Sepanjang tahun 1998 sampai tahun 1999, Banyuwangi diguncang oleh sebuah tragedi yang mengerikan. Puluhan orang tewas bukan dalam perang atau konflik terbuka, tetapi akibat sebuah tuduhan yang tidak kasat mata. Santet yang tidak kasat mata tiba-tiba berubah menjadi pembanta yang terbuka.
Di tahun 1998, memang tahun kegelapan bagi seluruh daerah Indonesia sebab bagaimana bisa sebuah kepercayaan yang sudah ada berabad-abad berujung. pada pembantaian begitu brutal. Apa yang sebenarnya terjadi di balik tragedi ini?
Siapa yang menjadi korban? Dan siapa yang diuntungkan? Dalam kesempatan kali ini, kita akan coba menyelam lebih dalam tentang tragedi pembantaian dukun santet di Banyuwangi sepanjang tahun 1998 sampai tahun 1999. Ini adalah sebuah peristiwa kelam yang memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Bersiaplah, karena di video kali ini, kami akan mengungkap sisi kelam dari ketakutan, pemanfaatan, pengkambing hitaman, dan perebutan kekuasaan yang membentuk sejarah hitam bangsa Indonesia. Untuk memahami lebih dalam mengenai peristiwa pembantaian dukun santet yang terjadi di Banyuwangi pada tahun 1998 sampai tahun 1999, kita perlu melangkah mundur sejenak untuk melihat situasi sosial dan politik yang tengah berkembang di Indonesia pada masa tersebut. Indonesia pada akhir dekade 1990-an berada di titik nadir krisis multidimensi yang melibatkan krisis ekonomi, politik, dan sosial yang sangat besar.
Apa yang terjadi di Banyuwangi tidak bisa dilepaskan dari konteks besar ini. Holhill dalam bukunya yang berjudul The Indonesian Economy yang terbit pada tahun 2000 menuliskan bahwa tahun 1997 menjadi tahun yang sangat kelam bagi Indonesia. Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia yang dimulai dengan jatuhnya nilai tukar mata uang bad Thailand akhirnya merembet ke Indonesia.
Nilai rupiah anjlok secara dramatis, inflasi meroket, dan banyak perusahaan yang bangkrut. Situasi ini menyebabkan pemutusan hubungan kerja atau PHK besar-besaran, lapangan pekerjaan semakin langka, dan kemiskinan meningkat secara signifikan. Ekonomi yang semakin terpuruk memperburuk situasi sosial di Indonesia.
Rakyat semakin tertekan dengan harga-harga yang melambung tinggi, dan ketidakpastian akan masa depan. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin memudar, sementara situasi semakin kacau. terutama di daerah-daerah yang terpencil seperti Banyuwangi. Tidak hanya krisis ekonomi, Indonesia juga sedang berada dalam ketegangan politik yang sangat besar.
Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari 3 dekade menciptakan stabilitas politik dengan cara otoriter. Namun pada akhir 1990-an semakin banyak kritik yang muncul terhadap rezimnya. Pada tahun 1998, demonstrasi besar-besaran terjadi di seluruh Indonesia dipicu oleh krisis ekonomi yang menderar rakyat. Kelompok mahasiswa yang dikenal dengan gerakan reformasi menjadi gara terdepan dalam menuntut pengunduran diri Soeharto. Suasana semakin panas dan pada bulan Mei di tahun 1998, kerusuhan besar meletus di Jakarta dan berbagai kota lainnya.
Menanggapi tekanan yang begitu besar, Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei di tahun 1998 setelah 32 tahun berkuasa. Namun kejatuhan Soeharto tidak serta-merta mengakhiri ketegangan. Setelah pengunduran dirinya, Indonesia memasuki masa transisi yang penuh ketidakpastian.
Masyarakat tidak hanya menghadapi krisis ekonomi yang berkepanjangan, tetapi juga keguncangan politik dan sosial yang luar biasa. Perpecahan internal dalam tubuh masyarakat semakin tajam, dan ketakutan akan masa depan yang gelap mulai merasuki pikiran banyak orang. Kepastian yang melanda masyarakat muncul berbagai cara untuk mencari penjelasan dan perlindungan.
