Transcript for:
Perjalanan Hidup dan Pemikiran Reza Idria

Masalahnya Indonesia ini kan narasinya selalu baik-baik saja. Nggak ada musuhnya, kecuali musuh kita itu di dalam. Kita itu ya karena kepentingan harmoni tadi, itu tanpa sadar kita itu betul-betul dalam posisi orang yang melakukan dihumanisasi. Ada perasaan overconfident yang superior berpikir dirinya jauh lebih baik daripada orang lain, itu hampir tipis sebenarnya kondisinya. Inilah Endgame. Halo teman-teman, hari ini kita kedatangan Reza Idria. Beliau adalah dosen di UIN Al-Raniri, Bandar Aceh. Tapi juga seorang fellow di NUS Stanford University. Reza, terima kasih banyak. Saya terima kasih Pak Gita. Latar belakang Anda tuh menarik sekali. Anda sekolah di Leiden, di Harvard, dan sekarang di Stanford, dan lahir di Aceh. Cerita deh perjalanan hidup. Ya saya lahir di sebuah kampung yang tidak terlalu jauh dari Banda Aceh. Itu sekitar 15 km Pak. Tapi pada masa saya kecil itu lumayan jauh sebenarnya. Kami menyebutnya itu kota Banda Aceh. Mungkin waktu yang paling menarik bagi kami waktu itu ya lebaran. Karena lebaran baru pergi ke Banda Aceh. Sebenarnya aneh juga ya kalau kita pikir. bahwa zaman itu kan belum terlalu jauh waktu saya cerita seperti ini seolah-olah itu mungkin ketika didengar oleh anak muda sekarang seperti pada abad yang lalu jadi itu satu kampung namanya Lamu kalau posisi sekarang tidak terlalu jauh dari airport dari Belang Bintang satu keberkahan juga jadi pada waktu tsunami saya dan keluarga selamat Saya sekolah di madrasah, di kampung itu juga. Lalu pada umur sekolah SMP saya sekolah di madrasah lagi. Sanawiah itulah waktu yang saya rutin ke kota Bandar Aceh. Saya tidak terlalu teringat dengan masa selama saya di Sanawiah itu. Karena itu agak satu kondisi yang mungkin karena jarak tadi. Saya harus bangun terlalu pagi selalu untuk mengejar kendaraan umum pertama ke sekolah. Dan pulangnya juga jauh. Jadi itu satu kondisi yang mungkin tidak terlalu nyaman untuk saya ingat. Yang saya ingat waktu itu saya memang dijadikan bagian dari kelas unggul. Tapi tidak terlalu cemerlang juga. Jadi saya tidak pernah dapat juara satu walaupun di kelas unggul. Untuk pendidikan selanjutnya saya di madrasah program khusus waktu itu. Ada satu program dari Kementerian Agama yang mungkin sekarang sudah tidak ada. Tapi saya nggak tahu kenapa itu tidak dilanjutkan. Kalau dari pengalaman saya melihat teman-teman seangkatan saya maupun angkatan-angkatan sebelum dan setelah saya, rata-rata mereka yang sekolah di situ itu. Jadi sesuatu lah, itu satu program khusus yang menarik. Kita paginya sekolah seperti teman-teman yang lain dengan mata pelajaran umum, tapi juga dilengkapi dengan pelajaran-pelajaran agama yang agak, apa namanya, menurut saya sangat berkualitas pada waktu itu. Guru-gurunya sangat berkualitas, jadi kami belajar misalnya ilmu hadis. Kami belajar ilmu hadis dirayah, hadis riwayah, belajar tafsir. Belajar fik langsung dari kitab-kitab yang dijadikan rujukan utama. Kami belajar kaedah-kaedah bahasa, belajar kaedah usul fik, dan segala macamnya. Dan untuk saya pada waktu itu, saya pikir itu satu program yang betul-betul bisa dijadikan modal sebenarnya bagaimana kita memahami agama Islam. Saya selesai madrasah program khusus itu di tahun 1999. Itu satu kondisi politik yang sangat berbeda pada waktu itu. Setelah Soeharto jatuh 98, saya pikir ketika ada euforia yang besar tentang reformasi di tempat lain, Aceh mungkin sedang bergerak ke arah yang agak berbeda. konflik menjadi lebih tajam di Aceh. Awalnya ketika saya sekolah di Madrasah Program Khusus tadi itu, cita-citanya mau ke Al-Azhar awalnya. Karena bagaimanapun tidak terlalu banyak sebenarnya inspirasi pada waktu itu di Aceh. Ada satu orang yang kami jadikan rujukan, yang selalu menjawab banyak pertanyaan-pertanyaan masyarakat melalui koran yang ada di Bandar Aceh pada waktu itu. Dan beliau itu alumni al-Azhar. Dan saya kira dia itu jadi banyak idola bagi kami. Mungkin ini bisa dijadikan satu tujuan lanjutan. Jadi kita persiapan di madrasah itu belajar fiqh, belajar tata bahasa, belajar Al-Quran juga. Dan tentu saja menghafal karena itu salah satu caran. Tapi karena kondisi yang saya katakan tadi itu agak berubah, rencana saya berubah, lalu saya kuliahnya malah di... IAN Arani di bandar Aceh saya mengambil jurusan perbandingan mazhab pada waktu itu fakultas syariah itu juga koinsiden dengan banyaknya pembicaraan pada waktu itu bahwa Aceh akan diberlakukan syariah Islam, jadi salah satu model pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah waktu itu untuk meredam gerakan Aceh Merdeka kan menawarkan Aceh kembali untuk melaksanakan syariah Islam alasan mungkin sedikit pragmatik ya kalau syariah Islam berlaku mungkin perlu expert lalu saya bisa dapat pekerjaan tapi pada perjalanannya saya pikir pilihan itu tidak salah saya belajar perbandingan mazhab dan saya pikir itu sangat penting untuk saya memahami bahwa Keilmuan Islam itu sangat luas. Luar biasa kalau saya katakan bahwa bagaimana ulama-ulama dulu itu berusaha menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan, perbedaan-perbedaan pandangan. Dan di mukarramah mazhab ini kita betul-betul bisa melihat begitu kaya, begitu luar biasa hati para orang-orang, para thinker ini, para pemikir Islam ini yang menurut saya tidak terlalu terefleksi lagi pada zaman sekarang. Dan ini kenapa penting saya katakan tadi, kenapa penting perbandingan mazham ini, ini menjadi salah satu yang mungkin influential bagi cara saya melihat diri saya dan bagaimana kira-kira apa yang saya inginkan ke depan. Kemudian yaitu... Sampai beberapa tahun dari 1999 saya tamat tahun 2004. Sulit juga sebenarnya pada masa itu kuliah karena Aceh berada di bawah darurat militer. Mungkin secara kualitas pendidikan juga tidak terlalu bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu tadi bahwa apabila kita memiliki kemampuan otodidak dan rasa ingin tahu sendiri, mungkin itu kita yang lebih mendalami. Pada saat bersamaan, karena kondisi Aceh yang tidak stabil, keamanan, dan kami, terutama kita pada waktu itu yang di kampus, juga sangat dicurigai oleh otoritas, oleh aparat pada waktu itu. Karena dianggap ada gerakan mahasiswa dan macam-macam. Jadi dalam kondisi yang tidak terlalu nyaman untuk kuliah. Ada banyak juga... Kelebihan-kelebihan yang saya pikir karena muncul dari keadaan seperti itu, kita memiliki solidaritas yang lebih baik. Lalu ada beberapa kelompok yang mungkin mencoba keluar dari suasana seperti itu. Saya dan teman-teman memiliki kelompok studi, kelompok belajar, selain yang kita juga berpartisipasi pada waktu itu. Karena ada pengungsian di mana-mana. Jadi ada operasi militer pada waktu itu, jadi ada pengungsian dimana-mana. Kita sering di dapur-dapur pengungsi menyiapkan makanan. Tapi pada saat persamaan juga bagaimana hubungan kita dengan teman-teman di luar itu juga baik. Jadi kita ada kelompok baca dan segala macamnya. Jadi dari zaman itu saya sudah punya banyak koneksi dengan teman-teman dari luar Aceh. Dari Jakarta, Jogja terutama pada waktu itu yang banyak mengirimkan buku-buku ke kita. Jadi... imajinasi kita itu tetap lanjutlah dan ini mendorong Kebanyakan pembahasannya mengenai apa dengan teman-teman akademis? Pada waktu itu kita juga pasti akan sedikit aktif ya Pak ya. Yang paling aman pada waktu itu kan sebenarnya membaca dan menulis karya sastra. Itu yang lebih artinya akan dianggap tidak subversif. Jadi dengan teman-teman kita buat diskusi mingguan. Kemudian membedah buku. kemudian juga menulis, dan dari situ saya juga jadi terbiasa, agak terbiasa menjadi penulis ya Pak, menulis esai, kolumnis. Jadi saya mengirim tulisan-tulisan ke, ya di MUA, di koran lokal, lalu kemudian ke nasional saya menulis di Kompas, di Majalah Tempu juga. Ya itu kira-kira di sebelum tsunami Pak ya. Lalu setelah tsunami ya kondisi Aceh sangat berubah, dengan perdamaian dan... rekonstruksi, saya pikir itu satu fase yang sangat penting juga bagi saya dan Aceh secara umum, bagi anak-anak muda Aceh. Kami memiliki akses yang lebih luas, memiliki koneksi yang jauh lebih beragam. Salah satunya yaitu memotivasi saya untuk melanjutkan kuliah. Karena saya pikir sebelum tsunami itu, kita tidak pernah tahu apakah konflik itu akan berakhir atau tidak. nggak pernah tahu. Yang bisa menghidupkan imajinasi pada waktu itu ya kelompok-kelompok belajar itu ya. Kelompok belajar, teman-teman saya teman-teman dari Jogja yang suka kirim kaos pada waktu itu. Kirim kaos CG Farhal. Saya kumpulin itu jauh di atas saya pikir lebih dari selusin. Jadi pada waktu tsunami itu yang paling banyak selamat dan saya waktu itu bawa ikut itu ke pos-pos pengungsian lagi. Salah satu pos yang sering kami tempatin itu berada di lokasi Tama Mudaya. Makanya