Transcript for:
Strategi Branding dan Studi Kasus Indonesia

Kopiko yang katanya itu adalah diambil dari kata kopi di Hawaii, itu sebetulnya itu saya ambil dari Madura. Sekarang itu, people follow the person I know in person. bukan the person yang di follow, tapi recommendation-nya. Bapak juga pernah bapak pengaruh besar terhadap kemenangan salah satu presidennya dengan campaign politiknya. Itu bisa ceritain gak bapak? Anda mencari makanan bukan mau makan, tapi mau meringankan. beban yang Anda derita dan lapar nah itu yang dilupakan orang kita tidak menggunakan toko untuk menjual distribusi yang pertama, kita menggunakan asongan, kesalahan praktisi itu, banyakkan melihat brand sebagai being being itu saat ini tapi orang branding, kacamata branding itu bisa melihat becoming, kayak kata-kata sharing sharing dahulu, baru selling, selling kemudian ya yang saya kasih tahu ke Dewa pada waktu bertembalik ketemu, dipakai mas. Halo semuanya, kembali lagi di Podcast Suara Berkelas. Hari ini aku bila faranaf ditemani oleh idola aku, Pak Subiakto, yang udah 50 tahun lebih, jadi pakar branding di Indonesia. Banyak brand di Indonesia, atau juga kempen-kempen politik. politik yang berhasil dibuat oleh Pak Subiakto. Salam benar, Pak. Salam benar. Luar biasa hari ini. Kita langsung ke pertanyaan simple dari aku pribadi, Pak. Karena Bapak tahu sendiri, sekarang kita dunia serba instan. apapun cepat gitu, apalagi kalau ngomongin integritas dari branding tersendiri kan orang justru ingin ngelihat sisi apa nih yang menarik untuk kita pelajari dari sisi branding. Mungkin dari sisi politiknya juga sekarang ada brandingnya, orang membangun personal branding atau dari sisi brand orang juga ingin brandingnya itu dekat sama audiensnya. Sebenarnya apa sih yang menurut Bapak itu integritas dari branding dan apakah instan ini sisi positif seperti ada AI? Yang cepat, belum tentu kuat. apa namanya, insan belum tentu bertahan. Jadi, brand itu memang dibangun secara perlahan, karena perlu dibuktikan, janji-janji yang dibuktikan untuk membuat sebuah brand. Jadi, enggak bisa hanya populer saja, tapi harus punya kompetensi. Itu jawabannya. Baik produk maupun politik. Ada studi kasus gak Pak? Cerita tentang Bapak ngebangun brand mungkin dari nol. Karena setahu saya yang Bapak juga terlibat disana ada Kopiko kalau gak salah ya, ada Indomie, Politron, bahkan ada beberapa calon presiden yang akhirnya berhasil menang karena kempennya Pak Soebiak. Ada gak studi kasus menarik di awal-awal supaya kita teman-teman disini yang 20-an juga belajar nih gimana cara kerja atau POV-nya orang subyekto. Iya. Kalau yang dari 0, betul-betul 0 adalah Kopiko. Kopiko. Itu kalau boleh tahu tahun berapa ya Pak? Tahun 86. 86. Boleh ceritain gimana-gimana. Ya, jadi kasusnya adalah saya diundang oleh klien. Waktu itu masih in bisku niaga namanya, belum ada orang. Nah itu dia punya mesin, mesin permen hard candy. Ada dua mesin, masing-masing punya kapasitas 2 juta piece per hari. Nah waktu itu mereka memproduksi namanya permen Chelsea. Nah permen Chelsea itu dari Morinda ke Jepang. Nah karena dua tahun lagi itu, apa namanya. License-nya habis Jadi dia harus bikin permain baru Nah dia minta ide sama saya Nah waktu Kita ngobrol Pak Yogi bilang Si pemiliknya Pak saya mau bikin permain jahe Terus saya tanya Kapan Pak Yogi terakhir Terakhir makan jahe. Ya dua minggu lalu, waktu kita sekeluarga rame-rame ke Buncak, nah di situ saya minum jahe. Terus ada konsultannya dari Amerika, namanya Mr. Sekris. Dia bilang, kalau saya permain mentol. Karena mentol itu sangat netral dan mengarungkan mulut katanya. Nah, terus Pak Jogi tanya, kalau Pak Abi idenya apa? Saya bilang permen kopi. Kok permen kopi, Pak? katanya. Nah, permen kopi itu paling disukai. Betul sih, memang... Chelsea selama ini ya 80% itu permain kopi. Tapi kenapa kopi? Saya bilang, kita lagi ngopi Pak. Gitu. Dan orang ngopi itu bisa sehari tiga kali. bisa lebih gitu tergantung jumlahnya gitu nah karena itu kemudian saya suruh kan kita bikin permen kopi terus tanya dia tanya namanya apa namanya Kopiko gitu Kopiko yang katanya itu adalah diambil dari kata kopi di Hawaii itu sebetulnya itu saya ambil dari Madura kenapa dari Madura orang Madura kalau bilang kopi ya kopi Tapi kalau permen rasa kopi itu bilangnya pikopi. Pikopi. Itu bukan kopi deh, itu pikopi. Nah karena saya gak mau disu sama orang Madura, jadi saya balik aja jadi kopi ko. Dan kebetulan ko itu adalah asisten. Ya COO ya. Jadi asistennya kopi gitu. Permen kopi yang asistennya kopi. Artinya permainan kopi yang Menggantikan Kalau gak ada kopi Jadi saya mulai dari bikin produknya Bikin produknya Kemudian kasih namanya Kasih marknya Kemudian kasih maknanya Gantinya kopi itu Sampai kempennya Dan cilakannya Waktu di Reset Ya dilakukan survei, fokus group discussion, ada 8 grup ya yang mewakili konsumen, jawabannya no. Permen gak bisa nggantiin kopi, karena hangatnya gak ada, karena seruputnya gak ada, karena nikmatnya gak ada, jadi gak bisa. Jadi pada waktu itu Pak Yogi banting itu hasil FGD itu ke saya. Gimana Pak? Ternyata gantinya ngopi gak diterima sama masyarakat. Saya bilang, itu kan masyarakat yang ikut FGD. Apa sih FGD itu artinya? FGD itu memotret peristiwa hari ini berdasarkan pengalaman masa lalu. Sedangkan Kopiko dibikin untuk masa depan. Bagaimana Anda bisa mengukur masa depan dengan masa lalu? Jadi atas hati Anda, mau terus apa enggak? Percaya enggak sama KPN ini? Pak Yuki bilang, saya percaya. Saya bilang, kalau saya percaya, saya yang bikin. Jadi gimana? Yaudah, taruhan aja 3 bulan. Kita coba. Kalau laku, ya jalan terus. Kalau nggak laku, KPN-nya berhenti. Kalau