Pulau Hispaniola, salah satu pulau terbesar di Karibia adalah rumah bagi dua negara yang sangat berbeda nasib. Republik Dominika yang kaya berada di timur dan Haiti yang miskin ada di barat. Pulau ini memiliki sejarah panjang penjajahan, perjuangan, serta kemerdekaan yang pahit.
Haiti, sebuah negara yang dulu dijajah oleh Perancis, merupakan seksi bisu dari tragedi yang terus berlanjut, bahkan setelah kemerdekaan. Jomplangnya perbedaan nasib antara Haiti dan Republik Dominika sudah pernah geografai bahas di video yang ini ya, Gilavers. Haiti, yang dulunya dikenal sebagai Saint-Domingue, merupakan koloni Perancis yang paling kaya di Karibia pada awal abad ke-18. Kekayaan alam Haiti, terutama gula, kopi, dan kapas, membuatnya menjadi mutiara karibia bagi Perancis. Namun kekayaan ini dihasilkan dengan biaya yang sangat besar, yakni melalui eksploitasi tenaga budak.
Ratusan ribu orang Afrika diperbudak di pulau ini, dan dipaksa bekerja di perkebunan dengan kondisi yang sangat buruk. Selama lebih dari seabad, Prancis memerah kekayaan alam Haiti untuk kepentingan ekonominya. Sementara mayoritas penduduk asli Haiti hidup dalam penindasan dan kemiskinan. Namun pada akhir abad ke-18, revolusi besar terjadi.
Terinspirasi oleh revolusi Prancis dan maraknya gelombang kemerdekaan di seluruh dunia, para budak di Haiti memulai pemberontakan yang akhirnya akan mengubah arah sejarah. Pada 1 Januari 1804, setelah melalui perjuangan yang sangat keras dan berdarah melawan penjajah Perancis, Haiti berhasil mendeklarasikan kemerdekaannya. Ini adalah peristiwa penting dalam sejarah dunia, karena Haiti menjadi negara pertama yang lahir dari pemberontakan budak yang sukses. Namun, kemerdekaan Haiti tidak didapatkan dengan mudah. Prancis yang tidak rela melepaskan kendali atas koloni terkayanya, menuntut ganti rugi yang sangat besar dari Haiti untuk mengakui kemerdekaan tersebut.
Memang gila pemikiran otak penjajah. Mereka yang merampas, mereka juga yang merasa terzolimi. Haiti yang sangat ingin terbebas dari Perancis dan mengelola negaranya sendiri, akhirnya menerima paksaan untuk membayar apa yang disebut sebagai utang kemerdekaan. Utang tersebut sebesar 150 juta frank, yang setara hampir 20 miliar USD saat ini.
Utang ini disebut Perancis sebagai ganti kerugian yang dialami oleh pemilik budak Perancis. Ini adalah bentuk pemerasan ekonomi yang kejam, dan Haiti yang baru merdeka terpaksa mencicil pembayaran tersebut selama 122 tahun. Beban hutang ini menghancurkan ekonomi Haiti sejak awal kemerdekaannya.
Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk membangun negara baru justru disalurkan ke Perancis. Hutang ini menjadi faktor utama yang membuat Haiti memulai perjalanannya sebagai negara yang sangat miskin. Sementara negara-negara merdeka lain di Amerika berkembang, Haiti terjerat dalam lingkaran kemiskinan yang mencekik. Sejak merdeka, Haiti tidak pernah benar-benar menikmati stabilitas politik yang kuat.
Negara ini telah mengalami lebih dari 20 kudeta. Salah satu angka tertinggi di dunia. Pemerintahan yang seli berganti seringkali dipenuhi dengan korupsi, ketidakpecusan, dan kepemimpinan yang otoriter.
Kondisi ini diperburuk oleh campur tangan asing terutama dari Amerika Serikat. Amerika Serikat dengan kepentingan strategis dan ekonominya di Karibia seringkali ikut campur dalam urusan dalam negeri Haiti. Pada awal abad ke-20, Amerika Serikat bahkan sempat menduduki Haiti selama hampir 20 tahun. Antara tahun 1915 hingga 1934 dengan dali menjaga stabilitas Haiti. Namun pendudukan ini tidak pernah memberikan banyak manfaat bagi rakyat Haiti.
