Prabu Siliwangi, yang dikenal pula dengan sebutan Prabu Dewa Taprana Sri Baduga Maharaja, adalah sosok yang memimpin dengan gemilang dalam kerajaan Pajajaran, dalam rentang tahun 1482 hingga 1521 Masehi. Ia memimpin kerajaan yang bercorak Hindu ini dan membawanya mencapai puncak kejayaannya. Namanya yang gemilang dalam sejarah kerajaan Pajajaran menjadi bukti akan kepemimpinannya yang luar biasa.
Siapa sebenarnya Prabu Siliwangi? Sosok ini akhirnya terungkap melalui berbagai catatan sejarah yang ada. Nama aslinya adalah Jaya Dewata, dan ia lahir pada tahun 1401 di Kawali, Galuh, yang kini merupakan bagian dari daerah Ciamis.
Prabu Siliwangi juga dikenal dengan sebutan Prabu Dewata Prana Sri Baduga Maharaja, dan namanya tercatat dalam beberapa prasasti yang pernah ditemukan. Ayah Prabu Siliwangi adalah Prabu Dewa Niskala, yang merupakan cucu dari Raja Niskala Wastu Kencana. yang pernah memimpin kerajaan Sunda Galuh pada tahun 1348-1475 Masehi. Sebutan Prabu Siliwangi sendiri memiliki asal-usul yang menarik, berasal dari kata Sili dan Wangi, yang menggambarkan gelar turun-temurun yang diberikan kepada beberapa pemimpin yang menjadi pengganti yang mampu mengangkat nama baik kerajaan pajajaran.
Awalnya, gelar Siliwangi juga pernah diberikan kepada Niskala Wastu Kancana. kakek dari Sri Baduga Maharaja. Namun, seiring berjalannya waktu, gelar Prabu Siliwangi lebih melekat kepada Sri Baduga Maharaja. Prabu Siliwangi memiliki peran penting dalam sejarah Kerajaan Sunda.
Dalam Prasasti Batu Tulis, ia dinobatkan sebagai Raja Kerajaan Sunda dan juga sebagai Raja Kerajaan Galuh. Kerajaan Sunda Galuh inilah yang kini dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran, yang berada di bawah kekuasaan dan kepemimpinan yang gemilang dari Prabu Siliwangi. Cerita tentang Prabu Siliwangi adalah kisah tentang masa kejayaan yang begitu luar biasa di bawah pemerintahannya di Kerajaan Pajajaran. Dia adalah sosok pemimpin yang mengukir tinta emas dalam lembaran sejarah, membawa kedamaian dan kemakmuran bagi kerajaannya.
Salah satu aspek utama kejayaan Prabu Siliwangi adalah kebijakannya dalam mematuhi wasiat leluhurnya untuk membebaskan penduduk Pajajaran dari empat jenis pajak yang memberatkan. Ia adalah penguasa yang memegang erat prinsip kesetaraan sosial, memastikan bahwa semua lapisan masyarakat mendapatkan perlakuan yang adil dan setara. Pembangunan juga menjadi fokus penting Prabu Siliwangi.
Kerajaan Pajajaran tumbuh pesat di bawah pimpinannya, dan ia memperkuatnya di berbagai bidang. Sebuah naskah Portugis mengungkapkan bahwa Pajajaran memiliki pasukan yang kuat, terdiri dari 100 ribu prajurit dan 40 pasukan gajah. Ia juga memperkuat pertahanan dengan membangun parit pertahanan, merampingkan angkatan perang, dan menyusun formasi perang yang kuat. Di laut, Pajajaran membangun armada kapal jung yang digunakan untuk transportasi dan perdagangan antar pulau.
Mereka memperdagangkan barang-barang berharga seperti kapas, baju, dan bahkan kuda jenis pariaman yang jumlahnya mencapai 4.000 ekor setiap tahun. Semua ini menciptakan kejayaan dan ketenaran kerajaan Pajajaran di mata dunia. Pada masa Prabu Siliwangi, Kerajaan Pajajaran bukan hanya dikenal karena keberaniannya dalam pertempuran dan kekuatan militer yang besar, tetapi juga karena tata pemerintahan yang adil.
Para sejarawan seperti Tome Pires mencatat bahwa Kerajaan Pajajaran diperintah dengan adil, dan penduduknya adalah orang-orang jujur. Bukti masa kemasan ini juga ditemukan dalam naskah-naskah kuno seperti Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis pada abad ke-18 Masehi. Mereka mengungkapkan masa pemerintahan Sri Baduga, yang dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi, dan kemakmuran daerah Pakuan pada saat itu.
