Terima kasih. Saya lahir di Malang, tanggalnya 1 September 1971, anak kelima dari enam saudara. Bapak saya, ibu saya, bapak saya nggak tahu kalau ibu saya masih SD kelas 4. Ditinggal-melinggal, yatim piatu, saya hidup sendirian, ikut dari orang tua satu ke orang tua yang lain.
Kalau orang tua yang saya ikuti itu tidak mau. Nggak setuju saya sekolah, saya pindah. Sampai dengan orang tua saya itu, orang tua angkat, tujuh.
Yang terakhir itu saya sebenarnya bukan ikut beliau, tapi saya kerja, pelihara ternak di situ. Tapi saya bagaimana caranya saya tetap sekolah. Saya masuk tentara tahun 1993. Umur tinggal satu minggu habis.
Karena terlalu lama dicintai guru saya di SD, sembilan tahun. Karena naik sekelas. Ketika melihat ibu saya meninggal itu saya sedih, karena saya terus terang anak orang gak mampu. Ibu saya meninggal itu saya tidak tahu, saya masih SD saya sudah kerja keras. Karena saya gak tahu saudara-saudara saya yang harus menghidupi ibu saya, tapi ibu saya meninggal duluan ketika itu masih SD.
Jadi saya berpikir saya ini mau jadi apa, tapi sering saya itu tidur itu entah di gardu, karena tidur saya terus terang. Di gadu-gadu pos, kadang digubuk-gubuk di sawah-sawah itu. Mimpi, ingin jadi orang terkenal. Orang terkenal itu saya cari. Oh, kalau gitu saya harus sekolah.
Makanya saya sekolah itu dari SD sampai SMA itu bukan jalan lagi, lari. Ada yang 7 kilo sampai 8 kilo menuju sekolah saya. Kadang sampai sekolah itu tidur, ngantuk karena kelelahan. Setiap hari. Bukan karena nggak apa-apa, karena dipaksa keadaan.
Tapi bagaimana caranya sekolah saya waktu itu. Baru saya ingat, waduh kalau saya terus-terusan begini, saya tidak bisa seperti orang-orang lain. Lihat di TV aja, kenapa terobsesi masuk tentara.
Kuburannya aja baris, waduh berarti enak gitu. Tapi saya tidak semudah itu untuk masuk tentara waktu itu. Karena begitu ngurus SKKB, saya sempat bingung. Karena sendirian, sekolah saja terus terang, tanda tangan tuh ada yang cap jempol banyak. Karena setiap ngambil rapot, saya ketemu orang di jalan, saya panggil, Pak, tolong bisa ambil rapot saya.
Oh, saya nggak bisa nulis, leh. Udah, cap jempol. Seperti itu. Tapi ya itulah, karena saya kepingin mengejar itu, sempat saya menjadi pelari terbaik Jawa Timur ketika itu, waktu pelajar. Kok masih belum terkenal?
Oh ya, saya sekolah harus sekolah SMA. Bahkan dulu yang saya pikir, kenapa saya ingin masuk tentara, karena saya satu, kepingin mati saya terhormat. Itu aja tulenya. Saya tidak mau seperti orang tua saya, kalau orang di kampung, orang meninggal, miskin kan sedih pak. Yang lawatnya jarang, karena orang miskin.
Dulu kalau sekarang aja mulai agak ini, walaupun sekarang udah mulai pudar itu rasa gotong royong, toleransi, gak ada. Mulai tahun 1994-1995 sudah di Kopassus. 1994 udah masuk Kopassus.
Mulai dari Pusdik, di grup 1, ya pertama di Batu Jajar pendidikannya. Baru ke penempatan saya di grup 1 Serang. Baru sebentar sana saya dikirim ke Timur-Timur.
Jadi setelah saya masuk tentara itu, saya dulu pendidikan catam itu kabur ya Pak. Karena sedih. Katanya dulu pernah dapat cerita dari tentara katanya enak.
Makan dikasih, apa-apa dikasih, bener dikasih. Tapi habis dikasih makan terus kan suruh jungker-jungker, muntah dan sebagainya. Kayak tersiksa. Ketika itu, saya sempat setelah pendidikan di Diktuk itu bertanya sama pelatih saya Saya kira tentara itu yang paling sengsara disitu aja Ternyata waktu itu ada pelatih saya, Pak apakah ada tentara yang lebih sengsara daripada ini?
Oh ada, kamu kalau mau pengen pendidikan sengsara mungkin mati masuk leh, Kopassus, kata pelatih saya Tapi dulu belum Kopassus, RPKAD atau Kopassus Ketika ada tim werping dari Kopassus, dari 600 orang itu, ditanya siapa yang masuk Kopassus? Dari 600 itu enggak ada yang berani angkat tangan. Karena saya sudah optimis, kepingin lagi, ya kalau memang ada yang sengsara, saya akan ikuti seperti sengsaranya. Saya angkat tangan.
Angkat tangan itu bukannya malah saya sedih. betulnya sama pelatih dari Kopassus waktu itu. Seharusnya kan dari 600 bayangkan, cuma saya angkat tangan. Berarti kan ditepuk-tepuk tangan itu. Cuma dituding, eh prajurit, kamu semeter kotor mau masuk Kopassus, apa kemampuanmu?
