Transcript for:
Menggali Stoikisme dan Filosofi Teras

Epictetus. Dalam salah satu teksnya bilang, "Bahkan Zeus pun ga bisa mengambil nalar itu." - Jadi Tuhan pun, ya? - Iya. Sudah dikasih ke kamu, Tuhan atau alam bisa merenggut kita dari kesehatan. Ya, kan? Bisa kena pandemi, kita bisa kena kecelakaan, kita bisa dipenjara. Mungkin oleh penguasa. Tapi yang satu hal yang ga bisa direnggut, bahkan oleh Dewa pun adalah, nalar kita. Dia bilang, "Lu lihat, deh, orang-orang kaya," kata dia. "Kalau mereka  stres pikirin kekayaannya, untuk apa?" "Orang-orang dengan jabatan tinggi," kata dia. Dan ini kita bicara konteksnya ini dunia politik rumah, ya. Di mana lu tuh harus menjilat gitu. Jadi dia konteksnya tuh zaman dulu ngga bedanya sih, sama sekarang. THIRTY DAYS OF LUNCH Hai teman-teman. Selamat datang kembali di Thirty Days of Lunch. Episode kali ini, masih bareng Ruby, kita mau ngobrol oleh seorang teman gua yang, ...sudah gua ikuti lama. Di Twitter awalnya. Di Twitter dikenal dengan @newsplatter. "Apa? Newsletter?" Ngga, 'newsplatter'. Jadi menyediakan berita ceritanya, ya. Tapi panjang, nanti biar dia cerita kenapa namanya 'newsplatter' sendiri. Yang lebih menarik hari ini adalah kita mengundang ke sini karena mau mengobrol buku terbarunya. Sebenarnya ngga baru-baru banget, tapi sudah jadi cetakan ke-43. - Sadis. - 43 dikali berapa, tuh. Wow. Kali 3000, deh. Angka tengah. 120,000 kurang lebih. Harusnya juga lebih. Judul bukunya, ini yang Ruby pegang ini adalah Filosofi Teras. - Filosofi teras itu, benarkan saya jika salah. Hai, Henry. Apa kabar? - Halo, Ario. Baik. Apa kabar? - Baik. Nah kita, gua mau tanya dulu. Kalo filosofi teras itu, teras adalah tempat tongkrongnya ya, sebenarnya, untuk membicarakan topik hari ini. - Betul. Yaitu stoikisme. Stoa. Bacanya bagaimana, sih? Orang tuh ada yang stoa, ada yang stoik. Sama saja, bisa dibilang stoikisme, stoik, stoicism, stoa. Sama saja, lah. Jadi teras itu adalah tempat mereka membicarakannya di saat itu. Iya. Dan kata stoa sendiri, itu datang dari bahasa Yunani, artinya Stoa Poikile. Stoa Poikile itu artinya teras berpilar. Tempat kaum guru-guru stoa  dan murid-muridnya di masa awal itu, ...punya kelas, ya. Kegiatan belajar mengajar itu di sebuah teras berpilar di alun-alun kota Athena. Gitu. Nah, nama tempatnya itu Stoa Poikile sehingga, orang-orang itu kemudian dikenal dengan Kaum Stoa. Jadi itu sebenarnya artinya anak-anak yang suka tongkrong di teras saja. - Jadi kalau gua kebayanginnya, obrolan warung kopi. Itu, ya? Ada 1 cangkir. - Bisa. - Ada warung kopi, obrolannya lain. Nah, kalau ini, mungkin harus di teras berpilar itu biar obrolannya berat gitu, ya? - Iya. Sesuai. Nah, jadi yang diobrolin itu apa? Stoikisme itu apa? Mungkin ini biar beberapa yang mungkin baru dengar dijelaskan dari yang penulis bukunya langsung. Iya. Jadi, bahasa awamnya, ya. Stoikisme itu sebuah aliran filsafat. Kan kalau mendengar kata filsafat itu alirannya banyak, ya. Banyak banget. Dan sejarah filsafat itu kan, bisa kita tarik bukan hanya Yunani Kuno. Kadang-kadang kalau dengar filsafat kan, filsafat Yunani Kuno. Kita bisa bilang mau tarik lagi ke zaman India Kuno juga, - ...China kuno juga, mereka  punya filsafatnya masing-masing. - Ok. - Nah, stoisisme ini kebetulan satu aliran dari Yunani Kuno. Seberapa kuno? Dia lahir itu 300 tahun sebelum masehi. - Ok. Jadi kebayang, ga? Sudah 2300 tahun. Sangat-sangat jadul. Pendirinya namanya Zeno. Jadi sebenarnya dulu sebelum disebut aliran Stoa atau pengikut Kaum Stoa, dulu pengikutnya dibilang Kaum Zenonian  sebenarnya. Jadi mereka yang mengikuti sang Guru Zeno. Tapi kemudian seiring berkembang jalan, mereka jadi orang-orang stoa gitu. - Ini stoa ini, yang... Entar dulu, tadi belum dijelaskan. Apa arti dari stoa. - Oh, arti? - Maaf, maksudnya maksud dari stoikisme itu apa. - Jadi, inti ajaran? - Inti ajaran. - Nah, ini menarik. Karena  sebenarnya, kalau mau dicari intinya banget, ya. Ajakan kita untuk selaras dengan alam dan manusia. - Ga nyangka, kan? - Ajakan. - Alam dan manusia. Ok. Jadi, tujuan akhirnya itu kalau dilihat dari teks-teks stoa itu adalah bagaimana kita ini harus hidup selaras dengan alam. Tapi alam di sini bukan alam lingkungan "jangan pakai sedotan plastik", bukan daur ulang, bukan buang sampah sembarangan. Tapi waktu bicara alam itu, keseluruhan, lah. Totalitas. Cosmos  dan seluruh kehidupan itu ada... Kita harus selaras gitu. Pertama dengan alam. Kenapa alam itu penting? Karena bagi Kaum Stoa itu, ...alam itu, alam semesta itu identik dengan Tuhan sebenarnya. - Jadi selaras dengan alam, selaras dengan Tuhan. - Ya. Setuju. Baik. Nah, yang kedua selaras dengan manusia juga. Jadi mereka itu ternyata, ... kita kan suka identik kalau orang Barat itu, kalau kita bilang orang Barat itu individualis, ya ga? - Kalau orang Asia itu kolektif, hamonis. - Wah, orang Indonesia. Kalau orang Barat itu, egois, gitu kan? Padahal filsafat Stoa ini dari belahan dunia barat. Justru malah mengajar harmonis dengan orang lain. Jadi itu kalau mau diperas, itu intinya itu. Paling turunannya satu lagi adalah, selaras dengan alam itu harus menggunakan nalar. - Ok. - Jadi, pemikiran itu punya posisi yang sangat kunci dalam filsafat ini, ya. Karena mereka bilang cara untuk selaras dengan alam adalah, "Pakailah nalarmu." Dan, cara paling cepat untuk tidak selaras dengan alam adalah meninggalkan nalarmu. Jadi, kata dia, banyak masalah dalam hidup manusia, segala macam pertengkaran lah, kekhawatiran, cemas. - Julid lah di media sosial. - Bawa perasaan. Bawa perasaan, lah. Cepat panik, lah. Marah-marah kalau lihat unggahan, apapun itu. Kata mereka akarnya adalah dari tidak menggunakan nalar. Keren, ya. Ini sudah 2300 tahun yang lalu bisa memprediksi suatu hari manusia akan secemas ini. Kita akan omongin itu, ya. Karena pas saya mempelajari teks-teks yang asli, ya. Filsafat Stoa. - Yang saya kagum itu adalah  masalah manusia itu ngga ganti-ganti. - Jadi dari dulu