Transcript for:
Sejarah Dinasti Sailendra dan Sanjaya

Ada suatu masa di Tanah Jawa saat candi-candi terakbar dibangun dan toleransi umat beragama mencapai salah satu wujud terbaiknya Pada tahun 840 Masehi di bumi Mataram Kuno seorang ratu menyatukan dua wangsa besar dan menghadiahi kita candi Borobudur, candi Prambanan, serta candi-candi monumental lainnya. Sekarang kita di sini di Jawa Tengah Indonesia. Kira-kira bersamaan dengan naiknya Pramodawardani sebagai permasyuri kerajaan Medan, bangsa Viking dari Norwegia merebut Dublin dan menerikan kerajaan Nordik di Irlandia. Yuk kita ke sana!

Demi kenyamanan menonton video kami, tekan tombol ini untuk memunculkan subtitle dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Agar tak ada informasi yang Anda lewatkan, silakan menonton video ini tanpa di-skip. Pada hari itu, sebuah berita menggegerkan seisi istana. Maharaja Samaratungga, yang telah memerintah selama 43 tahun, memutuskan mundur dari jabatannya. Raja Kelima Medang itu menunjuk putrinya, Pramoda Wardhani, sebagai pewaris takta.

Keputusan itu menyulut pergolakan besar karena ada seorang yang tidak terima dan merasa dirinya lebih berhak atas takta Samaratungga. Bala Putra Dewa, saudara Pramoda Wardhani, menderapkan pasukan untuk membangun benteng pertahanan di atas bukit, siap melancarkan pemberontakan. Tak lama kemudian, pecahlah perang saudara untuk memperbutkan takhtak kerajaan terbesar di Jawa di Wipa pada masa itu antara Bala Putra Dewa dengan Pramoda Wardhani yang dibantu suaminya Rakai Pikatan. Perang itu berujung dengan kekalahan Bala Putra Dewa dan ia pun menyingkir ke Sumatera untuk menjadi Raja Sriwijaya. adalah Dekas Paris yang mengembangkan teori populer yang kita simak dalam kisah tadi Menurut analisisnya, Samara Grawira yakni ayah dari Bala Putra Dewa adalah orang yang sama dengan Samara Tungga, ayah dari Pramodawardani Sehingga, Bala Putra Dewa dan Pramodawardani adalah saudara dan sama-sama berhak menjadi pewaris takta medan Perang saudara dalam kisah tadi didasarkan pada prasasti Wantil yang merekam peperangan antara rakai pikatan dengan pemberontak yang bersembunyi di benteng dari timbunan batu.

Nah, dalam prasasti tersebut ditemukan istilah Walaputra yang menurut Dekas Paris adalah nama lain dari Balaputra Dewa. Diperkirakan juga bahwa di situs Ratu Bokoah, perang tersebut berkecamuk. Namun, teori itu dibantah oleh sejarawan Indonesia. Dalam prasasti Kayu Mungan, Selamut Mulyana mendapati bahwa Pramoda Wardhani adalah anak tunggal Samara Tungga. Jadi, Samara Grawira bukanlah Samara Tungga.

Justru lebih pas jika Samara Grawira adalah ayah Samara Tungga, yakni Raja Keempat Medang yang bergelar Rakai Waraku. Bisa jadi Putra Sulung Samara Grawira adalah Samara Tunggah, sedangkan Bala Putra Dewa Putra Bungsunya. Jadi, Bala Putra Dewa bukan saudara Pramodawardani, melainkan pamannya. Selain itu, Bukhari juga menemukan sejumlah prasasi di sekitar situs Ratu Boko, tapi bukan atas nama Bala Putra Dewa, melainkan Rakai Walaing. Ia mengaku sebagai keturunan Sanjaya, pendiri kerajaan Medan.

Jadi, musuh yang Rakai Pikatan perangi dalam prasasti Wantil bukanlah Bala Putra Dewa, melainkan Rakai Walaing. Istilah Wala Putra dalam prasasti tersebut juga tidak menunjuk pada Bala Putra Dewa, tetapi pada sang anak Bungsu alias Rakai Kayuwangi, putra Bungsu Rakai Pikatan yang sukses menumpas musuh ayahnya. Maka teori Dekas Paris bahwa Bala Putra Dewa menyingkir ke Sumatera karena terdesak oleh rakai pikatan mungkin keliru.

Bisa jadi Bala Putra Dewa meninggalkan Jawa karena sejak awal ia memang tidak berhak atas takta Jawa. Nah, pada masa itu dipercaya wangsa Sailendra memiliki pengaruh yang kuat atas pulau Jawa dan Sumatera. Sebagaimana terekam dalam prasasti Ligor tentang Maha Raja Wisnu, seorang raja dari wangsa Sailendra yang dijuluki pembunuh musuh-musuh.