Tapi saya gak cipat, berdiri. Siap pelari, perenang, dites lari. Saya lari 12 menit, waktu itu petes masih 3.200 lebih. Itulah. Jadi ceritanya itu saya dulu tidak tahu tentang Epedisi Epres, karena saya waktu itu pulang dari Timur Timur, sedangkan pulang dari Timur Timur saya masih dikursuskan lagi ke Bandung oleh Pak Doni Monardo yang sekarang dan Pak Swampres itu saya disekolahkan lagi untuk mengambil spesialisasi sandi jejak, anti jejak itu setelah pulang dari situ, denger ada seleksi tim Epres katanya Himalaya waktu itu nama keren waktu Himalaya saya itu tidak masuk disitu yang gak tau apa kan seharusnya kan ikut tes itu mulai dari PCQ dan lain sebagainya saya tidak melalui Saya karena dilihat dari waktu saya spesialisasi daki serbu, peringkat saya bagus.
Saya terbaik di pendaki serbu Kopassus. Namanya daki bu, ya itu pendaki serbu Kopassus. Jadi kalau ke timur-timur atau tugas kemana aja bagian di depan, jadi bikin jalur. Nah, itu saya dipilih, Pak.
Baru dipilih, dites, ya bisa melewati kawan-kawan. Makanya masuk menjadi tim Kopassus. Dari Kopassus waktu itu banyak pak, hampir semua yang mempunyai spesialisasi pendaki serbu ikut. Tapi kan danjon-danjon yang menentukan, oh ini yang terbaik dikirim ke Jakarta waktu itu.
Dari seluruh grup yang ada di Kopassus. 96, 96 akhir. Sama sekali, Wak. Tahunya kan Himalaya itu hanya lagu aja. Himalaya puncak gunungnya itu di kampung-kampung kan ada dulu.
Tapi di mana gunungnya nggak tahu, saya. Tahu-tahunya ya waktu ke Saunoi itu, lihat saju, terus terang, teman-teman Kopa Asus itu... main-main, bukan main-main, pakai PDL, lari-lari salju, jatuh, diketawain sama pelatih-pelatih.
Lihat air tejun kok berhenti? Wah, betul-betul, ternyata belum nyampe air tejun udah nyungsup semua, karena tidak menggunakan alat. Suka dukanya mendaki air pres. Pres waktu itu pertama itu suka jelas Pak, karena kan kalau di Kopassus itu kita diberi tugas itu suatu kebanggaan yang luar biasa bagi Kopassus. Karena kalau sudah tugas, ya satu, membawa nama Kopassus, ya kan, antara hidup dan mati.
Lebih baik kan pulang nama daripada WLGugas waktu itu. Jadi mau sedih mau apa, kita jalan terus. Karena kita kan di Kopassus sendiri kan waktu pendidikan kan mental itu utama, pantang menyerah.
Sejarah di Indonesia itu Pak Prabowo sejak berpangkat kapten itu sudah bercita-cita bagaimana caranya bangsa Indonesia itu manusianya dari sekian ratus juta itu harus ada yang bisa nyampe mendaki puncak empres sampai puncak ketika itu. Tapi kalau yang saya tahu baru beliau menjabat sebagai... Dan Kopassus baru ide itu bisa terlaksana.
Dibantu oleh kawan-kawan dari Wanatri, Mapala UI, EPTI, Rakata, dan universitas-universitas yang lain, dan senior-senior dari pendaki Indonesia. Kalau tim yang seleksi banyak, tapi yang berangkat ke Nepal 43 orang, baik militer maupun sipil. Dari militer waktu itu ada 16 orang yang berangkat ke sana.
Semua Kopassus dan tim dari Wanadri, Mapala UI, maupun EPTI dan Rakata. Jadi seleksi itu penentuan mulai optimisnya bahwa ekspedisi mau berhasil itu waktu itu kata Pak Prabowo ketika melihat ya terus terang bukan saya sombong. Saya mendaki Gunung Gede Pangrang itu hanya memerlukan waktu 45 menit. 45 menit saya nyampe, sampai sekarang katanya teman-teman belum ada yang bisa mencari rekor saya disitu.
Perjalanan itu pertama kesana yang jelas kita. Aklimatasi penyesuaian udara dulu suhu di hotel, jadi tiap pagi dibikin. Sirkut training, kalau di sini aerobik.
Jadi, ya waktu itu ya sempat kacau. Pak Iwan sebagai pemudahan tim, termasuk waktu itu Pak Edi Wibowo, kita pagi jam 5 bangun seperti di Jakarta, senam pagi, menggunakan baju aerobik. Lari di Nepal, bukan lari Pak, berantem sama kawan. Karena apa? Kuping ke senggol temen itu kayak dikua.
Oh, pukul kayak apa itu? Ternyata lupa, di sana sudah minus. Jadi kita kedinginan. Akhirnya istirahat dulu, baru pesiar jalan-jalan orientasi di Nepal. Baru pelatih datang, kita dibikin naik turun gunung.
Beda ketinggian seribu tiap hari. Selama hampir satu bulan. Setelah itu diaplikasikan ke gunung Paldor maupun Alempik. Jadi seleksinya di situ.
Seleksi alam, tidak bisa KKN dan sebagainya, Uni Saudara saya, tidak bisa. Ada kawan kemampuannya hanya di ketinggian 4.000, ya sudah di 4.000. Kalau dia-dia paksa, jebol.