sudah ada masalah ini, nih? Masalah manusia itu, ya. Ario, ponsel pintar boleh gitu, ya. Pakai ponsel pintar lipat terbaru gitu, ya. Tapi masalah hidup manusia itu, zaman dulu ngga ada ponsel pintar, sama saja, kok. Sama saja. Jadi julid sudah turun-menurun, ya. Julid, cemas, kuatir, takut berlebihan, marah. Itu tuh dari dulu sama. Cuman beda konteksnya saja. Nah, seberapa penting nalar itu. Kenapa pemikiran itu penting. Karena, bagi orang Stoa itu, pemikiran, nalar, akal budi, itu adalah zat yang kita bagi dengan Tuhan, bagi mereka. Maksudnya dalam artian memudahkan kita dengan makhluk hidup lain. Iya. Jadi bagi mereka itu, kan mereka, Tuhan zaman dulu mereka sebutnya Zeus. 2300 tahun yang lalu, mengikuti Tata kepercayaan mereka. Jadi mereka bilang, Zeus itu memberikan bagian dari dirinya ke dalam manusia dalam bentuk pemikiran, nalar. Dan itu ngga dikasih ke binatang atau tumbuh-tumbuhan. Sudah mulai melihat hubungannya, ya. Jadi selaras dengan alam, selaras dengan Tuhan, caranya bagaimana?Peliharalah nalarmu. Dipakai, dijaga, dipelihara. Bahkan, mereka... Epictetus. Dalam salah satu teksnya bilang, "Bahkan Zeus pun ga bisa mengambil nalar itu." - Jadi Tuhan pun, ya? - Iya. Sudah dikasih ke kamu, Tuhan atau alam bisa merenggut kita dari kesehatan. Ya, kan? Bisa kena pandemi, kita bisa kena kecelakaan, kita bisa dipenjara. Mungkin oleh penguasa. Tapi yang satu hal yang ga bisa direnggut, bahkan oleh Dewa pun adalah, nalar kita. Jadi menghormati nalar adalah ada aspek spiritualitas di situ. Makanya saya suka bercanda, harusnya tokoh stoisisme di Indonesia itu Cak Lontong. Karena Cak Lontong selalu yang mengajak kita berpikir. Seharusnya dia maskot stoisisme. Gitu Ario. Panjang ya, jawabannya. - Habis ini kita mungkin bisa mengundang Cak Lontong. - Benar juga, ya. Bapak Stoik, gitu ya. Halo, teman-teman. Buat kalian para pengusaha dan para pemilik bisnis, mungkin ada info berguna ini sebelum kita mulai podcast kita. Ya, sekali lagi para pengusaha dan pemilik merek lokal. Entah itu brand fesyen, kecantikan, elektronik, makanan dan minuman, atau rumah dan tempat tinggal. Siapa pun yang lagi cari pendanaan dan mitra buat mengembangkan bisnis kalian. Kita punya kabar baik buat kalian semua. Perhatiin, ya. Elo bisa jodohin brand elo ke OPENLABS. Sebuah brand agregator terbesar di Asia Tenggara dan mereka punya dana 1,4 triliun yang siap diinvestasikan ke brand lo. Dan selain pendanaan, OPENLABS juga punya tim ahli yang siap dukung bisnis secara penuh. Mulai dari pemasaran digital, logistik, finansial, hingga strategi bisnis. Seksi banget kan? Kunjungi openlabs.id dan daftarin brand lo sekarang! Dan kita kembali ke podcast. Kita, ini sebenarnya 2300 tahun yang lalu. Tapi, kayaknya yang gua dengar-dengar dan baca-baca tuh, ...kayak baru ada lagi gitu kayak 10 tahun terakhir kira-kira di Indonesia bahkan, - ...dirimu yang mempopulerkan gitu dengan bukunya. Kelihatannya begitu, ya. - Saya ngga tahu. - Mungkin. - Ada berapa? - 120,000 buku sudah. - 2018 akhir mulai, ya. - Ya, 2018 akhir. Dan di dunia tuh, ya, 5-10 tahun ini belakangan ada lagi, nih. - Betul, betul. Kenapa? Apa kira-kira yang intrik orang untuk, apa sih? Karena media sosial ramai mungkin? Orang sudah mulai julid dan ramainya itu makin kerasa sehingga ini perlu lagi, apa kenapa, nih? Waduh, susah juga, ya. Saya ngga bisa mengklaim sebagai pakar yang  bisa menganalisis kenapa dia naik lagi, ya. Ada banyak faktor, ya, yang... Ok. Yang pertama faktanya bahwa saya rasa filosofi ini tidak mengenal waktu. - Harusnya, ya. - Filosofi ini tidak mengenal waktu. Tadi saya pernah sebut, pada saat saya mempelajari teks-teks aslinya, ...saya merasa yang menulis ini seperti hidup di zaman sekarang saja kok, gitu ya. Jadi itu berarti ada faktor keabadian. Dia melintasi waktu. Kekuatan yang kedua adalah dia juga melintasi geografi. - Seluruh dunia. - Pikirkan itu. Ini filsafat lahir di Yunani. Kita bilang itu orang bule lah, ya. Orang barat. - Yunani kemudian dia populer di Romawi Kuno. Iya, kan? Jaraknya ribuan kilo[meter] dari sini. - Eropa semua, tuh. Tetapi saya baca, saya kena. Saya tulis buku, eh laku. Gitu, ya. Orang-orang banyak kena. Berarti kan, manusia itu ternyata ngga beda jauh, kan? Ya, kan?   Kita suka menciptakan sekat-sekat kultural, budaya, agama, gitu ya. "Ah, kita beda sama orang bule," gitu ya. Tapi ternyata kita bisa bertemu gitu di filsafat yang sama. Dan saya pikir sebaliknya, ya. Saya pikir juga filsafat timur atau agama timur kan juga diterima di dunia barat, ya. Kayak Buddhism juga populer, Isen filosofi juga dipelajari orang bule, gitu. Jadi kalau kita bicara hikmat itu, kalau kita benar-benar turun sampai ke dalamnya itu, akhirnya universal sifatnya. Makanya dia bisa populer lagi dan mulai lintas negara. Tapi faktor lain, yang tadi ke Ario bilang apakah sosial media. Saya ngga tahu, ya. Mungkin orang-orang juga mulai mencari makna-makna di luar, apa ya? Sumber makna yang tradisional kali, ya?  - Terutama--- - Konvensional, tradisional. Atau, pemilu Amerika mungkin yang bikin semua ini terjadi? Ngga, sih. Sebelum pemilu Amerika. Tapi kan, kita tahu kalau di belahan dunia barat kan, mereka sudah ngga religius lagi, ya. Gitu, kan. Ada fenomena 'post-religion'. Gitu. Jadi mungkin gamang, gitu ya. Bagaimanapun juga manusia mencari makna. Kalau mereka ngga dapat itu dari agama, mungkin hal lain, gitu. Mungkin filsafat bisa menawarkan itu mungkin gitu, ya. Walaupun bukan berarti filsafat tidak kompatibel sama agama, gitu ya. Saya sejak menerbitkan buku ini dapat banyak masukan juga. Ini ngga ada masalah, ini sejalan kok. Bahkan ada yang bilang filsafat ini membantu mempraktikkan agamanya dengan perspektif yang baru, misalkan. Ya. Sama-sama ada Tuhannya juga ya, dari dulu yang 2000 tahun lalu, ya. Dan panggilan untuk hidup yang baik. Menjadi orang yang lebih baik. Saya pikir semua agama mengajarkan itu, ya. Tapi ngga semudah kelihatannya, ya. Maksudnya, buku itu telah