Transcript for:
Sejarah Rempah-rempah di Nusantara

Ini adalah cerita tentang Indonesia di masa dahulu kala yang dikenal dengan nama Nusantara. Sejak zaman lampau, Nusantara telah dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah, komoditi utama dalam perdagangan internasional di masa itu. Rempah-rempah telah lama digunakan penduduk Nusantara dan bangsa lain seperti bangsa Arab, India, Cina, dan Eropa untuk obat-obatan sebagai bumbu masakan dan pengawet makanan.

Wilayah penghasil rempah di Nusantara dapat dibagi dalam dua daerah produksi. Daerah pertama adalah di bagian timur, yaitu Kepulauan Maluku dan Kepulauan Banda, yang menghasilkan cengkeh dan pala. Sementara di wilayah barat, yang terdiri atas Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan sebagai daerah penghasil lada. Emporium atau pusat perdagangan terbesar pada masa itu adalah Malaka.

Kota ini menjadi tempat bertempat yang terbaik untuk menjaga keuntungan. bertemunya berbagai pedagang Nusantara seperti Banten, Makassar, Banda, dan Ternate. Emporium tersebut terintegrasi dengan jalur perdagangan Asia.

Para pedagang dari Cina, Arab, dan India membawa komoditas tekstil dan porselen. Tingginya harga rempah di pasar dunia mendorong bangsa Eropa untuk membeli komoditas itu langsung dari daerah asalnya. Penjelajah Eropa menemukan jalur ke Nusantara dengan memutari Afrika melalui Tanjung Harapan. Bangsa Eropa yang pertama di Nusantara adalah Portugis pada tahun 1510. Tahun 1511, dipimpin Alfonso de Albuquerque.

Portugis kemudian menaklukkan Malacca dan memonopoli perdagangan di sana. Para pedagang tidak lagi bisa berdagang bebas. Mereka pun akhirnya pindah ke pelabuhan dagang lain. Salah satunya adalah Aceh, yang terletak di ujung Pulau Sumatera.

Dalam catatan VOC, Aceh dikatakan sebagai kota terbuka dengan jalan lebar yang berawal dari pintu masuk kota hingga menuju langsung ke Istana Pararaja. Di timur Nusantara, pusat perdagangan terletak di Pelabuhan Makassar. Awal abad ke-17 merupakan masa kejayaan bagi wilayah ini.

Di pesisir Jawa, Banten menjadi pusat perdagangan lada dan berkembang menjadi kota pelabuhan besar. Wilayah ini disinggahi oleh para pedagang dari Jawa, Arab, dan Cina. Tak hanya memproduksi sendiri, Banten juga menerima lada dari wilayah Bengkulu dan Palembang. Hingga abad ke-19, tercatat 135 daerah penghasil lada untuk Banten.

Pada tahun 1596, empat kapal ekspedisi dari Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman tiba di Pelabuhan Bandan. Kedatangan de Houtman ke Nusantara diikuti oleh perusahaan dagang lainnya asal Belanda. Guna mencegah persaingan tidak sehat, pemerintah Belanda kemudian menerikan VOC pada tahun 1602. Pada tahun 1605, dibawah Komando Stephen van der Hagen, menduduki Ambon dan menjadikan sebagai ibu kota penguasa Belanda di Asia Timur.

Pemimpin tertinggi dijabat oleh Peter Booth. Tahun 1619, Gubernur Jenderal Jan Pieter Zunkun berusaha menguasai wilayah Jayakarta. Daerah itu kemudian dinamai Batavia. Kota Batavia menjadi residensi gubernur jenderal, sekaligus pusat administratif Belanda. Batavia juga menjadi titik temu berbagai jalur pelayaran kompani di wilayah Asia.

Guna memonopoli perdatangan Lada, VOC melakukan berbagai langkah untuk menundukan Kesultanan Banten, termasuk melalui peperangan. Hingga akhirnya, Banten berhasil ditundukan pada tahun 1684. Pada pertengahan abad ke-17, VOC melakukan penyerangan ke Makassar, agar dapat menguasai perdagangan rempah di timur Nusantara. Dengan ditanda tanganinya perjanjian bunganya, kesultanan itu akhirnya ditaklukkan pada tahun 1667. Penguasaan kota-kota tersebut membawa era baru bagi perdagangan Nusantara. Pedagang Nusantara masih tetap melakukan perdagangan, hanya saja dengan rute yang lebih beragam.

Perjalanan rempah-rempah Nusantara membawa kisah kejayaan maritim yang berkelindan dengan keseraman kolonialisme. Jalur rempah membawa kekuatan yang menyatukan antar suku bangsa dan budaya dalam proses pembentukan bangsa Indonesia.