Teman-teman, kita bertemu lagi di modul 4, unit 2, yang akan membahas terkait dengan bias dan confounding. Ada 4 topik pembelajaran yang akan kita diskusikan. Yang pertama adalah terkait dengan definisi bias dan confounding beserta ilustrasinya.
Yang kedua, apakah bedanya antara bias dan confounding. Yang ketiga adalah bagaimana kita mengidentifikasi bias dan bagaimana meminimalkannya. Dan yang terakhir adalah bagaimana kita mengidentifikasi confounding dan cara untuk mengendalikannya. Dari kuliah yang sebelumnya, kita tahu bahwa aplikasi epidemiologi paling dasar adalah mencari kausalitas.
Hasil dari riset yang kita lakukan akan kita inferensialkan atau kita generalisasi. Dan syarat untuk melakukan inferensi adalah studi kita harus memenuhi validitas internal. Dan bias dan confounding ini menyumbang validitas internal. Bias didefinisikan sebagai adanya tren sistematis di dalam pengumpulan data, analisis, atau interpretasi yang mengarahkan pada kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang sesungguhnya.
Secara sederhana, bias adalah kesalahan sistematis dalam memiliki partisipan atau dari cara data dikumpulkan. Sebagai ilustrasi, di dalam lingkaran biru ada lingkaran kelombol berwarna hijau dan ada lingkaran kelombol berwarna merah. Dan lingkaran hijau?
menunjukkan sebetulnya adalah kesimpulan yang sesungguhnya berada di titik tersebut, tetapi karena ada kesalahan sistematis, sehingga kesimpulan yang didapat adalah yang berada di gerombol berwarna merah. Kata kunci di dalam bias adalah sistematis. Terdapat dua kategori besar bias, yaitu bias seleksi dan bias informasi. Sedangkan untuk confounding, di beberapa literatur, ada yang menyebutkan bahwa confounding termasuk di dalam bias, dan ada yang membedakannya.
Pia seleksi terjadi karena adanya kesalahan atau error dalam memilih partisipan studi. Konsekuensinya, hubungan antara paparan dan penyakit menjadi berbeda antara mereka yang ikut serta dalam penelitian dengan mereka yang potensial memenuhi syarat untuk berpartisipasi. Sebagai ilustrasi, ada suatu penelitian yang ingin mengukur tinggi badan penduduk suatu negara.
Tetapi penelitinya hanya mengambil pemain basket sebagai partisipan penelitian, sehingga hasil tinggi badan cenderung tinggi dan tidak merepresentasikan tinggi badan penduduk yang sesungguh. Berikutnya, saya ingin menilustrasikan pihak seleksi. Ada suatu studi kasus kontrol yang ingin melihat hubungan antara kejadian kanker kolon dengan kebiasaan makan daging merah.
Di skenario pertama, orang dengan kanker kolon mempunyai kebiasaan makan daging merah. mempunyai kesempatan 60% untuk masuk dalam studi. Sedangkan orang tanpa kanker kolon, kesempatannya adalah 40%. Secara jelas, status penyakit berhubungan dengan inklusi sampel.
Tetapi, masing-masing individu memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih, terlepas dari status mereka punya kebiasaan makan daging merah atau tidak. Tetapi, hal ini hanya terjadi pada kategori outcome saja atau penyakit saja. Di kasus ini, bias seleksi. tidak terjadi.
Di skenario 2, individu yang mempunyai kebiasaan makan daging merah mempunyai kecenderungan lebih sedikit untuk masuk di dalam penelitian dibandingkan mereka yang tidak mempunyai kebiasaan makan daging merah, karena rekrutmen strateginya adalah menempatkan poster di toko vegetarian. Pada skenario ini, kesempatan masuk dalam studi berhubungan dengan paparan, tetapi tidak dengan outcome-nya. Pada kasus ini, bias tidak terjadi. Nah, pada kondisi apa bias seleksi terjadi? Kita akan lanjut ke berikutnya.
Di skenario yang ketiga, 60% orang dengan CA colon mau berpartisipasi, terlepas dari status diet mereka. Pada kelompok tanpa CA colon, 50% yang punya kebiasaan makan daging merah mau berpartisipasi, dan 40% yang tidak punya kebiasaan makan daging merah mau berpartisipasi. Di skenario ini, partisipasi dalam studi berhubungan dengan kategori paparan dan outcome, dan pada kasus seperti inilah, bias seleksi terjadi. Terdapat banyak variasi dalam bias seleksi, dan beberapa mempunyai nama yang spesial, tetapi pada prinsipnya, konsepnya adalah sama. Saya tidak akan membahas satu persatu, saya hanya akan mengambil salah satu di antaranya yaitu bias non-response.
Untuk yang selebihnya, Anda bisa membacanya di literatur. Contoh bias non-response, ini adalah skenario ideal. Ada suatu studi yang melihat hubungan antara paparan rokok dengan risiko disfungsi ginjal dalam kurun waktu 10 tahun.
Hasil studi menunjukkan bahwa pada kelompok berokok memiliki risiko 2x lipat lebih tinggi untuk mengalami risiko disfungsi ginjal dibandingkan pada kelompok non-berokok. Dengan studi yang sama, skenario keduanya adalah Ada 20% perokok dengan hipertensi berat menolak berpartisipasi. Hipertensi berat berkaitan dengan kejadian disfungsi ginjal. Di sini non-respon terkait dengan paparan dan non-respon juga terkait dengan outcome. Di tabel bisa kita lihat jumlah perokok yang ikut dalam penelitian adalah 800 orang.