Salah satu cara paling kuat dalam masyarakat Jawa termasuk Banyuwangi dalam mencari penjelasan dan perlindungan adalah dengan mengandalkan dunia mistis dan kepercayaan terhadap ilmu hitam seperti santet dan dukun. Kepercayaan terhadap dukun santet telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak lama. Dukun santet dianggap memiliki kekuatan goib yang bisa mempengaruhi kehidupan orang lain.
baik itu melalui penyembuhan atau sebaliknya, dengan menyebabkan penyakit, kemalangan, atau bahkan kematian. Ketika bencana besar seperti krisis ekonomi datang, banyak orang mulai mencari penyebab dari segala bentuk musibah yang menimpa mereka. Dan tidak jarang, Dukun Santet menjadi sesanan kekerasan meski kadang tanpa bukti yang jelas. Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, memiliki karakteristik sosial dan budaya yang sangat khas.
Di daerah ini, kehidupan masyarakat banyak dipengaruhi oleh tradisi. dan adat istiadat yang sudah berlangsung secara turun-menurun. Salah satunya adalah kepercayaan terhadap hal-hal gaib, termasuk santet. Irwan Zulkarnain dalam buku yang berjudul Banyuwangi, Sejarah dan Budaya, menyebutkan bahwa masyarakat Banyuwangi, meskipun tergolong maju di beberapa bidang, masih sangat terikat pada tradisi dan kepercayaan lama.
Bagi mereka, dukun bukan hanya di dalam budaya, hanya sekedar pengobat tradisional, tetapi juga bisa menjadi figur yang sangat penting dalam memecahkan berbagai masalah, baik itu penyakit fisik maupun persoalan kehidupan lainnya. Namun, dalam situasi yang penuh ketidakpastian seperti yang terjadi pada tahun 1998, peran dukun santet menjadi semakin vital ketika masyarakat merasa terdesak dan dihantui ketakutan akan kekuatan mistis. Mereka mulai mengaitkan segala bencana dengan keberadaan Dukun Santet. Kepercayaan yang berlebihan ini menciptakan kondisi sosial yang sangat berbahaya.
Dengan adanya ketidakpastian sosial yang disebabkan oleh krisis ekonomi dan ketegangan politik Pasca Suwarto, masyarakat Banyuwangi mulai terjerat dalam lingkaran ketakutan dan kecurigaan. Dalam keadaan yang demikian, Dukun Santet menjadi simbol dari segala sesuatu yang dianggap sebagai penyebab dari bencana dan kesulitan hidup. Ini adalah latar belakang yang sangat penting untuk memahami mengapa.
Kekarasan terhadap Dukun Santet dapat terjadi pada tahun 1998 sampai tahun 1999. 1998 adalah tahun genting. Di sekitar lengser ke Prabowo-Nsuarto muncul banyak peristiwa mengerikan. Dari mulai perkosaan, penjarahan, dan yang relatif jauh dari ibu kota, Ketakutan terhadap dukun santet di Banyuwangi mulai meroket.
Rakyat yang terdesak oleh kondisi ekonomi yang terpuruk dan tragedi pribadi mulai mencari kambing hitam untuk segala penderitaan mereka. Bert Hoffman dalam salah satu jurnalnya berjudul The Witch Hunt in Banyuwangi, Social Tension in the Wake of the 1998 Crisis yang terbit di jurnal Journal of Southeast Asian Studies pada tahun 2001 menceritakan bagaimana. Masyarakat Banyuwangi mulai melakukan pencarian dan perburuan terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai pelaku santet. Tanpa bukti yang jelas, banyak orang yang tidak bersalah menjadi sasaran amukan massa. Tidak sedikit yang dituduh melakukan santet hanya karena kemalangan yang menimpa orang lain.
Proses tuduhan yang tidak berdasarkan bukti ini menghasilkan banyak korban yang tidak bersalah. Pada tahun 1998 hingga tahun 1999, Situasi di Banyuwangi semakin memanas. Tommy Arik Tonang dalam laporan kekerasan dukun santet di Banyuwangi pada majalah Tempo edisi 15 yang terbit bulan Agustus di tahun 1999 menuliskan bahwa pembantai terhadap dukun santet tidak hanya terbatas pada tuduhan semata, tetapi juga melibatkan kekerasan yang sangat brutal.