Ada yang menduga bahwa pada masa itu telah terjalin aliansi yang erat antara dinasti Sailendra dengan Sriwijaya. Namun ada juga yang berpandangan bahwa pada masa itu dinasti Sailendra telah berhasil menaklukkan Sriwijaya. Yang pasti, sebagai anggota wangsa Sailendra Balaputra Dewa pun menjadi Raja Sriwijaya pada tahun 860 Masehi, sebagaimana Samaratungga telah menjadi Raja di Tanah Jawa.

Terus ikuti ya teman-teman, kita akan mengupas sepak terjang Pramoda Wardhani yang menikah dengan rakai pikatan dan membawa Mataram Kuno ke puncak toleransi, serta mewariskan candi-candi kebanggaan Indonesia. Jangan lupa untuk like, share, and subscribe. Tindakan yang mudah bagi Anda, namun sangat mendukung pekerjaan kami, mengembangkan kanal yang akan akan memperkaya perspektif Anda. Terlepas dari teori manakah yang benar seputar relasi diantara Samara Tungga, Pramoda Wardhani dan Bala Putra Dewa, sejarah mencatat dengan tegas bahwa Pramoda Wardhani, Sang Putri Mahkota telah dipersunting oleh Rakai Pikatan.

Pernikahan inilah yang kemudian menghadirkan perubahan-perubahan besar dalam era Medan di Jawa Tengah yang masih bisa dirasakan hingga hari ini. Hai uniknya pasangan ini berasal dari dua dinasti beda agama yang bersaing di Jawa pada masa itu Pramodawardhani Putri mahkota dari wangsa Sailendra adalah penganut Buddha Mahayana sedangkan rakai adalah pangeran dari wangsa Sanjaya yang memeluk Hindu Siwah. Sanjaya sendiri, yakni pendiri Kerajaan Medang atau Mataram Kuno, adalah Cicit Ratusima dari Kalingga, yang supremasi hukumnya telah kami bahas dalam episode pertama seri Perempuan Nusantara yang dapat Anda lihat pada link di atas atau di deskripsi. Maka tidak mengherankan bila perkawinan Pramodawar Dhani dengan Rakai Pikatan digadang-gadang sebagai momen penyatuan dua wangsa tersebut. Nikahan pasangan ini juga membawa beberapa implikasi lainnya.

Pertama, meski sejatinya Pramuda Wardhani adalah penerus takhta, ia menyerahkan haknya kepada sang suami. Dan, sebagaimana tercatat dalam Prasasti Mantiasi, Rakai Pikatan menjadi Raja ke-6 Kerajaan Medan dengan gelar Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpumanuku. Sedangkan Pramuda Wardhani menjadi Permasyuri, ia mendampingi suaminya dalam memerintah. Kedua, pernikahan Pramodawardani dan Rakai Pikatan dikaruniai dua putra yakni Rakai Gurunwangi Diyah Saladu dan Rakai Kayuwangi Diyah Lokapala Si Bungsu Rakai Kayuwangi lalu dinobatkan sebagai Raja berikutnya karena jasanya menumpas pemberontak dalam perang di awal video ini Ketiga, pernikahan Pramoda Wardhani dan Rakaifikatan yang berbeda agama semakin menyuburkan toleransi beragama antara pemeluk Hindu dan Buddha pada masa itu. Di awal abad ke-7, agama Buddha lebih dominan di tanah Jawa Terlihat dari megahnya Candi Borobudur di Magelang yang dibangun pada era Samaratungga dan diresmikan oleh Pramoda Wardani pada tahun 824 Masehi Namun, Pramodawardhani mengizinkan sang suami untuk membangun candi-candi Hindu di wilayah kekuasaan mereka.

Salah satu yang terakbar berdasarkan ciri-ciri dalam prasastisi warga adalah Candi Prambanan. Rakai Pikatanlah yang mendirikan Candi Siwa, bangunan utama di Kompleks Candi Prambanan. Sedangkan candi-candi lainnya dibangun oleh raja-raja sesudahnya. Jadi agak mirip ya dengan Candi Penataran, kompleks candi terbesar di Jawa Timur yang dibangun oleh lima raja.

Untuk bahasan mengenai Candi Penataran dan misteri arca penangkal musibah yang tersembunyi di sana, klik tautan di atas atau cek di deskripsi. Raka Epikatan pun turut membantu mendirikan Candi-Candi Buddha, termasuk yang paling terkenal Kompleks Candi Pelawasan di dekat Prambanan. tepatnya di perbatasan antara Yogyakarta dan Kabupaten Klaten. Kompleks Candi Pelausan yang dibangun pada tahun 842 Masehi terdiri atas dua candi, yakni Candi Pelausan Lor dan Candi Pelausan Kidul, dengan gaya arsitektur yang memadukan corak Buddha dan Hindu.