Ada teman saya yang dari Ambon itu jalan, katanya mental, kopasus, ayo jalan terus komando. Nambah satu langkah, ya sudah, jatuh. Obatnya cuma satu turun, berarti hanya sampai di situ kemampuannya.
Bangga, Pak. Ternyata tidak hanya dengar di lagu, ternyata es itu pikiran saya dulu, waduh kalau jual sirup di sini udah banyak duit ini, tapi nggak ada yang beli. Tinggal beli sirup, putih semua.
Iya, heran. Itu kebesaran Tuhan, Pak, ternyata luar biasa. Rusia dan Kajasan, ada yang dari Polandia.
Yang Rusia bahasa Inggrisnya setengah-setengah. Yang saya bahasa Inggrisnya juga taunya yes no, jadi setiap hari itu karena sering kumpul, jadi bahasa setan itu jadi bisa nyambung pak. Jadi udah apalah, oh godek ini no, no, udah. Ini udah, ya itu, jalan, tapi jalan.
Seharusnya kan harus kursus bahasa Inggris dulu, akhirnya mengerti juga. Tapi orang Rusia ngomong apa kita juga gak tau, kita ngomong apa juga gak tau, yang penting waktu jalan, jalan. Dulu sejarah pendakian itu dari Camp 1 ke Camp 2. Dari Camp 2 lanjut sampai dengan Camp 3. Ketinggian 6.100. Di Base Camp aja sudah 5.000.
Tapi sebelumnya aplikasinya ke Paldot sama LNP, Pak. Jadi dari situ sekian orang habis, sekian orang habis. Jadi ke Himalaya itu sebetulnya timnya tinggal 16 orang. 10 di selatan, 6-nya di... Utara, dengan harapan Pak Prabowo dulu punya strategi seandainya cuaca dari sini, karena kan sudah membaca kadang dari sini berhasil, dari utara gagal, dari selatan berhasil waktu itu Pak Prabowo membuat dua tim dengan harapan akan menjadi rekor dunia kalau seandainya waktu itu berhasil kedua-duanya dari tim selatan, 10 orang tentaranya 6, sipilnya 4 Tapi karena seleksi tinggal tentaranya saja waktu itu.
Sipilnya mau masuk tapi menjadi cadangan di situ. Karena pelatih dari Rusia itu tidak mau membawa banyak. Karena kan kalau saya lihat katanya di buku-buku cerita itu kan presentasinya kan 100 orang belum tentu bisa kembali dengan selama.
Paling bisa 10% berhasilnya sekian orang atau 1-2 orang. Kita juga kan seperti itu. Dari 43 orang. Tinggal terakhir tiga orang, baru tinggal terakhir yang bisa ngibari merah putih tinggal saya sendiri.
Perjalanan mulai dari awal sampai akhir itu terhitung empat bulan, enam bulan dengan di Indonesia, selesai. Malaysia dua tahun setengah, baru selesai. Kalau mau maksakan ya Pak, karena kalau kan kita sudah tahu keberhasilan itu nggak mungkin semudah membalik telapak tangan. Walaupun dihadang, disuruh apa, saya nggak mau.
Waktu itu bagaimana caranya, saya berusaha merah putih harus berkibar di Puncak Everest. Jam 15.40 di Puncak Everest. Tanggalnya 26 April 1997 Ya, justru bukan menghibarkan Dulu saya sempat janjian sama yang tim utara, saya akan pasang bendera, tim utara harus ambil.
Kalau perlu saya waktu itu bercerita ketika di BISCAM, itu kan ditentukan oleh pelatih. Bahwa yang naik ini, yang naik ini. Saya sempat berkomentar, karena kan saya paling junior, paling muda. Saya janji, yaudah kalau saya diberikan kepercayaan, saya akan gibarkan bendera merah putih dan nyanyi Indonesia Raya di puncak Epres.
Saya akan ikat. Bendera 2 saya minta yang dari utara ngambil. Sempat ada teman-teman itu mengledek, boro-boro di sana mau nyanyi. Kadang itu kalau sudah sampai puncak katanya hiboksia. Itu yang saya nggak habis pikir.
Jangankan hiboksia saya. Berpikir safety aja itu yang saya utamakan. Maka dari situlah saya ketika sampai puncak Epresi sebetulnya saya antara sadar tidak sadar. Kalau di buku pelatih yang The Claim itu dituliskan kan saya sudah.
Seperti zombie, jadi melayang. Tapi yang saya rasakan ketika di Lelai Step itu luar biasa. Dimana saat oksigen sudah habis, pelatih sudah menyatakan turun bahwa ekspedisi kita gagal.
Itu tulnya kita menangis, sedih. Oh mau diapain kita ini pulang ke Pasus? Kan sama dengan lupa semboyan, lebih baik pulang nama daripada bagan sukat.
Kita dulu kan ada istilahnya kalau kita ke Pasus. Melaksanakan tugas, gagal, banyak sanksinya dulu. Sempat saya dengar waktu itu kalau saya gagal, saya harus tidur di kandang sapi.
Di grup satu sudah disiapkan. Iya Pak, seperti itu. Jadi begitu pelatih, terus saya sudah jatuh Pak, jatuh pingsan. Di ketinggian 8.400, tinggal 400 meter lagi.