berhenti gimana? Ya nggak usah bayar saya. Tapi kalau laku, bayar saya double. Akhirnya tiga bulan, laku. Laku. Setelah tiga bulan, saya dipanggil, Pak, KP-nya harus berhenti. Karena mesin sudah tidak bisa memenuhi permintaan pasar. Berhenti karena sisi positif malah. Iya, tiga bulan. Jadi kalau ada yang nanya, berapa bulan sih kita bikin brand? Ya maksimal tiga bulan lah. Itu tiga bulan menyasar kemana aja Pak? Kopikonya. Ke Jabodetabek kah? Jabodetabek doang. Briefnya ya begitu. Brief marketingnya adalah target marketnya Jabodetabek. tapi ya dengan Kita tidak menggunakan toko untuk menjual distribusi yang pertama. Kita menggunakan asongan. Karena asongan itu naik. Bebas naik, jual di dalam, terus turun. Tapi jualannya per package itu ya? Enggak, masih jualannya tiga. Sekali jual tiga. Kenapa tiga? Karena tiga itu mengurang jumlah orang yang beli. Artinya kalau mau laku tiga cukup ngomong sama satu orang. Dan itu 100 perak 100 perak dapat 3 ya Dapat 3 awalnya itu Nah 100 perak gak bisa dibagi 3 Gak bisa beli 1 Jadi sekali beli harus 3 Itu awalnya Lalu toko tertarik Masuklah ke toko Itu awalnya Sampai sekarang kalau kita nonton drakor tuh ada aja brand placementnya. Iya enak lah, cuma tinggal buang duit aja sekarang. Karena fase apapun yang bakal besar biasanya di awal pasti ada penolakan ya Pak. Betul. Nah, tau gak perbedaan antara marketing dengan branding? Oke, boleh jelasin Pak. Oke. Marketing hanya mengenal marketing cost. Tapi gak kenal namanya marketing investment. Jadi berapapun yang Anda buang, itu hilang. Itu marketing. Kalau branding, Anda enggak kenal namanya brand expenses, Anda cuma kenal brand asset. Berapa pun yang Anda taruh akan bisa diambil kembali. Kalau konteks sekarang, apa Pak contohnya? Saya bikin Kopiko tahun 86, berapa tahun yang lalu. Sekitar 39 tahun lah. Iya, oke. Sekarang Anda masih ingat, Kopiko gantinya ngopi, ya kan? Nah sekarang saya minta Anda lupakan Kopiko gantinya ngopi. Saya hitung sampai tiga. Satu, dua, tiga. Lupa, bisa nggak? Nggak bisa. Nah itulah investment. Jadi investasinya brand itu adalah diingat selama mungkin. Makanya saya bikin istilah brand yang bagus itu sekali dilihat langsung diingat dan susah dilupakan. Kayak mantan. Ya, brand sama dengan mantan. Ya juga ya. Kalau waktu kecil saya ngeliat kenapa ya di baju bola itu ada satu nama misalnya. Let's say waktu saya nonton Madrid ada Siemens gitu. Saya belum paham waktu itu kenapa. Beranjak dewasa saya paham semua itu yang kayak Bapak bilang tadi. Di sana ada konteks brandingnya. Sehingga orang ketika nonton klub favorit pasti dia tahu itu apa. Nah, disitu penjelasannya adalah itu... marketing cost. Itu masuk marketing cost? Iya, karena cost-nya begitu selesai main, dibuang. Gitu. Nah, kenapa marketing cost? Karena mereka berusaha mengingatkan merk-nya. Brand sebagai identitas produknya. Bukan brand sebagai transformasi konsumennya. Kalau sudah Anda merasakan manfaatnya, Anda merasakan mananya, Anda gak perlu diingatkan. Iya juga ya. Kemarin saya juga ada ketemu postingan di Edutify yang bilang kalau... Sebenarnya branding yang paling efektif itu ketika kita bisa membuat si customers kita itu jadi versi yang lebih baik setelah pakai produk kita. Itu bisa jelasin gak dari POV-nya Pak Abi? Gimana konteksnya? misalnya saya mau pakai shampoo mungkin saya ngerasa oh lebih tampan padahal ya shampoo pada umumnya shampoo gitu sebenarnya peran branding atau marketing disana bagaimana Pak Pai? jadi konsumen itu misalnya Anda lapar lapar itu menjadi beban buat Anda Anda mencari makanan bukan mau makan tapi mau meringankan beban yang Anda derita dari lapar itu Nah itu yang dilupakan orang. Iya, iya, iya. Jadi bukan cari makanan, tapi cari sesuatu yang meringankan beban dia. Oke. Kenapa anak kantor anak kantor saya itu setiap pagi, beli kopi yuk? Hmm. Bukan mau minum kopi. Tapi dia punya beban ingin diringankan. Dengan kopi tadi. Anak sekarang bilangnya, apa namanya, self-reward. Self-reward. Iya, iya, iya. Saya udah kerja keras, pulang kantor gak langsung pulang. Harus mampir di kafe. Bukan untuk minum kopi, tapi untuk self-reward. Itu yang kejadian. Jadi orang branding harus tahu bahwa itu self-reward, bukan kopinya, rewardnya. Tapi apakah semua brand besar itu menurut Pak Bi sudah tahu itu atau emang mereka hanya fokus pada produknya dan produknya bagus sehingga kemudian mereka level up untuk paham tentang pain point-nya audiens gitu? Enggak, itu kan pain point-nya. apa namanya, point of view-nya produsennya. Nah, mulai dari tahun 90-an, itu berubahlah point of view daripada sebuah produk. Nah, yang jelas-jelas menyampaikannya pada dunia adalah Steve Jobs. Tahun 97 dia bilang, kita udah capek jualan komputer. Kita udah capek jualan... apa namanya, smartphone. Jadi, sekarang kita bukan jualan produk, tapi menjadikan konsumen itu bertransformasi menjadi siapa? Menjadi orang yang think different untuk mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Karena apa? Karena masyarakatnya menuntut bahwa beli produk itu bukan cuma produknya, tetapi yang diberi itu maknanya. Am I a better person dengan produk ini? Jadi Anda pakai baju ini Karena Anda pikir bahwa Baju ini membuat Anda Lebih tampar atau lebih keren Menjadi better person Kacang mata juga begitu Waktu memilih kan banyak Kenapa ini beli yang ini Karena anda merasa I'm a better person dengan kacamata ini Tapi kalau dari POV Orang masih mempertahankan Untuk tidak membeli itu karena harga Kemahalan atau karena Masih murah itu berarti brand itu Tidak sekuat itu Kalau brandnya kuat Berapapun harganya Dibeli Makanya orang juga ginjal beli iPhone 16 pak. Betul. Apapun dilakukan