ada selama beberapa tahun. Cetakan ke-42. Tapi kayaknya masih banyak orang yang salah tangkap. Masih banyak orang yang miskonsepsi. - Wajar, itu. - Mungkin kita bisa mulai dari situ dulu, Yo. Apanya... Intinya tadi diceritakan. Mungkin, apa sih akhirnya jadi orang banyak salah persepsi and kita bisa mulai dari sana, kita obrol lebih dalam. Iya jadi, salah kaprah, ya. Salah pengertian tentang stoisisme itu banyak. Dan itu bukan hal yang baru, gitu ya. Sudah ribuan tahun, gitu. Mereka dikritik juga, namanya filsafat, wajar. Filsafat itu banyak alirannya dan mereka bersaing. Jadi saling melemparkan kritik. Gitu, loh. Banyak. Ada rival-rivalnya, gitu ya. Seru deh kalau kita baca sejarahnya. Kayak stosisme itu dulu, saingannya sama Epicureanism. Aliran Epicurean. Itu mereka begini, gitu. Epicurean itu, "Ngapain lu susah-susah pikirin dunia dan politik. Menjauh saja kayak kita," gitu. Jadi aliran Epicurean itu detasemen dari kehidupan politik, menjauh dari keriuhan kota, gitu ya. Yang penting itu kumpul sama teman. Makan gitu, ya. Berteman. Ngga usahlah terlibat dalam kerusuhan dunia. Stoisisme malah ngga. Mereka malah terjun, mereka berpartisipasi langsung. Ya, ini contoh perdebatan. Nah, salah kaprahnya adalah begini. Yang pertama seringkali salah tafsir ajaran dikotomi kendali. Dua, ya? Internal dan? Jadi, stoisisme itu salah satu prinsip dasar, ya. Ajaran paling dasar itu adalah menerima hidup itu segala sesuatu bisa dibagi dua. Ada yang di bawah kendali kita, ada yang di luar kendali kita. Nah, yang di bawah kendali kita itu daftarnya pendek banget. Cuma dikasih opini, pikiran, pertimbangan, sama tindakan kita. Sudah. Opini, pikiran, pertimbangan. Kalau kayak bakat, gitu segala macam? Kita meningkatkan kemampuan gitu, segala macam? Iya, itu mungkin bisa. Sampai batas tertentu, ya. Itu masuknya tindakan dengan diri sendiri, bisa. Nah, cuma banyak orang yang ngga terima itu karena sisanya itu ditaruh di luar kendali. Ada beberapa hal yang kita gampang terima, ya. Kalau kita bilang cuaca, masalah ekonomi, pandemi, bencana alam. Oh, ya wajar kita bilang, ya. Itu mungkin di luar kendali. Tapi terus, reputasi, kesehatan kita, oleh orang stoa dibilang "di luar kendali, tuh." - Kekayaan kita. Itu sama mereka dikelompokan. - Itu susah, ya. Padahal itu rasanya milik banget, ya. Nah, banyak orang yang ngga bisa terima. "Wah gua ngga bisa," gitu kan. Kayak Arya sudah berotot gitu, jelas nih. - "Kekuatan gua kan di dalam kendali saya." - "Gua sudah capai-capai olahraga, masa ngga dikenal kendali gua? Itu kan tindakan gua." - Iya. - Coba dijelaskan kenapa itu dianggap di luar, tuh. Wah. Sebenarnya sudah ngga perlu dijelaskan lagi dengan adanya COVID-19. - Oh iya, benar. - COVID-19 itu adalah semesta  menghajar kita. - Lihat, lihat. Memang kalian bisa? - "Ngga ada gunanya lu sehat." - Mau jadi apa? Sebuah kesatuan. Bahkan ga bisa dibilang makhluk hidup, kan? Virus itu kan bukan makhluk hidup. Banyak perdebatan dia tidak hidup.  Karena dia tidak lengkap, kan. Dia ngga bisa reproduksi sendiri. Sesuatu kesuatuan yang begitu kecil memporakkan dunia selama 2 tahun dengan kemajuan medis kita, ya kan? Apakah kita benar-benar bisa mengendalikan kesehatan kita? Ngga. Kalau kekayaan. Wah, tanya dong sama orang-orang kripto. Bagaimana rasanya. - Dalam semalam bisa... - Jadi, pada akhirnya kita, mereka benar, lah. Orang-orang Stoa itu benar dalam dikotomi kendali ini. Kalau kita, ini ya, mau rendah hati, ya. Reputasi. Kita mungkin akan bilang... Atau karir. Reputasi dan karir. "Kan gua berjuang. Gua ngga ikut-ikutan 'quiet quiting' nih. Gua berjuang. Karir di bawah kendali gua." Anda yakin? Sudah berjuang-berjuang, itu startup-nya ngga dapat seri invesasi berikutnya, eh dipecat. Nah. Jadi itu ajaran dikotomi kendali. Salah kaprahnya di mana? Terus banyak orang mengira ajaran itu berarti kita pasrah saja. - Ngga usaha. - Ngga usaha. Gitu kan. Di luar kendali kok. Gitu. Berarti lu ajarin ini dong, ngga usah usaha. Kan di luar kendali. Kalau lu mau jaga kesehatan, lu mati juga ketabrak ojek di jalan. Untuk apa? Jadi malah ketarik ke apatisme atau nihilisme. Itu ngga ada yang ngajarin itu. Ga ada. Poinnya dari dikotomi kendali itu adalah mengenali, justru kerendahan hati, ya. Ketahui batasmu sampai mana. Supaya kita ini tidak salah menaruh obsesi atau harapan. Saya ambil contoh. Kita kan mendekati tahun politik, nih. Pakai itu saja, ya. 'Nyaleg' gitu, kan. Bayangkan kalau misalkan kamu nyaleg gitu, ya. Wah, sudah keluar duit, nih. Sudah investasi segala macam. Kalau kamu tidak pernah menganggap kemungkinan bahwa kamu kalah, ya kan. Di mana itu kan di luar kendali, nih. Kita bicara pemilu yang benar, ya. Lu ngga sogok. Kalau kita ngga pernah menganggap kemungkinan bahwa kita mungkin kalah, kan ketika akhirnya ...kalah, berat kan rasanya? Lu bisa gila gitu. Yang artinya apa? Usaha, lah. Lakukan usaha terbaikmu. Itu di bawah kendali. Mau nyaleg, silakan. - Yang penting jangan berbuat yang tidak adil. - Melanggar hukum. Berlaku dengan integritas. Tapi selalu ingatkan diri, "Saya bisa kalah." Hasilnya, saya ngga bisa mengendalikan. - Tindakannya bisa. - Tindakannya bisa. Nah itu sebenarnya yang mau diajarkan. Berikhtiarlah. Tetapi selalu siap dengan hasilnya. Hasilnya apapun itu harus selalu siap. Nah itu kan sebenarnya tips untuk jaga kesehatan mental. Apapun ikhtiar kita, ya ngga? Mau punya bisnis, mau jadi vlogger, ya kan? Mau jadi startup, mau jadi karyawan, mau cari jodoh. Itu kan berusaha, menaruh usaha yang terbaik. Tapi di waktu yang sama ingatkan diri, "Saya harus siap hasilnya apa." Jadi bukan apatisme seperti yang dituduhkan itu. Cukup jelas ga sampai sini? - Cukup jelas. - Sekalian yang kesalahpahaman itu. Ya, masih coba mencerna, ya. Aku pernah nonton salah satu episodenya... Ini sudah lama, sih. Prison Break. - Prison Break. - Tahu, ya? - Gua tahu tapi gua ga nonton. Prison Break itu, ya, biasalah. Musim 1 masih ok. Lama-lama musim 3 sudah... Tapi