Pada akhirnya, Sri Baduga menjadi raja yang dihormati dan diabadikan oleh masyarakat Sunda di era pajajaran. Prasasti Tembaga Kebantenan mencatat bahwa ia memerintah selama 39 tahun, dari tahun 1482 hingga 1521 Masehi. Prabu Siliwangi juga terkenal karena memiliki 151 istri.
Salah satu di antaranya adalah Nyai Ambet Kasih, putri Pamanyaki Gedeng Sindang Kasih. Ia juga memperistrinyai Subang Larang dan memiliki tiga anak, Raden Walang Sungsang atau Pangeran Cakrabuwono, Nyimas Rara Santang, dan Raden Kian Santang adalah keturunan Prabu Siliwangi yang mengukir namanya dalam sejarah. Nyimas Rara Santang adalah ibu dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Sedangkan Raden Kian Santang dikenal karena penyebaran agama Islam di Tanah Sunda. Tradisi Lisan Sunda telah mengaitkan Prabu Siliwangi dengan makhluk luar biasa, yaitu harimau atau macan yang dianggap sebagai satwa pengawalnya. Namun, Di dalam catatan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan, wilayah keraton Prabu Siliwangi di Bogor dikelilingi oleh gunung-gunung seperti Salak, Halimun, Gede, dan Pangrango, yang juga menjadi habitat harimau dan macan.
Menariknya, hingga era milenial abad ke-21. Jejak dan penampakan hewan-hewan ini masih bisa ditemukan. Legenda tentang macan putih dan macan hitam juga mengungkapkan sejarah kekerabatan antara Raja-Raja Sunda dan Raja-Raja Jawa Timur, seperti Panjalu di Ciamis dan Kerajaan Panjalu, yang memiliki hubungan dengan Majapahit di Jawa Timur.
Dalam versi pantun bahasa Sunda dan catatan sejarah, ketika pasukan Cirebon dan Banten, yang merupakan keturunan langsung Prabu Siliwangi, menyerbu ibu kota Kerajaan Pajajaran di Pakuan. Sang Raja menjunjung tinggi prinsip politik non-blok, perdamaian, anti kekerasan, hingga anti intoleransi. Prabu Siliwangi Enggan berperang melawan pasukan dari Cirebon.
Karena bagaimanapun Cirebon adalah kerajaan anaknya, menurut cerita rakyat, setelah jatuhnya ibu kota Pakuan, Raja Sunda terakhir dengan pengiringnya mengundurkan diri ke Gunung Salak yang terletak di selatan ibu kota untuk menghindari pertumpahan darah. Mungkin adalah saat itulah Sang Raja ngahyang atau menghilang. menjadi Khyang atau Roh Dewa.
Konon, dia berubah menjadi satwa mistis berwujud Harimau Suci. Namun, ada juga kisah yang menyebutkan bahwa Sang Raja menghilang di hutan Sancang, dekat Laut Selatan di Kabupaten Garut. Polanya cerita ini menarik paralel dengan Motahta Majapahit karena peristiwa bubat, meskipun peristiwa ini tidak dapat dipastikan secara historis, karena setelah kematian Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi. Kerajaan Sunda masih diperintah oleh beberapa raja meskipun semakin melemah, seperti yang dinyatakan oleh hitam putih Pajajaran, Ferry Taufik El Jakwin.
Catatan tertulis mengenai harimau dan macan ini baru ditemukan pada abad ke-17, lebih dari 100 tahun setelah runtuhnya Kerajaan Sunda, dan kota Pakuan Pajajaran ditinggalkan. Dengan cepat, kota ini terlantar dan lapuk, ditelan semak belukar dan tanaman tropis, hingga berubah menjadi hutan lebat yang menjadi sarang harimau. Ekspedisi pertama oleh orang Belanda ke pedalaman Jawa Barat dilakukan pada tahun 1687. Dipimpin oleh Peter Sipio van Oostende.
Mereka berusaha menjelajahi hutan selatan Batavia menuju bekas ibu kota Pakuan dan akhirnya mencapai Palabuhan Ratu. Namun, perjalanan tersebut tidak bebas risiko. Seorang anggota ekspedisi tewas diterkam harimau hanya dua hari sebelumnya.