Tapi 400 meter ketinggian. Masih berbukit-bukit harus melewati yang namanya Hele Step itu kan terkenal dengan zona kematian Tempatnya mayat bergelimpangan disitu Saya itu yang menolong sebagai batu loncatan saya itu sebenarnya ada pendaki terkenal Rob Cole yang tragedi tahun 95 kalau gak salah Itu banyak yang meninggal Saya sempat nangis disitu karena apa? Pelatih No me army, is that no problem?
Jalapan cuma begitu Gak tau kata-kata saya bener atau enggak, gak tau saya bahasa Inggris saya kan Ngaco, pelatih turun, diam. Anatoli maupun semua pelatih termasuk serpanya. Karena Pak Misirin sudah jatuh pingsan, ditinggal. Kan disana orang jatuh, gak ada yang nolong Pak.
Hanya kita sendiri yang nolong. Sedangkan disitu di ketinggian hiri-hiri step itu, saya sudah tiga malam tidak keluar, tidak kemasukan air step-step pun. Tiga hari, tiga malam itu.
Susah masuk air itu. Karena apa? Waktu itu Pak Rohati diperintahkan Pak Prabowo kan ke pameran di Los Angeles. Ada pameran pendaki, alat-alat pendaki, beli yang terbaik. Ternyata itu tidak menjamin.
Saya rebus air, hanya hitungan detik saya mau haus, mau minum, air sudah tidak keluar dari tremos yang terbaik yang dibeli waktu itu. Saya buang daripada beban. Akhirnya saya melihat Rusia itu bawa alat kecil-kecil taruh di ketiaknya ini. Kita minta, nggak dikasih.
Ya gak tau bahasa saya yang salah atau gak apa, gak tau. Akhirnya berjuang sendiri. Nah, saya jatuh pingsan pak. Gak tau sadarnya seperti apa, saya pokoknya tiba-tiba sadar. Sadarnya tuh inget.
Ya itu, bukan ngarang-ngarang. Ingat pesannya pak Prabowo waktu itu. Kalian ke Himalaya itu gunung tidak bisa ditaklukkan. Karena alam.
Jadi, berjiarah ke makam tertinggi di dunia. Bener, saya ketemu mayat disitulah saya inget. Jadi apa yang saya bisa saya baca dari agama Islam saya, saya baca untuk mayat itu.
Kalau bahasa saya mengatakan, jelalah kesannya Allah. Dalam kondisi saya hanya jalan satu menit itu mungkin satu langkah, bisa dua menit, lima menit saya baru bisa berjalan, ngangkat kaki lagi. Selebihnya itu saya jatuh, karena saya sebenarnya mau nolong Pak Iwan.
Pak Iwan sudah terpelosok Pak, menangis Pak. Saya dada doa. Karena kalau saya nolong, pasti saya ketarik. Larinya ke Cina, Pak.
Nggak kelihatan tuh bawahnya itu. Akhirnya nggak tahu caranya seperti apa, Pak Iwan berusaha. Pak Iwan berusaha keluar dari jatuh, saya berusaha menaiki namanya hillary step.
Nggak ada tali-tali mayat yang saya pakai. Tali yang buat gantung mayat yang tadi kan ada jalur dipakai dengan pengaman itu. Begitu dia jatuh... Kepali nyungsep, talinya kan masih tetap lengkap pak dengan alatnya masih utuh Dalam keadaan tenaga Saya yang sudah habis, tapi saya dari tadi berdoa itu sengaja minta kalau memang orang bangsa Indonesia, teman-teman saya di Kopassu mendoakan ya Allah sampaikanlah doa itu kepada kami kami tidak ada keinginan apa-apa, hanya kepingin menghibarkan bendera kebangsaan saya waktu itu saya seperti itu jadi ketika itu, gak tau pak, saya terus terang, ngaji saya gratul-gratul pak ya ah, kelagep-kelagep bahasa Jawa itu Itu namanya kopeng pak, itu suara orang baca Yasin, Adal, Pahlilan, semuanya disini. Jadi itulah seperti saya pakai walkman.
Jadi saya naik itu antara variasi batu dan es, sudah tidak terasa lagi. Makanya pelatih saya bilang saya katanya melayang. Bahkan saya mau nolong Pak Misirin, kemarin saya tanya juga sama Pak Misirin, Pak Misirin ingat bapak waktu itu disana.
Pak Misirin itu sudah ditinggal pak, saya pelatih. Pak Iwan jatuh ditinggal, setelah itu kita sudah di... Sudah, ya itu kebesaran Tuhan. Pak Misirin, ayo naik ke puncak.
Pak Misirin cuma jawabnya dengan, saya sudah nggak bisa lihat anak istri saya. Saya begitu sedih, Pak, sebagai juniornya. Oke, Pak Misirin, saya bukan prajurit pengecut. Bapak tunggu sini, saya dibaring merah putih, saya lari, Pak.
Lari ketemu pendaki serpa namanya apa serpa. Saya tanya, apa serpa? Where is the report?
Dia doding gitu, tapi dia turun. Di situ saya terus marah, saya lari pak. Lari itu terus gak tau mana tanda titik pripot, mana punca.
Saya jatuh pak. Jatuh sudah bisa ngomong-ngomong apa-apa. Cuma bisa Allah, Allah.
Makanya kan orang bilang takbir tertinggi di dunia sudah saya alami pak. Gak bisa ngomong yang lain-lain pak. Cuma saya ingat saya kesini mau apa. Pelatih turun, panggil. Apa?
Saya minta digambar pak. Termasuk pelatih itu ketika saya nyampe baru nyusul pak. Kamera, handycam, tangannya sudah diperban.