ya, kesehatan dikorbankan ya. Karena sesuatu yang menurut saya... Karena menurut dia pengorbanannya ginjal itu seimbang dengan apa yang dia dapat. Ya. Kalau seimbang, oke gas. Kalau gak seimbang, ya dibuang, dilupakan. Tadi saya juga penasaran ya Pak, misalnya ada dua hal yang saya tangkap dari seorang Pak Bi. Pertama saya ngeliat, Pak Bi ketika kempen Kopiku itu kayak bisa ngeliat... ke depan ya, sedangkan orang kan kayak tadi FGD itu fokus pada mungkin traumanya atau masa lalunya kayak Steve Jobs juga pasti ngeliat ke depan sebenarnya cara kita melihat ke depan itu bagaimana? kesalahan praktisi itu kebanyakan melihat brain sebagai sebagai being. Being itu saat ini. Itu kacamata marketing. Marketing melihat produk ini saat ini ya beingnya ini. Tapi orang branding, kacamata branding itu bisa melihat becoming. Brand adalah sesuatu yang becoming. Jadi kalau Anda pakai ini, Anda jadi siapa? Bukan dapat apa. Kalau dapat apa adalah being. gitu dan smartphone misalnya jadi jual ini kekuatannya gini-gini itu being itu adalah yang Anda dapat tapi dengan itu Anda becoming apa Nah, kalau orang branding itu mikirnya adalah bagaimana produk itu bisa membuat orang itu menjadi lebih baik. Jadi becoming what? Nah, kalau becoming gak bisa di-reset. Kalau being bisa di-reset. Karena apa? Karena becoming gak bisa di-reset adalah kalau misalnya Anda ditanya, kira-kira tampang Anda 5 tahun lagi kayak apa? Anda gak ngerti. Buat Anda itu sebuah sesuatu yang misteri. Karena becoming itu sesuatu yang tidak bisa ditebak sebelumnya, gak bisa di-reset. Ditanya, tanya pada orang-orang bagaimana wajah saya 5 tahun lagi, gak tahu. Tapi pakai filter Instagram kayaknya bisa Pak sekarang. Iya betul, sekarang ada aplikasinya tapi itu masih meresah juga. Tapi konteks becoming. yang tadi juga berarti kita harus terus evaluasi nih untuk kita tahu look kita lima tahun lagi ya bisa kita olahraga misalnya kita pakai skincare itu cara kita juga bisa sedikit menebak-menebak arah atau misteri yang kedepannya itu ya tujuannya gak bisa ditebak tapi arahnya bisa ditebak ya ya saya setuju gitu oleh karena itu brand itu tidak bilang hari ini dapet apa tapi hari ini Anda mengarah kemana mungkin awalnya ketika kita bangun podcast ini pak itu Kita ingin mengarah kepada segmentasi anak 20-an yang ingin berkembang. Walaupun ada keterbatasan mungkin mereka secara finansial, mungkin secara lokasi, tempat tinggal mereka juga. Tapi semakin... kesini semakin kita ngerasa bahwa kita sedang menuju yang apa kita mulai waktu itu dan misalnya sampai bisa undang Pak Bi dan teman-teman lainnya itu kita gak nyangka pada waktu kita memulai dan itu juga masuk ke konteks branding iya itu masuk konteks branding. Jadi Anda tahu sekarang Anda siapa, Anda menuju menjadi siapa, itulah proses branding. Berarti branding juga punya korelasi dengan self-improvement ya? Iya. Oke, oke, menarik. Betul. Tadi yang konteks kedua saya tiba-tiba ingat yaitu, Bapak kan juga pernah pengaruh besar terhadap kemenangan salah satu presiden ya, dengan kempen politiknya. Itu bisa ceritain gak Pak? Mungkin kita penasaran. Karena kan kempen Kempein politik terakhir di kemenangan presiden tahun lalu, itu juga ada kayak pergerakan, tarian, joget-joget gitu. Itu mungkin Pak Bi bisa kasih POV dari seorang pakar branding. Gimana Pak? Baik, jadi kalau kempen politik apalagi presiden itu dibagi dua. How to win dan how to govern. Gitu Nah how to win itu zaman dulu ya, 2004 itu belum ada money politik, jadi masih pure, masih berupa persuasif orang untuk milih dia. Nah pada waktu itu sudah kita tunjukkan how to governnya. How to govern kalau sudah jadi pemimpin itu yang pengalaman sebelumnya, kalau seorang presiden bikin keputusan yaudah, gak usah pakai tanya-tanya. Tapi yang ini Presiden ini beda loh, dia mengajak rakyatnya untuk ngambil keputusan. Makanya slogannya atau temanya, tagline-nya adalah bersama kita bisa. Karena mengajak rakyat. Ini hal yang baru. Karena baru, dia dibilih. Mengapa? Karena manusia itu pada akhirnya ingin perubahan. Bukan satu sku. Jadi itu yang dimanfaatkan orang. Untuk how to win. Pada masa itu masih masih pure ya. Masih belum kenal mana politik. Kalau mengenai yang joket-joket tadi, saya enggak berani komen karena itu kerjaan teman saya juga. Oh gitu ya, oke, oke. Tapi dari POV Bapak itu justru dari sisi positifnya... justru membuat kesan kita lebih dekat sama sosok pemimpin atau enggak sih sebenarnya? Karena kan ada yang kayak bilang populis dan segala macam, sehingga kita benar-benar tidak ada gap yang kayak dulu kan kaku banget tuh. Atau sekarang kan ada CEO-CEO udah mulai soft, personal brandingnya udah simple, bahkan sekarang social medianya presiden dan lain-lain kan juga dibikin simple, ada kartun dan lain-lain gitu. Gimana Pak? Jadi Ini agak terlalu terang ya. Apa Pak? Santai-santai Pak. Jadi kalau Anda memiliki sebuah produk dan Anda kesulitan jual produk itu, Anda alihkan saja fokusnya ke yang lain. Tadinya misalnya Anda jualan keripik singkong. Maka apa yang Anda katakan kepada masyarakat? Keripik singkong saya gede-gede, keripik singkong saya paling kering, keripik singkong saya murah, keripik singkong saya paling modern. Udah nih, masih gak laku. Apa yang harus Anda lakukan? Anda pindahkan aja fokusnya menjadi oleh-oleh. Kalau tadinya jualan keripik singkong, Jadinya Anda jualan oleh-oleh. Ya. Bagaimana mau jual oleh-oleh? Apa kata orang kalau pulang dari luar kota, gak bawa oleh-oleh? Apa kata tetangga? Jadi gak ngomongin di pisang lagi, tapi ngomongin oleh-oleh. Nah itulah sebetulnya triksnya branding itu disitu. Jadi ketika kita sadar sulit untuk menjelaskan kelebihan dari Pak SBY