Dukun-dukun yang tertuduh sebagai pelaku santet dipukuli, dibakar hidup-hidup, atau dibunuh dengan cara yang sangat kejam. Tirto dalam salah satu pemberitanya mengenai pembantai ini bertajuk Pembangkai dukun Santet, Operasi Naga Hijau, dan teror kepada NU memberitakan kesaksian dari salah satu anak korban yang bernama Untung Hadi. Dalam berita itu, Untung Hadi menjelaskan, selain membunuh ayahnya, para pelaku juga merusak rumahnya. Dan ketika suasana menjadi ruwet, tiba-tiba pondok yang berada di kebun pun dibakar. Dalam suasana genting itu, ia tak mendapati aparat desa seorang pun.
Dan dalam keterangannya itu, Untung Hadi menjelaskan, Bukhadi berspekulasi bahwa pembunuhan yang menimpa ayahnya mungkin sudah direncanakan. Peristiwa yang diberitakan itu terjadi di desa Pondok Nongko, kecamatan Kabat Banyuwangi, Jawa Timur. Dan masih di kecamatan yang sama, namun di waktu yang berbeda, Abdullah menjadi saksi peristiwa pembantaian saudaranya.
Di desa Sukujati, Arifin kakaknya beserta istri dan anaknya dibantai sekelompok warga. Abdullah menceritakan bahwa kakaknya beserta istri kakak dan anak kakaknya dijemput masa. Dan dalam keterangannya itu juga, Abdullah menjelaskan bahwa masa yang membawa keluarga kakaknya itu bukan orang jauh, tapi warga kampungnya juga.
Dan mengapa kakaknya menjadi korban? Abdullah menjelaskan itu karena kakaknya yang bernama Arifin dituduh punya ilmu santet. Pembunuhan-pembunuhan ini tidak terjadi dalam waktu singkat. Mereka yang dianggap dukun santet, menjadi sasaran kemarahan masa yang sudah terprovokasi oleh rumor dan ketakutan yang berkembang.
Masa yang terorganisir seringkali mendatangi rumah-rumah dukun santet, menyeret mereka keluar, dan melakukan tindakan kekerasan yang tidak terbayangkan. Tindakan ini terjadi hampir setiap bulan, menciptakan ketegangan yang semakin parah. Secara nasional peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan dukun santet dan ninja. Resonansi pemberitaan pada peristiwa ini pun dengan cepat meluas bahkan sampai pada pemberitaan internasional.
Beberapa media luar seperti The Sydney Morning Herald edisi Sabtu tertanggal 7 November 1998 mengeluarkan berita atas pembantaian tersebut dengan tajuk berita Indonesian New Wave of Terror. Selain apa yang diberitakan oleh media Australia, BBC News Online edisi 13 dan 24 Oktober 1998 pun memberitakan pembantaian ini dengan dua judul berita. Pertama berjudul Makab Mudar Sweet Java dan kedua Indonesia, Ninja War. Proses terjadinya pembalantian ini sangat terkait dengan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi dan politik.
Ketika masyarakat menghadapi kesulitan hidup yang luar biasa, mereka mulai mencari penjelasan mistis untuk menjelaskan musibah yang mereka hadapi. Dukun Santet menjadi sasaran karena mereka dianggap memiliki kekuatan untuk menyebabkan penyakit atau bencana. Menanggapi ratusan peristiwa kasus pembunuhan Dukun Santet oleh ninja, Afton Ilmu Huda, Tokoh Nada Tengah, Kekul ulama Jember menyebutkan bahwa hal ini mungkin berkaitan dengan psikokultur di masyarakat setempat.
Afton Ilman menyebutkan bahwa di daerah Tapal Kuda Nadatul Ulama di Banyuwangi ini memang ada pemahaman tentang santet, meski persepsinya berbeda-beda. Mengenai ilmu santet yang dekat dengan kehidupan masyarakat daerah Tapal Kuda, khususnya Banyuwangi yang mayoritas warganya beretnis Osing atau Using, Hasan Ali, penggiat budaya Banyuwangi dalam wawancaranya dengan sadikin dalam disertasinya berjudul Pembunuhan Dukun Santet di Banyuwangi, Studi Kekerasan Kolektif dalam Perspektif Konstruktivistik, menjelaskan bahwa Hasan Ali mengatakan, bahwa santet bagi masyarakat Banyuwangi adalah bahwa realitas ada dan keberadaannya sangat diyakini. Hasan Ali juga tercatat dalam disertasi itu menyatakan, bahwa mayoritas mereka mempercaya dan sudah menjadi bagian yang menyatu dalam keseharian masyarakat using.
