Transcript for:
Pelanggaran HAM dan Kekerasan Seksual 1998

Terima kasih. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang pecah di tengah gelombang aksi reformasi menuntut mundur Presiden Soeharto hingga kini masih meninggalkan jejak sejarah gelap berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia atau HAM. Di antara pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tanggal 13 hingga 15 Mei 1998 ini adalah aksi teror dengan memanfaatkan tubuh dan seksualitas perempuan etnis Tionghoa lewat tindak pemerkosaan dan penyakit.

Sampai hari ini, aksi pemerkosaan dan penyerangan seksual dalam tragedi Mei 98 ini tidak pernah diakui pemerintah sebagai salah satu fakta kelam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang diwarnai berbagai aksi kekerasan dan penghancuran tidak bisa dilepaskan dari situasi, konteks, dan dinamika sosial-politik yang terjadi saat itu. Berbagai peristiwa yang terjadi sebelum kerusuhan seperti pemilu 1997, penculikan sejumlah aktivis, krisis ekonomi, sidang umum MPRRI 1998, dan penembakan mahasiswa terisakti.

Ikut memicu pecahnya tragedi yang menewaskan ribuan orang ini. Saat kerusuhan bergolak, antara tanggal 13 hingga 15 Mei 1998, sejumlah laporan juga menyatakan telah terjadi tindak pemerkosaan, penyerangan, dan kekerasan seksual dalam skala besar. Tim Relawan Untuk Kemanusiaan, organisasi massa yang dibentuk sejumlah pihak untuk mengawal kasus ini, mencatat kurang lebih 168 perempuan menjadi korban kekerasan seksual massal. 152 orang di Jakarta, 16 lainnya di Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya. Ada telpon, yang telpon itu mengatakan saya mau bicara dengan Bu Ita.

Saya ingin melaporkan bahwa ada perkosaan di apartemen peluit di Jakarta Utara. Saya waktu itu masih bingung karena perkosaan apa? Dia bilang ini perkosaan di Sergubu.

Yang korbannya adalah seorang gadis Tionghoa. Saya meminta teman saya, salah satu anggota Kaliana Mitra untuk berangkat. Karena pada sesudah sekitar setengah jam.

Saya menerima telepon itu, saya mendapat telepon kedua dari seseorang yang tidak mau disebut namanya yang mengatakan bahwa, Bu Ita, gelodok sedang diserbu masa. Dan saya melihat beberapa perempuan Tionghoa diseret ke jalan. Jadi kami membagi tugas.

Teman saya pergi ke Peluit, saya pergi ke Gelodok bersama dua teman saya. Sampai di Gelodok itu sudah maghrib. Dan suasananya kacau luar biasa.

Toko-toko banyak yang dibakar, kemudian dijebol. Dan saya melihat beberapa perempuan Tionghoa. Itu dalam keadaan bajunya compang-camping di jalanan dengan rambut yang acak-acakan. Kami bertemu waktu itu dengan korban yang diperkosa 9 jam di taksi. Seorang yang baru lulus dari satu sekolah terkenal di London.

Kemudian dia keluar dari sebuah bank. Masuk taksi, persis di turunan Semanggi itu, taksi itu berhenti dan dua orang yang dia yakini, militer, anggota militer, karena selama perjalanan itu dia menceritakan bagaimana kejadian-kejadian itu sambil mengancam dan dia diperposa di taksi menurut pengakuan dia itu. Kemudian dia dibuang ke salah satu... Terima kasih Tempat saya tidak tahu, tapi kemudian dia pingsan dan ada KTP dan sebagainya.

Nah, disitulah dia kemudian ditemukan esok harinya. Super taksi lagi dibawa ke rumahnya dan ada ancamannya bahwa kalau sampai melapor ke polisi, bukan hanya orang tuanya akan dibunuh, dia akan dibunuh, orang tuanya akan dibunuh, tapi akan dibakar juga rumahnya. Saya mendapatkan telepon dari teman saya, Mbak, ada perkosaan di depan mal Cengkareng, sekarang ini? Korbannya ada di rumah Pak Haji. Saya sampai di Mall Cengkaring sudah sepi.