CPO mendapat informasi dari Letnan Tanu Wijaya dari Sumedang bahwa reruntuhan yang mereka temui adalah bekas ibu kota kerajaan Pakuan Pajajaran. Pada tanggal 23 Desember tahun 1687, Gubernur Jenderal Johannes Campus mencatat dalam laporannya, di bekas istana yang tanahnya ditinggikan, dekat prasasti batu tulis yang berwarna perak, peninggalan Raja Pajajaran yang dikeramatkan, kawasan ini dijaga oleh banyak harimau. Penampakan harimau dan macan juga dilaporkan oleh warga Kedung Halang dan Parung Angsana yang mengawal Sipio dalam ekspedisi ini.
Mungkin peristiwa inilah yang menjadi sumber legenda lokal yang percaya bahwa Raja Pajajaran beserta seluruh bangsawan Sunda dan pengawalnya telah berubah menjadi harimau mistis. Prasasti Batu Tulis, sebuah peninggalan bersejarah yang ditemukan di Jalan Batu Tulis, Kota Bogor, menghadirkan banyak misteri yang masih belum terpecahkan. Prasasti ini merupakan warisan Kerajaan Sunda Pajajaran dari abad ke-16, dan telah menjadi saksi bisu dari masa lalu yang gemilang.
Pada tanggal 25 Juni tahun 1690, pasukan VOC di bawah pimpinan Kapten Adolf Winkler pertama kali menemukan Prasasti Batu Tulis. Temuan ini menjadi awal dari sejumlah laporan ekspedisi VOC yang mencatat tentang keberadaan Prasasti ini. Namun, baru pada masa pemerintahan Thomas Stamford Raffles, Tahun 1811 sampai tahun 1816, muncul upaya kajian lebih mendalam tentang isi Prasasti ini.
Dalam bukunya, Raffles membahas Prasasti Batu Tulis dan menyertakan sebuah faksimile Prasasti tersebut. Kajian ini menjadi titik awal dari tulisan-tulisan lebih lanjut tentang Prasasti ini, yang diikuti dengan translasi dalam bahasa Belanda. Sejumlah ahli, seperti R. Friedrich, 1853, K.F. Holley.
1869, C.M. Pleite, 1911, Hussein Jajadi Ningrat, 1913, Purbat Caraka, 1921, J.Norduin, 1957, Hasan Jafar, Aditya Gunawan, dan Arlo Griffiths, 2021, telah melakukan penelitian tentang prasasti batu tulis, kajian yang terus berlanjut ini bertujuan untuk menyempurnakan akan pemahaman terhadap teks Prasasti, sehingga dapat mengungkap makna yang sebenarnya. Dari hasil penelitian ini, para ahli sepakat bahwa tokoh yang membuat Prasasti batu tulis adalah Raja Surawisesa, putra dan penerus Prabu Siliwangi. Prasasti ini diukir pada lempengan batu berbentuk meruncing seperti gunungan dan berisi sembilan baris tulisan dalam aksara Jawa kuno dengan bahasa Sunda kuno.
Terjemahan isi Prasasti mengungkapkan bahwa Prasasti ini didedikasikan untuk memperingati kematian Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, yang juga dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Sri Baduga Maharaja adalah anak Rahyang Dewa Niskala yang telah meninggal di Guna III, dan cucu dari Rahyang Niskala Wastu Kancana. Alasan pemeringatan tersebut adalah jasa-jasa besar Sri Baduga Maharaja dalam bidang pembangunan. termasuk pembuatan parit pertahanan di ibu kota kerajaan, monumen peringatan berupa gunungan, pembangunan jalan yang diuruk dengan batu, pendirian hutan larangan, samida, dan penciptaan telaga warna maha wijaya.
Prabu Siliwangi, dalam sejarah kerajaan pajajaran, dikenal sebagai raja yang membawa kejayaan. Ia memerintah sejak tahun 1482 hingga 1521. Tahun yang tertulis dalam Prasasti Batu Tulis dirumuskan dalam Chandra Sengkala, pada tahun Saka Panca Pandawa Nge, M, Ban Bumi. Menurut Aditya Gunawan dan Arlo Griffiths, 2021 tahun tersebut dapat diterjemahkan sebagai tahun Saka 1455 atau 1533 Masehi. Dengan demikian, Prasasti Batu Tulis merupakan peninggalan dari masa Raja Surawi Sesa, putra dan penerus Prabu Siliwangi.
yang terus menjadi misteri yang menarik untuk diungkap.