Santet telah menjadi kosa kata harian masyarakat using. Bagaimana tidak segala hal yang terkait dengan kehidupan sehari-hari yang dianggap penting, selalu saja kebanyakan masyarakat using akan mendatangi orang pintar hanya sekadar untuk berkonsultasi. Hasan Ali menambahkan bahwa sistem sosial yang terbangun seperti itulah, ia menjadi bahan bakar yang menyulut berbagai jenis.
sebagai pembantaian. Hasan Ali pun dalam hal ini menyatakan, bahwa masyarakat Banyuwangi menyerang sesuatu yang telah hidup dalam kesahariannya. Serupa dengan apa yang dikatakan oleh Hasan Ali, James Brown yang meneliti kejadian pembantaian ini, dan akhirnya dibukukan dengan judul, Perdukunan, Paranormal, dan Peristiwa Pembantaian, Teror Maut di Banyuwangi 1998 menjelaskan, bahwa peristiwa berdarah Banyuwangi tahun 1998, sebenarnya adalah kejadian yang berulang yang bisa disebut biasa.
Karena terkait dengan keadaan sosial masyarakat using, yang akrab dengan budaya dukun santet dalam keseharian. Anggapan yang dikatakan oleh James Brown pun didukung catatan Sefer Rahim dalam bukunya yang berjudul Merah Darah Santet di Banyuwangi yang mengabarkan bahwa peristiwa pembantaian terhadap dukun santet di Banyuwangi pernah terjadi 7 tahun sebelumnya pada tahun 1991 dan 2 tahun sebelumnya pada tahun 1996. Dan dalam keterangannya itu juga Sefer Rahim menambahkan bahwa Ketika pertama kali terjadi pembantaian atas beberapa orang yang diperkenalkan sebagai dukun santet, jadi diambil pusing oleh orang Banyuwangi. Namun terlepas dari itu, untuk mengantisipasi kejadian serupa terulang, pada tanggal 6 Februari di tahun 1998, Purnomo Sidik selaku Bupati Banyuwangi saat itu, mengeluarkan instruksi kepada seluruh camat agar mendata paranormal, dukun pengobatan tradisional, dan tukang sihir. Semua ini dilakukan agar memudahkan penanganan jika terjadi kasus serupa.
Namun rupanya, Daftar yang dibuat oleh para kepala desa atas instruksi camat sebagai perintah bupati tersebut kemudian bocor dan berubah menjadi daftar target pembunuhan. Sebab kendati mereka sudah terdata, kasus pembunuhan ternyata tetap saja terjadi. Sejak bulan Februari hingga September tahun 1998, jumlah korban pembunuhan orang dalam daftar semakin meningkat.
Seakan memperlihatkan adanya kebocoran rahasia data. Dalam skala yang lebih besar, peristiwa Banyuwangi 1998 serupa dengan peristiwa di Tasikmalaya dan Situ Bondo menjelang pemilu pada tahun 1997. Atau yang lebih dikenal dengan sebutan Operasi Naga Hijau. Kabar angin terkait pelaku aksi pembantaian dukun santet di Banyuwangi pun berhembus liar. Ada isu yang muncul bahwa aksi keji itu dilakukan oleh orang-orang yang berpakaian serba hitam mirip ninja.
Abdul Manan, Imam Sumaat Maja, dan VFN SP Wardana dalam buku yang berjudul Geger Santet Banyuwangi. menyebutkan bahwa para ninja itu membawa benda sejenis handy talkie atau HT untuk berkomunikasi dan mampu bergerak dengan gesit, terlatih dan sistematis. Awalnya pada pembantaian ini memang yang menjadi sasaran pembunuhan adalah orang-orang yang dituduh memiliki ilmu hitam untuk tujuan tidak baik yang disederhanakan sebagai dukun santet oleh warga setempat dan sebagian masyarakat.