ada salah satu dia ketemu pastor, ya. Dia ketemu pastor. Kan tanpa agama, dengan ada agama. Gitu. Salah satu konsep agama yang diajarkan... Eh, percaya Tuhan atau tidak percaya Tuhan. Salah satu konsep Tuhan yang diajarkan adalah kerendahan hatinya itu. Jadi dengan lu percaya Tuhan, itu mengatur kerendahan hati lu. Bahwa, ada yang di luar kendali. Hampir sama sama ini. Lu biar ngga terlalu sombong, terlalu yakin, terlalu depresi, begitu sudah ngga dapat yang lu mau. Padahal gua sudah semua. Bahwa ada di luar kendali. Kalau dari sisi pastor itu adalah adanya Tuhan. Nah, ini kan hampir sama, ya, berarti ya. Masalah dalam kendali dan di luar kendali. Entah itu di luar kendalinya siapapun yang mengendalikan. Tapi, kepercayaan bahwa ada sesuatu yang mengendalikan, eh bukan. Yang di luar kendali kita, itu menempatkan kerendahan hati Anda utuh. Betul. Dan bagus juga Ario kembali ke kata kerendahan hati. Karena penerimaan di luar kendali itu bekerja dua arah. Maksudnya gini. Dia berguna ketika hal-hal tidak berjalan seperti yang Anda inginkan. Di tengah kegagalan atau kemunduran. Anda tidak terlalu keras pada diri Anda sendiri. Karena, tim bola deh misalkan, ya. - Itu kan tim bola sudah--- - MU lah, MU. Gua ga ikutan. Sudah transfer mahal. Pelatih sudah dibayar, dapat yang dari mana. Ya, kalah juga. Gitu kan. Kalau gagal lu ngga menyalahkan diri sendiri. Tapi ada di sisi koin lainnya, kalau lu sukses, juga lu harus ingat, bahwa ini ada faktor di luar kendali. - Sama, kan? Harus konsekuen. - Iya, benar. Ketika lu sukses, ketika lu untung, lu ngga bisa bilang, "Ini karena gua." Terus langsung jadi motivator. "Lihatlah gua." Tidak, tidak. Yang kayak tadi lu bilang. Gua ngga akan pernah tahu dibalik kesuksesan ini ada banyak faktor. - Iya. Kadang-kadang kita bilang hoki atau orang lain yang tolong, ada koneksi. Ya, kan? Jadi, ini berjalan dua arah. Lu ngga jatuh banget banget terpuruk kalau gagal. Tapi kalau lu sukses, santai. Syukuri. - Ga usah terlalu songong, ya. - Iya, ga usah songong, gitu. Termasuk buku ini sukses, ini juga ga bisa bilang, ga bisa songong. Banyak faktor. - Banyak faktor, benar. - Pasti karena faktor ada yang beli, ya. Jadi, jadi merasanya gini, sih. Bahkan, dalam konteks filsafat ini gua juga jadinya... Turunan itu kan jadi banyak, ya. Banyak kutipan yang sebenarnya kita dengar sehari-hari, itu sebenarnya bersumbernya dari sini, nih. 2300 tahun sebelumnya sudah disampaikan tapi dibawakan ulang dengan cara yang berbeda. Misalnya tadi. Yang gua sering dengar adalah kalimat "Ini juga akan berlalu." Lu lagi senang, ini juga akan berlalu. Bisa jadi suatu hari besoknya lu sedih karena sesuatu. Tidak ada yang permanen. Lu lagi sedih, juga sama. Ini juga akan berlalu. Besok bisa jadi ada sesuatu yang baik yang datang. Mirip kan kayak tadi gitu, ya. Terus  mungkin ada juga kutipan orang bilang. - "Lakukan yang terbaik, tapi bersiaplah untuk yang terburuk." Sama kayak tadi, gitu kan. - Iya, benar. Jadi, sebenarnya ya, hikmat  ini sudah turun-temurun, gitu. - Cuma kita cernanya dengan cara yang lain, ngga menyebutnya stoik gitu, ya. - Betul. Atau hikmat itu begitu universalnya sehingga ditemukan juga oleh orang-orang lain secara independen. Jadi ngga bisa mengklaim bahwa, "Oh, itu semua datangnya dari stoisisme." Ngga. Kalau kita cek ajaran Islam, gitu ya. Atau ajaran apa, Konfusius atau apa. Akan ketemu, tuh. Mereka menemukan hikmat yang sama. Menarik, ya. Padahal dulu ngga ada media sosial. Mereka mempengaruhi satu sama lain tapi mereka datang dengan hikmat yang sama. Mungkin karena ngga ada media sosial makanya mereka ketemu hikmat. - Kalau mereka bergulir mulu. - Tolong dicatat. Begini terus. Ngga pikir, deh. Jadi, tapi bagaimana sih, cara kita... Tadi kan walaupun sudah disebutkan, mana yang internal dalam kendali, mana yang di luar kendali. Tapi, bagaimana sih rasanya, kalau kita... Kita makhluk sosial, nih. Hidup di dunia yang, ya, orangnya sudah semakin banyak mungkin dibanding 2300 tahun yang lalu. Belum suaranya makin keras dengan media sosial. Kan setiap kali ada sesuatu masuk ke kita yang seharusnya di luar kembali, bagaimana membatasinya? Maksudnya biar ngga mengganggu kita. Kita dengar sesuatu karya kita yang, ya kita pikir kita sudah tindakannya sudah penuh, nih. Dalam kendali, nih. Tindakan gua sudah penuh. Tapi, tiba-tiba 'dijulidin', tiba-tiba dikritisi. Terus ngga berhasil. Mau ngga mau manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk emosi, pasti itu panas, nih. Panas, nih. "Gua sudah usaha ini semua." Ya, kalau kreator konten ada pembenci, lah. Dikomentar segala macam. Walaupun, komennya sudah tahu nih, mungkin sedikit, ya. Gua juga suka kayak, "Sok Inggris lu." Gitu, karena gua campur bahasanya. Atau apalah gitu, segala macam. Terus ya, tetap saja. Kayaknya ada, sebagai makhluk emosi itu kayak, gemas gitu. Nah, cara balik lagi. "Oh, itu bukan, itu diluar kendali gua, lho." Itu bagaimana caranya? Ya, caranya ya seperti itu. Sudah ngga ada yang lain. Maksudnya, cara itu adalah mengingatkan diri sendiri, gitu. Saya rasa praktik stoisisme ya, yang harus lebih banyak orang modern melakukannya. Itu adalah mengambil jeda untuk berdialog dengan diri sendiri. - Antara meditasi, napas, gitu? - Ngga, ngga sampai meditasi. Sesimpel, kita ambil contoh, ini lah. Pembenci, misalnya. Kita kan sama-sama di media sosial. Ada saja pembenci pasti, kan. Biasanya kita kalau membaca sesuatu kan pasti sangat manusiawi, loh. Sangat manusiawi untuk merasa tersinggung gitu ya, atau sebal, gitu kan. "Yaelah," gitu kan. Atau salah, ngga nonton komplit atau membaca komplit, sudah ngamuk masa. Pasti kan itu lu merasa meradang, kan. Nah, respon itu ngga apa-apa. Di dalam perspektif stoisisme itu, itu normal. Itu lah manusiawi. Itulah natur manusia. Yang mereka mau ajak kita adalah, "Habis itu, lu bisa ngga kasih waktu untuk pikir, berdialog dengan diri sendiri?" Kalau orang yang ngga melatih diri dalam storiosisme, reaktif. Reaktif