Saya ditunggu seorang seperti tukang ojek. Ternyata itu Pak Haji. Dan Pak Haji itulah yang menolong si ibu yang diperkosa di depan Mall Cengkaring. Itu kan ada seperti taman begitu.

Nah disitulah dia diperkosa. Dan kemudian saya dibawa oleh Pak Haji menuju rumahnya. Dan di dalam rumah itu sudah ada tiga orang. Tiga orang dan sedang dirawat oleh komunitas.

tas itu. Kenapa orang tidak menyerang, tidak kemudian menyerang lagi? Karena Pak Haji itu adalah orang yang sangat dihormati.

Dia mengambil alih merawat dan melindungi si tiga ibu ini. Yang pertama adalah umur sekitar 40 tahun. Dia diperkosa oleh empat orang.

Tapi menurut dia dia tidak diperkosa. Tapi hanya ada sesuatu yang dimasukkan ke dalam alat kelamin dia. Kemudian yang kedua Yang kedua itu tidak diperkosa tetapi dia dipukulin, jadi dibabak belur. Kemudian yang ketiga, payudaranya itu seperti kena pisau sehingga luka. Jadi yang diperkosa, yang ibu itu, kemudian yang dua, itu mereka adalah dianiaya.

Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998, bentukan Presiden BJH PB menyatakan, sebagian besar kasus pemerkosaan dan penyerangan seksual adalah gang rape, di mana korban diperkosa secara bergantian, dalam waktu yang sama, baik di jalanan maupun di dalam rumah. Yang berhasil kita investigasi itu perkosaan dan... Sebetulnya dari 51 atau 52 itu lebih banyaknya itu lebih ke pelecehan seksual ya.

Sulit sekali ya untuk bisa mewawancara mereka. Meskipun teman-teman relawan misalnya di Surabaya atau di Jakarta berhasil meng-encourage mereka untuk memberikan testimoni, tapi ketika mau mencari... itu kelihatan sekali atau mereka menangis atau speechless atau kata-katanya tidak jelas terbata-bata begitu.

Kronanya masih ada. Pada kerusuhan Mei 1998, tragedi kemanusiaan yang terjadi tidak hanya sebatas aksi penjarahan. Namun tindak perkosaan yang menurut sejumlah aktivis relawan dilakukan secara terorganisir. Di wilayah Jakarta... Misalnya hampir di seluruh titik terjadinya aksi penjarahan ditemukan korban perkosaan dan tindak kekerasan seksual lainnya.

Berdasarkan catatan tim relawan untuk kemanusiaan, korban perkosaan terbanyak ditemukan di 10 titik. Antara lain kawasan Glodok, Harmoni, Jembatan 2, Jembatan 3, Jembatan 5, Fluid, dan lain-lain. Salah satunya di kawasan... di tempat kedua Jakarta Utara saat itu di lokasi ini terdapat sejumlah ruko yang dihuni oleh warga keturunan Tionghoa dan saat perusuhan Mei 1998 tindak perkosaan dilaporkan terjadi bersamaan dengan aksi penjarahan yang juga turut terjadi di lokasi ini hai hai Dr. Lee Darmawan, salah seorang anggota tim relawan untuk kemanusiaan, sekaligus dokter yang merawat sejumlah korban kekerasan seksual saat tragedi May 98 terjadi, mengatakan berdasarkan hasil pemeriksaan medis para korban, jelas menunjukkan bahwa aksi pemerkosaan dan kekerasan seksual Pada tragedi Mei 98 benar-benar terjadi.

Pada saat mereka datang ke rumah sakit, saya ini adalah seorang ahli bedah yang bekerja di rumah sakit. Jadi kalau mereka itu datang, dibawa dan sampai ke tangan seorang ahli bedah, tentu mereka itu ada luka-luka lainnya atau trauma lainnya. Rata-rata... Korban perkosaan itu dianiaya sebelum, sesudah, atau kapan saya tidak tahu. Pokoknya rata-rata mereka yang sampai ke tangan saya adalah korban penganiayaan yang disertai dengan perkosaan.