saya waktu itu ketemu sama Mas Garin Nugroho. Sehingga ketika dia buat film itu jadi materi. Ada kawas saya sampai 15 yang semuanya gambar. Film Cudnyadin? No, film Serambi. Itu film tentang tsunami sebenarnya. Itu dan kemudian perkenalan dengan teman-teman dari luar negeri. Karena setelah program rekonstruksi itu kan banyak NGO-NGO yang berada di Aceh. Dari luar juga. Dari luar. Dari situ mungkin dari pergaulan dengan mereka. Jadi teringat kembali gimana caranya supaya bisa ke pendidikan yang lebih lanjut. Tapi masalahnya tidak bisa bahasa Inggris. Nggak pernah ada pendidikan bahasa asing? Sebenarnya ada. Ada Pak, termasuk di madrasah yang saya ceritakan tadi itu, di program khusus tadi itu, selain bahasa Arab juga bahasa Inggris itu dijadikan mata pelajaran unggulan ya. Tapi mungkin ya karena tidak ada ketertarikan, jadi lebih fokus ke studi agama. Ya banyak lah apa namanya, ada gium-ada gium di kampung dulu kan, gak penting lah. Nanti di surga gak ada ajak ngomong bahasa Inggris ya, kira-kira begitu. Atau di akhirat, kita masuk surga. Tapi di akhirat nanti tidak ajak ngomong bahasa Inggris. Terus ya dengan pertemanan dengan mereka semua itu memotivasi saya. Saya pikir pendidikan lanjutan itu lebih penting. Dan saya pertama kenapa ke Leiden ya kira-kira. Ada satu ini, satu agent beasiswa waktu itu datang ke Aceh. Yang penting fulusnya dulu lah. Jadi mereka mengadakan sosialisasi dan recruitment lah kira-kira gitu. Kira-kira saya mendekati pada itu dibuat di satu hotel di bandar Aceh pada waktu itu. Saya ceritakan lah bahwa saya punya niat besar untuk ke Belanda. Banyak alasannya saya bilang, termasuk sejarah ternyata, macam-macam ya. Waktu itu pembicaraan masih agak sedikit sentimental kadang-kadang juga, kadang-kadang agak bombastis juga apa ya, namanya orang pinggiran. Jadi saya bilang, ya macam-macam pada waktu itu, orang Belanda itu harus tanggung jawab sama kami, sama Aceh. Begitu-begitulah alasan, dan mungkin agent beasiswa ini, Dia bisa jadi terganggu atau apa-apa, tapi juga mungkin satu sisi tertarik. Kamu mau ke Belanda tapi... Tidak bisa bahasa Inggris gimana katanya. Itu tugas kalian membuat saya bisa bahasa Inggris. Bagaimana caranya? Kira-kira begitu. Jadi akhirnya saya diikutkan dalam satu program. Untuk belajar intensi bahasa Inggris. Di Jakarta. Insya Allah. Berapa lama? Sekitar 6 bulan. Dan itu sudah pasti tidak cukup. Pulang dari sana juga saya belum bisa bahasa Inggris. tapi itu juga udah cukup intensif kan sangat intensif untuk belajar tuvel ya sebenarnya terus saya banding-bandingkan memang belajar tuvel ini seperti belajar sesuatu yang sangat teknikal kalau sering dilatih ya bisa tapi dia tidak bisa merepresentasikan kemampuan kita berbahasa sebenarnya dan semakin sering semakin terampil kita sama seperti kita di CTTS ya Tapi ternyata bukan itu yang dibutuhkan dalam studi. Jadi akhirnya saya membekali diri juga dengan mencoba berkomunikasi langsung dengan orang-orang yang berbahasa Inggris. Menonton lebih banyak film. Menonton apa mendengar musik-musik. Memang saya senang dengar musik dan segala macam. Tapi mungkin sebelumnya itu tidak terlalu atentif terhadap lirik dan segala macam. Lalu saya pikir... penting untuk saya itu untuk lebih tahu sebenarnya bagaimana sih pola ungkap. Nah itu yang membantu kemudian membuat saya juga lebih confident untuk saya pikir sudah saatnya saya berangkat. Jadi begitu saya lamar, saya pilih juga yang universitas yang menurut saya paling baik di Belanda. Luar biasa. Dan punya ikatan sejarah dan emosi dengan Aceh, itu Leiden karena disana juga ada banyak sekali materi-materi yang penting yang dulu dibawa oleh kolonial kesana, dan buat saya itu penting saya akses disana lalu disana juga ada satu orang Aceh yang saya tahu pernah mengajar disana namanya Teguh Iskandar Saya ingin sekali jumpa dengan beliau. Jadi bagaimana dia itu bisa jadi orang Belanda. Saya ingin tahu waktu itu. Dari Aceh. Bagaimana apa yang membuat dia itu mau jadi orang Belanda. Tinggal di Belanda dan tidak pulang lagi. Kira-kira itu motivasi saya. Alhamdulillah dalam perjalanannya saya lulus diterima ke Leiden. Ngambil apa? Masih karena saya sebelumnya itu background saya itu studi Islam. Jadi saya mengambil. mengambilnya Islamic Studies di sana. Ini juga yang memberi warna baru kepada cara saya memahami bagaimana studi agama itu juga. Karena kebetulan saya ada dua mentor di sana. Yang satu orang antropolog, beliau studinya Maroko, dia orang Belanda. Satu lagi historian dari Mesir, Al-Azhar. Studinya tentang... Islam di Eropa. Beliau memperkenalkan saya dengan satu tokoh yang sebelum saya ketemu itu saya juga anggap kontroversial. Mungkin Pak Gita pernah dengar namanya Nasir Hamid Abu Zai. Dia kan di fatwa sebagai orang sesat di Mesir dan juga akhirnya memilih tinggal di Belanda. Jadi Nasir Hamid memberikan perhatian yang cukup besar bagi ... anak-anak Indonesia ya saya bilang yang sedang studi disana beliau memberi kami kelas khusus dan juga sering mengundang ke rumahnya saya pikir banyak hal yang saya belajar dari beliau walaupun ajaran dalam bahasa dalam bahasa Inggris karena juga bahasa Arab karena dia seorang ahli tafsir juga ya ahli tafsir, pemikir ya kalau diistilahkan oleh sebagian orang yang tidak suka kepada beliau sebagai neomet, mutazilid dan seperti-seperti itu. Tapi orangnya luar biasa baik, betul-betul dalam pengetahuannya, dan punya komitmen yang luar biasa terhadap Islam, dan bagaimana dunia salah paham terhadap Islam. Itu yang saya belajar dari Nasir Amin, dan juga banyak tokoh-tokoh lain yang saya lihat di situ. Sehingga saya pikir background pengetahuan, kemudian mungkin lingkungan saya lahir, juga. punya sesuatu yang bisa saya kasih kontribusi juga gitu Pak. Segala studi saya itu dari Leiden sampai sekarang itu juga tidak ada yang terlalu jauh sebenarnya dari pengetahuan yang saya, yang linier yang sudah saya. Mungkin pendekatan-pendekatannya aja yang sedikit berbeda, tapi core-nya itu saya tidak pernah menyesali bahwa saya dulu itu misalnya dari merasa alia program khusus lalu ke studi perbandingan mazhab. Kemudian saya ke Leiden, ke Harvard, bahkan hari ini ketemu Pak Gita di Stanford juga. Saya pikir ada satu trajektori yang luar biasa. Bapak yang bilang kan saya. Dari kampung yang 15 kilo dari Banda Aceh bisa ke Palawan. Tapi sekarang sudah dekat ya Pak ya? Sekarang kalau dari rumah ibu saya ke kota Banda Aceh. Sudah bisa naik. 24 menit mungkin atau 3 menit. Tapi dulu itu sepertinya jauh sekali. tapi kalau saya bilang dulu itu sepertinya dulu kapan padahal saya belum terlalu tua juga Anda di Harvard ngambil antropologi S3 nya terus disambung deh dengan apa yang Anda saksikan di Aceh dan apa yang Anda saksikan di Indonesia dari sisi evolusi budaya, evolusi antropologi Jadi pilihan beralih ke antropologi ini juga ada motif personal juga, dari perkenalan juga Pak. Jadi waktu sebelum saya berangkat ke Belanda pun, itu saya sudah menemani sebagai semacam asisten peneliti. Jadi seorang antropolog yang... sudah cukup senior dari Cornell University namanya Jim Siegel perkenalan saya dengan Jim ini juga dari kelancangan saya awalnya karena pada masa awal-awal di setelah perdamaian kemudian saya dengan teman-teman yang kelompok dulu kelompok baca itu juga bikin satu organisasi bikin sekolah menulis, kami keluarkan jurnal juga. Salah satu hal yang penting bagi pengetahuan kami waktu itu adalah bagaimana sebenarnya ide tentang Aceh, tentang syariah Islam, itu pernah muncul di tahun 60-an dengan pemberontakan Darul Islam. Kita ingin mencoba menggali untuk melihat apa kesamaannya atau perbedaannya, kenapa kemudian respon pemerintahnya itu sama. Jadi dalam respon ada nyagor-jolak politik, kemudian kenapa syariah Islam itu ditawarkan. Dan saya pikir penting untuk mendengar pengalaman orang-orang yang hidup pada zaman itu. Kami meminta beberapa orang yang senior untuk menulis, tapi juga peneliti luar yang kebetulan ada di Aceh pada zaman itu. Dan Jim Siegel itu salah satu peneliti yang paling awal berada di Aceh. Begitu selesai... pemerontokan Darul Islam, dia tinggal di Aceh dengan Tengku Daud Bureh, bahkan orang yang sangat influential dalam gerakan Darul Islam di Aceh pengen mendengar bagaimana pendapat dia tentang apa yang sebenarnya diaspirasikan pada waktu itu apakah kira-kira sama dengan format dan konsep yang kemudian ditawarkan ke Aceh di awal abad ke-21 jadi saya mencoba mencari-cari kontak Ya karena namanya Profesor D. Cornell kan gampang kita dapat emailnya. Jadi saya kirim email surat ke beliau mengatakan bahwa kami ada proyek seperti ini dan berharap dia bisa berkontribusi. Kebetulan sekali dia bilang saya mau ke Aceh dalam beberapa waktu ke depan. Dia bisa bahasa Indonesia. Saya waktu itu