Saya kan bawa kamera sendiri, gak bisa pak buka. Saya mau ikat bendera gak bisa, maka tangan tak lepas. Karena saya waktu di mayat itu sudah ditinggal turun. Saya berkeinginan seperti kalau saya turun gagal sudah jelas. Tapi kalau saya naik apa yang terjadi tidak tahu.
Jadi... Kalau pikiran saya kan dipikir sama pelatih, wah kalau naik anak ini sudah pasti mati. Semua saya lengkap, saya lepas. Supaya apa?
Saya tidak diragukan. Saya lepas, ikat bendera dua, pakai sang setriker. Oh saya punya baret, tak cari itu baret. Cuma yang di video kan nggak ada, foto-foto kan jelas itu pada baret.
Karena sudah nggak mampu yang ngamir apa, 10 menit saya pak. Saya nyanyikan Indonesia Raja, apa ada menegri waktu itu. Sambil berdiri, Anatoly sama Baskiro bilang, Asmunjodoh, peri cengres godon. Saya nggak ngerti, Pak. Saya pakai bar itu kebunnya, Pak.
Ya untungnya, kalau orang Jawa kan untung. Saya naik itu ketika jatuh, itu langsung. Namanya pripot, itu aluminium tiga dipasang di sana, tancap ada lampu, katanya kalau malam nyala. Itu langsung saya ikut, Pak.
Jadi saya duduk itu, mau ke peluru itu sudah nyantol di tali. Begitu berdiri sambil... Bawa bendera yang kelihatan di foto di bukunya anda itu. Dan habis dipoto, wangin kencang, Pak.
Saya jatuh, barat saya hilang. Komando selalu, Pak, sambil pegang bendera. Membuat semangat itu sama serpa, sama pelatih. Kalau ditanya, udah bingung. Komando, sudah, jalan kita.
Gak ada, komando itu kalau perlu, mati. Tugas, apalagi misi itu kan misi luar biasa Pak, bukan misi kalau seorang tahu kan, oh ini misi Kopas, bukan Pak, misi merah putih, negara. Saya di buku The Claim juga nggak dicatat, oh Asmujono Kopas bukan, Asmujono RI Republik Indonesia.
Turun itu ketemu Pak Misirin, masih nangis Pak. Karena Pak Misrin sudah sama, apalagi dia bintara, saya tanpa tanpa. Malu kalau gagal, jadi nangis terus.
Pak, ayo turun. Merah putih sudah asmu jono kibarkan. Baru sadar. Angkat turun, ketemu sama sirpa, di bawah turun. Cuma pesen sama saya, as, hati-hati.
Dia hati-hati saya jatuh, Pak. Ya tuh kelempar, gak tau kemana. Serpa, pelate semua, termasuk Pak Misiri nangis nyariin saya, ngeriain kayak saya. Saya sadarnya hanya tidur di batu satu meteran persegi itu, menggunakan alat.
Satu jatuh pingsan langsung disitu. Bangunnya apa? Kayak mimpi didatang orang tua.
Bisa jauh lebih, bangun oleh. Pemang mata sirang kembang, panggung. Saya bangun, bangun. Uh, gak kelihatan tuh pak.
Putih semua. Kalau nggak ada yang nonton, kalau mau besar saya nggak ketemu teman pak. Oh saya jatuh dari atas ke sini, berarti tempat jalan saya di sini. Sejauhnya nggak ada.
Kalau pak Prabowo nggak punya ide namanya emergency camp, itu sudah. Gak ada seperti sekarang ini Pak. Gimana emergensi kem?
Emergensi kem itu dianalisa dari Pak Prabowo, setiap pendaki dari seluruh dunia, kadang sudah berhasil sampai puncak, tapi kenapa kadang tidak sampai ke base camp lagi? Ternyata ya disitulah detik-detiknya. Makanya pendapat pelatih saya waktu itu, ketika kita diperintahkan turun itu tujuannya itu, bahwa orang Indonesia ini masih aja tenaga, lebih baik digunakan untuk turun. Tapi pelatih tidak ingat bahwa diperintahkan turun oleh serpa sudah di ultimatum oleh Pak Prabowo harus membuat emergensi camp di antara heli setep, camp 4 dan puncak. Jadi kita dibikinkan camp, bukan camp sebetulnya.
Kalau yang saya lihat itu, bayangkan hanya lebar 1 meter dilubangin, yang sebetulnya waktu itu adalah disitu dibuatkan tenda dan perlengkapan logistik. Waktu pertama kita dilihat orang, pengalaman sudah meragukan. Mungkin oleh serpa maupun pelatih.
Ah, mana mungkin Indonesia nyampe. Paling banter, Kem 3 ketika itu. Karena bener, begitu di Kem 3 waktu itu, seleksikan, habis kita.
Tinggal saya aja bertiga. Saya, Pak Iwan, Pak Misirin. Dan ada satu orang sipil, tapi... Meragukan menurut pelatih, karena sudah mulai perlengkapan dijatuhkan, jatuh sendiri, setiap dikasih kacamata dijatuhkan. Katanya sudah mulai hipoksia, akhirnya yaudah ditentukan cuma yang dari militer ketika itu.
Jadi ketika dari puncak, itu sebetulnya perjalannya sudah, kita tidak bisa ngomong jalan lagi Pak Sayetan. Sudah kemalaman, satu. Keduanya tenaga sudah tidak ada, Pak. Habis total, Pak.