Namun ketika jumlah orang-orang tidak bersalah yang dihabisi terus bertambah, sasaran pun meluas. Tidak hanya orang-orang yang dituding dukun santet saja, Orang-orang yang disebut sebagai guru agama, santri, pengidap gangguan mental, serta orang-orang sipil biasa pun ikut dibunuh dengan kejam. Pembunuhan terhadap kalangan santri, kiai, dan guru agama ini diduga kuat berkaitan dengan motif politik.
Teror pembantai yang diawali di Banyuwangi ini pun dengan cepat menyebar ke Jember, Bondowoso, Sitobondo, Pasuruan, Malang, hingga Pulau Madura. Ketakutan, ketegangan, kepanikan, dan saling curiga yang semakin meluas di masyarakat melahirkan berbagai isu yang menyeramkan. Demikian berbagai laporan media kala itu.
Tragedi kekerasan terhadap Dukun Santet tidak hanya meninggalkan trauma pada para korban dan keluarga mereka, tetapi juga merusak struktur sosial di Banyuwangi. Hasil penelitian bertajuk HAM dan politik pascawarde baru, konstruksi pelanggaran HAM pada kasus pembantain Dukun Santet di Kabupaten Banyuwangi tahun 1998 yang disusun oleh Rai Permata Juang. Teddy Erfiantono dan Muhammad Ali Azhar menyebutkan bahwa peristiwa sadis tersebut menimbulkan trauma mendalam bagi warga Banyuwangi.
Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam kedamaian kini saling mencurigai satu sama lain. Tidak hanya itu, tragedi pembatain dukun Santet itu juga memberikan efek buruk terhadap citra kota Banyuwangi yang mendapat persepsi miring sebagai kota Santet. Akibatnya, keturunan atau keluarga korban enggan berpanjang masalah lantaran tidak ingin dianggap sebagai pewaris ilmu.
Selain itu banyak tokoh agama dan pemuka adat setempat yang mengutuk keras tindakan kekerasan tersebut. Menurut mereka, kekerasan terhadap dukun santet mencoreng nilai-nilai kearifan lokal dan adat yang selama ini menjaga keharmonisan masyarakat Banyuwangi. Setelah beberapa bulan kekerasan yang meluas, pemerintah Kabupaten Banyuwangi mulai turun tangan untuk mengatasi situasi ini. Operasi keamanan dilakukan untuk menindak tegas para pelaku kekerasan dan untuk menenangkan masyarakat yang dilanda ketakutan.
Polisi mulai melakukan penangkapan terhadap sejumlah orang yang terlibat dalam pembantaian. Dan pemerintah juga melakukan pendekatan dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya mengatasi masalah sosial dengan cara yang lebih rasional dan menghindari kekerasan. Namun ketakutan yang sudah terlanjur menyebar memerlukan waktu lama untuk pulih. Mejen TNI Joko Subroto yang saat itu menjabat sebagai Pangdam 5 Brawijaya menyatakan bahwa pembunuhan yang terjadi pada bulan Januari hingga bulan Juli di tahun 1998 kemungkinan memang dipicu oleh motif kebencian terhadap dukun santet. Namun Mejen Joko Subroto juga tidak menyangkal bahwa pembunuhan yang merajalela dibanyuangi pada bulan Agusus hingga bulan September di tahun 1998 telah dimanfaatkan oleh unsur-unsur lain.
Situasi politik nasional yang sedang krisis saat itu menjadikan menjadi salah satu faktor teror terhadap masyarakat Banyuwangi. Saat itu, mulai bermunculan aksi demonstrasi untuk mendesak suara pemundur, setelah terpilih kembali sebagai presiden dalam sidang umum MPR pada bulan Maret di tahun 1998. Banyuwangi, yang terkenal sebagai kawasan Tapal Kudana Datul Ulama atau NU, diduga sengaja dipilih sebagai sesaran kekerasan dengan motif politik. Karena juga menargetkan kalangan santri, peristiwa pembantai nukun santet di Banyuwangi ini, sering disebut sebagai operasi naga hijau.
Setelah kekerasan yang terjadi, Banyuwangi menghadapi dampak sosial yang sangat besar. Ketika kepercayaan terhadap dukun santet berkembang begitu pesat, masyarakat terpecah menjadi dua kubuh. Mereka yang percaya dan mereka yang tidak. Ini memicu ketegangan yang merusak hubungan antar warga, menciptakan kepercayaan yang tersebut. ...kita akan saling curiga dan ketakutan.