kepada masyarakat yang sangat macemuk, akhirnya saya pindahkan. Fokusnya. Fokusnya kemana? Yang tadinya dia jenderal, dia ahli reformasi, dia melakukan reformasi di APRI, dan macam-macam-macam. Menjadi udah. Pokoknya kalau kamu pilih saya, kamu saya ajak bersama. Itu doang. Bersama kita bisa ya? Bersama kita bisa. Kalau Saya tanya ke Pak Bi sebenarnya. Dari sini kita besok kita bikin satu produk kerjasama bareng nih. Dari nol banget Pak Bi. Satu konsep branding yang paling penting yang banyak orang lewatkan dan kita ngajarin ke teman-teman sekarang. Kamu jangan lewatin ini kalau punya produk apa yang paling tertanam. Tadi Anda merasa lebih baik kalau pakai produk ini. Apapun produk kita harus bikin konsumen jadi lebih baik. Apapun. Jadi, usaha Anda adalah bagaimana orang mendengarkan podcast ini merasa menjadi lebih baik. Setelah menonton. Tapi kalau mereka kita janjikan bahwa kamu akan jadi lebih baik, ketika mereka pakai, mereka tidak terbukti. Kok gak ada perubahan nih? Walaupun perubahannya mungkin 3 bulan lagi Pak. Tapi mereka gak sabar kayak seminggu, dua minggu. Bisa aja gak mereka stop untuk pakai. atau mereka tidak akan berlaku. beli lagi. Bisa tapi nanti akhirnya dia akan beli. Kalau berubah. Betul. Kalau dia lihat teman-temannya yang sudah beli berubah, dia pasti ikut berubah. Dia pakai lagi ya? Iya pakai lagi. Oh iya ya. Karena the real testimoni itu justru benar-benar bikin orang penasaran dan ingin pakai ya? Iya. melihat hasilnya. Jadi tagline itu baru sebuah bukti. Eh baru sebuah janji. Dibuktikan dengan experience. Nah experience itu ada tiga. Anda mau bikin wow. Anda mau bikin aha atau Anda bikin oke di podcast? Yang mana pilih? Anda pilih. Pasti wow kan? Kalau Anda mendengarkan podcast ini, Anda merasa wow. Iya gila. Gila. Iya daging banget. Ternyata gini. Wow banget ya. Tadi kita udah bahas Kopiko. Tapi aku penasaran brand lain yang bapak bantu ya. Tadi kita singgung Indomie. Extrajos. Kita masuk dari Extrajos dulu ya pak. Karena ada cerita lucu. Ada cerita lucu nih teman-teman. Ada ikatan emosi ya. Iya. Waktu SMP. Mungkin aku tinggal di Aceh pak. Waktu SMP itu ada tim sepak bola Aceh. Yang disponsori oleh Extrajos ya. Extrajos disini. Dan Biasanya kalau kita nonton di TV Waktu itu di ATV itu sebelum Pertandingan itu ada house yang bilang Energi ini pemain Memang benar-benar minum gitu jadi ketika saya Main bola di kampung itu kadang saya minum Entrajos dulu supaya Energi seperti main bola yang nendang Sambil salto gitu Pak Sebenarnya seberapa Seberapa true Itu bakal mengubah kita Jadi versi lebih baik Bisa rajin main bola atau emang itu kekuatan Dari brandingnya Pak B dan teman-teman Kalau mengenai produknya itu bukan tanggung jawab saya sebagai orang brandingnya. Nah ceritanya begini, tadinya Extra Joss itu di launching tahun 1994. Pada saat itu agensi teman saya yang bikin, pakai versinya yang main bilyar tuh. Main bilyar, terus kemudian loyo. Gak kebayang. Jadi dia tunjukkan problemnya, solusinya ini. Itu marketing banget. Karena marketing itu memang berangkat dari problem, terus produk Anda menjadi solusi. Itu marketing. Tapi kalau branding, itu berangkat lebih awal lagi. apakah ada ritualnya. Ritual menyebabkan problem dan produk kita menjadi solusi. Nah, ritualnya minuman kesehatan itu apa? Kerja. Tenaga, energi. Jadi ritualnya ada setiap hari. Karena setiap hari itu orang kerja. Nah, ada yang kerja pakai tenaga, ada yang kerjanya pakai otak. Nah, yang merasa bekerja pakai tenaga itu memerlukan energi. Nah, kalau kita lihat pada waktu itu siapa sih yang ingin dilawan oleh Xajos? Itu sebetulnya minuman dalam botol, ready to drink. Jadi pada waktu itu ada Ratingdeng, ada M150, ada macam-macam ya, yang begitu diminum. Udah selesai, langsung botolnya dibuang. Nah, ngapain dibeli kalau dibuang? Akhirnya, X-Rajos sebagai minuman energi yang tanpa botol, pakai itu. Ngapain beli botolnya kalau akhirnya dibuang? Makanya tagline-nya adalah, ini biangnya. Maksudnya, sebelum jadi cairan ini adalah pupuk. Buat apa botolnya? Nggak perlu botol karena perlunya gelas dan air. Jadi, dan harganya jauh lebih murah. Itu sebagai solusi untuk anak-anak muda yang nggak punya orang lebih lah. Tapi keinginannya minum kerating, Deng. Kenyataannya minumai sajos Iya Karena Waktu saya kecil itu saya maksud Minuman versi saset atau bubuk tadi Itu bahkan ada Yang lain yang dicampur susu gitu Dan itu emang ketagihan Banget ketagihan Dibuat versi rasa ada yang Ungu kemudian ada yang kuning Iya Tapi dari sisi Pak Binya sendiri itu ada kedekatan emosional gak sih? Kayak misalnya aku ngeliat brand Extra Joss ini, aku yang dulu ngedevelop ini gitu-gitu ada gak sih Pak? Saya penasaran sih. Iya. Mau gak mau ya, karena pada waktu lagi dikerjain itu udah dipikirin sepanjang hari. Minum juga Pak ya? Minum juga, terus dipikirin ini harusnya gimana dan segala macem. Kalau misalnya pakai talent, talentnya harus pakai baju apa? Baju bekerja kah? Apakah harus seragam? Apakah pakai baju kotak-kotak? Terus apakah lengannya itu kenapa dipotong? ototnya gitu, itu dipikirin jadi mau gak mau ya kalau saya bikin brand Esa Jos, itu ya melekat dengan yang bikin gitu nah, kalau ditanya kliennya walaupun dia ngaku yang bikin gitu gak akan tau itu semuanya the story behind the brand itu miliknya penciptanya mungkin kalau sekarang pak, di jaman sosial media sekarang kan orang ngeliat bahwa marketing cost-nya. nya itu dipakai ke KOL misalnya ke sosial media talent, kreator dan lain zaman dulu kan iklan di TV doang gitu ya iklan di proyektor dan lain sebenarnya kalau Bapak lihat yang versi sekarang ini perbedaan terbesarnya apa sih Pak dengan yang iklan atau marketingnya zaman dulu gitu ya, kalau zaman dulu people follow the person I know Jadi kalau artisnya siapa ya udah follow aja gitu. Tapi sekarang dengan adanya sosial media menjadi people follow the recommendation of the people I know in person. Wow, baru denger sih ini. Jujur banget sih. Iya juga ya. Jadi kalau dulu cuman idola saya pakai apa, saya pakai apa. Jamannya Beatles, rambut saya gondrong. Celana saya cutbrai gitu. Jamannya Beatles. Tapi sekarang... Sekarang itu gak cukup. Sekarang itu people follow the person I know in person. Dan bukan the person yang di follow, tapi recommendation-nya. Walaupun sudah dipakai idola saya, kalau teman saya tidak merekomendasikan, saya gak pakai. Benar, benar. Jadi the person I know itu penting. Nah the person I know itu bukan Bukan selebriti, kalau selebritinya itu menjawab kalau ditanya, di komen, nah dia menjadi the person I know. Ya itu saya tadi mau mikir ke situ, benar-benar. Tapi kalau selebritinya ini sok, gak mau jawab, komen, ya you are the person I do know in person. Karena saya lihat juga sisi positif sosial media, itu ada beberapa artis besar yang kemudian mereka harus nyemplungin kaki juga untuk bisa dekat sama audiensnya. At least balas komen di Instagram misalnya. Itu justru tidak ada gap yang kayak dulu kan. kan dulu kalau misalnya ke tokoh politik itu jauh banget ya sekarang ada gubernur-gubernur yang juga mungkin udah balesin komen, balesin komennya juga versi komedi, versi jinaka gitu supaya deket sama audien terus juga audien satu rakyatnya juga makin sering komen gitu loh Pak Itu kan dari konteks yang Pak Bi bilang tadi ya Bahkan sekarang udah ada mesin AI nya Untuk menjawab Merespon bukan menjawab ya Merespon cepat Walaupun bunyinya Sementara ya saya lagi rapat Nanti saya akan kembali ke Anda Itu pakai mesin AI bisa Tapi at least itu Mendingankan orang yang berharap ada alasannya Betul Karena orang memberikan komen itu Sudah effort sudah meluangkan waktu, mengeluarkan pikiran untuk menjawab untuk memberikan komentar itu harus dihargai orang-orang sekarang adalah menghargai orang-orang yang menjawab komen saya setuju banget, karena kalau ditanya konteksnya ke saya pribadi perfume yang saya pakai sekarang itu karena saya reply ke salah satu kreator, ini kayaknya rekomendasinya bagus, dia bilang merek ini mas, terus langsung saya beli karena the way dia express dia pakai parfum itu, saya tertarik dan kayaknya posisi positifnya ketika dia juga balas DM saya dan Anda merasa dekat benar-benar jadi Anda mendengarkan rekomendasi orang itu karena Anda kenal Anda merasa kenal Iya iya Cuman sekarang gitu. Mungkin kalau konteks dulu kayak marketingnya war of mod ya, dari teman ke teman, dari mulut ke mulut. Tapi sekarang sosial media juga recommended by, proved by gitu. Orang lebih seneng ya. Kita masuk ke Indomie, saya penasaran juga nih dari kita gali-gali teman-teman. Karena kita pengguna, sorry, kita penikmat ya. Kita konsumsi dari kecil. sebenarnya apa yang bikin orang ini maaf teman-teman mungkin ada yang bilang ini tidak sehat mungkin ini tidak bagus untuk kesehatan dan lain-lain tapi kita tetap konsumsi ketika lewat iklan pak diseruput saya jadi pengen pak jam 10 malam malam saya mau tidur ketika buka Instagram saya scrolling terus ada yang masak versi goreng terus dicampur daging saya pengen beli kuarung sebenarnya apa Pak pergerakan yang dilakukan oleh Indominus setiap tahun ini apa Pak sehingga kita kayak butuh terus gitu ya sebetulnya pada waktu saya diminta pitching Indomie tahun 94 kalau gak salah 94 atau 95 itu kata seleraku itu sudah ada jingle dari Sabang sampai Merauke itu sudah ada itu diulang-ulang terus di kepala saya itu masih berupa lagu yang ngarang itu saya kenal Mas Kli Rianto Namanya. Sama-sama di Solo dulu. Bu Eva nanya, kalau Pak Pi menang pitching ini, apakah tagline-nya diganti? Saya tanya balik dong. Berapa Anda sudah membuang uang untuk mempopulerkan kata silaku? Ya pastinya udah MM-an, Pak. Nah, mau enggak itu dirubah dari kos menjadi aset? Itu kita jadikan branding. caranya gimana? Nanti saya kasih tau. Yang kedua lagunya. Saya tanya, udah berapa uang yang dikeluarkan untuk mempopulerkan lagu ini? Oh ya sudah M lah pasti. Ya kalau gitu jangan dibuang. Kita jadikan cost itu menjadi asset. Yaitu mengubah lagu itu menjadi jingle. Jadi yang saya kerjakan cuma dua. Yang satu memberikan makna kepada kata seleraku. Yang satu memberikan, mengubah lagu menjadi jingle. Itu kerjaan saya. Nah, apa namanya, jadi ketika Indomie Seleraku. Itu saya bikin Indomie seleraku itu adalah Indomie selera Indonesia. Karena namanya Indomie. Menjadi Indomie selera Ramadan. Untuk buka dan sahur. Karena makan di waktu Ramadan itu, meskipun yang lain juga makan, tapi yang sangat melekat itu adalah sahur dan buka. Ya, berkumpulnya keluarga ya. Iya, betul. Nah itu saya mengamalkan untuk yang tadinya. Indomie itu selingan Menjadi wajib Karena orang di bulan Ramadan Orang puasa itu Wajib sahur dan wajib buka Tapi gak wajib Makan Indomie sebetulnya Nah itu kita twist Jadinya Strategi itu adalah Bikin twist Dari selera Indonesia Menjadi selera sahur Dan selera buka Gitu Nah Rahasia yang lain adalah Bagaimana menciptakan gambar yang Appetizing Menggunakan milu dramatik Dengan drama sedikit Itu menjadi Appetizing, contohnya Coca-Cola, kenapa di kalengnya Ada embun-embunnya Karena enak diminum dingin Kopi, kenapa ada asapnya Karena enak diminum panas Jadi inilah Fungsi melodramatik, makanya Ketika Anda lihat Kayaknya masakannya enak nih Jadi kepingin, itu karena Appetizing ada kurasopnya sih pas di mie gorengnya bayangin aja sekarang ada kora-kora nah itu appetizernya mungkin dari konteks yang kita bahas dari awal sampai sekarang pak, sebenarnya benang merah dari branding itu sendiri, apakah dari sekedar jadi lebih baik doang atau ada hal lain Pak yang sebenarnya? Hanya itu. Hanya itu doang? Iya. Anda lihat konten endomi digoreng dan diseruput, itu Anda merasa akan lebih baik kalau saya makan yang sama? Sebelum tidur. Daripada saya gak bisa tidur nih, saya makan. Walaupun kita tahu konsekuensi mungkin telat makan malam atau apapun itu. Tapi kita berpikir bahwa jadi lebih baik Atau alangkah lebih baiknya daripada gak tidur atau insomnia nih, makan dulu deh. Supaya tenang lebih tidur gitu ya. Mungkin dari personal Pak Bi, sebelum aku mau tanya, biasanya aku bakal tanya sesuatu yang aku tanya langsung advice ke orangnya. Sebenarnya ini Bapak udah 7 dekade ya. Menjalani hidup gitu ya. Bisa apa yang bikin seorang Pak Subianto itu masih segar masih bisa ngomong podcast sama kita di UCA 70 apa pak kunci simpelnya pak ya sebetulnya saya berniat melakukan pensiun itu tahun 2012 ketika perusahaan saya di ya kena inilah, kena fraud saya udah gak bersemangat, ingin berhenti lalu si saya mengajak jalan-jalan yuk daripada bengong gitu lalu kita ketemu dengan para UKM Pertama kali itu saya kenal UKM itu dari Mas Yuswadi. Dia bikin kumpulan teman-teman UKM, saya diundang. Saya jadi terenyuh. Ternyata UKM itu enggak kenal brand-nya. Apa yang saya kenal selama puluhan tahun itu ternyata enggak dikenal oleh UKM. Karena UKM itu bisnisnya direct selling. punya barang, dijual langsung langsung ke penjualnya. Jadi fokusnya kan transaksi. Jadi gak perlu harus memberikan makna kepada produknya. Nah, sejak tahun 2012 saya merasa bahwa saya harus membuat para UKM ini paham tentang brand. Dan saya keliling Indonesia tuh. Menado, Makassar, Medan, Padang, Jawa Bali udah gak kehitung ya. Nah itu menemukan hal yang sama. Ternyata UKM perlu dibikin paham tentang brand. Nah, saya pikir setelah saya bikin presiden, apalagi yang saya mau bikin buat negara ini. Yaitu membuat UKM. Paham tentang brand, paham tentang makna, paham tentang value. Jadi seperti Anda melihat ilmi bukan makanan, tetapi selera, menerbitkan selera. melihat kopiku bukan sebagai permen, tapi sebagai gantinya ngopi. Ini yang perlu saya sampaikan ke masyarakat. Oleh karena itu... Sampai sekarang saya merasa pengertian tentang brand ini belum meluas. Belum sampai ke tingkat UKM. Jadi banyak teman-teman praktisi UKM itu yang masih puas dengan langsung jual ke konsumen. Padahal dia bisa jual melalui marketplace. Apa sih yang dijual di marketplace sekarang ini masih produk. Padahal harusnya maknanya. Nah karena itulah saya merasa bahwa tugas saya belum selesai. Ikigainya seorang subyekto ya. Makanya saya gak cuma bikin workshop, tapi saya bikin produk digital. Yang misalnya dalam satu... satu workshop itu dua hari ada 25 bab, saya pecah. Agar supaya jadi murah dan jadi menyebar. Ada pro digital ya? Kita pakai. Linknya ke deskripsi ya teman-teman. Ya. Ya diakses ya. Ya jadi kalau tadinya ditulis dalam satu buku ada 70 bab. Nah itu dibuat satu persatu. Jadi kalau satu buku harganya berapa gitu. Jadi dibagi 70 kan. Lebih bisa menyerap ke masyarakat bawah. Karena ilmu kalau berhenti di kita doang Pak, kayak kurang afdol ya. Karena hidup ini akan bermakna kalau semakin banyak kita memberi, apalagi kalau ilmu ya. Bahkan nanti kalau kita udah isirah juga amal jariah tuh gak akan. Betul, dan parahnya lagi banyak praktisi brand atau coach yang ngajarkan brand yang masih arahannya itu belak-belak. Padahal ada jalan pintas untuk bikin brand. Belak-belok itu kebanyakan teori atau apa Pak biasanya? Di opos Jadi ngomongin brand Tapi masih pakai kacamata marketing Ngomongin brand Bukan makna Tapi identitas dari produknya Padahal harusnya menjadi Identitas dari orangnya Identitas konsumennya Konsumennya jadi siapa Bukan konsumen dapat apa Makna, makna hidup. Semangat hidup lebih depannya ya. Karena saya sering ketemu pak, jujur misalnya ketemu orang yang 70-an, 80-an. Itu gak tau kenapa lebih mudah kelihatan 10-20 tahun. Ketika saya tanya kenapa mudah ya. jawabannya bukan sekedar dari sisi makan sehat habit atau tidur lebih awal tapi dari sisi semangat hidupnya yang gak selesai nih aku gak mau pensiun di usia ini, aku masih ingin menyebarkan atau ingin memberi makna itu biasanya aku sering nemu orang kayak gitu pak Sampai saya diprotes sama isi saya. Kerja melulu sih. Karena itu yang bikin saya hidup. Kalau saya diem, saya merasa tua. Kalau saya kerja, saya merasa mengikuti relevansi. Ya karena dari tadi kita ngobrol pak sebenarnya bukan konteks tahun 80-90 yang kita ngobrol ya udah ngomongin sosmed, instagram dan lain-lain Pak Baksi masih abu-birat terus loh Ya dan terus terang aja beberapa produk digital saya itu dibuat dengan AI Kenapa? Karena kalau saya live, waktunya akan panjang Perubahan dan segala macam. Tapi kalau pakai AI, bisa lebih cepat. Tapi ilmunya tersampaikan. Ilmunya tersampaikan. Yang penting ilmunya nyampe. Caranya gimana, terserah. Mungkin dari saya Pak, sebelum kita masuk ke KNE. 7 dekade menjalani hidup. The best advice untuk kita orang 20-an dari seorang sebiak. Jangan cuma meninggalkan nama, tapi tinggalkan makna. Contohnya, kalau Anda ke area pemakaman, banyak yang namanya ditulis, bininya siapa, terus apa namanya lahirnya kapan, segala macam. Namanya jelas, rapih. Tapi Anda enggak tahu dulu waktu almarhum ini hidup, maknanya apa ya buat masyarakat. Tapi di kampung ada pemakaman yang sudah rusak, ada pemakam yang sudah rusak, namanya sudah hilang. Tapi orang bilang ini makanya Pak Kiai. Jadi namanya gak dikenal, tapi maknanya yang dikenal. Yutei Pasaian. Jadi tinggalkanlah makna, jangan tinggalkan nama. Tiga pertanyaan Bapak dari teman-teman suara berkelas. Pertanyaan pertama dari underscore Fahmi DZ. Halo Kak, izin titik pertanyaan ke Pak Subyakto. Kenapa ya saya dulu pengguna Nokia, sekarang tidak melihat lagi Nokia di pasar? Dia pengguna Nokia Pak, saya juga pernah pakai Nokia. Ya saya juga pernah. Tapi sekarang kenapa kita, karena waktu itu saya mikir bahwa Nokia juga bakal long lasting. Kenapa Pak? Ya karena ditemukan teknologi baru dan Nokia tidak menerima itu. Sehingga menjadikan produknya tidak relevan. Akibatnya ditinggalkan oleh masyarakatnya. Jadi sesuatu yang berproses itu harus diikuti. Bukan pilihan. Kayak selling berproses menjadi marketing karena ada faktor distribusi. Dan berproses menjadi branding karena ada proses transformasi. Tapi kalau ini dijadikan pilihan akan ditinggalkan. Jadi mau tidak mau saat ini harus pakai branding, bukan pilihan. Karena selling itu terjadi pada waktu sebelum tahun 1900. Nah, fondasi marketing mulai lahir sampai dengan tahun 1950. Nah kemudian dipakai itu marketing. Sampai tahun 1990. Dimana disitu diperlukan branding. Gak cuman cukup di marketing, tapi harus dilengkapi dengan branding. Transisinya gimana Pak? Transisinya apakah orang ketika marketing melihat kayak ada yang kurang, sehingga mereka mulai kayak ngehaya orang-orang yang psikolog dan lain-lain supaya memahami psikologi manusia sehingga mempelajari branding. Transisinya gimana? Transisinya itu Selling itu melihat produk dari sisi produser. Dia tentukan produknya, dia tentukan agaknya, dia jual. Itu selling. Tapi begitu mulai nitip jual, dimasukin packaging, nitip jual ke toko-toko, perlu ilmu distribusi. Nah disitu diperlukan ilmu marketing. Jadi marketing pada pertama kali itu adalah lebih fokus Fokus kepada distribusi, tidak fokus pada produk, karena produk sudah ada waktu jaman selling. Nah, begitu dalam perjalanannya, itu marketing mulai memasukkan ilmu-ilmunya lain, ilmu sosial, ilmu macam-macam ya. Kemudian terjadilah teori 4P, Product Price Place Promotion. Nah itu yang dianut orang. Nah ketika tahun 90 kira-kira tahun 90an itu mulai berubah masyarakatnya. Mereka menuntut gue gak beli produk apa, tapi gue ingin jadi siapa. Nah, karena tuntutan masyarakat tinggi makanya marketing tidak lagi cukup. Diperlukan ilmu branding. Ini yang sulit dimasukkan atau diterima oleh masyarakat karena sebetulnya kenapa orang menganggap branding itu gak penting karena mereka sebetulnya gak rela melepaskan marketing. Jadi seolah-olah marketing dulu baru branding kemudian. Enggak. Gitu. Ini perkembangan, ini perjalanan, sama kayak Nokia tadi. Oke, oke. Banyak yang tidak bisa bertahan karena menolak menyesuaikan diri dengan perubahan zaman ya? Betul. Seperti Nokia ya? Betul. Tapi waktu itu kalau gak salah juga mereka udah mulai yang touchscreen gitu, tapi gak tau kenapa tidak bisa berkompit dengan yang lain ya? Karena gak mau join Android. Pada waktu itu ya? Iya. Dia pakai aplikasinya apa ya? Pakai sistemnya apa ya? Saya lupa. Selain Android ya? Itu mungkin kebenturan dialisma juga ya? Karena tidak rela melepaskan apa yang dia punya. Ya akhirnya. Tinggalan. Karena orang kaget Pak, misalnya toko kaset kaget ada Spotify. Betul. Itu benar-benar mereka harus shifting gimana caranya toko kaset. Kayak kalau di kampung saya itu rata-rata ruku yang jual kaset itu udah gak ada lagi. Iya. Harus tutup dan stres. Iya karena perkembangan zaman. Sekarang AI. Ya, kayak Tripa Bicoba juga ya. Iya. Kalau seseorang itu menolak AI, karena seolah-olah dia lebih pinter daripada AI. Lebih humanis ya. Ya, jadi menjadi ini, menjadi tidak relevan. Sekarang tinggal kita menentukan posisi kita. Kita di bawah AI, atau kapan kita di atas AI. Kapan kita nanya, kapan kita bikin pernyataan. Oke, oke. Bagus. Apakah promptingnya itu nanya, apakah promptingnya itu perintah. Emang benar-benar asisten kita Pak, kalau kita perintah. Jadi saya kalau prompting, itu saya mulai dengan saya adalah Steve Jobs. Buatkan brand plan dengan kaya Steve Jobs, dibikinin sama dia. Masalahnya tau gak kita gaya sip-jop? Kalau gak tau dikibulin sama AI. Banyaknya gitu. Oleh karena itu kalau kita mau perintah AI kita harus lebih pinter dari AI. Mungkin dia lebih tau banyak daripada kita. Tapi tidak lebih pinter daripada kita. Kita ke pertanyaan kedua ya Pak. Dari Muhammad Ikram Handaru Putra. Halo Pak Subiakto, izin nanya. Saya lagi bikin bisnis nih. Buat bisnis yang baru dibikin dengan... dana yang terbatas, mending saya fokus untuk membuang brand atau selling. Dia fokus buang apa aja kayak mungkin lehman angkaran ya Pak ya? Jadi saya sarankan kalau mulai bisnis, mulailah dengan value creation. Baru bikin produknya. Jangan bikin produk lalu inject value-nya ke dalamnya. Contohnya, Indomie. Waktu Indomie itu datang ke saya, sudah dengan nama, sudah dengan produk, dengan konsep, dengan segala macam. Minta kepada saya untuk memberikan makna kepada kata seleraku. Sementara Kopiko itu dari nol, dari belum ada produk. Sudah kita tentukan value-nya. Value-nya gantinya ngopi. Nah gantinya ngopi apakah acomber main? Pertanyaannya. Kalau dia punya mesin kue, ya dia bikin kue. Kalau dia punya mesin ready to drink, ya dia bikin ready to drink. Kalau dia punya mesin permen, ya dia bikin permen. Jadi produk itu mengikuti value yang ditetapkan. Jadi kalau apalagi bisnis baru, gak punya dana besar, tentukan dulu value-nya apa. Contoh, tadi pagi bangun pagi? Bangun pagi. Saya tanya sekarang, masalah Anda apa ketika Anda bangun pagi? Kadang pengen buka HP dulu, tapi sebenarnya pengen olahraga gitu. Yang pasti bawa mulut. Oke, bawa mulut. Istri