Saya berdiri itu hanya sebentar sudah jatuh dengan sendirinya. Jadi yang nonton saya turun itu setelahnya lubang. Lubang jejaknya Pak Iwan dan Pak Misirin yang turun duluan. Termasuk siir Pak yang bawah sama dokter.
Saya sudah tau-tau nabrak Pak Misirin. Pelorot, Pak. Sampai di ketinggian 8 ribu. 400-500 ketemu yang namanya sirpa. Di situ sudah disiapkan tenda.
Tenda yang saya diperuntukkan untuk dua orang kita pakai bernama. Di situ Bapak boleh tanya sama Pak Iwan atau Pak Misirin. Kita itu seperti, kalau saya pribadi ingat ketika saya ditinggal mati oleh ibu saya.
Di camp itu kita seperti antara hidup dan mati. Satu oksigen yang dipaparkan, kata sudah disiapkan logistik dan sebagainya, tidak ada Pak. Jadi kita ditinggal, ya untung aja Anatoly Armahum sama pokok orang Rusia CS ini luar biasa menemani kita. Mungkin kalau kita mati, mati juga berenam di situ. Jadi saya cuma satu oksigen, karena saya orangnya hemat.
Pak Misirin oksigen habis, Pak Iwan oksigen habis. Karena kan capek pak, itu kan volume ada 1 sampai 5, diputar, saya pakai 1 pak. Begitu habis, pak Mesir nangis. Udah kejang pak, memandang-nandang gak keluar. Dokter Egeni itu yang berjuang luar biasa di kem, emergensi kem.
Tramper, oksigen, punya saya dilepas, tempelkan. Sadar, saya nangis. Nggak bisa nama, tempel gini.
Sampai pagi, Pak. Pak Iwan juga sama, nangis semua. Udah nyebut nama Tuhan, udah, udah.
Nggak bisa dihitung disitu. Sampai. Tau-tau pagi, Pak. Pagi tuh saya jam 4 itu keluar tenda, buka tenda.
Udah pake, nggak pake oksigen tuh. Di ketinggian 8.400, 500, 400. Tanpa oksigen. Tanpa oksigen, habis.
Habis dengan sendirinya ketiduran seperti pingsan. Tapi sadar, tau-tau sadar. Saya juga gak tidur, ngeliat.
Dokter bikin air minum, dokter itu luar biasa pak, yang sampai sekarang masih hidup. Makanya beliau setiap tahun atau kalau gak salah kemarin juga... Undang Bapak Prabowo, pesiar kembali, itu perjuangan luar biasa Pak. Mungkin tanpa dokter itu, udah, habis kita. Dia bikin minum Pak, minum itu hitungan kan detik, udah mendidik, pakai sendok dikit.
Jadi saya seperti anak kecil, menurut dokter saya. Sama Pak Wiwan juga gitu. Pak Iwan lepas sepatu juga gak bisa, harus lepas, karena sudah gak ada tenaga. Saya mau turun dilarang Kalau saya turun saya kasihan sama Pak Misirin Bahkan setelah turun Kan pagi itu Baru sirpa datang Pak Logistiknya baru datang pagi bayangkan Pagi pun terbatas membawa osikin Akhirnya saya bawa osikin satu Sambil sama Pak Misirin bopongan Gantian Turun sama Pak Kempat Baru di Kempat bisa makan super miwa Banyak gendala ketika saya mau nyampe puncak itu. Tapi saya tidak menyerah, saya cari penyebabnya.
Bahkan saya pakai oksigen, terakhir sudah orang pada jalan jauh, oksigen itu bau gas, Pak. Bau gas itu saya tidak diajari bahasa Inggrisnya, apa saya sudah tinggal. Marah-marah, Pak.
Teriak-teriak tidak ada yang datang karena jauh. Saya punya akal akhirnya. Tabung gas itu saya adu, teyeng, teyeng di gunung. Sirpanya turun. Gak ngerti what tak lempar.
You check, you check. Gitu aja sebahasa saya. Bau gas, Pak.
Ternyata pada waktu dari Nepal, di bawah dengan yak itu campur dengan minyak tanah. Saya hampir pingsan, Pak. Baru ditukar, saya salip itu Pak Iwan dan Pak Misirin.
Saya Pak Iwan, Pak Misirin napsunya tinggi, Pak. Kepingin menjadi orang pertama. Kalau ada puncak... Yang membuat habis Pak Iwan sama Pak Misri begini, saya selalu ngalah. Karena saya kadang ngalah bukan karena ngalah itu.
Saya nggak mau ke pelosok jurang. Kalau Pak Iwan, Pak Misri sering ke pelosok. Karena apa?
Udah, as itu paling puncaknya. Oh iya, ya saya duluan. Silahkan. Ternyata itu apa? Apa yang setelah nyampe?
As, puncaknya kayaknya masih sana, masih banyak. Selalu begitu, Pak. Turun di base camp itu tidak langsung turun, Pak.
Hampir nggak tahu berapa media asing yang meliput saya. Jadi saya yang pertama nyampe menjadi motivasi buat pendaki-pendaki lain. Mulai dari pelengkapan ditanya, yang cocok di atas. Hampir berita di Amerika, di Inggris, waktu itu kan kita diberita di Inggris atau di Amerika kan sejujurnya ekip di Indonesia dinyatakan hilang. Karena satu, mendaki itu bukan pada musimnya Pak.
Musim dingin yang tidak lajim melakukan pendakian. Karena... Perintah Pak Prabowo tahu sendiri, jangan kedaluan Malaysia. Terus terangnya jangan kedaluan Malaysia.
Malaysia itu bergurunya terus terang sama saya. Pendaginya udah meninggal. Banyak kan pendagi yang sampai sana meninggal.
Saya masih bersyukur ini masih seperti ini. Sebetulnya kan kalau memang waktu itu tidak ada kebesaran dari Tuhan Pak. Saya hitungannya hanya detik di ketinggian 8.800 membuka kacamata.
Itu langsung mata itu pecah. Karena apa? Saking tajamnya pantulan sinar ultraviolet.
Kita diwanti-wanti jangan buka. Ya karena keadaan yang memaksa saya harus buka. Karena ingat waktu kita tulis waktu itu datang ke Katmandu sudah diledek orang Pak.
Pak Edi sebagai waktu itu sebagai wakil koordinator, koordinator malu. Hah Indonesia mau ke Himalaya? Pak Janjan bohong lagi. Bahasanya, karena sebetulnya tahun 95 atau 96-an akhir itu ada putri kita yang ke sana.
Itu nggak ada tahu permasalahannya apa, teman-teman sipil sudah tahu semua lah, ngelusuri cerita itu. Orang laut yang mau naik gunung nggak mungkin sampai, katanya begitu. Nah, ingat itulah saya lakukan yang di luar aturan tadi itu. Lepas kacamata luas perengkapan.
Pakai baret merah, tujuan saya ingin menunjukkan bahwa orang Indonesia mampu. Membuat ekpedisi berhasil ini banyak dari beliau, semuanya kan dari beliau. Mulai penggagas dan sebagainya.
Termasuk kita bisa selamat kembali ke tanah air ini ya Pak Prabowo. Coba kalau beliau tidak memikirkan bagaimana emergensi kem. Kita tinggal di mana Pak?
Sudah kemalaman, sudah tenaga habis. Harus turun dari 38.000 ke 7.000 Siapa yang mampu waktu itu? Pendaki lain kan meninggalnya seperti itu Karena di...
Tidak ada ide, bahkan ide Pak Prabowo sekarang ini yang namanya emergency camp dipakai seluruh pendaki di dunia. Bisa menyelamatkan, bahkan kemarin teman juga yang dari Bandung karena memakai, termotivasi dengan hasil karya kita, repetisi EPRS 97, banyak pendaki Indonesia yang berhasil sekarang. Pak Prabowo bukan hanya mengawasi Pak Jebak, menghantar sampai titik kemampuan beliau berjalan. Sampai ke pendaratan pesawat terakhir.
Selalu memberi motivasi. Kata beliau ketika memimpin doa itu, setelahnya beliau bukan melepas untuk kita melakukan ekspedisi, melepas kematian kita. Karena seperti melepas orang mau meninggal. Karena kan, kalau Pak Edwin Bawo bilang kan, memimpin ekspedisi ini lebih baik memimpin perang.
Karena apa? Musuhnya kelihatan. Di Gunung Es nggak ada kelihatan, Pak.
Kita itu sebagai prajurit waktu itu, dengan beliau setiap kita mau melaksanakan event misalnya, oh mulai pendakian, beliau selalu datang pak. Selalu datang, syukuran dulu baru kita berangkat. Berdoa sama-sama dipimpin beliau langsung. Jadi, ya kepimpinan beliau itu waktu itu sangat berpengaruh pada kita. Kan tidak semua orang bisa seperti beliau, kita harus datang sana, kita mementingkan anak buah waktu itu.
Jadi kita selalu dikontrol. Saya setelah pendakian, apa yang kita minta? Oh saya mau makan nasi kuning, tumpeng, ayam.
Datang pak itu. Orang Indonesia di seluruh Nepal dengar pak Prabowo, semua datang pak. Mbak tumpeng masing-masing waktu itu.
Syukuran di Hotel Gori Sangkar. Berhasilan, kita dijemput luar biasa waktu itu. Seluruh Panglima berserta-setapnya waktu itu, berapa jenderal yang menjemput, saking bangganya.
Karena kan yang pertama, kita menjadi militer ketiga di dunia. India, Nepal, atau Nepal-India baru Indonesia. Yang prajuritnya bisa nyampe ke puncak Everest.
Yang hebatnya lagi, Orang pendaki pertama militer, kedua dia akan langsung pensiun. Terus cacat dan sebagainya. Nggak tahu sekarang masih hidup atau nggak, nggak tahu. Saya sekarang masih bisa berhadapan dengan Bapak dan bisa bicara di sini. Alhamdulillah itu Pak, luar biasa.
Walaupun sebelah-sebelahan, kalau dari kronologi saya, saya tidak bisa Pak seperti ini. Tanpa pembimbingan dan didikan dari Pak Prabowo, mulai dari saya menjadi prajurit Kopassus. Sampai beliau jadi dungeon, saya masih dipercaya bisa ikut bergabung dengan timnya Pak Prabowo membawa misi merah putih. Bayangkan anak yatim piatu, bapak aja nggak tahu.
Saya bisa seperti ini, saya bangga luar biasa. Semoga kepada Pak Prabowo. Maka saya berharap muka-muka ke depan sukses beliau. Berharap. Ini kan saya ini kan ibaratnya kan didikan beliau, ciptaan beliau.