Kepercayaan yang semula menjadi bagian dari budaya masyarakat lokal......kini bertransformasi menjadi senjata yang digunakan untuk saling menyerang. Salah satu dampak terbesar yang muncul adalah terpecahnya ikatan sosial dalam masyarakat. Masyarakat yang dulunya hidup rukun dan harmonis......kini mulai diliputi rasa curiga yang mendalam. Orang yang sebelumnya bertetangga dekat tiba-tiba menjadi asing satu sama lain. Ini terjadi karena saling menuduh dan mencurigai adanya unsur santet......di balik musibah yang menimpa mereka.
Banyuwangi dalam waktu singkat berubah menjadi tempat yang penuh dengan ketegangan. Dimana-mana orang-orang mulai saling menghindar dan berusaha menjaga jarak. Ketakutan akan tuduhan dan penghakiman menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bahkan bagi mereka yang tidak terkait sama sekali dengan dunia perdukunan.
Bagi keluarga korban yang terbunuh atau dianiaya, dampak psikologis yang ditibulkan jauh lebih dalam. Tidak hanya kehilangan orang yang mereka cintai, tetapi juga merasa dihantui oleh stigma sosial yang melekat pada mereka. Terlepas dari apakah korban benar-benar seorang dukun santet atau bukan, stigma buruk akibat ketakutan masyarakat membuat banyak keluarga menderita panjang. Stigma ini.
yang tumbuh setelah peristiwa kekerasan tersebut bukan hanya membuat keluarga korban merasa dihukum tanpa alasan, tetapi juga memperburuk kondisi mental mereka. Rasa malu, rasa takut, dan perasaan terisolasi berkembang dalam masyarakat yang terpecah. Dan ketika gonjang ganjing politik di tingkat nasional belum sepenuhnya normal, sebagian tersangka pelaku pembunuhan di lapangan, terutama di wilayah Banyuwangi, diadili, dan dijatuhi hukuman pidana. Pada tanggal 7 Oktober di tahun 1998, Pihak Kepolisian Jawa Timur mengumumkan hasil investigasi terkait jumlah korban pembantaian lukun santet di Banyuwangi. Berdasarkan data pihak kepolisian, ada 85 korban meninggal, 3 orang terluka parah, dan 7 terluka ringan.
Polisi juga melaporkan telah mengevakuasi 227 orang yang dicurigai sebagai dukun santet. Sedangkan pemerintah kabupaten atau Pemkap Banyuwangi mendata ada 115 korban dari peristiwa pembunuhan dukun santet. NU juga membentuk tim pencari fakta atau TPF untuk menginvestigasi jumlah korban dari tragedi berdarah ini.
Hasilnya NU melaporkan terjadi pembunuhan berantai dengan isu dukun santet yang bermula di Banyuwangi kemudian meluas hingga ke 10 kabupaten lain. Menurut hasil pendatani yang dilakukan NU, Ada 163 korban meninggal dari 5 daerah tapal kuda di Jawa Timur, yang di Banyuwangi, Pasuruan, Pamekasan, Sumanap, dan Probolinggo. Investigasi juga dilakukan lembaga bantuan hukum Surabaya yang menemukan data 157 korban meninggal dan 10 orang terluka parah dalam tragedi pembantai dukun santet Banyuwangi. Hingga kini belum diketahui secara pasti siapa pelaku atau dalang dibalik pembantai dukun santet di Banyuwangi. Polisi dalam hal ini hanya menangkap 80 orang yang diduga sebagai pelaku, aktor intelektual, penyandang dana, dan eksekutor dalam pembantaian Banyuwangi 1998. Namun upaya hukum tersebut tidak menyentuh tekat.
yang menjadi pertanyaan di masyarakat, yaitu siapa aktor utama dibaliknya? Suara-suara yang menuntut agar motif besar dibalik teror rentetan pemudan ini diselidiki, terus disuarakan, tapi selalu terkendala politik dan teknis hukum. Diadapkan teka-teki tak terjawab itulah, barulah pada tahun 2015 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM sesuai amanat Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
memulai melakukan penyelidikan atas kasus kekerasan ini. Tim ad-hoc Komnas HAM dalam kesimpulan penyelidikannya mencatat jumlah korban pembantian mencapai 309 orang, 194 di Banyuwangi, 108 di Jember, dan 7 di Malang. Selain itu, Komnas HAM melalui tim ad-hocnya menyatakan ada pelanggaran HAM berat dalam kasus pembantian dukun santet di Banyuwangi, Jember, dan Malang sepanjang tahun 1998 sampai tahun 1999. Selain itu juga ada terduga aktor yang melakukan propaganda penggalangan untuk menggerakkan masyarakat. untuk membunuh, dalam kesimpulannya itu juga Komnas HAM menemukan adanya pola di awali prakondisi terungkap adanya pendataan yang menghasilkan daftar nama sehingga membuat eskalasi dan keresahan masyarakat.