maksudnya, "Brengsek lu, ya!" Terus lu balas, ternyata ngga kelar-kelar. Balas-balasan, kan. Kalau lu mau menuruti. Lu menjadi reaktif. Sementara kalau ada sang Guru Stoa dia bilang, "Tenang," gitu. Pertama, apakah lu bisa  mengendalikan mulut semua orang lain? Atau jempol semua orang lain? Ngga  bisa, kan? Jadi, kenapa lu nafsu gitu? Ini hanya kehidupan. Yang kedua, lu mau mengharapkan apa, gitu. Lu mau mengharapkan semua orang harus melihat sudut pandang lu, atau mengapresiasi apa yang lu suka? Santai kenapa? Biarin orang punya perbedaan pendapat. Itu kan kayak ada dialog internal, kan. Nah, ini adalah praktik yang kita jarang lakukan. Kita memilih untuk beraksi, gitu. Padahal kalau kita mau mengaudit pikiran kita sendiri, "Ini penting banget ngga sih buat gua bete?" Misalnya lihat gambaran besarnya. "Sebenarnya penting ga, sih?" Kalian ingat ga, ada nasihat orang lama, kan. Sebelum lu marah, hitung sampai 10. - Ada. Nafas. - Cukup hitung sampai 10. Ya mungkin, orang Stoa akan tambahkan. "Hitung sampai 10 dan berpikir. Apakah ini setimpal untuk lu beraksi atau ngga?" Sesederhana itu saja. Gitu. Jadi, apa ya? Ya, itulah. Manusia sekarang terlalu 'jumpy', ya. 'Jumpy' itu langsung. Dan itu sangat berbahaya di era media sosial. Karena kita rentan di manipulasi sama orang-orang atau pihak-pihak yang memang sengaja mau 'stir the water'. - Tuh kan, jadi ngomong Inggris. - Ga apa-apa. Jadi pengen sengaja menciptakan kerusuhan, kan. Ya, kan? Ada video politisi, "Ah, ini lucu nih kalimat ini kalau gua penggal, bikin orang marah. Gua potong, gua unggah, kan." Wah, langsung orang ngamuk. Padahal kalau lu mau mempraktikkan Stoa. Coba tenang dulu. Ada bukti lain ngga? Gitu. Jangan-jangan, ini ada niat-niat untuk mengadu domba, misalnya. Ngga cepat reaktif, gitu. Apalagi mau 2024, ya. Ini isinya bahkan banyak yang bukan orang sebenarnya dibaliknya. Cuman bot gitu yang dikumpulin untuk memprovokasi. - Kita tahu di Amerika sudah begitu, kan? - Iya. Sebenarnya stoisisme itu vaksin, gitu. Menghadapi kayak gitu supaya lu ngga cepat bereaksi. Pikirkan itu. Pada politisi ngomong, "Kok ini kayak gerombolan?" Marah. - Kalian ngga tangkap becandanya? - Ngga baca berita. Kalau kita melihatnya... Kalau gua masih suka melihat kayak, "Ngga apa-apa lah kalau cuman satu." "Oh, ngga apa-apa lah kalau cuman dua. Yang lainnya komentarnya positif," gitu. Terus, tapi kan bahaya juga kalau kita lihat berdasarkan jumlah, tiba-tiba  diatur sama bot nanti ke depannya. "Oh, ternyata ada 100 orang yang nadanya tinggal beda-beda tipis, ternyata ya dalangnya satu." Di belakangnya itu bahaya banget ya memang kalau ngga kita stop, ya. Makanya lu mencetuskan STAR, ya. 'Stop, think, assess, and react.' Dan beraksi atau respon, ya. Tapi, maaf ya. Gua coba lagi, nih. Kalau keadaannya agak darurat bagaimana? Misalnya gua kasih... Ok, kalau itu kan kita di balik di galeri ponsel. "Ya sudah, kita diam saja." Ya sudah, ponselnya juga kadang-kadang masalahnya sebenarnya ngga ada gitu. Tapi kalau kita di jalan, naik mobil, keserempet atau ketabrak. Kalau misalnya kita melihat di video di medsos itu juga kadang sudah mulai orang panas di jalan, nih. ASN lah, terus mobil tertentu, lah. "Kok ini, mobil ini terkenal emosional, ya?" - Begitu canda-candanya. - Lagi tengah-tengah macet tiba-tiba dari belakang klakson. - Yang biru-biru, ya. Tiba-tiba yang klakson atau apa kesentuh, terus turun. Nah, keadaan kita lagi turun gitu diklakson belakang. "Cepat dong, kalau mau berantem di pinggir." Bla bla bla, gitu. Nah, itu kan buru-buru semuanya, adrenalin. - Ga sempat tuh, nalarnya. - Ga sempat, tuh. Itu bagaimana, tuh? - Emosinya duluan. - Ngga ada nasihat yang berbeda untuk itu. Dan menurut saya itu latihan, ya. - Oh, latihan, ya? Benar, sih. - Jadi, ada satu lagi wawasan yang saya dapat selama mempelajari dan mempraktekkan ini. Bukan mempelajari lah, mempraktikkan. Benar juga sebenarnya. Mental kita itu ngga ada bedanya sama badan, sama otot. Itu bisa dilatih. Dan, artinya semua orang bisa menjadi lebih baik. Jadi kita ngga setuju tuh sama penyataan yang bilang, "Tapi gue lahirnya kayak gini. Memang gua orangnya kepanasan." Itu kan berarti kan seolah-olah pada dasarnya gua ngga bisa berubah. "Gua kan Virgo gitu loh. Lu maklumin gua, dong." - Nah, itu pasti ngga bisa diterima. Karena sebenarnya, itu bisa dilatih. Dan gue kebetulan--- - Virgo. Bukan. Untungnya bukan. Ngomong-ngomong, seorang Leo ngga percaya zodiak. Lu harus tahu itu. - Kan saya Leo. - Iya, makanya. Harusnya--- Tapi saya nurutnya sama istri, sih. Istri percaya, ya sudah. Dan harusnya Leo itu ngga percaya zodiak, katanya. Ada banyak aspek yang sesudah saya latih, saya menjadi lebih baik. Saya ngga bilang sempurna, ya. Yang paling cepat meningkat itu adalah kemarahan di jalan. Itu adalah contoh, kemarahan di jalan. Aduh, gua tuh dulu gampang 'ter-trigger' di jalan, sih. Jadi kalau gua sudah macet tuh, gua frustasi banget. Jadi gua benar-benar sampai marah, meledak. Sekarang gua sudah ngga. Di jalan sudah, "Oh, ya." Macet tuh bisa lebih "Ya udahlah," gitu. - Ngga kayak dulu lagi. - Faktor usia tapi ini, ya? - Bukan, karena ini cukup cepat nih, habis belajar stoisisme. - Ok. Yang diulang itu apa? Yang dilatih itu apa? Ya, tadi. Apa, ya? Dialog internal, ya. Jadi kalau sudah mulai merasa emosi, itu sebenarnya saatnya lu ber-internal dialog. Kita banyak ngga belajar itu, kan? Jadi kita larut. Kalau saya marah, berarti saya turutin. Padahal manusia itu  punya kemampuan buat bertahan, gitu. ngomong sama diri sendiri. "Ini setimpal atau ngga?" Atau, "Apakah ini hal yang benar untuk dilakukan?" Ini ngga akan kejadian dalam semalam. Kamu ngga akan baca Filosofi Teras atau teks stoisisme, terus tiba-tiba besok kamu menjadi suci, gitu. Ngga ada. Dan ini, orang tuh suka membaca buku 'self-help', atau mengikuti motivator mengira transformasi itu terjadi dalam satu malam. Tidak masuk akal. Itu ngga ada. Butuh praktik. Atau