jalan kita untuk produktif mau tidak mau ya berpikir. Berpikir yang bagaimana Pak? Ayo berpikir sebagai bagian dari kerja dan cinta. Pendukung kuat kerja dan cinta itu adalah berpikir. Kalau kita menghidupkan kerja cinta dan berpikir, disitulah kita punya karakter yang produktif. Nah, kebebasan kita jangan kita buang atau kita melarikan diri darinya, tapi mari kita kelola dengan dukungan karakter-karakter tadi. Kita harus tahu kapan pasnya kita pasrah, kapan pasnya kita harus berupaya mengambil sesuai yang kita inginkan, kapan pasnya kita mempertahankan yang kita miliki, kapan pasnya kita mencari keuntungan. Kalau semuanya pas, ya nanti kita warnai kemudian dengan kerja yang produktif. cinta yang produktif dan pemikiran yang produktif. Disitulah kita bisa mengoptimalkan kebebasan kita, tidak melarikan diri dari kebebasan. Dalam empat mekanisme tadi, tidak masuk ke jalur otoritarianisme, tidak masuk ke jalur destruktif maupun ke jalur conformity, kompromi-kompromi. Kalau kebebasan bisa kita aplikasikan dengan seimbang, itulah yang disebut kebebasan positif dan itu akan membuat kita bahagia karena memenuhi kebutuhan-kebutuhan eksistensial kita. Itulah cara membaca lari dari kebebasan versi Erich Fromm. Baik, masih adakah? Nah, sekarang tinggal kuut-kuutnya, senang sudah mau selesai. Sejak tadi sudah mati-matian ini, berjuang biar tidak ketiduran. Ada beberapa quote yang menurut saya menarik karena beliau ini banyak pikiran-pikirannya yang relate dengan keseharian kita. Kata beliau salah satunya begini, There can be no real freedom without the freedom to fail. Tidak mungkin ada kebebasan yang sejati tanpa kebebasan untuk gagal. Jadi sukses atau gagal itu semuanya mungkin saja dalam hidup ini. Dan bebas itu berarti kita bebas untuk sukses dan wajar saja, boleh saja kita gagal. Wang hidup ini tidak jaminan meski sukses, kadang-kadang gagal. Ada orang yang punya pandangan bebas untuk sukses tapi kita tidak bebas untuk gagal. Buktinya apa? Begitu gagal seluruh dunia memusuhi dia, mencacimaki dia, merendahkan dia. Ini kan namanya kita tidak memperbolehkan orang untuk gagal. Loh, padahal hidup ini bisa sukses, bisa gagal. Katanya bebas. Kenapa kalau orang bebas sukses, kok tidak bebas untuk gagal? Siapa sih Pak yang bilang tidak bebas untuk gagal? Buktinya kalau ada orang gagal kok kita marahi ya bisa-bisaan, kita kritik, kita rendah-rendahkan dia. Ini sindiran dari quote ini. Jadi yuk, kebebasan yang sejati itu yuk. Memungkinkan setiap orang dengan pilihannya masing-masing, apakah itu pilihan yang membuahkan kesuksesan maupun kebenaran. pilihan yang membuahkan kegagalan. Rasanya kita seperti orang tidak rela kalau ada orang gagal. Padahal hidup ini ya kadang sukses, kadang gagal. Berarti kalau mental kita masih begitu, kita belum ada di kebebasan yang sejati. Nah menarik lagi beliau bilang begini, Di abad ke-19, Problemnya adalah kematian Tuhan. Ini kan populer sekali dari Nietzsche. Kata beliau di abad ke-20 ini problemnya adalah kematian manusia. Jadi kalau kematian Tuhan dulu waktu kita sesi Nietzsche kan jelas bagaimana Nietzsche mengkritik manusia yang mentalnya mental Buddha. Manusia yang dengan alasan agama tidak berani menjadi dirinya sendiri. Nah, di abad 20 kata Erich Fromm, problemnya bukan kematian Tuhan, tapi kematian manusia. Manusia yang tidak berani hidup versi dirinya sendiri. Manusia yang menggadehkan kebebasannya, manusia yang kehilangan individualitasnya. Ini sama saja seperti orang mati. Kita terseret ke sana, terseret ke sini, tidak sempat mewujudkan potensi-potensi diri kita. Jadi sebenarnya itulah problem besarnya bukan kematian Tuhan, tapi kematian manusia. Banyak orang yang... Sudah mati sebelum dia benar-benar mati. Kenapa? Dia menggadehkan dirinya, membuang kebebasannya, tidak berani mengungkapkan apa yang dia inginkan, apa yang dia butuhkan, tidak berani hidup versi dirinya. Inilah kematian dalam hidup yang dikritik oleh Erich Freud. Terakhir, ini juga lanjutan kritik tadi ya. Man always dies before he is fully born. Manusia itu selalu sudah mati sebelum dia sepenuhnya terlahir. Maksudnya apa? Ya secara fisik kita sudah lahir sih, tapi kan dalam diri kita ini ada banyak sekali potensi yang bisa kita wujudkan. Tapi kadang-kadang kita terlena oleh lingkungan kita, oleh distraksi-distraksi sekeliling kita. Sehingga kita tidak sempat mewujudkan diri kita sepenuhnya. Kita belum menjadi diri kita sepenuhnya dan kita sudah mati. Kita terlalu banyak membuang-buang waktu. Itu yang menurut Erich Fromm selalu saja. Kematian itu hadir sebelum kita sepenuhnya lahir. Ini pentingnya kita kemudian ayo kita eksis jadi diri kita sendiri. Ayo kita eksis sesuai hidup yang kita idealkan, kita inginkan. Itulah yang kita hidupkan. Tentu saja dengan segala resiko dan tanggung jawab dibaliknya. Itulah kebebasan yang sejati sehingga tidak perlu kita harus lari dari kebebasan. Baik, saya kira itu malam hari ini. Silahkan. bernafas lega sudah selesai kajian kita tidak perlu berjuang lagi untuk memikir dan mati-matian menangkap yang saya sampaikan nanti setelah ini bisa diulang-ulang pelan-pelan Semoga ada manfaat yang kita ambil dari materi malam hari ini. Baik, kurang lebihnya mohon maaf, mohon dimaklumi. Saya akhiri sekian. Wallahu'l-mu'afiq, wallahu'aklamu'bisawab, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.