BK Ulung Habsara ex-ketua ERHOC pada penyelidikan kasus ini dalam konferensi persnya pada hari Selasa di tanggal 15 Januari di tahun 2019 menyatakan bahwa Komnas HAM menemukan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan secara sistematik pembunuhannya selalu menggunakan tindakan yang sama dan berulang. Pelaku mengidentifikasi korban Kemudian masa mendatangi korban dan menganeah serta merusak rumah korban. Pada akhirnya, tim Edehok Komnasam berkesimpulan.
Kasus ini didalangi oleh aktor intelektual. Penguat adanya aktor intelektual adalah karena kemunculan daftar nama orang-orang yang diidentifikasi sebagai dukun santet oleh Bupati Banyuwangi saat itu. Kolonel polisi H.Purnomo Sidik. Daftar nama itu dikeluarkan dalam bentuk radiogram. pada tanggal 6 Februari di tahun 1998 yang ditunjukkan kepada aparat pemerintah mulai camat hingga kepala desa.
Radiogram itu diklaim untuk melindungi dan mengamankan orang-orang tersebut dari ancaman dibunuh. Sayangnya terjadi justru sebaliknya. Pasca radiogram itu diklaim dikeluarkan terjadi rentetan pembunuhan terhadap sebagian nama yang tertera dalam daftar tersebut. Selain soal radiogram, penyelidikan Komnas HAM juga mengungkap bahwa rentetan pembunuhan di beberapa kota di Jawa Timur itu memiliki pola yang memiliki unsur sama. Di awal libra kondisi, yaitu meluasnya isu sara, terutama etnis Tionghoa.
Pola lain yang ditemukan adalah setiap kasus selalu melibatkan masa bukan warga lokal. Selain itu ada juga penggunaan tanda serupa seperti panah, silang, dan pemadaman listrik paksa. Tanda silang di rumah orang-orang adalah tanda target pembunuhan. Lainnya, ada penggunaan tanda berupa silang dan panah di rumah-rumah yang menjadi target.
Tak kalah pentingnya, unsur sama yang ditemukan Komnas HAM juga terkait isu orang asing yang diduga TNI masuk desa. Dalam hal ini, Komnas HAM menemukan fakta lapangan bahwa kemunculan orang-orang yang bukan dari wilayah kejadian yang terlihat dari bahasanya terjadi sebelum pembunuhan terjadi. Dan atas fakta tersebut, BKU Lungkapsara menyimpulkan adanya bukti permulaan yang cukup yang bisa mengategorikan pembandaan ini termasuk kejahatan kemanusiaan. Ini melanggar pasal 7 huruf BJO pasal 9 huruf A Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang kejahatan kemanusiaan.
Pengadilan HAM. Apa yang dikatakan oleh BK Ulung Habsara pada kasus pembantian dukun santet ini, sebenarnya pernah disinggung lebih dulu oleh tim investigasi Nadatul Ulama, cabang Banyuwangi, yang mengumumkan hasil penyelidikannya dan menyimpulkan adanya dugaan keterlibatan aparat keamanan. Bahkan, Syed Akhil Syiroj, yang saat itu menjadi Ketua PBNU dalam salah satu artikel yang keluar di NU Online di tahun 2007, menyatakan bahwa, dari hasil investigasi, tim mencari fakta Nadatul Ulama, kesimpulannya kasus tersebut ada yang mendesain, merancang, Ada yang mendanai, untuk itu kasus pembantaian terjadi di Banyuwangi tidak mungkin kriminal biasa. Berbeda dari apa yang jadi temuan tim ad hoc Komnas HAM dan PBNU Tempo, yang melakukan investigasinya sendiri menemukan bahwa pembantaian ini justru banyak dilakukan oleh warga setempat. Mereka melakukan pembantaian karena dendam dan keresahan akibat teluk yang kemudian bercampur aduk menjadi semacam pelampiasan kesumat.