misalkan di media sosial. Ya, mungkin Ario mengikuti gua sudah lama kali, ya. Jadi dulu tuh, gua jauh lebih kasar, lebih sarkas, lebih julid, apapun gua komentar. - Sekarang gua basi sih, sosial media gua dibandingkan, lebih seru 2009. - Benar, benar. - Tapi kenapa? Karena gua mempraktikkan. - Sama, sih. Apakah saya harus meresponi itu? Terus gua sudah siap, nih. Menjadi julid. "Wah, gua punya banget, nih, kata-kata yang pasti sarkas banget." Yang pasti jenaka. Cuman kemudian, "Aduh, ini nanti lebih banyak buruknya daripada manfaatnya." Makanya gua akhirnya jadi, "Anda tahu, gua pilih diam saja daripada memperkeruh. Orang salah tafsir. Ngga membawa manfaat. Buat apa, sih?" Hanya karena gua terdengar keren bisa ngomong itu. Iya jadi, efek negatifnya dari praktik ini adalah sosial media jadi basi. - "'Engagement' turun, Kak?" - 'Engagement' turun di luar kendali gua. Ya sudah. Yang penting... Tapi buku coba, gua coba tantang sedikit, ya. Apakah berarti jadinya regulasi emosi itu nomor 1 dalam hal ini. Itu yang pertama. - Pertanyaan yang baik. - Yang kedua, kan ada juga orang yang bilang, "Terkadang, baik bagi Anda untuk melampiaskannya." Karena kalau lu tahan emosi lu, amarah lu, mungkin bisa jadi sakit penyakit atau sesuatu. Nah, 2 itu saja sih yang pengen gua coba. Mungkin riset lu sudah ketemu yang baru. Bukan riset, sih. Yang pertama itu kan regulasi emosi, ya. Nah, ini juga bagus nih topiknya, pertanyaannya. Saya memakai analoginya begini. Menjaga kesehatan sama mendapatkan berat badan ideal. Maksudnya begini. Banyak orang terobsesi dengan, "Gua pengen berat gua ideal." Atau, "Badan gua harus bagus." Gitu kan? Tapi itu agak kehilangan intinya ga, sih? Karena sebenarnya berat badan ideal tu adalah konsekuensi dari sehat. Yang dikejar itu sebenarnya harusnya sehatnya. Ya, kan? Di mana efek samping dari... Efek samping lagi. Ya, konsekuensi dari pola hidup sehat adalah berat badan lu ideal. Kalau orang melupakan sehatnya dan kejar berat badan idealnya, akhirnya bisa terjebak ke cara-cara jalan pintas, ya kan? Atau cara-cara yang sebenarnya ngga berkelanjutan. Diet keras, minum obat, suntik sana sini. Berat badan lu turun. Tapi karena itu bukan dari sesuatu yang fundamental, ya. Jadinya berat badannya naik turun. - Atau mahal. - Atau mahal. Nah. Stoisisme dengan emosi. Menjaga emosi itu cuma efek sampingnya. Bukan itu yang harus dikejarnya. Paham? Sama kayak kita jangan mengejar berat badan ideal tapi kejarlah sehatnya. Begitu juga dalam stoisisme, "Lu jangan bukan terobsesi menahan emosi." Itu kehilangan intinya, gitu. Kalau gitu, apa dong yang analoginya sehatnya sehat fisik dengan stoisisme apa? Nalar yang sehat. Balik lagi ke pemikiran. Karena  kalau lu pemikirannya sehat, lu ngga perlu ngotot untuk menahan emosi, gitu. Kalau Anda hidup sejalan dengan alam, yang artinya Anda mempunyai pemikiran yang sehat, ini akan jadi efek samping sendiri. Dan ini, wawasan ini, melahirkan aliran psikologi kognitif behavioterapi, aliran terapi. Yang sampai saat ini dianggap salah satu aliran terbaik, terefektif. Itu pendiri-pendirinya; Aaron Beck, Dr. Albert Ellis. Itu kalau kita baca bukunya bilang, kita terinspirasi oleh stoisisme. Jadi, penderitaan emosional, kita sering bilang penyebabnya faktor eksternal. Lu pulang, bete. "Kenapa lu?" "Itu Bos gua yang kasih kerjaan sudah lewat jam 5," misalkan. Gitu, kan? Atau... ..."Kenapa lu?" "Kripto turun." Macet, lah. Sesederhana macet, lah. Orang Stoa akan bilang, "Tidak, tidak." Bukan macet, bukan kripto turun, bukan bos yang bikin lo terganggu atau kesal.   Tapi opini lu tentang kripto, opini lu tentang bos lu, atau seorang bos harus kayak bagaimana. Opini lu tentang jalan raya kayak bagaimana. Itu yang bikin lu campur aduk. Dan, berarti nalar lu lagi ngga beres. Karena kalau nalar lu beres, lu akan menginterpretasi kejadian itu beda. - Efek sampingnya, lebih tenang. - Jadi misalnya ya, kalau macet. Terus kita ngobrol sama diri sendiri, nih. Koreksi saya bila salah. Menganalisa opini kita tentang macet. Awalnya kita berpikir macet ini bikin gua ngga sabaran tunggu, buang waktu. "Gua bakal telat," segala macam. Terus tapi, kalau misalnya ngobrol, "Eh, masih untung ya, sudah sampai." "Gua masih bisa ketemu keluarga gua," misalnya, gambaran besarnya. "Eh, ternyata gara-gara macet, gua masih bisa," misalnya apa, ya? "...Dengar podcastnya Thirty Days of Lunch di jalan," misalnya. Jadi ada, ternyata... ..masih bisa dilihat dari segi lain, perspektif lain. Gitu contohnya? Itu contoh yang ini, bagus. Dan yang paling bijak itu supir taksi. Kadang kalau kita mau naik taksi ngobrol, di tengah macet. Supir taksi kan selalu bilang kalau yang di Jakarta, "Ya, Pak, kalau ngga macet bukan Jakarta, Pak," gitu kan. - Itu kan sebenarnya sudut pandang yang sudah berbeda, kan? Sudah ada penerimaan, kan? - Sudah penerimaan. Kalau lu marah lagi macet, berarti lu sebenarnya punya asumsi bahwa Anda tidak pantas mendapatkan kemacetan ini gitu kan. Atau macet ini harusnya ngga kejadian. "Halo, kemana saja?" - Sudah tahu tinggal di Jakarta. - Ya, kan? Yang salah di lu, bukan di macetnya. - Masuk akal. - Atau salah lu kenapa lu mepet berangkatnya. Sudah tau mau macet. Jadi, bukan hal-hal yang mengganggu kita. Pendapat kitalah. Bukan hal-hal eksternal yang mengganggu kita, tetapi opini kita. Dan itu yang harus dikoreksi. Maaf ini panjang, tapi gua masih ingat pertanyaan lu. Jadi apakah stoisisme itu tentang regulasi emosi? Iya, tapi, itu adalah efek nantinya. Mari kita fokus di apa pikiran Anda. Jaga pikiran, jaga persepsi lu. - Makanya itu berharga banget. - Saya suka itu. - Tadi yang dikeluarkan? Masih ada? - Nah ini, gua mau masuk ke situ. Mengeluarkan. - Itu ngomong-ngomong, sudah dibantah, ya. - Sudah dibantah, ya? Iya, coba lu baca artikel, deh. Jadi sudah diteliti yang ajaran yang bilang, "Lu kalau marah, lu harus ventilasi keluar supaya lu mengeluarkan," kan? Itu sudah ada penelitian terakhir menyanggah itu. - Sebenarnya, itu buruk. Sangat buruk. - Makin memperparah. Karena makin memperparah. Karena lu pada dasarnya kayak api. Malah makin lu kipaskan, gitu. - Jadi kan, ada yang bilang , "Iya, lu bagaimana lu tonjok atau apa gitu, kan?" - Tenis. Gua tenis sekarang kalau lagi marah. Tenis masih ngga apa-apa. Kalau dari situ kan, lu larinya ke olahraga. Tapi kan ada yang jadinya destruktif gitu, kan. Lu pukul-pukul atau teriak atau apa. Itu menurut penelitian tuh malah kayak apa, sih? Kalau api itu di... apa? 