Yang semula dari tahun berapa bahkan pendaki pertama aja dari tahun 18 berapa itu baru selesainya bisa nyampe puncak Epres kan. Baru 1953. Nah Indonesia, Pak Prabowo punya gagasan ketika itu kalau saya lihat dibaca, denger-dengar dari kawan pembicaraan itu semenjak beliau masih berpangkat kapten. Tapi kan dia bisa terrealisasikan ketika beliau menjabat sebagai dankepaksus. Jadi menurut orang yang sesuatu yang tidak mungkin, tapi saya merasa bangga dengan Pak Prabowo, kita bisa menjadi, ya khususnya saya, merasa bangga saya bisa menjadi orang Asia pertama, bisa mengibarkan merah putih di puncak tertinggi di dunia.
Harapan ke depan Bapak lebih bisa merubah seperti... Menciptakan saya menjadi orang macan Asia. Dulu kita terkenal dengan macan Asia.
Sekarang kan ompong ini. Kedepannya ya, saya yang pendidikannya aja sekolah yang tidak jelas, bisa menjadi orang hebat. Apalagi sekarang kan, budak-budak kita kan luar biasa nih.
Pendidikannya, gelarnya. Saya moga... Dengan dekat dengan Pak Prabowo, dia bisa lebih baik, lebih sukses. Menciptakan orang mendaki gunung tertinggi di dunia saja bisa, menjadi orang pertama Asia, masa kita membuat Indonesia yang lebih baik tidak bisa. Saya yakin.
Dan percaya Pak Perohu bisa. Jadi turun itu sebetulnya hanya jangka beberapa tahun itu tidak ada apa-apa. Saya setiap wawancara di media, baik televisi, baik koran di Indonesia itu dibilang apa?
Wah, bener-bener gila anak ini. Masa orang lain aja naik sana, sudah berpengalaman tuh. Ada yang tangannya diputus karena prospek, sengatan dingin, kupingnya hilang. Hidungnya hilang, jari, bahkan mata buta, tapi saya enggak. Jangka beberapa tahun.
Nah yang salahnya waktu itu kalau yang saya rasakan, saya tuh merasa sakit itu ketika pendidikan secabawa. Jadi karena saking bangganya pimpinan ketika itu kan, siapa yang waktu itu prestasi yang gembilang itu tidak harus. diprioritaskan sekolah, saya diperintahkan sekolah secaba jadi sakitnya ketika saya caba itu saya ujian, jadi ujian beberapa bulan orientasi itu tidak apa-apa masuk-masuk kolam, dilumpur tidak apa-apa, jadi habis pelajaran ujian, jawab satu pertanyaan yang saya ingat itu saya minta terus polio untuk jawab sampai habis, tau-tau saya sudah di rumah sakit di KSA Kopassus, ya gitu Masuk, berinspek masuk sana, saya masuk, yang dilihat kepala saya itu hitam, beku semua. Jadi saya ngeliat orang, ya gak tau kalau katanya danyan saya waktu itu kan Pak Doni Menardu, yang sekarang danyan Pak Samres, katanya saya itu marah-marah terus katanya. Tapi saya gak perasaan, 2 tahun saya di rumah saya.
Baru-baru kemarin mulai dari metabolisi otak gak berfungsi. Puping jebol, lakir mata. Ya muka-muka setelah ini nggak ada.
Awalnya ini hidung, beku, sumbet, operasi. Jadi saya rumah sakit hampir banyak di Jakarta yang saya masukin. Sembunya itu ternyata kembali lagi ke gunung.
Saya pernah sama danjen saya diusikan ke Gunung Karang. Berbulan-bulan saya. Karena kan menurut pelatih dari Rusia, pulang dari air pres itu tidak langsung pulang ke tanah air pak. Harus adaptasi penyesuaian dulu di sana.
Nah kalau saya kan ibarat besi panas itu langsung ditancap ke air, hilang. Langsung ke laut lagi. Mungkin itu katanya.
Ya setelah sakit itu yaudah. Kepala itu kalau pakai jalan nyentuh kaki itu udah kayak mau penyapa. Yang saya rasakan.
Langsung diterima oleh beliau, karena merasa bangga dan terharu melihat tim yang dibentuk oleh Pak Prabowo ini berhasil menggibarkan merah putih puncak tertinggi dunia sebelum Malaysia nyampe. Karena ketika itu kan kita mulai bergerak, itu Malaysia sudah tahun Pak, sudah injek-injek Nepal itu. Di Malaya udah wira-wira, tapi kan nyampe-nyampe. Enam bulan kemudian baru nyampe kalau gak salah.
Dua tahun setengah totalnya dia perjalanan di sana. Kita empat bulan selesai. Waktu ketemu itu saya rasa karena waktu itu saya harapan saya waktu itu ya, wah gak ada Pak Hartoni, karena kan saya yang bisa mengibari merah putih, pasti ditanya dulu saya, dalam hati saya. Tapi ketika waktu baru Pak Suharto keluar, kok tanyanya ke Pak Prabowo sama Panglima Pak Pasal Tanjung, kalau gak salah waktu itu.
Bagaimana Malaysia? Bukan kita yang ditanya. Bagaimana Malaysia?
Baru diceritakan oleh Pak Iwan dan semua Pak Arwadi, Pak Edi.