belum bisa bahasa Inggris. Jadi menulisnya dalam bahasa Indonesia emailnya. Jadi saya akan ke Aceh dia bilang. Kalau bisa kita ketemu di bandar Aceh. Itu kalau saya tidak salah tahun awal 2007, 2006-2007, karena itu bulan Desember. Jadi kita jumpa di sebuah hotel kota Bandar Aceh, hotel yang sudah tua sebenarnya, karena menurut dia itu hotel yang dia ada kenangan kenapa dia pindah, menetap di situ. Di awal ketemu... Di hari janji ketemu itu saya datang ke hotel karena belum pernah ketemu dengan orangnya. Tapi kan gampang mengenali karena dia bule gitu. Jadi dia sudah tunggu di lobi. Saya bilang saya mau ketemu dengan Jim Siegel. Oh iya, iya saya Jim Seagal tapi saya sedang menunggu Pak Reza katanya. Saya Reza, bukan kamu. Dia orang dari universitas. Saya apa? Saya yang email bapak. Saya bilang kira-kira begitu. Jadi dia mungkin tidak percaya. Mungkin waktu itu ya. Dan mungkin tidak mirip sekuler juga. Jadi dia tidak yakin gitu. Tapi setelah itu yaudah kita saling ini apa. Saling belajar satu sama lain Dan saya sering menemani beliau Kemanapun kalau melakukan studi ke Aceh Dan itu hampir setiap bulan Desember Dia datang lagi ke Aceh Dan saya selalu dari situ saya belajar Saya tanya-tanya Emang studinya apa Kepakaran dia sebagai antropologi Studi antropologi itu seperti apa Dia tidak pernah memberi definisi kepada saya Apa itu antropologi Jadi lihat aja yang paling saya Saya bikin dia, dia bilang begitu. Lihat aja apa yang saya bikin. Itu lebih ke kampung-kampung, mendengar cerita orang, lalu berbicara lagi, menulis, saya disuruh mentranskripsi hasil wawancara, lalu kita ketemu lagi setiap malam menganalisis tadi orang ini bilang apa, dan saya belajar metode itu dari beliau, dari Jim ini. Dan apa yang menarik dari ketika orang katakan sesuatu. Bahkan hal yang paling trivial sekalipun yang paling misalnya sesuatu kata yang diulang-ulang terus. Tapi sebenarnya itu tidak sepertinya tidak ada arti apa-apa. Dia akan sangat peduli dengan istilah tersebut. Dan nanti tiba-tiba dia bisa kirimkan ke saya 5-10 lembar analisis dari satu kata itu saja. Ya awalnya saya tidak... tidak mengerti juga kenapa bisa seperti itu, tapi itu menarik bagi saya bagaimana sebuah kata yang sangat tidak penting, tiba-tiba bisa menghasilkan satu analisis yang begitu panjang, kira-kira gitu jadi ketika dia bilang ke saya kamu kuliah aja ke Amerika, jangan ke Belanda lagi, apalagi apalagi Leiden katanya, katanya kamu dulu, kira-kira gitu dia memprovokasi saya sedikit lah dengan memori masa lalu ya. Ya karena setelah saya pulang dari Belanda, lalu satu orang profesor rektor di IIN pada waktu itu juga mengatakan kepada saya, kamu begitu selesai dari Leiden, jangan tinggal di sana, pulang ke Aceh. Wajib. Minimal kamu itu ada tempat untuk mengaktualisasi pemikiran. Dan yang paling penting itu Kita tidak meninggalkan kampung halaman. Gitu-gitulah Pak. Saya bilang oke, gak apa-apa Pak. Tapi kalau saya juga pulang tapi tidak ada tempat kan kita bergein sedikit. Gak apa, kamu nanti ngajar di sana. Saya siapkan posisi. Alhamdulillah jadi begitu pulang memang langsung diterima jadi dosen-dosen PNS di situ. Pada saat bersamaan ya karena saya juga ingin meng-upgrade pendidikan dan lebih belajar terus nih yang sama seperti yang dikatakan lessegul. Apa sih yang orang tulis tentang antropologi dan segala macamnya. Lalu saya coba apply ke beberapa tempat dan Harvard waktu itu menyambut. Yaudah berarti saya 2013 saya berangkat ke sana. Itu baru aja terjadi mungkin Pak Gita ingat Bom Marathon yang di Boston. Itu sebenarnya cukup dakdikduk juga. Karena saya datang dari Indonesia, dari Aceh lagi. Yang ada serian Islam misalnya. Takut bagaimana ini persepsi. Kira-kira gitu ya. Karena image yang saya tahu di Amerika itu Islam adalah ancaman dan macam-macam. Tapi sangat termotivasi juga bagi saya untuk menunjukkan ke mereka apalagi dengan disiplin antropologi yang buat saya memiliki ruang yang besar untuk kita ikut berkontribusi tentang narasi, tentang contoh, tentang apa namanya fakta-fakta dari lapangan yang empirik itu kita bisa memberikan satu persepsi yang berbeda meski kecil bahwa Stereotip yang mereka bangun ataupun semua kecurigaan yang mereka hanya berdasarkan dari laporan-laporan bombasti segala macam itu. Tidak sepenuhnya benar dan ya kenapa ya karena kita juga punya data-data lain dari lapangan yang bisa membantah itu. Jelasin deh gimana Aceh sudah berubah sekarang dan apakah perubahan di Aceh itu nyambung dengan semangat demokratisasi yang dikedepankan oleh? pendahulu-pendahulu kita. Memang ada satu hal yang bagi saya yang agak namanya sulit sebenarnya memberikan satu konstruksi yang clear ya. Terutama yang saya katakan tadi bahwa Aceh itu sebenarnya kan memang bagian yang tidak jauh dari Indonesia. Artinya ya dari Keseluruhan negara kita itu sebaik secara jarak maupun mungkin secara emosi. Tapi cara pandang orang melihat Aceh itu bagi saya itu jauh. Karena orang tidak mencoba mengenal dekat. Jadi yang mereka pahami tentang Aceh itu pasti dari pemberitaan dan stereotype yang sudah begitu lama yang ada di dalam benak kita ini. Yang sebenarnya itu ditinggalkan oleh kolonial dulunya. Cara melihat orang Aceh bahwa mereka wataknya keras, bahwa mereka itu fanatik, bahwa... Dan ini juga mungkin... Gak tau ya, teman-teman Aceh saya itu cerdas semua. Orang-orang Aceh yang saya ketahui itu, saya bener-bener look up ke mereka. Ya, tapi ada satu kondisi juga yang saya kira orang juga punya alasan untuk melihat seperti itu ya. Karena kalau misalnya hari ini... sosial media bisa dijadikan barometer. Itu kan kita bisa lihat komen-komen orang terhadap apa pun yang misalnya muncul berita-berita dari Aceh. Memang itu satu kondisi yang sangat berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Pertama itu karena ada perjanjian damai yang ada konsekuensi kepada Aceh itu untuk memiliki otonomi khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan, kenapa Aceh itu punya partai lokal, mungkin yang tidak dimiliki oleh daerah lain, lalu juga keistimewaan untuk melaksanakan syarahan Islam. Mungkin dalam perjalanannya, saya juga melihat bahwa ada beberapa problem yang orang Aceh mestinya bisa lebih baik. apabila mampu memanfaatkan hikmah yang kan sebenarnya setelah ada bencana dalam Islam dalam teologi yang kita pahami itu semestinya ada hikmah, ada sesuatu hikmah di Aceh itu ada setelah tsunami, ada perdamaian, tapi sebenarnya mereka bisa memperoleh hal yang jauh lebih baik dengan apa yang sudah dimiliki Misalnya dengan kondisi politik, otonomi khusus yang dimiliki oleh Aceh yang membuat pemerintah Aceh itu punya otoritas yang jauh lebih besar dalam mengelola perekonomian. Kemudian juga dengan keistimewaan di dalam, direkognisinya keistimewaan Aceh di dalam Islam, artinya ada aspek yang jauh lebih besar yang sebenarnya bisa diperoleh oleh orang Aceh. Tapi dalam tata kelolanya, ini yang bermasalah sekarang. ternyata orang Aceh itu belum begitu selesai dengan budaya konflik yang ada sebelumnya dari narasi-narasi sebelum perdamaian itu juga masih berlanjut masih berdebat siapa yang paling Aceh, jadi kalau dulu itu mungkin ada common enemy ketika ada pressure dari atas mungkin dulu musuhnya bisa diprojeksi ke sana, tapi sekarang konfliknya lebih horizontal, siapa yang paling Aceh, mana partai politik yang paling merepresentasikan Aceh, dll. Kemudian juga arah dari pelaksanaan syariat Islam ini. Ini yang saya bilang tadi di dalam studi saya sebelumnya misalnya tentang mukarrana mazhab perbandingan mazhab, itu kan sebenarnya sangat kaya. Keilmuan Islam ini, sains tentang keilmuan Islam ini luar biasa. Dan bagaimana perbedaan pandangan diakomodir. Dan kemudian karena perbedaan-perbedaan tersebut itu muncul analisis baru, muncul produksi keilmuan baru. Nah yang seperti ini, ini missing. Jadi kalau misalnya diskusi kolega kita di Stanford ini, misalnya Frank Fukuyama, liberalisme dan discontent. Jadi ada... syariaism and its discontent juga ada sesuatu yang tentang syaria Islam ini yang tidak, esensinya itu tidak menjadi fokus gimana mengobati discontent tersebut dalam konteks syaria ya saya kira literasi yang paling penting, bagaimana menumbuh kembangkan keinginan kembali untuk belajar dan reflektif melihat bahwa direksi atau yang sedang dikerjakan ini atau mungkin arah yang sedang dikerjakan ini ada yang keliru disini karena dari awal ini sebenarnya juga dari ketika pemerintah Indonesia memberikan Aceh peluang untuk melaksanakan syariah itu kita saya melakukan kajian-kajian misalnya bagaimana retorika yang disampaikan oleh orang pada waktu itu, itu kan ini eksperimental, jadi uji coba, tes dan segala macam dan Selain misalnya istilah-istilah yang digunakan, itu sebenarnya ini sulit kalau kita recourse dengan bagaimana para ulama-ulama klasik itu juga mendefinisikan syariah. Dan di Aceh sendiri, nah ini satu kelebihan yang juga harus kita apresiasi, mungkin ada budaya egaliter di Aceh. Orang Aceh ini juga tidak cukup dinamis sebenarnya. Kita lihat dalam mencoba mengintervensi apa yang dilakukan oleh pemerintah. Cukup vokal. Jadi Aceh itu juga jangan, ini yang saya bilang tadi bahwa stereotip kadang-kadang mengalahkan kenyataan. Kalau kita baca di media dan mungkin orang-orang yang bercerita tentang Aceh dimanapun, mungkin terbayang di Aceh itu. Sama seperti di Afganistan, sama seperti di Iran, itu enggak. Itu sama sekali tidak seperti itu. Meskipun ada beberapa praktik misalnya dalam pengaruh sustamaan dalam bagaimana mengurus moral misalnya. Ini ada beberapa persoalan di sini tentang hukum cambuk misalnya yang selalu disorot oleh. media-media asing misalnya masih terus terjadi di Aceh. Saya kira ada juga dinamika yang penting yang harus dicatat di Aceh itu juga sendiri orang juga sangat proaktif untuk melihat bahwa apakah ini harus diperbaiki. Ini masih menjadi satu kontes yang menarik buat saya lihat. Ada kesadaran itu dan itu juga bukan karena didikti oleh... karena oleh pemberitaan asing dan segala macam. Tapi saya pikir karena ada satu kultur di dalam orang Aceh sendiri itu sebenarnya ya kalau ada sesuatu mereka akan mencoba melihat itu dengan cukup proaktif. Walaupun mungkin yang mainstreamnya masih seperti ini, tapi ininya terus berubah. Tidak statik, jadi tidak monolitik juga. Pendekatannya juga berubah. Misalnya dalam beberapa tahun terakhir, Pembicaraan-pembicaraan tentang bagaimana tentang penghukuman itu menurut saya sudah lebih landai. Orang sudah lebih berpikir ke yang lebih real misalnya. Bagaimana kita promote misalnya Aceh itu menjadi satu potensi kawasan wisata halal. Lalu orang berbicara tentang produk ekonomi syariah apa yang bisa dikontribusikan oleh Aceh. Wacana kesana itu sudah... sudah mulai terbangun walaupun masih mereplika cara yang keliru saya kira. Ini berbasiskan pengalaman juga. Contoh yang terbaru misalnya ketika arah kebijakannya itu sudah mencoba melihat jangan lagi kita banyak sekali berbicara tentang hukuman moral, hukuman cambuk, dan segala macam. Lalu orang sudah berbicara tentang perbankan syariah. Saya pikir itu satu. Improvement yang menarik. Tapi karena pendekatannya itu masih model pendekatan awal, pendekatan regulasi. Tiba-tiba karena di Aceh ini apapun peraturannya kemudian diberi nama kanun. Ini memberikan satu implikasi yang... besar juga secara psikologi kepada semua orang muslim ya. Berarti ini hukum yang bersumburkan ajaran Islam. Jadi kalau sudah bersumburkan ajaran Islam kan ruang debatnya menjadi lebih kecil. Jadi sejak tahun 2018 itu sudah muncul satu regulasi namanya Kanun Lembaga Keuangan Syariah. Nah salah satu poin dari kanun itu dipahami oleh para praktisi dan juga para otoritas di sana bahwa segala lembaga keuangan yang tidak berprinsip syariah itu tidak boleh beroperasi di Aceh. Sehingga terjadilah apa namanya, migrasi yang sebagian orang memberikan istilah diusir jadi bank-bank konvensional maupun semua lembaga keuangan yang ada di Aceh itu yang tidak compliance dengan prinsip syariah itu tidak boleh beroperasi di sana. Kenapa? Maksudnya kalau di tempat lain itu yang non syariah, yang syariah tidak dilarang. Iya makanya yang saya katakan tadi inilah dengan model yang bahwa ada gagasan untuk menjadikan Aceh ini satu model baru dalam arah mana sebenarnya. Model yang kita punya untuk. pelaksanaan syariah ini, itu sudah bagus, tapi tiba-tiba ada satu peraturan yang mungkin tidak yang saya tidak tahu aspek apa yang ditonjolkan tiba-tiba kemudian menimbulkan cukup chaos suasana awalnya. Jadi ya masyarakat merasa bahwa mereka tidak diberikan kesempatan yang sama untuk apa namanya untuk mencoba memahami atau membandingkan sebenarnya apakah model perbankan syariah ini betul-betul berbeda dengan konvensional gitu. Istilahnya kalau misalnya argumennya adalah bank konvensional itu tidak boleh karena riba, haram karena riba, apakah yang bank yang sudah memberi nama dirinya itu institusinya itu bank syariah itu Terlepas dari praktik riba itu. Kenyataannya sih gak juga. Kenyataannya gak. Saya agak apa namanya kurang. Lu gak kalau kita lihat raca dari bank syariah di seluruh dunia. Gak aktifa ataupun pasifanya. Itu lebih dari 95 persen. Itu ada ribanya. Ini realita. Apakah itu yang di Indonesia? di Malaysia, di Dubai, dan di London, dan di tempat-tempat lain. Yang jauh lebih besar itu sebenarnya di luar Indonesia, syariah financing. Tapi itu nyata bahwasannya aktifa dan pasifa di neraca perbankan syariah itu sangat kental dengan riba. Nah itu kalau ditarik lagi ya, setelah kenapa yang non-syariah dilarang? Kalau emang pendekatan. riba yang dipakai. Atau mungkin ada pendekatan-pendekatan lain yang lebih prinsipil atau struktural untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan di masyarakat luas. Ya, kalau saya pribadi karena mungkin jarang sekali berurusan dengan bank dan perbankan. Punya sedikit sekali pengetahuan tentang itu. Tapi misalnya dalam diskusi tentang keislaman, Saya pikir kalau riba itu jelas hukumnya haram. Karena ada dalilnya kalau kita lihat secara fikir. Ada nasnya dari Al-Quran. Pertama Allah itu melarang bahwa jangan memakan riba itu berlebih-lebihan. Walau tak kulu riba atau alfamudha'afa tapi pada ayat yang lain Allah berfirman Allah itu menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba jadi itu menurut ulama sudah kata, sudah jelas bahwa riba itu haram pertanyaannya apakah praktik di bank konvensional itu riba atau bukan? ini kan belum ada kesepakatan, itu sebagian orang berargumen seperti itu, karena walaupun misalnya yang disebut tidak ada konsensus ini karena ada ulama di negara ini atau pada zaman ini mengatakan katakan itu ya riba haram sudah pasti tapi praktik di bank misalnya apakah itu bisa dikategorikan haram atau tidak itu berbeda. Dan yang jadi pertanyaan oleh masyarakat di Aceh adalah apakah kemudian bank yang beroperasi di Aceh itu sudah bebas dari praktek itu misalnya. Apakah betul mereka itu syari'i misalnya. Karena orang memahami bahwa keuangan syari'ah itu kan prinsip paling umum yang kita pahami itu. adanya resharing profit loss sharing ada upside, ada downside jadi sama-sama jadi ada walaupun kemudian dikatakan bahwa produk uang asyar itu macam-macam, ada musyarakah misalnya, dua-dua pihak sekaligus untuk berjanji, bersepakat saling berkontribusi untuk bekerja atau muterobah Satu pihak yang menjadi pemodal, satu yang mengelola, atau apa lagi? Muharrabah misalnya. Yang paling sering itu yang ketiga itu saya kira. Yang paling banyak karena ini yang lebih cepat. Dan itu biasanya memang sektor konsumtif ya Pak. Nah saya pikir kita tidak bisa menafikan bahwa ada keinginan orang itu untuk peaceful mind, dia ingin bawa harta yang dia miliki ataupun barang yang dia peroleh itu dengan cara-cara yang benar dan halal. Itu sangat penting. Nah tapi masalahnya ketika ini tidak dipahami dengan cara yang sama atau malah kemudian kita katakan bahwa ini dimanfaatkan oleh modal kapital yang jauh lebih canggih dalam melihat algoritma cara berpikir masyarakat kita yang kadang-kadang misalnya seperti Asyaf Bayat bilang sekarang sebenarnya menarik untuk dikaji. Kalau di awal abad ke-20 dulu orang mengatakan bahwa di abad ke-21 mungkin agama tidak ada lagi. Sekarang pertanyaannya bukan itu. Mana yang religius, mana yang over-religius. Jadi itu dua itu. Tidak ada kehidupan keagamaan yang bisa betul-betul ini. Saya kira ada satu fenomena yang di Indonesia sekarang yang over religiosity itu juga nampak dalam kehidupan sosial media kita terutama. Karena kita tidak bisa mengatasnamakan Indonesia kecuali fakta di sosial media sekarang. banyak sekali isu yang sama-sama kita komentari dari sisi antropologi gimana sih menurut Anda fenomena social media ini saya kan udah seringkali menyampaikan bahwa polarisasi percakapan itu sangat berkorelasi dengan eksistensi mensos nah ini bakal sampai titik fatigue gak sih dimana masyarakat luas itu akan sadar untuk gak ngeliat handphone lagi, gak ngeliat medsos lagi, terus melakukan hal yang bijaksana ke depan. Atau ini justru akan sekuler gitu loh pertumbuhannya, bukan episodik. Ya untuk saat ini belum kelihatan ada pilihan lain ya. Saya kira dengan... Masyarakat kita juga yang sangat atentif terhadap segala sesuatu yang serba instan. Saya kira memang ini juga ada problem dari kemampuan kita itu untuk serius ya. Karena gini, yang paling ditawarkan, apa yang namanya yang paling gampang ditawarkan oleh sosial media ini kan kecepatan dan kesingkatan. Jadi dia menawarkan hal-hal yang selektif, hal-hal yang sudah seolah-olah sudah ada pihak yang memvalidasi bahwa isu ini penting. Lalu dia viral, lalu orang semua ke situ. Dan dia biasanya singkat saja. Jadi apa namanya, hanya dengan beberapa narasi, kemudian juga komentar yang narasi, kemudian lusa atau dua hari kemudian isunya berganti. Kan itu sangat cepat dan singkat. Itu tidak membuat orang itu merasa perlu dia mendalami dengan serius. melihat dari berbagai sudut. Saya kira... itu kalau misalnya pola kita belajar itu tidak berubah, itu akan menjadi penyakit yang akan berkelanjutan bagaimana interaksi kita di sosial media dan dia sangat meliberasi kan, meliberasi orang untuk menumpahkan segala hal orang bisa memaki, bisa apa saja disitu, ngepost apa saja konsekuensinya sepertinya kecil ya, orang menganggap sepertinya kecil, padahal ada konsekuensi yang sangat besar bagi kehidupan kebudayaan kita maupun ya kadang-kadang bahkan konsekuensi yang sangat namanya parah juga secara legal dan ini tapi yang orang lihat seolah-olah misalnya dia tidak ada orang, dia bisa komen apa aja. Kita post sesuatu lalu di bawah itu langsung bisa dia memaki orang segala macam dia seolah-olah dia itu nanti apa ya kanolos atau misalnya Pola pun kalau ada konsekuensi sesuatu sekarang kan juga diberikan contoh. Seolah-olah ya cukup dengan. Saya sih gak mempermasalahkan bahwasannya siapapun itu bisa beropini. Atau menyampaikan pandangan. Tapi di era pasca kebenaran. Yang sangat nyata kelihatan itu adalah feeling itu lebih penting daripada bukti empiris. Opini itu lebih penting. daripada kebenaran. Iya kan? Nah, semakin kita terjerumus ke sosmed atau medsos, semakin kita gak bisa mengukur, atau bahkan semakin bisa mengukur mana yang lebih berdasarkan empirical evidence atau mana yang lebih berdasarkan feeling. Nah ini kan nyambung dengan upaya atau keinginan kita lah untuk menampilkan atau menyongsong pemimpin atau kepemimpinan yang lebih berkualitas ke depan. Saya melihat di seluruh dunia ini akan semakin sulit untuk membuahkan pemimpin atau kepemimpinan selama kita terus-menerus terjurmus dalam era pasca kebenaran yang kental atau karakteristik dengan feeling daripada empirical evidence. Saya sangat setuju dengan itu Ya di satu sisi Apa yang Yang kemudian harus kita lakukan Itu juga masih pertanyaan Apakah kemudian ketika kita Misalnya meninggalkan itu Apakah Ini bisa menjadi Satu presiden juga kepada orang lain Ataukah misalnya kita Masih berada disitu tapi juga Oh bisa memberikan satu influence yang berbeda atau cara pandang berbeda. Ini karena saya melihat ada, sebenarnya merubah bagaimana membawa ke arah positif ini yang masih menjadi satu. Ini saya kasih contoh bukan karena saya dengan Pak Gita, tapi saya lihat misalnya model podcast seperti yang Anda tawarkan ini. Saya pikir itu adalah salah satu model bagaimana kemudian menggunakan ruang sosial media itu menjadi satu hal ya dimana sekarang kan yang paling banyak diakses oleh orang adalah real yang singkat atau short misalnya di Facebook. Karena orang sekarang memiliki masalah dengan determinasi. Dan bagaimana jadi endurance ini untuk mencoba memahami sesuatu. Ini problem. Saya pikir problem yang apalagi di masyarakat kita yang tidak terlalu develop itu. Karena akses terhadap ekonomi atau pekerjaan itu juga kecil. Jadi orang lebih invest waktunya di situ. Di Amerika misalnya, saya jarang sekali ada melihat orang punya grup WhatsApp misalnya. Mungkin kita sudah berapa bulan di sini kan belum menerima invitasi satupun. Pak Gita dari orang-orang di FSI ini atau di Stanford ini yang bikin grup WhatsApp tapi di Indonesia siapapun teman keluarga alumni, SD STK, SMA yang punya nomor saya atau Pak Gita pastinya juga pasti tanpa ada kira-kira bahkan misalnya permisi itu langsung meng-invite kita itu masuk ke dalam grup itu Kita lihat intensitas di situ, bagaimana orang bertengkar satu sama lain. Bahkan kadang-kadang ada beberapa grup. Orangnya sama gitu. Cuma gak tau topiknya kenapa berbeda karena kebetulan nama grupnya itu agak sedikit berbeda gitu. Tapi orangnya itu bisa terus apa namanya saling berkomentar, bertengkar, dan segala macam disitu. Kemudian kita juga mengingat ya sebenarnya waktu produktif itu apa dimaknai oleh orang-orang seperti itu. Kenapa misalnya. Bahkan ada satu anggota grup yang bisa posting. 10-20 kali dalam sehari. Iya. Saya bingung tuh. Pekerjaan kita kan betul-betul membersihkan sampah setiap mungkin Sabtu, Minggu kita lihat lagi mana kota guru WhatsApp kita yang udah penuh. Lalu kita delete tanpa sempat membacanya. Tapi bayangkan itu ada di hadir di ruang-ruang apa namanya, maya orang. Orang kadang-kadang membayangkan itu ruang maya tapi Ini satu hal yang tidak dicoba lihat ada satu perubahan yang sangat besar. Kalau dulu ya misalnya begini, saya duduk di ruang tamu nonton televisi. Lalu lewat orang tua, ayah atau ibu saya langsung mengingatkan. Saya kira kamu ngapain dari tadi itu kok nonton televisi terus? Kapan belajarnya? Kapan aktivitas yang lain? Solat misalnya. Tapi mungkin orang tua sekarang misalnya ada anak. dia pegang HP atau tablet misalnya itu tidak melihat sama seperti ketika dia lihat anaknya nonton televisi. Apalagi ini barang kecil yang bisa dibawa kemana-mana. Jadi bahkan perubahan seperti itu orang tidak sadar. Dan adiksi terhadap gadget ini itu jangankan misalnya untuk orang tua itu bisa memperingatkan anaknya kebanyakan orang tua juga menjadi sangat. Adiktif terhadap akses di sosial media. Oh banyak teman-teman saya. Dan di rumah tangga saya tuh saya memerlukan beberapa tahun untuk meng-sosialisasikan bahwa kalau kita lagi makan bersama tuh jangan pegang HP. Sekarang sih udah aman lah. Tapi saya juga gak mau terlalu spartan gitu kan. Dan itu justru membuktikan bahwa ini bisa. lewat social re-engineering ya kan? nah saya mau tanya nih apa yang kita harus lakukan untuk melakukan social re-engineering agar kita gak terlalu terjebak dengan era pasca kebenaran sudah kalau ini misalnya kita bisa mulai dari unit paling kecil tentu dari keluarga ya siap kalau saya orang yang paling melihat ya unit yang paling penting dalam kehidupan saya itu keluarga. Keluarga yang paling memotivasi saya. Jadi kalau Pak Gita tanya tadi kenapa saya bisa ke Harvard, bisa ke Stanford sampai sekarang itu karena saya pikir selain usaha itu doa orang tua yang paling baik. Hubungan saya dengan saudara-saudara saya itu sangat hangat, sangat baik. Kami 9 bersaudara. Masya Allah. Jadi. Anda nomor berapa dari 9? Saya nomor 4. Tapi laki-laki yang pertama. Jadi saya punya kakak perempuan 3. Di bawah saya itu laki-laki semua. Setiap saya perkenalkan diri selalu. Misalnya di. Waktu saya di Belanda itu juga. Mereka akan tanya. From how many moms? Itu kastro type juga. Saya bilang enggak. Dari satu ibu saya bilang. Dan mereka pikir karena kita. Muslim jadi poligami dan segala macam dan ya pola orang tua saya mendidik kami itu buat saya itu sangat bekas menjadi nilai yang sangat penting untuk itu terus saya turunkan juga ke anak nanti dan komunikasi yang sangat baik ini buat saya juga satu pola seperti yang Pak Gita katakan tadi itu bagaimana me-re-engineering sebenarnya. Ini kan kebanyakan sekarang pola komunikasi dari keluarga dari di dalam internal sendiri itu tidak bagus. Kemudian ini juga ketika keluar pasti jauh lebih tidak bagus. Masyarakat Indonesia ini sebenarnya kan kekurangan contoh Pak ya. Teladan ini yang gak ada. Sebenarnya orang Indonesia ini gampang. Kalau saya katakan tadi misalnya barometernya itu bisa sosial media kalau kita lihat kecenderungan ya Pak. kecenderungan kita itu menghukum, menghujat, mempermalukan, itu efeknya kecil di Indonesia. Tapi coba kalau misalnya sesuatu itu yang menyentuh hati. Itu bisa ribuan jutaan disitu. Jadi orang itu sebenarnya senang dengan sesuatu ya. Mereka itu easily move sebenarnya orang Indonesia itu. Jadi gampang, atentif. Nah masalah sekarang adalah contoh yang tidak ada. Kepemimpinan kita ini kan absent dari keteladanan. Itu tidak kita miliki. Ini problem di Aceh juga ya. Problem. Syariah ini juga ketika misalnya kita terlalu menitikan kepada moral tapi contoh moralitas itu juga tidak bisa divalidasi. Ini yang kemudian menimbulkan masalah dan kejatuhan rasa percaya diri dan segala macamnya. Jadi kembali ke bagaimana meng-engineering, mere-engineering tadi saya pikir contoh ini yang sangat penting. Bukan hanya misalnya kita... apa namanya, melihat ini sebagai sebuah problem tapi kita yakin ini kita ubah dan ya harus ditunjukkan tentu saja dan lu melakukannya, lu melakukannya amin, tapi ini gak bisa sebagai crusade yang dilakukan oleh satu orang aja oh iya gak? iya kan? katanya harus menginfluence, saya ini jatuhnya jadi puji-puji di endgame tapi ya Tapi ya begitu, artinya saya mungkin bisa jadi yang pertama yang bukan luminaries atau bukan orang yang