'Stocking the fire' apa itu? - Iya benar, ditambah nyala, gitu. - Dikipasin. - Pakai bensin kali, ya? Disiram bensin, gitu. Malah menurut penelitian itu, "Ngga. Lu mendingan lu latih buat tenang, buat mengatur. Jangan dikeluarkan." Dan tentang, khusus tentang kemarahan, itu salah satu filsuf Stoa yang namanya Seneca itu menulis satu esai. Saya rekomen buat teman-teman baca. Cari 'Seneca on Anger'. Bagus sekali. Dia benar-benar kasih argumen, tidak ada situasi di mana kemarahan itu dibenarkan. Dan dia sudah siap dengan pertanyaan bagaimana dengan marah terhadap ketidakadilan. "Tidak, tidak," kata dia. "Tetap ngga bisa!" kata dia. Karena dia bilang kalau lu seorang hakim, lu harus apa menjatuhkan hukuman yang adil. Kira-kira lu bisa adil ngga kalau lu dikuasai kemarahan? Ya, kan? Tentara. Kan ada yang bilang, "Wah, tentara berperang tuh harus marah." Kan supaya lu membela bangsa. "Kata siapa?" kata dia. "Lu sadar ngga, sih? Kalau lu membela negara dengan keadaan marah, lu malah gampang dikerjain sama musuh lu, kan?" Ya, kan? Makanya pernah dengar, kan? Petinju yang emosional justru musuhnya kalau tahu, "Oh, ini emosional?" - Bikin marah saja. - "Gua pancing, saja." Kacau langsung serangan-serangannya, kan? - Ngga pikir. - Iya, gitu. Jadi, iya. Emosi jangan dilampiaskan. Bukan ditahan, loh. Nah, ini yang sambung ke salah kaprah yang berikutnya. yaitu mereka pikir stoisisme itu artinya penekanan. Menekan emosi. Bukan. Ini bukan penekanan. Ini tentang memperbaiki penyebab utama. Kalau saya supres saya kan begini. "Gue marah banget, nih. Sama istri gua atau suami gua atau pacar. Gua marah banget, tapi gue mau tahan." - "Ga, gua ga boleh marah." Itu menahan. - Tidak ada bedanya kalau? Kalau mengatasi akar penyebabnya, lu harus dialog, gitu. "Gua marah kenapa, ya?" "Soalnya dia lupa, pacar gua lupa ulang tahun, tanggal jadian," gitu kan? "Ok, tapi memang manusia ngga boleh lupa, ya?" "Memang lu inget lu sendiri, semua tanggal penting?" Kan ngga. Dan apakah dia lupa setiap tahun? Apakah baru tahun ini saja? Mungkin ada alasan dia lupa? Karena dia lagi stress pekerjaan? Lihat ngga bedanya? Bukannya sekadar, "Gua ga boleh marah." Bukan gitu, loh. Tapi lu mundur selangkah, kira-kira dia penyebab gua marah apa, itu yang digali. Nah, ini akhirnya jadi dasarnya CBT. 'Cognitif Beauty Therapy.' Komponen C nya, kognitif terapinya, itu persis kayak yang diajari Stoa. Jadi yang yang digali itu lu punya pikiran. Apa terhadap hal-hal yang lu pikir bikin lu marah atau sedih. Coba dicek pikirannya. Jangan-jangan ngga logis. - Gitu. Ya, kayak macet tadi. - Ini, ya. Itu yang mau gua tanyain sebenarnya. Meregulasi emosi sama menahan. Karena dipikirnya, biar ngga stress atau biar ngga apa, lu harus tahan emosi lu. Harusnya bukan seperti itu, ya? Karena misalnya sama anak pun, Parentalk juga suka ajari psikiater psikolognya anak tuh diajari untuk mengenal emosinya di awal. Jadi, kalau nangis, kasih waktu misalnya butuh nangis. Jangan, "Jangan nangis!" Gitu. Itu malah berat buat dia. Jadi kalau misalnya nangis, itu diajakin untuk, "Ok, kamu sedih, ya? Kamu kenapa?" "Apa yang kamu rasakan sekarang? Ini." "Oh iya. Kenapa?" Dialog. Dari kecil tuh kita diajarkan untuk mendialogkan dibantu kalau masih kecil. Nah, itu tujuannya, itu dipraktikkan di sudah gede, gitu. Bahwa, kalau sama an... Anggap saja ada yang tanya, "Kenapa ya gua nangis? Apa yang gua rasakan, ya? Badan gua kenapa, ya?" "Tadi apa yang kejadian, ya? Kalau gini bagaimana? Kalau gitu bagaimana?" Jadi anak pun dari awal, dari kecil, sebagai orang tua, gua juga diajari untuk, "Coba nih, sekarang bagaimana kalau anak nangis?"   "Ok, kamu masih mau nangis, butuh waktu?" Bahkan dikasih gitu. Maksudnya, bukan untuk dihentikan biar dia mengenal dulu emosinya tuh, apa namanya ini. "Oh, ini namanya marah. Ini namanya. Oh, gini toh." Rasanya marah gini toh rasanya sedih." Jadi, dialog yang di Stoa ini di gede, mungkin dari awal sedari kecil itu harusnya udah dituntun untuk kayak belajar berdialog. Dia kan juga punya anak, ya. Mungkin juga anak nangis, anak teriak, anak marah. Itu pasti pernah alami juga, gitu. Bagaimana mengaplikasi itu, gitu? Ke anak tentang belajar. Mana yang meregulasi, mana yang ditahan atau ngga ada yang ditahan atau bagaimana gitu sama anak tentang Stoa ini? - Ya, tentunya harus sesuai dengan perkembangan usia ya, gitu. - Ya, betul. Jadi pasti perlakuannya berbeda. Tapi saya senang tuh, yang kamu bilang. Dan itu yang saya coba praktikkan juga, sih. Saya dengan istri. Jadi kalau... Sekarang anak saya sudah 6 tahun, ya. Jadi sudah lebih bisa berdialog. Sudah bisa diajak ngobrol. - Jadi kalau dia nangis atau marah, kita ngga jangan cuma bilang, "Jangan nangis! Jangan marah!" - Sulit dia. Biarkan saja, tapi paling mulai tuh ada dialog sesuai usianya, kan. "Apa sih, yang bikin kamu marah?" - Ya, kan? - "Ga tau!" Biasanya tahu, sih. "Mainannya saya rusak." "Kita ngga jadi ke mall." Gitu kan. "Oh, gitu." Nah, dari situ kan dia diajarkan menemukan hubungan antara emosi dengan sebuah alasan, sebuah pikiran dia. "Terus, ya kenapa? Memang kenapa sedih?" Kadang-kadang seiring waktu percakapan itu emosinya bisa stabil. Ya, kan? - Karena sebenarnya apa yang terjadi itu--- - Ditemukan sama nalarnya, ya. - Iya. - Diajak ketemu gitu, ya. Sama ada yang namanya itu... Aduh saya lupa istilahnya. Itu bukan keterikatan tapi... Aduh, 'diffusion', ya? Jadi, gara-gara kita menganalisa emosi kita... Kita sebelumnya