Bahkan diduga candi-candi di pelausan ini didirikan secara gotong royong antara para penganut Buddha dengan para penganut Hindu. Betapa kompak dan damai ya! Hubungan antara dua pemeluk agama itu di bawah naungan Pramodawardhani, Sang Ratu Mataram Kuno. Namun, tentu...

Tidak ada gading yang tak retak, terutama saat kita membahas kerajaan Nusantara dan intrik-intrik politik yang mungkin ikut bermain di dalamnya. Ada sebagian pihak yang curiga bahwa Rakyat Pikatan mungkin memiliki agenda tersengunyi saat menikahi Pramodawardhani. bahwa ia sesungguhnya berniat menumpas kekuatan dinasti Sailendra dan memperluas pengaruh wangsa Sanjaya. Salah satunya dengan memindahkan pusat pemerintahan yang semula di Mataram ke Mamrati di Kedudekat Temanggung. Ada pula sejarawan yang menganggap perambanan sengaja dibangunnya untuk menandingi Borobudur, sekaligus sebagai monumen yang merayakan bangkitnya kembali dinasti Sanjaya.

Kapan tepatnya Pramodawardhani tutup usia belum diketahui secara pasti Namun, Prasastiwantil mencatat bahwa Rakai Pikatan turun takhta dan menjadi Brahmana pada tahun 856 Masehi Selepas era Pramodawardhani dan Rakai Pikatan, Kerajaan Medang diwarnai banyak pemberontakan Dan 73 tahun setelah Rakai Pikatan turun takhta, era Kerajaan Medang di Jawa Tengah pun berakhir berakhir ketika dia wawah digantikan sang menantu Mpu Sindok yang lantaran amukan dasyat gunung Merapi lalu memindah pusat kerajaan Medan ke Jawa Timur pemindahan kekuasaan politik ini juga turut diabadikan secara simbolis dalam kisah pemindahan Gunung Mahameru pada kitab Tantu Pagelaran yang anda dapat simak pada tautan di atas atau link di deskripsi Mpu Sindok pun mendeklarasikan berdirinya dinasti baru bernama Isyana yang menutup riwayat wangsa Sanjaya dan Sailendra di Jawa Tengah sekaligus menggelar babak baru dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur hingga ke era Majapahit. Lepas dari vali tidaknya berbagai kecurigaan mengenai motif rakai pikatan dalam pernikahannya dengan Pramoda Wardhani Tak bisa dipungkiri bahwa pernikahan mereka meninggalkan warisan yang berharga bagi kita di masa kini Ada monumen-monumen megah yang menjadi kebanggaan Indonesia Seperti Candi Borobudur, Prambanan, Plausan dan lain sebagainya Ada pula teladan toleransi yang kokoh antar pemeluk agama Hindu dan Buddha pada masa itu, yang seolah tersimbolkan juga dalam pernikahan Pramodawardhani dengan Rakai Pikatan. Bahkan, bisa dibilang Pramodawardhani adalah ratu pertama dalam sejarah Indonesia yang menikah lintas agama. Hampir empat abad kemudian, barulah Kitab Pararaton mengenalkan kita pada Kendedes.

seorang perempuan penganut Buddha yang dipersunting oleh Ken Arok, Raja Singasari penganut Hindu Siwa. Mungkin penyatuan itulah awal mula dari sinkretisme Hindu Siwa dan Buddha, sebuah tema yang sangat kental dalam candi-candi era Singosari hingga ke masa Majapahit. Misalnya di Candi Jawi, yang bahasan lengkapnya bisa Anda temukan pada tautan di atas atau di deskripsi video ini. Dalam penyatuan Ken Arok dan Ken Dedes, kepercayaan Hindu Siwa dan Buddha melebur serta membentuk sintesa yang baru. Namun, dalam penyatuan Pramodawardhani dengan Rakai Pikatan, kepercayaan Hindu Siwa dan Buddha tetap pada bentuk aslinya.

Mereka tidak perlu berubah, juga tidak perlu melebur. Namun... Keduanya diikat dan disatukan oleh sikap saling menghargai antara satu dengan yang lain, serta gotong royong yang guyup, semata-mata demi merayakan perbedaan itu sendiri. Dan mungkin, mungkin saja, inilah bentuk toleransi yang paling tepat untuk kita tumbuhkan di negeri ini. Mulai hari ini dan mulai dari diri masing-masing Demi Indonesia yang jaya dan kebaikan bagi semua