sendiri gak mau dicium. Belum nikah saya pak, jadi gak relate. Gak relate, oke. Nah itu adalah peluang pemasaran. Kenapa Anda ngebikin produk yang value-nya mengharumkan mulut waktu bangun tidur? Itu pasti dipakai tiap hari dan ada di sebelah tempat tidur Anda. Nah, apa bentuknya? Yang punya machine man, bikin permen. Yang punya ready to drink, bikin ready to drink. Yang punya kumur-kumur, ya kumur-kumur. Sebelum memulai kegiatan hari-hari. Atau paling simpelnya spray aja. Atau spray. Itu peluang yang diciptakan Tuhan kepada manusia untuk menciptakan produk. Pain point. Setelah itu apa? Baru sarapan, mandi, terus kantor itu kemudian. Tapi yang pertama kali itu sudah diciptakan. Bahkan selagi tidur pun ada. Peluang pemasaran, bantal, spray, kasur, penutup mata, penutup mulut nanti ngorok kali ya sekarang. Jadi untuk para kreator ini, the sky is the limit. Anda punya ciptaan apa aja? Mungkin konteksnya tadi dana terbatas ya? Itu yang memahamkan orang banyak untuk justru karena dananya terbatas, jangan dibuang. Karena marketing cost. Harus jadi aset. Yaitu berarti branding, tentukan value-nya dulu jangan produknya dulu kalau Anda menentukan produknya dulu menjadi marketing cost, uang hilang tapi kalau tentukan value-nya dulu menjadi brand menjadi aset. Karena kalau udah tentukan value Pak, kita juga bisa create social media yang kasih value dulu sampai orang follow dulu. Betul. Sampai kita dekat baru gitu ya Pak. Kayak kata-kata sharing-sharing dahulu baru selling-selling kemudian. Yang saya kasih tau ke Dewa, Dewa Eka pada waktu bertabah ketemu dipake Mas Karang. Sharing-sharing dahulu baru selling-selling kemudian. Bagus juga ya. Gue baru denger lagi Tama dengarnya Ya kan kita buat kasih ini sharing Sharingnya kan ada Kemudian Ya juga ntar di deskripsi deh Kalau sharing lah ya Emang beda sama pakar branding kita yang ngomong di ujungnya sailing pak ya ini pertanyaan ketiga pak ini bagus nih mungkin karena relevan juga ya bagi anak-anak jensi yang nonton ya dari so at ya 21 Kak mau nanya dong, kenapa ya merek-merek China dan drama Korea itu menguasai pasar global? Apakah ada peran branding atau marketing di sana? Branding itu bagi dua ya, fokus pada kapasiti atau fokus pada popularity. Jadi kalau produk-produk Eropa, Amerika itu fokusnya pada kapasitinya, kualitasnya. Tapi kalau Cina itu lebih fokus kepada popularitinya, termasuk Korea. Jadi karena popularitinya yang diciptakan itu juga membuat orang menjadi tahu. Ya, tahu merknya tapi belum tahu manfaatnya, belum tahu maknanya apa. Jadi kalau produk-produk Eropa, dari awal value-nya sudah disampaikan. Bukan cuma merknya gitu. Nah itu kurang lebih kira-kira jawabannya seperti itu. Jadi Anda bisa pilih Anda mau dikenal karena populer atau dikenal karena value. Tapi kalau yang populer merangkap value itu jarang berarti? Jarang. Atau karena dia bervalue sekali kemudian dia populer tapi di sebagian orang? Jadi lebih baik value yang dikenal oleh 10 orang daripada popularitasnya dikenal oleh 1000 orang. Oke, oke. Saya paham konteks dalam konteks saya sebagai kreator juga. Mungkin kalau disuruh pilih ya, apakah kamu pilih 10 ribu followers doang tapi di dalamnya orang-orang yang bervalue atau 100 ribu followers yang random. 10 ribu ini bisa jadi loyal audience kalau kita jual produk, kalau kita bikin kelas dan lain-lain mereka beli karena kapasitas eh sorry, kualitasnya di sana. Jadi walaupun value-nya hanya dikenal oleh 10 orang tapi 10 orang itu beli lagi kalau popularitasnya itu dikenal oleh 1000 orang belum tentu dia beli lagi tapi kalau konteksnya drakor ini kan apakah mungkin mereka terlalu besar audiensnya Tapi kalau dikercutin juga gede pak, misalnya audiensnya ada 10 juta di seluruh dunia. Tapi kalau dikercutin lagi yang layak audiens untuk nonton terus atau beli Netflix dan lain-lain itu juga gede. Sebetulnya Drakor itu masih ikut car lama. I follow the people I know, itu drakor. Drakor bukan I follow the recommendation the people I know in person. Tapi kan sekarang ada yang bikin konten mbak, konten kayak gue nangis banget nonton drakor. hardcore ini ada yang bikin reaction gitu biasanya orang justru nonton gak gara-gara itu pak tapi dia follow yang kreatornya ya bukan aktor di film itu betul, jadi entah itu lip sync entah itu chip in, produk gitu ya untuk dipake di drakor, itu tidak otomatis membuat orang beli Tapi kalau itu diceritakan lagi oleh influencer dan influencer itu punya follower bertinggi, itu yang bikin beli produk kita. Gak tau ya, mungkin apakah ketika Kopiko tampil di Dragkor Startup waktu itu saya nonton, itu apakah orang Koreawa mau beli kopi biar pinter, biar melek bisa bikin startup kita sendiri gitu. Tapi Kopiko di Dragkor itu kan buntut, ujungnya udah dimulai tahun 86. Dia bukan sendirian. Iya, benar-benar. Jadi orang main Lego gitu ditumpuk, dia yang paling atas sudah. Tapi dasarnya sudah dimulai tahun 1986. Dan bukan popularitas yang dipakai. Tapi value. Value-nya ya, gantinya ngopi. Sampai sekarang value-nya dibawa. Kalau dia di drakor tuh, nguap gitu, terus ambil kopi-kopi. Itu kan value-nya gantinya ngopi. Akan terus dibawa? Akan terus dibawa. gak akan mati ya, mau di kontekskan di film, di drakor, dimana pun karena drakor itu cuma medianya aja entah sosial media entah lewat podcast ada kopiku gak? bagi dong ini kopiku tolong ya teman-teman ya next podcast ini aku opening langsung mulai kayak gitu iya Luar biasa Pak Subiakto, aku terhormat sekali bisa datang ke sini Bapak, bisa main ke sini. Terima kasih atas satu jam yang sangat bermakna. Sehat terus Bapak, sampai jumpa di pertemuan berikutnya. Sampai jumpa teman-teman, terima kasih.