melekat, kan. - Kita lagi, antara saya dan marah, itu kan sedang melekat. - Ya. - Tapi gara-gara diajak ngomong, tiba-tiba kita tuh kayak diajak untuk melihat diri kita sendiri tapi dari luar. - Oh, kayak nonton diri sendiri. - Iya. - Sudut pandang burung. "Lu marah kenapa, sih?" Nah, itu tuh, baru proses begininya saja sudah membantu mereda sedikit. Apalagi kemudian diproses. Gitu. Misalkan, marah-marah ngga bisa main karena hujan. Hujan terjadi. Tapi kita ngga bisa apa-apa. - Tapi bisa apa sekarang? - Yang seru kalau sebelum umur 5, di saat-saat tantrum belum bisa bicara. Nah, itu memang begitu. - Nah, itu mungkin cuman sekadar, ya itu. Cuma sekedar pengakuan. - Benar, benar. Wah, banyak banget sebenarnya yang dipelajari tadi. Aku suka banget bagian kita tuh bisa berubah. Kita, yang kayak Virgo Leo tadi segala macam. Tapi kayak aku juga nonton. - Buddhis, meditasi segala macam. Itu secara medisnya kan selama dia meditasi diukur otaknya. - Gelombangnya. Gelombang otaknya. Memang rasanya seperti anak, jauh lebih muda dari umurnya. Jadi gelombang otaknya di saat meditasi itu terbukti memang lebih santai, lebih tenang. Jadi itu hasil, mungkin dia meditasinya sudah ahli banget. Cuman kalau kita kayak... Sebenarnya bukan harus meditasi tapi kayak berdialog, stop berpikir, tadi mulai--- - Ambil jeda. - Iya, ambil jeda. Itu kita bisa, loh. Bisa berubah. Dan itu gua juga percaya, bukan ngga usah jadi 'mingyur' misalnya. Tapi sehari-hari, ya sama sama lu, Twitter gua juga sudah semakin kurang reaktif. Dan sudah kadang-kadang bahkan gua ngga tahu mau 'tweet' apa, "Kalau ngga ada gunanya ngga usah lah, ya." Kayak gua suka pikir kayak gitu. Iya, manusia bisa berubah dan gua percaya itu. - Gua... Lu ada lagi, ga? - Ngga, silakan. - Gua mungkin mau tanya lagi, nih. - Tanya, dong. Karena filosofi teras ini kan, menurut gua banyak aplikasinya. Tadi kita sudah ngobrol soal 'road rage'. Kita sudah ngobrol soal 'online bullying' dan komentar, gitu ya. Tapi dari dua itu saja, lahir beberapa solusi yang mungkin sedikit berbeda, gitu. Dan menurut gua itu bagus. Jadi gua mau coba memicu dengan satu kasus lain lagi. Karena itu muncul satu lagi yang berbeda. Karena gua banyak ngomongin soal duit. Nah, gua mau membahas apakah ada nih, di salah satu skripnya Seneca, gitu ya.   Atau siapa gitu yang ngebahas stoik tapi dalam konteks finansial gitu. Karena gua meliatnya... Di satu sisi, sejak 2018 banyak orang  yang mengedukasi tentang finansial. Orang mesti menabung, investasi, saham. Tapi sebuah keekstriman, akhirnya muncullah. Seumur 30 harus punya 1M. - 100 juta gaji. - Terus muncul perbandingan gaji. Terus mulai kayak ada bagusnya lu tahu kalau, "Oh, gua masih punya ruang untuk meregang." Tapi ada lainnya juga yang kayak, orang jadi teriak hak keistimewaan, teriak ini, itu. Ada ngga sih, sesuatu yang Henry dapat selama ini dari ngobrol dari stoisisme ini berkaitan dengan isu-isu keuangan tadi? Iya, yang paling dasar apa, ya?  Kalau saya sih bagaimana tetap cara tenang menghadapi pasar yang fluktuatif misalkan. - Atau sekarang lagi inflasi, gitu ya. - Iya. Saya itu kan penyintas krisis finansial 2008. - Sudah--- - Tahun 98 juga dong berarti, ya? - 98. - 98 saya belum punya banyak duit. Tapi 2008 itu saya melihat satu malam itu, saya ingat nilai portfolio turun 40% dalam satu malam. - Berapa persen? - 40%. Iya. 2008 itu. Ya, kan? Lemon Brothers  dan lain-lain. Walaupun saya belum ketemu stoisisme waktu itu, cuman saya ingat saya ngga panik jual, gitu. "Kalau saya jual sekarang, gua malah rugi," gitu kan. Dan benar saja, untung gua ga jual. Jadi gua... Dengan cepat kita pulih, ya. Jadi, pertama, bagaimana menjadi tenang ketika pasar bergolak. Tetap setia pada strategi Anda. Kalau punya strategi kayak bagaimana. Ya, strategi gua jujur males, sih. Gua 'dollar-cost averaging'. Strategi orang malas. Tapi karena gua juga ngga serakah pengen dapat keuntungan paling banyak. Makanya gua ngga, gua jujur gua ngga 'day-trading'. Antara malas sama ngga ada waktu juga karena gua kerja. Betul, ya. Jadi gua, "Ya sudahlah, gua reguler saja." Dan, di satu sisi kan itu mengajari disiplin, gitu. Sebenarnya kan itu bentuk dikotomi kendali, ya. Kalau gua berinvestasi selalu reaktif dengan pergerakan pasar, itu kan malah bisa kurang optimal. Malah kalau ngga salah dulu pernah ada penelitian membandingkan 'dollar-cost averaging' sama orang yang terus-terusan coba waktu pasar, kan. Ternyata jangka waktu yang panjang, si 'dollar-cost averaging' malah superior. Dibandingkan orang yang "aku masuk, turun, masuk, keluar". Jadi, tidak reaktif, satu. Kemudian, apa ya. Sebenarnya, nasihat keuangan terbaik buat saya itu bukan tentang pemilihan instrumen atau apa. Tapi sesimpel jangan hidup di luar kemampuanmu. Itu saja dulu. Jangan besar pasak dari tiang, gitu kan. Boro-boleh kita sampai investasi. Masalahnya, bangsa kita ini seringkali konsumerismenya itu ya, kebablasan. Hidup melebihi kemampuan. Gaya hidup melebihi pendapatan. Dan jatuhlah ke jebakan. Pinjolah, atau pinjaman-pinjaman yang sifatnya konsumtif, ya. Sebelum kita masuk ke investasi, jadi investor bagaimana, apa ada investor stoik, jadi saja dulu orang yang hidup sesuai dengan pendapatannya apa. Karena dasarnya keuangan itu juga di luar kendali, kan. Tadi yang disebut di awal, harta kita, kekayaan kita, semua di luar kendali walaupun sudah di - ...tabungan kita, sudah jadi sebuah mungkin properti. Tetap itu di luar kendali. - Iya. Jadi, hububngan dengan uang, ya. - Saya rasa filsuf Stoa akan, apa ya, untuk ajari ingetkan, "Jangan terlalu terikat dengan kekayaan." - Oh, ok. Oh, iya. Keterikatan. Karena pada dasarnya keterikatan terhadap apapun di luar kendali Anda, itu ditidaksarankan. - Ok. - Posisi, jabatan, ketenaran, reputasi, harta kekayaan, itu jangan terlalu terikat. Seneca bagus. Ekspresinya itu dia bilang gini. Kan kalau, apa ya. Rezeki itu mereka bilang Dewi Fortuna. - Pernah dengar kan, Dewi Fortuna? - Ya. Dewi. