Di Malaka Project, di channel gue, dan di banyak konten-konten gue lainnya, gue sering banget mempromosikan dan ngajakin kita semua bareng-bareng untuk berpikir logis, berpikir rasional, berpikir saintifik, yang tujuannya adalah untuk bisa bikin keputusan yang tepat, sehat, dan cerdas. Harapannya dengan kita punya penalaran yang bener dan fakta-fakta yang bener tentang realitas, itu semakin mendekatkan kita ke keputusan terbaik. Walaupun tentu aja selalu ada faktor-faktor eksternal ya, atau faktor-faktor yang itu bisa jadi random, atau kita nggak bisa benar-benar memprediksikan, atau di luar dari kendali kita.
Itu pasti selalu ada, ya kan? Karena pasti ada variable-variable lain di luar diri kita. Tapi setidaknya dengan penalaran dan fakta-fakta yang dari kitanya udah benar, harapannya adalah likelihood dari keputusan kita itu menjadi bagus, itu jadi lebih besar.
Tapi kemudian, untuk kita bisa mengadopsi cara pikir yang gue bilang tadi, kita tuh sebenarnya punya tantangan bawaan nih, gitu, yang bikin itu nggak semudah itu lah untuk kita lakuin. Jadi tantangan bawaan ini apa nih? Kondisi yang udah jadi bawaan di dalam gen-gen kita, jadi kondisi biologis kita, yang membuat berpikir rasional, berpikir saintifik, dan lain sebagainya, yang berdasarkan fakta yang benar, penalaran yang benar, itu menjadi sesuatu yang challenging buat kita. Nggak semudah itu untuk dilakuin. Salah satu, Tangan-tangan bawaan ini bentuknya adalah apa yang disebut dengan bias kognitif.
Bias cognitive kalau secara neuroscience ya, itu bisa diartikan sebagai penyimpangan sistematis di dalam proses berpikir kita yang datang dari tendensi atau kecenderungan otak kita untuk bekerja dengan cara tertentu, yaitu dengan mengacu pada pengalaman maupun preferensi kita. Nah, jadi kondisi objektifnya gimana, realitasnya gimana, itu bisa skewed gitu, itu bisa tergeser gitu ya dengan adanya bias yang datang dari pengalaman yang ada di memori kita maupun tadi preferensi atau selera atau kecenderungan suka yang berbeda ya yang spesial ke variable tertentu atau ke hal tertentu gitu Bentuknya bias kognitif ini ada banyak banget setahu gue yang udah terpetakan sekarang sekitar 200an Ya tapi tentunya gue gak akan bahas sebanyak itu disini Kita akan coba bahas beberapa contoh aja Dan mudah-mudahan dengan lo punya pemahaman terhadap ini Lo bisa menafigasi bias-bias ini dengan lebih baik di dalam proses lo membuat keputusan maupun mengambil tindakan dalam hidup lo Yang pertama confirmation bias atau bias konfirmasi Nah bias konfirmasi ini adalah kognitif bias atau bias kognitif dimana kita cenderung lebih mudah menerima informasi yang udah sejalan dengan apa yang kita percaya. Jadi kalau kita punya suatu hal yang udah kita percaya ini di dalam otak kita, ketika ada informasi lain yang sejalan dengan itu, kita akan cenderung lebih mudah menerimanya.
Kita akan cenderung nggak meragukan, cenderung nggak mempertanyakan misalnya sumbernya dan lain sebagainya. Tapi kalau itu nggak sejalan dengan apa yang kita percaya, kita bakal berlaku sebaliknya. Misal gini, kita adalah orang yang percaya dengan bumi datar. Nah, ketika kita mendapatkan informasi tentang bumi itu bulat, kita akan mempertanyakan misalnya, oh ini beritanya dari mana nih, referensinya dari mana nih, bukunya apa aja nih, siapa nih yang ngomong, dia gelarnya apa, dan seterusnya. Tapi, ketika kita menonton YouTube-YouTube bumi data, Kita gak akan bertanya si pengisi video ini gelarnya apa atau sekolah apa atau dia referensinya dari mana atau dari penelitian apa dan lain sebagainya.
Kita akan cenderung langsung mengiyakan. Wah bener banget nih, gila ini bener parah sih. Ini valid semuanya 100% absolutely true. Ini juga mungkin bisa berlaku di hal-hal lainnya ya, misalnya kalau di kehidupan personal mungkin ketika lo lagi deket sama orang, lo mungkin bakal cenderung menerima hal-hal yang udah baik aja tentang dia. Nah ketika lo mendapatkan informasi lain yang buruk, lo mungkin cenderung akan men-scrutinize atau meragukan dan menelusuri lebih jauh lagi ini sumbernya dari mana, orang yang nilai ini kayak gimana dan lain sebagainya.
Hal ini juga mirip-mirip dengan bias lainnya lagi yang bernama ostrich bias. Miripnya di mana? Gini. Jadi kalau di ostrich bias konteksnya adalah, lo tau ostrich ini gak sih? Bird.
Jadi ada kayak burung unta gitu I think yang suka kayak nenggelemin kepalanya di... pasir, nah dulu orang ngeliatnya dia nenggelemin kepalanya tuh gara-gara dia kayak gak mau ngeliat realitas gitu nah akhirnya nama burung ini tuh jadi nama bias nih, si ostrich bias ini konteksnya, ostrich bias adalah bias dimana kita cenderung menghindari informasi yang buruk atau berbahaya tentang sesuatu yang udah kita sukain gitu, nah kalau di dalam investing behavior atau perilaku orang berinvestasi biasanya misalnya dia udah terlanjur nih berinvestasi di suatu produk investasi kita gak perlu sebut apa gitu ya tapi misalnya A Tapi tiba-tiba ada berita tentang si produk A ini tuh bakal drop Nah ketika kita udah terlanjur melakukan investasi tadi Disitu kita cenderung menghindari berita-berita negatif ini Padahal dengan kita menghindari itu sebenarnya kan realitasnya gak berubah Ya kan tetep aja si produk A ini bisa drop, justru lebih bagus kita terinformasi dong. Nah, tapi karena kita punya bias tadi, akhirnya otak kita secara otomatis menghindari informasi ini. Nah, sama di yang contoh gebetan tadi. Mirip-mirip kan?
Jadi, ketika kita udah terlanjur deket sama... sama seseorang ini dan kita udah punya apa ya bayangan Bagaimana nih kalau kita berpacaran dengan dia dan blablabla gitu ya akhirnya ketika ada informasi yang kayak red flag atau negatif tentang orang ini otak itu bisa tiba-tiba secara sengaja menghina Hindari itu, gitu. Contoh ya, misal kita punya dua temen, si A dan si B.
Nah, si A cerita tentang si gebetan ini yang bagus-bagus lah. Nah, kita nggak akan mempertanyakan gitu, kita nggak akan second guessing nih omongannya si A ini. Kita akan langsung terima, oh iya, gebetan gue ini emang sekeren itu.
Nah, tapi ketika temen kita yang B ini ngomong, kayak dia tuh sebenarnya orangnya gini-gini loh yang negatif. Kita akan scrutinize itu. Kita akan mempertanyakan si B ini, orangnya apakah valid judgement-nya. Apa kualifikasi dia untuk membuat judgement itu dan seterusnya Selanjutnya, sunk cost fallacy Gue udah cukup sering sih sebenernya ngomongin ini Bahkan di video-video pendek gue Karena ini emang salah satu bentuk bias yang cukup umum gitu Nah tapi sebelum masuk ke contoh yang bias yang gue pake Kita ambil contoh yang lain dulu Jadi, sunk cost fallacy ini adalah sebuah bias kognitif Dimana kita cenderung melanjutkan sesuatu Hanya karena kita sudah berinvestasi di awal Investasi bentuk Bentuknya nggak harus duit ya.
Investasi bentuknya bisa waktu, emosi, energi, perasaan, dan lain sebagainya. Jadi investasi intinya bentuknya bisa macam-macam. Nah, ketika kita udah berinvestasi di depan, kita cenderung akan melanjutkan terlepas dari trajektori kegiatannya ini tuh kemana, gitu.
Contohnya ya kalau dalam keputusan bisnis nih. Misalnya lo... bikin restoran, lo udah investasi di depan bukan cuma duitnya, tapi lo juga mengerahkan pikiran lo, perasaan lo, tenaga lo, dan lain sebagainya untuk lo ngedesain restorannya mau kayak gini, brandnya mau kayak gini, dan seterusnya ketika lo udah running restorannya, ternyata it doesn't work it doesn't work maksudnya apa?
tiap bulan growthnya nggak ada, customernya nggak nambah-nambah lo udah melakukan marketing effort, it also doesn't pick up lah gitu di market jadi kayak basically mungkin produknya salah atau restorannya emang lo harus bikin yang lain atau gimana lah gitu ya intinya it doesn't work jadi trajektorinya tuh gak ada yang menunjukkan gejala bahwa this will work someday gitu tapi dengan adanya sunk cost fallacy sebagai bias kognitif di otak lo ini lo tuh bakal cenderung kayak ada kepercayaan bahwa gak sesuatu hari nanti this will work gitu ngerti gak sih? walaupun sebenernya it won gitu nah tapi intinya gini Akhirnya lo lanjutin tuh si restoran ini ya kan, walaupun dengan segala udah ketidak worksnya ini gitu, ketidak workingannya ini, lo jalanin terus sampai udah 5 tahun, 7 tahun, dan ujungnya lo cuma ngegedein. Sangkosnya, nah sangkos itu ibaratnya Kos yang udah lu keluarin yang gak bisa lu recover Di awal tadi, yang lu udah keluarin untuk Bangun restoran ini, jadi sangkos lu makin lama Makin naik, makin naik, makin naik kan, karena kan operasionalnya Terus jalan nih, jadi sangkosnya Makin gede, makin gede, makin gede, tapi sebenarnya benefitnya tuh Gak terjadi-terjadi gitu, because It just doesn't work, nah masalah yang sama Juga bisa jadi berlaku di Relationship, kadang Orang melanjutkan relationship Hanya karena udah terlanjur Padahal Kita kan maunya bikin keputusan terbaik, bukan terlanjur, ya kan?
Nah, stangkos pelesti itu membuat kita mungkin terjebak di keputusan-keputusan yang terlanjur, gitu. Gue sering denger misalnya kayak orang pacaran udah lumayan lama, let's say pacaran 27 tahun, tapi belum mati. terus justru kepikiran mau putus karena sebenarnya udah banyak hal kayaknya nggak works gitu tapi akan ada orang yang ngomong kayak tapi sayang nggak sih kan pacarannya udah 7 tahun sayang nggak sih kalau nggak married gitu nah padahal kayaknya kasus yang resmi restoran tadi, bisa aja hubungan ini kalau dilanjutin itu cuma ngegedein sangkosnya doang, but actually dia gak akan pernah nyampe pada titik yang dibilang it will work tadi karena sebenarnya mungkin ada variable-variable yang yaudah, it's just not working, maka itu penting untuk lo memahami adanya bias ini, supaya lo tidak terjebak dalam keputusan-keputusan yang hanya sekedar karena terlanjur tapi lo bisa dapetin keputusan terbaik buat hidup lo berikutnya, anchor... bias nah bias kognitif ini tuh bikin kita cenderung menilai sesuatu berdasarkan sesuatu yang lain yang udah ada di memori kita sebelumnya sesuatu yang lain itu menjadi anchor gitu menjadi kayak reference point yang membuat ketika kita tahu sesuatu yang baru ini kita tuh nggak netral lagi ngelihatnya tapi udah terlanjur menilai berdasarkan apa yang udah ada di memori kita ini sebelumnya.
Gitu. BIAS ini sangat sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Siapa mereka? Orang-orang marketing. Intro Tadi kan ini udah jelasin bahwa kognitif bias ini banyak terjadi di orang-orang Intro Sehingga membuat orang-orang menjadi tidak rasional.
Nah, karena orang-orang tidak rasional ini adalah customer di market, itulah yang membuat sebuah statement yang kita kenal bahwa market itu irasional. Ketidak rasionalnya market, inilah yang dipakai oleh orang-orang yang punya kepentingan. untuk membuat strategi-strategi marketing berdasarkan cognitive bias ini. Nah, gue akan kasih contoh berserta studi kasus beberapa cognitive bias yang sering banget diutilize sama orang marketing.
Ini pengetahuan yang perlu banget lo tau untuk di dua sisi ini. Ketika lo menjadi customer, lo akan menjadi customer yang bisa smart dalam mengambil decision. Tapi ketika lo jadi orang marketing, lo bisa tau gimana cara utilize strategi marketing berdasarkan cognitive bias. Contoh tadi yang terakhir yang kakaknya sebutkan, Itu adalah anchoring bias Kita contohin misalkan kita masuk ke sebuah coffee chain. Sebuah coffee chain, coffee yang mahal, let's say.
Nggak usah gue sebut nama brand-nya. Let's say kita sebut nama brand-nya brand X gitu ya. Si brand X ini udah biasa menjual kopi dengan harga, let's say harga kopinya adalah Rp60.000. Ketika harga kopi Rp60.000 ini, kalau gue baca-baca Google, gue ngeliat bahwa harga produksi kopi itu kira-kira ya Rp20.000 lah. Nah, ketika si...
si brand X ini memutuskan untuk menjual teh, contohnya, biasanya teh yang dia jual itu, let's say harganya adalah tidak jauh-jauh dari harga bestsellernya mereka. 50 ribu. Sementara harga teh itu jauh lebih murah daripada harga produksi kopi.
Contoh kita ambil 5 ribu ya. Sebenarnya kalau dipikirin secara rasional, ini kan tidak rasional ya. Karena, let's say untuk kopi, Kalau kita ngomongin dari sisi margin aja Ini kan marginnya cuma 3 kali Sementara yang ini marginnya 10 kali Jadi apakah brand ini mengambil keuntungan semata doang?
Sebenarnya enggak Di dalam Cognitive Bias Anchor Itu kita belajar satu hal yang namanya brand positioning Di sini kita bisa formulasikan sebagai yang namanya Average Order Value Atau AOV Oke, ketika sebuah brand mempunyai average order value, yang contohnya kita ambil average order value-nya adalah Rp60.000 tadi, karena dia jualan produk kopi yang harganya Rp60.000 itu best seller dia, makanya average order value-nya atau rata-rata pembelanjaan. orang itu adalah 60 ribu. Maka ketika dia mau membuat sebuah produk lain, itu dia nggak boleh terlalu jauh marginnya dari 60 ribu ini. Sehingga, seandainya kita balik ke sini, kalau misalkan dia menyamakan market marginnya, yaitu teh dia jual dengan harga 15 ribu, maka ini malah jadi lebih jauh. Berapa?
35 ribu. Sehingga biasanya justru malah ini jadi nggak laku. Justru, ketidakrasionalan market berkata bahwa ketika ini lebih mahal, malah jadi lebih laku. Dan ini hal yang proven, bahkan lebih gilanya lagi. Teori ini berkata bahwa ketika si brand X ini memutuskan untuk menjual harga teh ini lebih mahal daripada harga kopi, selama itu tidak terlalu jauh dari average order value-nya, si teh ini malah bisa jadi lebih laku.
Strategi ini paling famous dipakai sama salah satu brand dari Amerika yang kita kenal dengan nama Supreme. Gue akan kasih contoh. Yang pertama kali dilakukan, itu adalah dia ngelakuin market research terhadap berapa banyak demand dia yang ada. ada di market, gitu.
Let's say kita ambil sebuah number 100, ini adalah D1, atau demand-nya dia pertama kali. Ketika lo sebuah perusahaan, maka yang lo inginkan adalah lo pengen dapetin profit atau penjualan sebanyak-banyaknya dong. Tapi apa yang lo lakukan ketika lo tidak bisa menambah demand-nya?
Yes, you limit the supply. So, apa yang Supreme lakukan? Adalah, dia tidak memberikan 100-nya ini semua supply produknya mereka.
Dia melimit supply-nya, sehingga let's say dia cuma ngasih sekitar 40% aja nih. Ini let's say kita ambil sebagai 40 S1 atau supply 1. Apa yang terjadi di market? Bayangkan ketika lo adalah seorang calon customer, lo adalah seorang calon pembeli. Lo udah ngumpulin uang, lo pengen satu barang, terus kemudian lo udah bisa beli nih, tapi terus kemudian lo nggak bisa beli karena stoknya nggak ada. Nah lo, ini adalah korban dari sini.
Gue sebut sebagai, let's say kita sebut sebagai 60%-nya. Kita sebut sebagai Z1 ya, yaitu orang-orang yang stuck di fase demand. Orang-orang kayak gini, yang mereka lakukan adalah mereka berisik.
Mereka nggak seneng, mereka nggak puas, karena mereka nggak bisa dapetin apa yang mereka mau. Padahal duitnya udah ada nih. Mereka udah bisa beli, tapi stoknya nggak ada. Nah, ketika mereka berisik, apa itu? Di marketing itu disebut sebagai Word of Mouth.
Yaitu, activity marketing yang paling powerful. Kenapa paling powerful? Karena Bayangin aja ketika orang-orang terdekat lo ngomong tentang satu brand.
Misalnya, ada orang yang ngomong sama gue, Ki, lo kayaknya harus ganti parfum deh. Gue akan dengerin dia. That's word of mouth. Sehingga, teorinya, these people akan membawa demand-demand baru.
Dan dia akan mensupply, tadinya cuma 60 nih. Mungkin mereka bisa cerita ke dua orang, cerita ke temannya satu orang, sehingga 60 ini bertambah. Ada tambahan demand lagi.