Lalu pasien-pasien yang begini rata-rata saya kirim ke bagian obstetri, ginekologi, bagian kebidanan. Sejumlah elit politik, termasuk sebagian pejabat militer dan pemerintahan saat itu, menganggap tindak pemerkosaan dan kekerasan seksual pada tragedi Mei 98 tidak pernah terjadi. Dan hanya karangan para aktivis perempuan semata. Selain itu, pemerintahan sejumlah media massa juga kerap mempertanyakan kebenaran aksi pemerkosaan dan penyerangan seksual, karena tidak berhasil mendapat kesaksian langsung dari korban.

Saya diminta oleh Pak Sintong Panjaitan untuk keluar. Saya tidak tahu apa yang mau terjadi. Jadi saya keluar dari ruang Pak Habibie. Dikeluar. Nah, di luar, sudah ada, di luar pintu itu sudah ada Pak Wiranto berdiri begini.

Pak Wiranto, kemudian di sini Pak Sintong, kemudian di sini adalah Kapolri. Dan saya berdiri di tengah, begini. Saya berdiri di tengah.

Mereka mepet saya. Dan yang pertama adalah Pak Wiranto, kamu berbohong ya, mengumumkan kejadian-kejadian perkosaan yang itu tidak terjadi dan memperburuk nama bangsa Indonesia. Itu Pak Wiranto begini. Kemudian Pak Polri bilang begini, kamu harus bertanggung jawab.

Terus Pak Sintong begini, dia baru saja melaporkan pada Presiden. Jadi semua ke sini, ke Mununjuk. Waktu tiganya berbicara, saya diam saja.

Saya melihat mukanya Pak Wiranto. Dan ketika Pak Sintong terakhir mengatakan bahwa kamu harus bertanggung jawab, eh dia baru saja melapor pada Presiden. Begitu dia soalnya saya bilang, saya langsung ini, saya tidak berbohong. Saya melaporkan kejadian yang terjadi apa adanya.

Saya tidak punya intensi untuk memperburuk nama bangsa Indonesia. Saya tidak berbohong. Saya bertanggung jawab dan saya berani. Setelah saya bilang berani, saya membalik dan saya masuk ke ruang perak. Penyangkalan terhadap fakta perkosaan dan kekerasan seksual dalam tragedi Mei 98, sejak informasi terkait peristiwa ini mengemuka ke publik beberapa pekan setelah kerusuhan Mei 98, kerap disuarakan oleh sejumlah elit politik, terutama dari kalangan militer.

Meski demikian, BJ Habibie yang kala itu baru 52 hari menggantikan Soeharto sebagai presiden, mengambil keputusan yang berani. Presiden Habibie memberi kesempatan kepada sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam masyarakat anti kekerasan terhadap perempuan untuk mengungkapkan temuan data dan fakta kekerasan seksual Mei 98. Setelah kami presentasi pada Pak Habibie, Pak Habibie Almarhu mengatakan, saya percaya itu ada. Karena keponakan saya punya teman dekat, seorang Tionghoa yang menjadi korban.

perban perusahaan. Jadi apa yang ibu-ibu semua sampaikan, saya percaya. Dan, ya ini saya singkat saja, dan Pak Habib bilang sekarang apa yang harus saya lakukan untuk ini.

Dan Ibu Sap mengatakan, kami ingin punya komisi nasional yang melindungi perempuan dari segala tindak kekerasan, baik oleh negara maupun oleh di rumah tangga. Dan Pak Habibie mengatakan, baik, kalau begitu susun draft. Selama proses pencarian fakta oleh TGPF, para pendamping korban dan tim relawan untuk kemanusiaan terus menyuarakan hak korban untuk mendapat keadilan.

Namun selama proses ini, para relawan dan pendamping korban silih berganti mendapat ancaman dan teror agar menghentikan pencarian fakta dan pendampingan korban. Luar biasanya, usaha penyangkalan publik itu besar sekali. Bukan hanya dengan negasi di media masa, tapi juga teror-teror terus terjadi. Saya dikirimi granat di kantor saya supaya berhenti melakukan investigasi.

Saya ditelepon setiap hari antara jam 2, jam 3, sampai jam 4. Itu selalu saya ditelepon. Saya diancam dengan kata-kata, lu Cina ya, sekarang lu bisa bersuara ya. Kami tahu siapa anak kamu.

Nama anak kamu yang pertama ini, lahir tanggal segini, sekolah di sini. Yang anak kedua namanya ini, lahir tanggal segini, sekolahnya di sini. Kami tahu semuanya.

Saya pulang dari rumah sakit subuh-subuh, saya merasa saya dikejar dengan sebuah mobil. Saya merasa saya dikejar. Saya melarikan diri keluar dari...

jalan tol, lalu muter-muter di Cekareng baru pulang sampai ke rumah sudah sekitar jam 6 subuh. Di sisi lain, meski Presiden B.J. Habibie mendukung upaya pengungkapan kasus perkosaan Mei 98, sejumlah pejabat pemerintah justru menyuarakan hal sebaliknya. Beberapa pejabat berwenang misalnya terus menuntut dihadirkannya korban yang mau memberi kesaksian terbuka pada publik tanpa adanya jaminan perlindungan yang memadai. Adilan kita membutuhkan yang namanya testimoni korban. Korban harus datang ke pengadilan.

Sementara perkosaan Mei 98 adalah perkosaan massal. Yang kita tidak tahu siapa pemerkosanya. Tidak bisa kita tahu.

Dan si korban kita sudah tahu bahwa korban kalau testimoni dan menunjukkan diri, justru dia nanti akan menjadi korban berikut. Kalau keluarga kita di ancam, Siapa yang tak takut? Mungkin ada satu dua orang saja yang gila barangkali yang mau bersaksi. Saya kaitkan dengan ancaman-ancaman yang saya terima itu dengan kejadian kenyataan matinya anjing saya di rumah.

Saya punya tiga ekor anjing. Satu anjing belastan yang bisa molos dari pintu pagar. Mati ditabrak, tertabrak atau ditabrak yang jelas aneh dia mati, ketabrak itu aneh. Yang kedua anjingnya putih, saya enggak tahu dari jenis apa, anjing ras juga. Mati di dalam pekarangan saya, mati keracunan.

Saat upaya mengungkap kasus perkosaan Mei 98 dihadapkan pada sejumlah dinding tebal. Salah seorang korban tragedi ini, Ita Martadinata Haryono menyatakan bersedia menjadi saksi pada Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB di New York, Amerika Serikat. Namun pada tanggal 9 Oktober 1998, atau 3 hari sebelum keberangkatannya ke New York, remaja berusia 18 tahun ini tewas akibat aksi pembunuhan brutal di rumahnya. Ita Martadinata itu adalah korban seksual attack yang baru lulus SMP yang ditangani oleh waktu itu Kalena Mitra, bagian dari tim dalam untuk kemanusiaan, khususnya Ibu Ita Nadia.

Sedang diurus, ibunya Ibu Wiwin itu berencana bergabung waktu itu dengan Komnas Perempuan yang dipimpin oleh Ibu Saparinasa. Bahkan dia mendapatkan undangan untuk bicara tentang yang dialami kondisi anaknya. Dan Ibu Wiwin sebagai orang Buddha, dia berencana membawa anaknya itu untuk memberikan kesaksian di PBB melalui jalur. buddhisme, jalan Buddha. Tetapi beberapa hari sebelum bahkan sehari sebelum dia memberi kesaksian ke kaumnas perempuan Ketemu Ibu Saparingasadli, anaknya dibunuh secara mengerikan sekali.

Dengan waktu itu langsung Ibu Wibin menelpon saya. Saya waktu itu bersama dengan Iwan Setiawan, wartawan Tempo. Saya langsung menuju rumah Ibu Wibin. Saya melihat, masuk ke rumah, waktu itu baru sedikit yang datang. Ada darah yang terpercik di temboknya dan kemudian saya bersama Iwan naik ke loteng ke atas.

Saya melihat tubuh korban yang hancur betul-betul, ditelanjang dan lehernya seperti di... Tapi saya kaget karena kemudian datang Intel kepolisian dan Intel militer. Ketika itu masih satu kan, polisi dan militer, abri.

Nah itu mereka menyangka saya salah satu dari mereka. Yang Intel polisi menyangka saya Intel militer, yang Intel militer begitu. Saya dan Iwan dibiarkan. Sehingga kami melihat seluruh proses apa yang terjadi di loteng atas itu. Tubuh korban yang hancur itu direkayasa begitu rupa, dibersihkan, dikasih pakai housinglet perempuan, diatur.

Lalu 20 menit kemudian ketika saya turun ke bawah, saya kaget karena tetangga-tetangga sekitar sudah berumah persis apa yang direncanakan di atas, yaitu bahwa itu adalah korban dari sodomi. Pembunuhan Itamarta Dinata semakin membuat para korban terbungkam. Ancaman dan teror yang sering dan terus diterima para korban dan pendamping korban juga semakin nyata.

Sebelum Itamarta Dinata dibunuh, sebetulnya kami sudah dapat telepon. Sudah dapat, dulu kan tidak ada telepon, tetapi ada pager namanya. Pager, tatatatatat, kami dapat pager-pager itu. Awas ya kalau ngomong di internasional.

Pasca kematian Ita Marta Dinata Haryono, satu-satunya korban kekerasan seksual dalam tragedi Mei 98 yang menyatakan siap bersaksi di depan publik, pengungkapan kasus pemerkosaan Mei 98 kembali dihadapkan pada jalan terjal. Bukan saja karena minimnya kemauan dari para pejabat pemerintah yang berwenang. dan para elit politik untuk mengupayakan terobosan hukum bagi upaya pengungkapan kasus ini dan mendatangkan keadilan bagi para korban. Namun juga karena ancaman dan teror bagi upaya pengungkapan kasus pemerkosaan May 98, kian meluas.

Tak lagi hanya tertuju pada korban dan relawan pendamping korban, tapi juga mengarah ke posko-posko pengaduan tindak pemerkosaan dan penyerangan seksual yang didirikan tim relawan untuk kemanusiaan. Ini adalah cara untuk membungkam keberanian para korban memberikan kesaksian. Tiap kalahnya mitra itu menerbitkan semacam buku daftar posko-posko tim relawan.

Itu ada 17 posko di depan PBNU, di depan Karulus, di depan yang poskonya kadang-kadang hanya berbentuk seperti tenda. Pak Kilima begitu. Tapi ada sekretarisnya, ada kontak nomor telepon, itu nomor telepon waktu itu sudah ada handphone begitu. Nah ternyata semua daftar di situ yang ada nomor telepon itu diteror semua. Bersamaan dengan dibunuhnya Itamarta Dinata.

Sementara itu, setelah bekerja selama 3 bulan pada tanggal 23 Oktober 1998, Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF yang bekerja sama dengan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan merilis hasil temuan mereka terkait ke... Terusuhan Mei 1998. Menurut TGPF, berdasarkan data, kesaksian, dan bukti yang ditemukan, ada unsur kesengajaan atas pecahnya tragedi Mei 98. 10 orang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya. tragedi ini pada pelakunya pun beragam mulai dari masa ikutan yang mula-mula pasif tetapi kemudian menjadi pelaku aktif perusuhan provokator termasuk ditemukannya anggota aparat keamanan waktu itu diinvestigasi adalah penanggung jawab kata itu Apakah itu kodam kapolda ya Tapi kita juga waktu itu memuancarai kapolri yang waktu itu.

Tapi karena waktu yang sangat pendek, satu bulan, itu yang... Paling tertinggi tidak berhasil di investigasi. Sementara itu terjadi perbedaan jumlah korban pemerkosaan dan kekerasan seksual antara hasil temuan TGPF dan tim relawan untuk kemanusiaan. Perbedaan ini terjadi dikarenakan beberapa faktor, seperti sulitnya akses terhadap korban pemerkosaan dan kekerasan seksual, Banyaknya korban yang sudah melarikan diri ke luar negeri, serta adanya perbedaan waktu pengumpulan sampel korban.

antara tim relawan untuk kemanusiaan yang bergerak dari hari pertama terjadinya peristiwa pemerkosaan dan kekerasan seksual, sementara TGPF melakukan pengumpulan sampel secara pos-faktum. 52 korban perkosaan. Yang pertama A, yang didengar langsung, 3 orang korban. Yang diperiksa dokter secara medis, 9 orang korban.

Yang diperoleh keterangan dari orang tua korban, 3 orang korban. Yang diperoleh melalui saksi, perawat psikiatri psikolog, 10 orang korban. Yang diperoleh melalui kesaksian, rohaniawan, pendamping, konselor, 27 orang korban. Berdasarkan pengakuan sejumlah korban dan fakta yang ditemukan tim relawan untuk kemanusiaan, peristiwa perkosaan yang banyak terjadi pada kerusuhan Mei 1998 juga disertai tindak kekerasan lain yang banyak diantaranya dilakukan dengan menggunakan berbagai benda tumpul dan tajam. Akibatnya tidak sedikit dari korban perkosaan meninggal karena luka atau pendarahan pada alat vital.

Kepada tim relawan, hampir semua korban perkosaan menyatakan aksi kekerasan seksual yang mereka alami dilakukan oleh para pelaku dengan ciri-ciri yang hampir sama, yakni berkostur tinggi dan tegap serta berambut cepat. Namun hingga kini kesaksian para korban yang semestinya bisa dijadikan sebagai informasi penting untuk menemukan pelaku dan dalang peristiwa perkosaan Mei 1998 ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berwenang. Akibatnya sampai hari ini sejarah tragedi... di perkosaan B 1998 tetap dibiarkan gelap dan para pelaku masih dibiarkan bebas tanpa hukuman.

Tidak seperti beberapa negara lain yang cukup berani mengakui sejarah kelamnya di masa lalu sebagai sebuah fakta sejarah. Hingga kini, belum ada upaya serius dari pemerintah dan unsur-unsur pemerintahan lain di negara kita untuk mengakui secara kelam sejumlah pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk tragedi pemerkosaan Mei 98 sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa kita. Kita itu tidak ingin sebetulnya menghukum pelaku.

Kita ingin kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Coba lihat ini. Patung ini dibuat oleh Ibu Doloresa, seorang ibu yang merangkul ini di tengah menjadikan korban kekerasan terhadap perempuan perkosaan. Ini ada laki-laki dewasa, ada pemuda, dan anak-anak. Dirangkul ini menggambarkan sebetulnya, dulu rencananya ini dibuat monumen korban kekerasan politik pada zaman Gus Dur.

Dulu dirancang untuk setinggi patung ini, Monumen Korban Kekerasan ini, 12 meter. Pembuatnya Ibu Dolorosa Sinaga dan sudah disetujui oleh tokoh-tokoh lima agama dan ada donatur yang sudah menyediakan waktu itu 2 miliar rupiah. Saya minta izin kepada negara meskipun secara lisan sudah disetujui Gusur, saya tetap kirim surat waktu itu kepada Pak Gubernur Dan Gunawan, Sekretaris Negara. Tapi setelah tiga minggu dapat balasan yang membalas itu kasus Pol Abri waktu itu.

Susilo Bambang Yudhoyono Dikatakan ini justru akan menimbulkan keresahan Saya katakan, oh tidak Justru ini kenangan Ini akan memberikan ruang Bagi para korban, untuk menjadi kenangan supaya ini tidak terjadi lagi. Kita itu tidak ingin sebetulnya menghukum pelaku. Kita ingin kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Kita belajar dari sistem rekonsiliasi misalnya Afrika Selatan.

Mungkin pelakunya tidak perlu dihukum secara bahwa dia harus diperiksa, iya. Tapi mungkin tidak perlu dihukum. Tapi bangsa ini mengakui saja, akui saja, bahwa kita ini memang pernah biadab, tapi kita tidak ingin itu terulang. Kita ingin menjadi bangsa yang beradab.

Dan begitulah semua bangsa di seluruh dunia, itu lahir dari remah-remah, kelemahan, kesalahan, tapi dia mau bangkit. 23 tahun telah berlalu. Hingga hari ini, sejumlah penyintas kasus pemerkosaan Mei 98 terus melanjutkan hidup mereka. Beberapa dari mereka kini bahkan berada di tengah-tengah kita dengan luka dan trauma yang masih membekas.

Dan masih terbungkam karena tak kunjung memperoleh keadilan. Mereka takut kalau itu nanti diungkap. Dan mereka tahu betul yang memperkosa ini bukan sembarang orang.

Mereka takut nanti mendapat teror lagi. Itu kedua, masalah keamanan. Ketiga, mereka sekarang sudah punya keluarga semua.

Ada anak dan mereka tidak mau itu. Anak-anak mereka tahu, didengar oleh anak.