Sebelumnya adalah 1000 orang. Dan individu dengan disfungsi ginjal pada akhir studi sebanyak 60 orang, yang di tabel sebelumnya adalah 100 orang. Dari perhitungan RR kita lihat risikonya menjadi turun menjadi 1.5 dari yang sebelumnya adalah 2. Dan ini adalah konsekuensi dari terjadinya bias non-response.
Kita akan lanjut ke bias yang kedua yaitu bias informasi atau sering disebut sebagai bias observasi atau bias pengukuran. Bias informasi terjadi ketika pengumpulan data. Tipe penting dalam bias informasi adalah bias misklasifikasi atau kesalahan klasifikasi. Bias misklasifikasi terjadi ketika deteksi status paparan dan atau penilaian penyakit mengalami pembiasan. Contoh, orang yang memiliki paparan dan memiliki penyakit diklasifikasikan sebagai non-paparan atau non-penyakit atau sebaliknya.
Dalam praktek klinis, sumber umum terjadinya misklasifikasi adalah ketidakakuratan tes diagnosis. Mis-klasifikasi bisa diferensial atau non-diferensial. Jadi dalam bias informasi terdapat dua kategori penting, non-diferensial mis-klasifikasi dan diferensial mis-klasifikasi.
Dua hal ini yang akan kita diskusikan pada sesi kali ini. Sama seperti halnya bias seleksi, di bias informasi ada juga beberapa variasi nama. Ada recall bias, interviewer bias, Houghton Effect atau Clever Hand. Tetapi di sini saya tidak akan mendiskusikannya secara detail, teman-teman bisa membacanya di literatur.
Pada studi klinis, akurasi hubungan paparan dan penyakit tergantung pada alat diagnostik yang digunakan untuk menilai keberadaan paparan atau untuk menetapkan keberadaan penyakit. Di sini kita akan mencontohkan dengan fokus klasifikasi untuk penilaian paparan. Pada biasis misklasifikasi yang non-diferensial, performa alat tes untuk penilaian paparan adalah sama antara kasus dan kontrol.
Dijontohkan studi kasus kontrol untuk melihat hubungan antara kandidiasis esophageal dengan kejadian AIDS. Di sini, paparan adalah kandidiasis esophageal. Di skenario yang pertama, penetapan kandidiasis esophagus ditetapkan dengan biopsi yang merupakan standar baku emas. Di skenario yang kedua, Penetapan kanidiasis esophagus ditetapkan dengan questionnaire self-reported. Tabel kiri bawah menunjukkan skenario yang pertama.
Hasilnya adalah menunjukkan OR sebesar 8,4. Di skenario yang kedua, yang dengan menggunakan questionnaire yang diisi sendiri untuk menetapkan paparan, kita lihat hasil perhitungan OR menjadi 1,1. Dan inilah contoh dari OR yang bias.
Kita lihat di tabel kanan bawah. Performa ala tes untuk misklasifikasi adalah sama di kelompok kasus dan kelompok kontrol, dan inilah yang disebut sebagai misklasifikasi yang non-diferensial. Dengan status paparan dua kategori, iya tidak atau terpapar tidak terpapar, misklasifikasi non-diferensial selalu berdampak pada OR yang mengarah ke nilai 1. Masih menggunakan studi kasus yang sama, di sini kita akan menunjukkan misklasifikasi yang diferensial. Kita akan fokus pada tabel kanan bawah yang menunjukkan bahwa performa alat tes untuk melakukan misklasifikasi pada kelompok kasus dan kontrol adalah berbeda.
Pada skenario ini, OR yang dihasilkan adalah jauh lebih rendah, yaitu 0,3, dan ini adalah OR yang bias. Pada contoh ini, misklasifikasi diferensial menyebabkan underestimasi dari kekuatan hubungan antara paparan dan penyakit. Pada slide ini ditunjukkan bias yang mungkin terjadi pada studi epidemiologi observasional, serta seberapa besar kemungkinan bias tersebut bisa terjadi.
Kalau kita lihat di setiap desain studi tidak ada yang terlepas dari ancaman bias. Teman-teman, bias dapat terjadi pada setiap tahapan penelitian. Mulai dari mendesain, mengumpulkan datanya, bahkan sampai dengan keinterpretasinya. Bias tidak bisa dihindari, tetapi bias dapat diminimalkan.
Sebagai contoh, untuk meminimalkan bias seleksi, Kita akan memilih kelompok pembanding yang memiliki risiko yang sama dengan kelompok kontrol, meminimalkan jumlah non-respon, menggunakan prosedur yang sama untuk diagnosis, menetapkan dan menggunakan kriteria seleksi yang sama selama studi. Sedangkan pada bias informasi, kita bisa meminimalkannya dengan cara antara lain, menjaga objektivitas peneliti dan partisipan penelitian selama penelitian dilakukan, melakukan pelatihan, memilih alat yang standar dan melakukan kalibrasi alat ukur. Terakhir, teman-teman bisa membaca lebih lanjut dari publikasi TripBP terkait dengan bias seleksi dan bias informasi untuk memperdalam lagi terkait dengan bias.
Anda juga bisa membacanya di buku teks epidemiologi untuk kesehatan masyarakat.