Demand 2. Yang jumlahnya jauh lebih besar daripada demand 1. Sehingga demand 2-nya jadi segini. Lebih besar daripada demand 1. Dan ini dilakukan aja terus-menerus, terus-menerus. Sehingga, theoretically, lo bisa punya brand yang punya unlimited demand. This is the dangerous of salah satu cognitive bias yang kita sebut sebagai...
scarcity bias. Nah, yang ketiga, gue yakin banget ini banyak banget korban, karena gue juga salah satu korban yang termakan karena adanya kognitif bias yang ketiga yang akan gue jelaskan. Apa itu? Kita sebut sebagai social proof bias.
Mungkin secara konvensional, ini strategi lama lah. Ketika sebuah brand mau mendapatkan social proof, itu biasanya apa yang dilakukan? Dia meng-hire brand ambassador. Yaitu artis atau aktor terkenal atau selebritis atau influencer yang kemudian menjadi face of the brand-nya.
Sehingga orang-orang merasa bahwa brand ini trustworthy karena artis atau idola yang mereka kenal itu pakai brand ini. Itu adalah salah satu social proof yang konvensional. Tapi lately, social proof bias ini dipakai dengan cara yang jauh lebih sistemik, yang kita kenal sebagai influencer marketing.
Gue sering cerita ini dengan nama... Cerita si Budii Gue kasih contoh analoginya ya Kita tau ketika kita lagi bersosialisasi Kita punya temen segala macem Itu biasanya kita itu ada Di dalam satu bubble-bubble sosial Tertentu Biasanya kita ngebutnya dengan nama Circle Let's say ada di satu circle dimana di dalam sini Adalah Budii Budii ini adalah seorang anak kuliahan lah ya Yang dia punya teman-teman kuliah dan sehari-hari aktifnya cuma kuliah doang Let's say bahkan Budii ini gak pernah datang ke konser sama sekali Gimana bisa si social proof bias mengubah Budii dari yang gak pernah datang ke konser jadi pengen datang ke konser Kita ambil contoh ya Let's say Budii pagi-pagi ketika dia bangun di kosannya Itu kemudian ada temen kosan dia yang dateng terus ngetok Namanya misalkan Andi ya Andi nih dateng terus kemudian ngetok kamarnya Budii Terus dia bilang Budi, lo gak mau nonton konser X hari ini? Mungkin pada saat itu Budii akan respon si Andi dengan cara Siapaan tuh? Gue gak pernah denger Siapa tuh X? Siapa tuh band X?
Gue gak tau Dan gue juga gak pernah nonton konser Kayak gitu kan Tapi, let's say aja ketika Pas di Budii masuk ke kelas, terus temen sebelah kelasnya, let's say namanya Chandra gitu ya. Chandra datang ke Budii, terus kemudian dia bilang, Budi, lo ikutan nggak nanti konser Ben X? At that moment, it will drive Budii crazy.
Karena dia ngerasa semua orang di sekitarnya itu ngomongin tentang si Ben X. Dan cuma dia yang nggak tahu tentang Ben X. Dan ketika sore-sore... Doni ngajak Budii untuk nonton konser band X Si Budii pasti akan ikutan Ini adalah contoh gimana social proof terjadi secara sistemik Padahal circle-nya ini terbatas cuma circle kecilnya doang Belum tentu orang-orang di luar circle-nya Budii itu tahu band X itu apa Sehingga social proof ini sering banget dipakai oleh brand-brand Dengan mendapatkan community-community atau audience-audience yang setipe untuk menjadikan kesannya brandnya itu viral atau kesannya brandnya itu diomongin padahal hanya ada di sirkel-sirkel kecil tertentu aja. Berikut adalah tadi contoh beberapa kognitif bias yang dipakai oleh orang-orang marketing dan orang-orang yang berbisnis untuk mengutilisasi marketnya mereka dengan strategi-strategi yang relevan dengan kognitif bias itu. Kalau lo dari sisi marketing, Lo bisa pakai nih langsung, teman-teman UMKM misalnya, lo bisa pakai strategi ini untuk bisa ngembangin bisnis lo. Tapi, kalau lo di sisi customer, ini bisa ngebuat lo lebih aware.
Sehingga lo harus ngeliat-liat nih, value-value lain yang mungkin bisa lebih bikin decision lo lebih smart. Yaitu contoh misalnya lo ngeliat kualitas produknya, lo ngeliat value dari brandnya, dan lain sebagainya. Supaya lo bisa jadi smart customer.
Ki, ini mau beli ini deh. Ini yang kemarin dipakai sama Taylor Swift nih. Taylor Swift?
Iya, Taylor Swift. Ada versi cowoknya nggak? Nggak tau lagi, Taryat ya.