Sebaliknya, ketegangan politik tetap ada dan Haiti terus bergelut dengan masalah internal yang sama. Ketidakstabilan ini menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam di antara rakyat terhadap pemerintah. Korupsi yang merajalela menyebabkan pelayanan publik yang buruk dan menambah kesengsaraan rakyat yang sudah hidup dalam kondisi. dalam kemiskinan. Bahkan saat ini, lebih dari 60% penduduk Haiti hidup di bawah garis kemiskinan dengan akses terbatas ke pendidikan, perawatan kesehatan, dan pekerjaan yang layak.
Pada tahun 2018, gelombang besar protes Belanda-Haïti. Rakyat yang sudah muak dengan pemerintah akhirnya turun ke jalan, menuntut pengunduran diri Presiden Jovenel Moïse yang dituduh korupsi dan menyalahgunakan dana yang berasal dari kerja sama minyak dengan Venezuela yang dikenal sebagai Petro Caribe. Skandal ini menyulut kemarahan penduduk Haiti, terutama karena dana tersebut seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur dan memperbaiki layanan publik.
Protes ini berubah menjadi kekerasan yang semakin meluas, dengan bentrokan antara demonstran dan pasukan keamanan. Namun meski tekanan publik semakin besar, Moise menolak untuk mundur dari jabatannya. Hingga pada Juli 2021, Jovenel Moise ditemukan tewas dibunuh di kediamannya dengan 12 tembakan. Pembunuhan ini mengejutkan dunia dan memperdalam krisis politik di Haiti.
Setelah pembunuhan Moise, pemerintahan sementara dibentuk, tetapi banyak yang meragukan kemampuan mereka untuk memimpin negara. Situasi ini membuat Haiti semakin kacau dengan tidak adanya kepemimpinan yang jelas dan pemerintahan yang hampir tidak berfungsi. Ketiadaan pemerintahan telah menciptakan kekosongan kekuasaan yang dengan cepat diisi oleh geng-geng bersenjata.
Wilayah-wilayah di ibu kota Port-au-Prince dan kota-kota besar lainnya mulai dikuasai oleh geng-geng yang bersaing untuk mengendalikan wilayah. Geng-geng ini yang muncul dari kemiskinan ekstrim dan ketidakstabilan politik menjadi ancaman besar bagi keamanan nasional. Kekerasan oleh geng meningkat dengan sangat cepat, di mana penculikan untuk tebusan, pembunuhan, dan pemerasan menjadi taktik yang biasa digunakan.
Banyak dari geng ini terlibat dalam konflik bersenjata dengan kelompok-kelompok lain untuk memperebutkan wilayah yang seringkali berujung pada kematian warga sipil yang tidak bersalah. Kekerasan ini telah memaksa ribuan orang mengungsi dari rumah mereka. PBB mencatat hampir 2.500 penculikan dan lebih dari 4.700 pembunuhan terjadi pada tahun 2023. Dan geng-geng kriminal sekarang menguasai sekitar 80% wilayah ibu kota. Krisis kemanusiaan di Haiti yang semakin parah membuat warga hidup dalam ketakutan. Tidak hanya karena kemiskinan yang sudah lama menderah, tetapi juga karena ancaman kekerasan yang datang dari geng bersenjata.
Pemerintah yang seharusnya melindungi rakyat justru tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengendalikan situasi. Hingga saat ini, masa depan Haiti masih sangat suram. Pemerintahan sementara yang seharusnya mengambil alih kendali negara tidak memiliki dukungan luas dari rakyat.
Sementara genggang kriminal terus menguasai sebagian besar wilayah negara, termasuk pusat-pusat pemerintahan. Keadaan ini membuat Haiti hampir menjadi negara gagal. Namun harapan belum sepenuhnya hilang. Masyarakat internasional, terutama PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya, berupaya memberikan bantuan kepada rakyat Haiti yang sangat membutuhkan. Tantangan terbesar yang dihadapi Haiti adalah bagaimana membangun kembali negara dari reruntuhan sejarah panjang penjajahan, eksploitasi, dan kekerasan.
Tanpa perubahan yang mendalam di sektor politik, ekonomi, dan sosial, Haiti akan terus berjuang melawan lingkaran kemiskinan dan ketidakstabilan yang telah mencekam negara ini selama lebih dari dua abad.