punya prestasi besar dalam teknologi dan segala macam. Yang Pak Gita undang, dan saya berharap nanti ke depan Pak Gita juga mengundang teman-teman dari Papua, Maluku, Flores, dan lain-lain yang bisa berbicara sedikit tentang apa yang mereka... Mereka ya pengalaman empirik, mereka mengenal, mereka mendefinisikan Indonesia Ketepanan ini mungkin tidak tidak didengar oleh orang-orang yang berada di circle kepemimpinan sekarang Ini yang saya pikir ada kekeliruan ya Artinya kalau saya melihat Aceh hari ini, saya tidak memang tidak bisa keluar dari Yaitu karena saya tumbuh dan besar disana, saya orang Indonesia tapi identitas ke Acehansah itu pasti muncul. Dan itulah kekayaan Indonesia. Jadi kalau ada orang Bali juga begitu, orang Papua juga begitu. Bagaimana pendekatan terhadap kasus Aceh? Seharusnya itu yang juga dilakukan ke Papua sekarang. Sehingga persoalan-persoalan seperti hari ini yang masih kita baca itu seharusnya sudah bisa ditanggulangi lebih awal gitu. Jadi pendekatan... dialog, pendekatan bagaimana Aceh kemudian bisa mencapai satu kata damai dan bisa move on dari separatism dan macam-macam yang lain itu seharusnya juga dijadikan satu sampel sebenarnya dalam cara mendekati Papua begitu juga dengan banyak hal sebenarnya yang bisa kita gali dari pengalaman-pengalaman orang yang hidup dari mungkin tempat-tempat yang bukan berada di pusat, bukan di Jawa. Itu penting sekali saya, apa namanya, akhirnya itu saya saran kepada Pak Gita untuk bawa teman-teman dari tempat lain untuk isi di NGV. Insya Allah. Anda tuh spesial karena backgroundnya sangat unik, 15 kilo dari bandara Aceh, bisa sampai di Palo Alto. Nggak setiap orang Aceh bisa melakukan hal yang apa yang Anda lakukan. Dan gini loh, kalau saya ngukur pemimpin apakah itu di rumah tangga, RT, RW, kabupaten, kota, provinsi, dan lain-lain, kepala sekolah. Itu adalah mereka yang bisa mengukur dan mengoptimalkan interseksi antara masa lalu dan masa depan. Dan interseksi antara... nilai hidup dan aspirasi dari masyarakat luas atau siapapun yang mereka harus pimpin. Mau di rumah tangga, kayak di RT, kayak di sekolah, RW, kabupaten, kota, dan lain. Nah, balik ke observasi Anda bahwasannya orang tuh lebih kena dengan sesuatu yang sentimental, yang menyentuh perasaan. Itu nyambung dengan observasi saya juga. bahwa kita lebih berani mengukur sesuatu berdasarkan feeling, bukan berdasarkan empirical evidence. Nah ini nanti risikonya adalah nyambung dengan berkurangnya kapasitas kita untuk menyongsong kepemimpinan yang bermutu. Saya rasa untuk seluruh dunia dalam beberapa puluh tahun ke depan sulit untuk kita mengulangi masa-masa yang indah seperti kita lihat tokoh-tokoh atau sosok seperti Roosevelt, Mahatma Gandhi. Kennedy, dan lain-lain lah. Termasuk Bung Karno. Gak gampang. Salah satu kankernya adalah Netsos, kalau menurut saya. Kalau ini tidak di socially re-engineer, dan itu saya rasa bukan hanya memerlukan kedisiplinan atau penyikapan dari orang tua, dari kepala sekolah, dari kepala RT, RW. Tapi juga ini harus holistik. dari policy maker, dari politisi, dan segalanya. Saya melihat ini stress episodik yang cukup berkelanjutan, cukup lama. Tidak akan terobati. Tapi perlu kegigihan dari satu orang atau satu kelompok. Iya kan? Gimana? Iya benar. Yang saya katakan tadi sebenarnya itu adalah kalau misalnya reaksi di sosial media itu bisa jadi barometer ya Pak ya. Tentang kecenderungan orang itu yang saya katakan tadi itu easily move ya. Gampang terpengaruh, gampang. Terutama yang hal-hal yang sentimental tadi. Memang itu punya resiko besar. Apalagi dengan kemampuan, kepentingan ya. Kepentingan politik terutama itu dalam... re-engineer dirinya juga kita mungkin dalam tempat yang juga sangat kontekstual ketika kita misalnya menyinggung ini apa yang terjadi di Amerika negara yang sangat canggih misalnya dengan fenomena satu, dia congressman ya George Santos ini kan itu dampak yang paling kelihatan gitu ya Bagaimana dia itu bisa mengelola perasaan orang dengan kebohongan. Dia itu bisa menampilkan apapun yang orang ingin dengar. Baik itu kelompok kiri maupun kelompok kanan. Dia itu sangat ingin. Dan kemenangan dia ini juga kemenangan yang dia peroleh dari bagaimana dia memposisikan, mengapropriasi dirinya itu di media sosial juga sebenarnya. Tentu memiliki risiko besar di Indonesia untuk mencari pemimpin yang real. Real dalam arti memahami apa sebenarnya kerja pemimpin di dunia modern. Saya juga tidak berpikir bahwa kemungkinan kita misalnya memiliki Soekarno atau Gandhi ke depan itu masih mungkin. Mungkin karena zaman sudah sangat berubah ya. Terus lebih sabar aja. Artinya kita memiliki pemimpin yang memahami apa sebenarnya kerja pemimpin modern. Jadi kalau kerja pemimpin di zaman kita ini sebenarnya kan based on service kalau saya pikir ya. Tapi bagaimana dia bisa melakukan pelayanan kalau dia tidak memahami apa yang harus dia kerjakan, to pox-nya apa, dan misalnya dia itu tidak memiliki bacaan yang cukup, itu juga mustahil. Apa yang mungkin bisa direplika oleh orang dari pemimpin-pemimpin yang kita sebut karismatik dulu itu ya kemampuan mereka itu membaca sebenarnya. Ini yang kita tidak punya sekarang masalahnya. Orang yang mau membaca itu. Karena kecenderungan kita ini seperti saya katakan tadi sudah sangat maunya yang singkat, maunya real short. 140 karakter. 140 karakter. Tidak mau yang betul-betul menekuni satu. Yang saya belajar dari antropologi ini tadi bahwa satu kata itu sebenarnya itu harus ditekuni bahkan harus melahirkan satu buku bahkan dengan satu kata saja. Dan ini yang kita tidak kita miliki. Mungkin juga sistem pendidikan kita juga tidak mengacu ke sana ya Pak ya. Dengan model sekarang apalagi yang belakangan kita tahu. Segala hal itu menjadi sangat teknikal, bahkan di ruang yang harusnya sangat pedagogical itu menjadi sangat teknikal. dosen-dosen itu harus mengejar angka kredit, mahasiswa itu menjadi kuantitas bukan kualitas, dan segala macamnya. Memang ini seperti cara pikir Benjamin yang mungkin agak sedikit melankoli ke depannya. Bahwa yang kita sebut progres ini bukan ke arah yang lebih baik, malah ke kehancuran. Seperti itu. Ya, saya bahwa ini adalah satu kerja kolektif dan setuju dengan apa yang Pak Gita katakan tadi. Harus ada kesabaran di sini. Kesabaran, tapi juga penting untuk siap gagal juga. Jadi jangan jangan ... terlalu ini karena memang kepungan ini besar saya kira saya beberapa kali ditanya mengenai kepemimpinan dan jawaban saya semakin sederhana akhir-akhir ini bahwasannya aksi kepemimpinan atau didapatkan ya seorang pemimpin atau kepemimpinan yang tepat itu adalah aksi yang kental dengan serendipity atau keberuntungan. Dan itu termanifestasi di negara yang mungkin sangat miskin dan gak berkembang tapi tiba-tiba muncul lah sosok yang memiliki kombinasi dari segala atribut yang dibutuhkan untuk mentransformasi negara tersebut dari miskin berkembang menjadi maju sekali. Namanya Singapura. Contoh. Satunya di ekstrim sebelah spektrum itu adalah dimana di negara maju yang semestinya semangat kelembagaannya itu indah. Tapi tetep aja muncul sosok atau pemimpin yang kayaknya lebih cocok di negara miskin atau negara berkembang. Iya kan? Gak usah sebut negara lah. Oh iya. Iya kan? Iya. Dan itu menggaris bawahi bahwa Jangan-jangan ini unsur keberuntungan, itu bermain. Jadi kita hanya bisa mengontrol mungkin berapa persen dari segala variable untuk membuahkan kepemimpinan yang diinginkan atau yang bijaksana. Tapi ada tuh beberapa persen, mungkin 1 persen atau persen yang kita gak bisa kontrol yang sangat bisa mengubah. Bahwasannya pemimpin itu prophetic atau dia sebatas sebagai statesman. Tapi dua-duanya itu bisa transformatif. Tapi kalau statesman itu lebih dalam konteks mungkin bisa mengeksekusi. Tapi kalau prophetic itu bukan hanya bisa mengeksekusi, tapi dia bisa melakukan quantum leap. Ya memang Luke 1U itu satu fenomena yang extraordinary. Dia pemimpin yang karismatik tapi juga berhasil meng-influence seluruh masyarakat dia saya kira pada waktu itu. Menghegemuni pikiran mereka bahwa mereka itu dalam fondasi yang tidak aman sebenarnya. Kalau mereka itu tidak bergerak ke satu arah yang seperti itu. Mereka negara kecil. dengan etnis yang juga sangat fragmented, apalagi misalnya walaupun yang mendominasi itu etnis Tionghoa misalnya, itu juga bukan posisi yang saya pikir itu unggul di tengah geopolitik kita di Southeast Asia. Kita bisa baca kembali narasi-narasi yang dimunculkan oleh Lee Kuan Yew bagaimana. Pada saat bersamaan dia juga memprepare dengan infrastruktur, dengan tata hukum yang luar biasa. Tapi yang mau saya garis bawahi di sini, ada awareness yang luar biasa dari orang Singapura untuk tidak melihat diri mereka itu superior. Problem negara satu lagi ini sudah tidak belajar