Transcript for:
Kisah Darmi dan Batu Menangis

Batu Menangis Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang ibu dengan anak perempuannya yang bernama Darmi. Ayah Darmi sudah meninggal saat Darmi masih kecil. Dahulu mereka hidup berkecukupan.

Namun setelah ayahnya meninggal, ibu Darmi harus bekerja keras di ladang demi hidup mereka. Karena setiap hari bekerja di ladang, kulit ibu Darmi jadikian gelap. Berat tubuhnya juga menyusut.

Semua dilakukannya demi Darmi, putri satu-satunya. Namun apa yang dilakukan Darmi? Dia tidak mau membantu ibunya.

Kerjanya setiap hari hanya berdandan. Dia juga enggan keluar rumah, karena takut kulitnya jadi gelap seperti ibunya. Suatu hari, ibu Darmi hendak bekerja di ladang.

Dia akan bekerja sampai sore, sebab musim panen sudah tiba. Ibu Darmi berkata pada Darmi, Darmi, bisakah kamu memasak hari ini nak? Ibu tidak bisa pulang siang.

Karena harus menyelesaikan panen kita. Jika sudah selesai masak, maukah kamu mengantarnya ke ladang untuk ibu? Darmi yang sedang menyisi rambutnya yang indah terkejut.

Tidak mau bu, kalau aku masak nanti rambutku bau tungku, aku kan habis keramas. Lalu kalau aku mengantar makanan ke ladang kulitku jadi hitam, aku kan habis luluran. Ibu dah.

Darmi hanya menggeleng-gelengkan kepala sedih. Di ladang, ibu Darmi bekerja dengan keras. Dia mengumpulkan hasil panen.

Besok, dia akan menjualnya ke pasar. Dia tidak memperdulikan perutnya yang lapar. Saat lelah, dia beristirahat sambil meminum air kendi yang dibawanya. Dia berdoa dalam hati. Ya Tuhan, tolong kami, ubahlah anakku.

Lepaskan dia dari sifat malasnya. Setelah pulang dari ladang, Ibu Darmi pulang ke rumah. Betapa terkejutnya. Di sana tak ada makanan yang bisa dimakan. Darmie sama sekali tidak memasak.

Darmie yang melihat ibunya pulang malah marah-marah. Ibu ini kemana saja sih? Masa tidak ada makanan di rumah?

Aku kan lapar. Seharian tidak makan. Darmie, tadi ibukan sudah menyuruhmu untuk memasak. Aku tidak mau, Bu.

Hah! Darmi meninggalkan ibunya yang kelaparan dan juga lelah. Keesokan harinya, Ibu Darmi sudah bersiap dengan hasil panennya. Dia akan pergi ke pasar. Darni, ikutlah ibu ke pasar nak.

Ibu membutuhkanmu untuk membawa hasil ladang kita. Nggak mau bu, nanti kulitku kotor. Kotor, apalagi pasar kan becek. Aduh, aku gak bisa membayangkan kulitku yang bersih ikutan kotor. Akhirnya, ibunya ke pasar sendiri dengan membawa hasil ladang itu.

Sorenya, ibu Darmi membawa uang hasil panen. Tidak terlalu banyak, hanya cukup untuk membeli benih dan makan beberapa hari. Darmi yang melihat ibunya sedang menghitung uang. Segera mendekati ibunya. Bu, bedaku habis.

Tolong belikan dong, Bu. Ya, besok ibu belikan. Tapi kamu harus ikut supaya ibu tidak salah beli. Akhirnya Darmi dengan terpaksa ikut ibunya pergi ke pasar. Tapi Darmi berbisi kepada ibunya.

Bu, nanti kita jalannya jangan berdampingan. Ibu di belakang gue. aku saja kenapa Darmie pokoknya ibu jalan di belakangku Darmie sebenarnya malu berjalan bersama ibunya yang berkulit gelap dan wajah yang tak terawat tiba-tiba di tengah jalan ada seorang teman Darmie yang menghampiri dan bertanya Hai Darmie kamu mau kemana aku mau ke besar-besar Teman Darmi melihat ibu Darmi dengan pandangan bertanya.

Dia siapa Darmi? Ibumu ya? Darmi yang tak ingin temannya tahu jika dia punya ibu yang kotor dan jelek, segera menjawab. Oh, dia pembantuku.

Tentu saja bukan ibuku. Amit-amit deh. Betapa sedih saat ibu Darmi mendengarnya. Namun hanya ditahan dalam hati.

Mereka berdua. Mereka melanjutkan perjalanan. Darmi bertemu dengan temannya yang lain.

Darmi, kau mau ke mana? Aku mau ke pasar. Ngomong-ngomong, siapa yang ada di belakangmu? Apa dia ibumu? Bukan, dia bukan ibuku.

Dia pembantuku. Sungguh hati ibu Darmi semakin sedih. Begitu tega anaknya mengakui dirinya sebagai pembantu.

Namun sekuat tenaga dia berusaha menahannya. Sampailah Darmi dan ibunya di pintu pasar. Saat mereka akan memasuki pasar, lagi-lagi Darmi bertemu temannya yang lain. Darmi, tumben kamu pergi ke pasar. Eh, siapa yang berjalan di belakangmu?

Hmm, itu pembentukku. Ibu Darmi tak kuasa menahan air matanya. Dia sudah tak tahan lagi. Maka dia pun berdoa dalam hati.

Ya Tuhan, hemba sudah tidak kuat lagi dengan sikap anak hemba. Tolong, kiranya Tuhan menghukumnya agar dia menjadi jerah. Setelah Ibu Darmi selesai berdoa, tiba-tiba Darmi menjerit. Ah! Ibu!

Tolong aku! Ada apa dengan kakiku? Kenapa?

Tidak bisa digerakkan lagi. Sedikit demi sedikit, Darmi menjadi batu. Ibu Darmi menangis pilu.

Maafkan aku, nak. Ini semua karena perlakuanmu. terhadap ibu Ampun, ampun bu Ampun Nabi tidak akan memulainya lagi Ampun Darmi merintis sambil menangis meminta ampunan ibunya. Sayang, semua tak bisa kembali.

Darmi tetap menjadi batu. Dia harus menanggung hukuman karena telah durhaka terhadap ibunya yang sudah merawat dan menjaganya hingga dia besar. Batu itu akhirnya dipinggirkan orang-orang dan disandarkan di tepi. Hingga sekarang, batu itu masih ada di Kalimantan Barat dan dinamakan Batu Menangis.