Namun terlepas dari perbedaan itu, ketiganya punya benang merah yang sama. Jadi pembantaian ini tidak akan meluas dan lebih banyak menelan korban jiwa jika... aparat mau lebih cepat menangani kasus ini.
Dalam temuannya, Komnas HAM menyimpulkan aparat sebenarnya sudah mengetahui situasi bahkan telah menerima laporan tetapi tidak atau sangat telat saat mengambil tindakan. Senada dengan temuan Komnas HAM, penyelidikan Tepo juga menyatakan tekan aparat dinilai lambat, bahkan sengaja tidak mengintervensi pembantian yang dilakukan warga. Menurut beberapa sumber yang berhasil didapatkan Tempo, pengabayan oleh aparat ini dilakukan karena aparat takut menjadi sasaran amukan masa yang jumlahnya tidak sedikit. Dalam terbitan Tempo yang bertajuk, Banyuwangi dirundung isu dukun santet jilid 2. Di sana tertulis keterangan salah seorang petugas yang mengatakan, jangan-jangan malah markas polisi dibakar. Tak cuma saat kejadian saja, pengabayan aparat terhadap pembantian dukun santet yang terjadi di Banyuwangi dan sekitarnya merentet sampai pada proses penyelidikan kasus.
Menurut Ketua Tim Kajian Komnas HAM, Muhammad Nukhoiron, aparat enggan memberikan keterangan apapun terkait kasus pembantaian ini. Kepolisian daerah Jawa Timur yang mereka datangi, bahkan secara eksplisit mengungkapkan bahwa tidak sepatutnya kasus ini dibeberkan, karena peristiwanya sudah terjadi lama sekali dan bakal menimbulkan luka lama. Di sisi lain, Komnas HAM juga mendapati hal yang sama ketika mendatangi Kodam 5 Brawijaya. Saat diminta keterangan, Kodam enggan buka suara dengan alasan data lama seperti kasus pembandingan dokumen santet pada tahun 1998-1999 sudah tidak mungkin ditemukan.
Dokumen-dokumen yang ada kemungkinan besar musnah atau dimusnahkan. Pernyataan dari Kodam Brawijaya tentunya mengecewakan. Ini lantaran menurut Nukhoiron seharusnya lembaga negara memiliki arsip meskipun menyangkut data-data lama.
Komnasam yang juga sebagai lembaga negara seharusnya bisa mengakses data-data tersebut. Kendala-kendala dalam mengungkapkan fakta ini yang tak ayal membuat tragedi. di berdarah pembantian Rukun Santet, tidak pernah mendapatkan titik terang. Apalagi pada tahun 2018, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan ini ke Kejaksaan Agung. Namun hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya.
Akibatnya jelas berdampak pada keluarga korban. Dalam wawancara bersama BBC Indonesia pada tahun 2023 lalu, beberapa keluarga korban pembantian dukun santet masih harus hidup dengan bayang-bayang stigma sosial. Selain itu, pemerintah sendiri sampai saat ini hanya mengakui pembantian dukun santet di Banyuwangi tahun 1998 sampai tahun 1999 sebagai 12 pelanggaran ham berat di Indonesia. Namun seperti apa yang dikatakan Daniel Awigra, dari eksekutif director of Indonesian Human Rights Working Group, dalam wawancaranya dengan Magdeline pada bulan Januari di tahun 2023 bahwa hal tersebut dinilai hanya gimmick atau retorika semata. Daniel Awigra mengatakan bahwa pemerintah seharusnya menggunakan kewenangannya untuk langsung mengusut kasus pelanggaran HAM berat secara terang benderang.
bukan kembali menegaskan temuan serta laporan yang sudah dikerjakan oleh Pemnasam. Dan seperti bisa kalian tebak, toko intelektual peristiwa pembantai dokun santet yang terjadi di Banyuwangi sepanjang bulan Februari di tahun 1998 sampai bulan Oktober di tahun 1999 ini secara hukum belum menemui titik terang. Kejadian ini masih tertutupi selimut kabut dan tak sampai kapan akan diselesaikan secara berkadilan. Terima kasih telah menonton