lagi, itu persoalannya. Jadi mereka itu sudah adik kuasa super power, lalu apa? menjadi terjebak. Dalam situasi over confident, pikir dirinya itu sudah tidak. Dan ini terbukti loh Pak. Maksudnya di tahun 2016 di awal-awal peralihan dari Obama ke Trump, itu saya juga berada di Amerika. Keliling-keliling ke basis misalnya Lompok Merah. Saya tidak melihat fenomena yang terlalu berbeda. apa yang ada di Aceh dengan yang ada di Amerika. Dalam hal simbol misalnya. Banyak rumah orang Amerika yang republikan misalnya, bahkan mobil mereka, bahkan baju mereka itu harus dicet dengan bendera Amerika. Jadi mereka itu merasa simbol ini yang membuat mereka itu, we are damn American. Itu kira-kira. Begitu juga di Aceh. Bahkan bisa muncul slogan dan... Bali hua besar di Aceh itu make Aceh great again. Maga Aceh. Bener, Pak. Dan siapa yang paling Aceh yang mobilnya itu dicat warna bendera partai tertentu, rumahnya dicat dengan warna partai. Jadi, apa bedanya satu kampung yang mungkin tidak ada dalam, tidak bisa didetek oleh peta dengan satu negara dikuasa ketika ada prosa ada perasaan over confident yang superior berpikir dirinya jauh lebih baik daripada orang lain, itu hampir tipis sebenarnya kondisinya apakah kesadaran ini bisa muncul kolektif di Indonesia misalnya, apakah kita bisa melihat bahwa kita itu sebenarnya juga insecure posisi Indonesia itu di dalam peta dunia, masalahnya Indonesia ini kan narasinya selalu baik-baik saja, gak ada musuhnya kecuali musuh kita itu di dalam gak pernah perang dengan orang lain, gak pernah ada konfrontasi selain yang dibuat Soekarno lucu-lucuan dulu misalnya ya kan tapi itu karakteristik untuk Asia Tenggara saya perhatiin dalam 2000 tahun terakhir ini kita tuh relatif aman, damai, dan stabil kalau kita hitung nilai atau angka kematian berdasarkan pertikaian Apakah itu internal ataupun eksternal. Gak lebih dari juta manusia atau jiwa atau nyawa. Dibanding di Eropa dalam periode yang sama yang memakan hampir 200 juta nyawa. Dari situ aja kita udah bisa melihat bahwa Asia Tenggara dengan populasi yang gak kalah dengan Eropa, bahkan sekarang lebih banyak. Itu peaceful dan stabil. Tapi itu kalau menurut saya bermuara ke budaya pragmatis. Mendingan aman, harmonis, tentram. Tapi itu secara nggak langsung mengsekunderkan prinsip-prinsip yang nyambung dengan excellence. Apakah itu pendidikan, healthcare, welfare, dan lain-lain. Nah kalau Lee Kuan Yew itu dia bisa meramu antara budaya pragmatis agar harmonis, multi etnis, multi religi, multi ras. Tapi dia juga mengedepankan budaya prinsipil. Lu mau keturunan India, Chinese atau Melayu atau Eurasian lu harus berpendidikan. Excellence nya tuh ada. Dan itu mungkin nyambung ke kalau kita lihat mantra narasi perkembangan atau pengembangan yang dinarasikan oleh PAP. Itu ada tiga kata yang selalu dikedepankan. Yang pertama ternyata kompetensi. Dua, akuntabilitas. Tiga, integritas. Itu dari chapter awal sampai chapter terakhir. Tiga kata itu terulang. Dan itu dibuktikan oleh seorang pemimpin dari atas sampai bawah. Dan kelihatan kan kualitas public service, kualitas welfare, kualitas healthcare. Jadinya saya akhir-akhir ini justru agak-agak bingung gitu loh. Apakah demokrasi itu semata didefinisikan dalam konteks distribusi kekuatan saja agar setiap orang bisa nyoblos. atau ini jauh lebih holistik termasuk distribusi atribut atau public goods lainnya yang esensial termasuk integritas, termasuk intelek, termasuk pendidikan, termasuk kesehatan, termasuk social value, termasuk moral value. Iya kan? Gimana? Iya, tapi dengan apa, pertama mungkin poin yang pertama tentang violence tadi ya karena saya tertarik juga dengan tentang saya punya beberapa proyek ya selain tentang Islam, sharing Islam saya punya juga penelitian-penelitian tentang kekerasan terutama kekerasan negara mungkin kalau kita lihat hanya dari sisi angka itu mungkin mungkin ya Misalnya kita reduksi itu ke angka Apa yang terjadi di Asia Tenggara Itu kita komparasi dengan Apa yang dilakukan oleh Lenin misalnya Ostalin terutama Perang dunia pertama, perang dunia ketua Hitler Tapi Kekejaman yang tidak kurang sadis Itu dilakukan oleh Pol Pot Lonel Itu bukan oversimplifikasi tadi Saya hanya mau membuat poin bahwasannya di Eropa itu yang sering kali ini yang saya mau tambahkan adalah yang harus kita lihat bahwa Eropa itu tidak denial dengan itu jadi ada upaya untuk berdamai dengan masa lalu dan kemudian mereka karena ada upaya itu kemudian rule of law nya itu bisa terimplikasikan Singapura mungkin tidak punya sejarah kekerasan yang sama dengan beberapa negara tetangganya. Problem di Indonesia adalah kita itu karena kepentingan harmoni tadi. Itu tanpa sadar kita itu betul-betul dalam posisi orang yang melakukan dehumanisasi. Apa itu dehumanisasi? Sebenarnya dehumanisasi itu ya menganggap misalnya terjadi satu peristiwa. Kita sama sekali tidak ingat itu. Misalnya tanya sama siapa. Army-army general di Indonesia itu yang pernah bertugas di Aceh. Mereka tahu nggak siapa yang sudah terbunuh di Aceh segala macam. Atau tanya sama para pemimpin GAM. Berapa banyak orang kampung yang sudah tidak ada karena ada mereka. Apakah mereka ingat namanya? Ya ketika kita tidak ada memori tentang itu itulah dehumanisasi. Kita tidak membuat mereka, menganggap mereka itu manusia. Ini terjadi di banyak tempat di Indonesia. Bahkan sedang berlangsung mungkin di Papua sekarang. Nah Tidak adanya upaya untuk memberi pengakuan terhadap apa yang terjadi pada masa lalu. Itu tidak ada cara sebenarnya untuk kita itu bisa tidak mereplikasi apa yang terjadi. Seperti itu tidak terulang lagi. Dan tanpa ada upaya itu saya pikir yang namanya penegakan hukum itu akan selalu menjadi, we will put it into question. Singapura, serendipity-nya Singapura adalah mereka tidak punya dosa masa lalu. Itu yang itu. Dari perspektif itu mereka sangat menang. Maka kemudian contoh itu betul bisa dimunculkan oleh seorang Lee Kuan Yew. Dia bisa menjadi muncul sebagai seorang pemimpin yang punya martabat. Dan itu dia tunjukkan juga dengan bahkan ini jujur saya katakan tahun 2019. Ketika anak kedua saya lahir, kebetulan lahirnya di Singapura. istri saya itu melahirkannya di rumah sakit yang sama pada waktu almarhumah ibu Ani Yudhoyono dirawat saya ingat sekali anak siapa Perdana Menteri Singapura, anaknya Lee Kuan Yew dia datang bersama istrinya untuk berkunjung ke situ jadi kira-kira kita bisa melihat bagaimana penampilannya Nah ini yang saya tidak lihat itu di Indonesia dalam skala rang apapun ya ketika orang misalnya sudah menjadi pejabat negara biasanya itu sulit sekali itu untuk tampil seperti orang biasa. Nah ini yang sosok-sosok seperti ini yang mungkin membuat bagaimana orang Singapura itu kemudian bisa melihat bahwa yang mereka sebut pemimpin itu memang betul orang yang melayani kepentingan. orang banyak itu sangat refleksi apalagi misalnya dalam latar belakang saya sebagai antropolog saya akan senang sekali melihat dari hal-hal yang lebih kecil bagaimana seorang sopir taksi misalnya membawa kendaraannya bahkan di tempat-tempat yang tidak mungkin bisa kalau kita bilang bahwa di tempat yang sangat mungkin orang melakukan pelanggaran terhadap pelaturan dan lintas segala macam itu tidak dilakukan kenapa? mereka taat pada hukum bukan karena mereka takut pada negara tapi karena mereka Yakin bahwa dengan itu mereka bisa menjaga, ikut menjaga negaranya. Itu sering saya bicara tukar pendapat dengan sopir-sopir teksi di sana itu dengan rata-rata orang yang sudah sangat senior. Jadi kita bisa lihat apa yang mereka bicarakan tentang negara mereka. Mungkin susah sekali kalau hal yang sama itu kita bicarakan dengan teman-teman kita yang juga bawa kendaraan teksi Indonesia. Yang keluarnya... Rata-rata komplain ya. Oke, saya mau balik lagi ke tadi yang udah kita bahas bersama. Bagaimana menurut Anda untuk bisa lebih secara optimal meng-rekonsiliasi antara budaya prinsip dengan budaya pragmatisme. Agar Indonesia tuh bisa maju. Ya mungkin contoh kecilnya Singapura. Dia memisahkan, saya pikir harus ada garis demarkasi yang jelas. Bahwa harmoni itu ada di keluarga. Kalau mau bernegara, kita harus prinsipil. Ada harus jelas law enforcement-nya itu seperti apa. Negara kita itu bukan negara yang lawless country. Tapi malah terlalu banyak peraturannya. Cuma masalahnya law enforcernya itu yang punya masalah. Ini yang terus-terus kita lihat. Bagusnya sekarang ada sosial media juga harus kita apresiasi ya. Jadi dengan adanya sosial media itu juga ada satu ruang bagi masyarakat untuk melihat bahwa ini ada problem dan mereka itu berpartisipasi dalam bersuara. Ya ini mengembalikan prinsip negara penting. Bahwa kita bernegara ini ya karena... Negara kita ini cita-cita idealnya adalah negara republik yang melihat bahwa semua orang itu sama di hadapan hukum. Lalu bahwa dalam negara ini kita memiliki distribusi power juga. Jadi tidak absolut bahwa seorang presiden misalnya atau seorang perdana menteri yang paling berkuasa. Kita ada beberapa lembaga. Jadi lembaga ini semua berfungsi sebagaimana amanahnya. Jadi ada checks and balance di sana yang menjadi. Syarat paling utama bagaimana sebuah demokrasi itu bisa berhasil, ya upaya ke arah situ yang paling penting. Dan masyarakat itu harus tahu haknya, hak dan kewajiban tentu saja. Masalahnya di kita itu orang tidak... Haknya aja kewajiban. Problemnya itu ya. Di Amerika saya pikir setiap ada kebijakan bahkan misalnya Donald Trump aja main golf itu satu Amerika bicara. Karena mereka taxpayer gitu. Nah apakah orang Indonesia itu tidak terlalu atentif dengan perilaku para pemimpinnya dalam memanfaatkan uang pajak? Apakah karena orang Indonesia tidak bayar pajak? Kecuali dalam dua hari ini ya yang saya baca sedikit di sosial media ada apa. Ada kemarahan terhadap laku pejabat pajak. Tapi jauh-jauh hari saya pikir sedikit sekali orang yang berbicara bahwa uang dalam pengelolaan negara ini sebenarnya banyak diambil dari apa yang menjadi hak orang. Kadang-kadang orang-orang tidak tahu dia misalnya dia tidak punya usaha atau dia bukan pegawai negeri jadi merasa ya tidak bayar pajak. Padahal dia tidak paham ketika dia beli gula atau dia beli beras. Yang harganya misalnya harusnya 10 ribu, tapi kemudian harga jual 14 ribu. Kenapa? Karena ada pajak negara. Kenapa ada pajak negara di situ? Uang itulah kemudian negara ini public service dan segala macam itu dijalankan. Jadi sebenarnya semua orang berkontribusi untuk anggaran negara. Tapi ya tidak banyak orang yang kemudian tahu bahwa dia itu sudah berkorban untuk negara ini. Jadi dia tidak ikut. merasa memiliki atau ikut berpartisipasi, memberikan masukan, memberikan kritik karena belakangan lah kita mendengar ada Satu dua suara tentang ketidakpuasan dengan bagaimana negara dikelola dan segala macamnya. Tapi jika kita ingin betul-betul negara yang bisa memenerapkan nilai-nilai demokrasi dan orang harus semua memiliki rasa tanggung jawab yang sama. Jadi cita-cita yang seperti Pak Gita katakan tadi bahwa ini harus jadi satu gerakan sebenarnya tidak sulit kalau orang juga berangkat dari titik yang sama. Bahwa... Tidak perlu ada crusader disini. Kita, ini kewajiban untuk menjawab kita bersama. Kita udah ngobrol satu setengah jam lebih ini. Saya mau nanya pertanyaan yang terakhir. Apa? Dilukis deh, lukisan yang optimis ke depan. Dalam konteks apapun mungkin yang paling sederhana adalah dalam konteks bagaimana hukum syariah. di Aceh, itu bisa berkembang dengan cara yang sangat bisa direkonsiliasi dengan proses demokratisasi, bukan hanya di Aceh tapi di Indonesia secara keseluruhan kalau yang optimisnya kalau bagi saya untuk bersikap optimis seperti misalnya, harus ada kesepakatan sebenarnya di dalam masyarakat Aceh sendiri untuk melihat bahwa syariah itu adalah Ya pertama mengembalikan sebenarnya apa makna syariah. Dalam syariah itu juga ada makasih ya, ada tujuan kenapa syariah itu harus ada. Nah ini menjadi satu bagian juga absen dalam banyak diskusi di sana. Jadi orang langsung misalnya langsung mengasumsikan itu adalah hukuman. Padahal kan bukan, bukan hukuman. Lalu posisinya kalau dalam banyak kajian-kajian klasik maupun kontemporer itu banyak yang bisa membawa... Bahkan pada kesimpulan sebenarnya posisi syariah itu harus berada antara negara dan masyarakat. Karena itu memang punya masyarakat. Jalan hidup masyarakat. Orang sudah mengamalkannya itu selama berabad-abad. Ketika itu pun misalnya diamanahkan untuk dikelola oleh negara, negara juga harus melihat bahwa pemahaman terhadap sesuatu itu itu juga begitu kaya di dalam literatur keislaman itu sendiri. Bagaimana kemudian penggalian terhadap keberagaman ini bisa mengerucut ke apa yang dijanjikan itu. Bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Nah jangan misalnya perbedaan ini disilentkan, direpresi dan segala macamnya. Nah apabila hal ini bisa muncul kemudian Aceh itu bisa, karena Aceh itu punya sejarah sebagai daerah yang... bisa jadi modal, bisa jadi contoh itu kembali ke masyarakatnya mereka masih mau gak melanjutkan apa namanya, cycle sejarah ini bisa, karena ini sesuatu yang sebenarnya bisa terus diulang dengan serendipity tadi, kesempatan-kesempatan yang mungkin tidak dimiliki oleh daerah lain ya, banyak masyarakat daerah lain yang memiliki keinginan juga untuk diakui bahwa mereka memiliki hak untuk menjalankan syariah, yang tidak memilikinya Aceh punya itu Nah bagaimana kemudian ini bisa membawa kepada satu dimensi yang bisa menjadi contoh sebenarnya apa itu. Beberapa waktu terakhir saya kira ada, saya belum tahu ini karena ini masih baru. Jadi ada satu rektor disana itu yang sempat juga apa namanya membuat sedikit goncang orang disana ketika mengatakan bahwa syariah Islam gagal, sudah gagal. Tapi beliau ketika mengatakan itu tidak hanya mengatakan saja, nah ingin memberikan satu contoh bahwa di kampusnya itu bisa menjadi miniatur pelaksanaan syariah Islam di Aceh. Tapi bagaimana caranya memiliki apa, direction yang sedikit berbeda. Bagaimana memunculkan kembali tentang adab. Adab, aladabu faukal ilmi bahwa etika, bahwa tutur kata, bahwa contoh celadan segala macam itu di atas pengetahuan. Kemudian bagaimana melihat potensi-potensi kajian. Apa sih keindahan Islam yang begitu diapresiasi oleh dunia itu sebenarnya. Misalnya representasi Islam di Amerika itu kan bukan Sheikh, bukan Habib, bukan apa-apa. Ini Muhammad Ali bahkan. Seorang petinju misalnya. Yang ketika kita bicara tentang Muhammad Ali, orang akan punya satu perspektif Islam yang sangat berbeda di Amerika. Atau di dunia yang lebih besar misalnya Habib misalnya yang sekarang wrestling itu ya. Atau tim sepak bola Maroku seperti kemarin. Jadi tidak melulu itu harus dari berbasiskan satu organisasi agama, institusi agama. DJ Khalid. Iya artinya setiap orang sebenarnya memiliki peran yang sama dalam mempromosikan Islam dengan segala latar belakang yang dia miliki. Asal dia setia dengan apa yang sebenarnya dicita-citakan oleh Islam itu. Nah ini... Punya gaung yang jauh lebih besar daripada kemudian simbol-simbol. Dan saya pikir, nah apa yang dimiliki oleh Aceh? Aceh punya sejarah Islam yang sangat luar biasa. Bahkan punya begitu banyak literatur yang belum digali. Tapi manuskrip misalnya di Aceh itu luar biasa koleksinya. Nah misalnya hal-hal seperti itu bisa dijadikan prioritas. Ini akan sangat menarik perhatian dunia sebenarnya. Bagaimana? kondisi atau bagaimana sebenarnya khazanah keislaman yang ada di Aceh. Begitu juga dengan misalnya perekonomian Islam. Perekonomian Islam yang seperti apa sebenarnya yang betul-betul bisa memberikan trust dan motivasi dan juga keinginan orang itu untuk membagikan satu persepsi ekonomi yang berbeda. Saya pikir kita mungkin juga sudah cukup lama babak belur dengan bank konvensional. Tapi jangan kemudian perbankan syariahnya itu cuma ganti nama, tapi masih menggunakan pola yang kita ingin keluar dari sana, malah tambah babak-belur masyarakatnya. Jadi, dan usaha ini tidak gampang. Betul-betul harus memiliki keinginan untuk sungguh-sungguh. Dan saya pikir dengan model yang tadi kita bilang, dengan budaya sosial media kita yang singkat. tidak mau bersungguh-sungguh baca yang cukup literaturnya, itu biasanya seperti ini, kemudian hilang lagi, kemudian hilang lagi, dan malah akan merusak wajah Islam itu sendiri. Tapi kalau Aceh mau bergerak ke arah yang kita cita-citakan barusan, saya pikir ini bisa jadi contoh dan penting juga untuk memperbaiki image tentang ... Yang sebaliknya ya, seperti yang dituduhkan oleh orang selama ini. Karena harus kita akui juga ada begitu banyak pemberitaan di media. Misalnya di satu sisi mengatakan wajah Islam di Indonesia itu berbeda dengan Islam di temur-tengah. Tapi kemudian fenomenanya nanti kembali ke kenapa Indonesia itu mengizinkan seperti Aceh. Walaupun kemudian seperti saya katakan tadi, begitu orang datang ke Aceh itu tidak sama dengan apa yang di... diberitakan di media jadi saya optimis bahwa misalnya dengan ada satu rektor yang sudah berani berbicara seperti itu, semoga ini bisa dibuktikan juga lalu ada masyarakat juga yang tergerak untuk melihat bahwa ada satu potensi yang kita sudah miliki ada serendipity situasi dan keadaan yang mungkin tidak dimiliki oleh daerah lain Sehingga kita punya kenapa gak kita Bikin itu menjadi satu hal yang Fenomenal Mungkin ya Yang bisa memberikan uswatun hasanah Kalau pakai bahasa agama Satu contoh yang baik bagi dunia Wow kita doain yang terbaik Terima kasih Pak Thank you Reza Sama-sama Pak Gita Teman-teman itulah Reza Idriah Fellow dari NUS Stanford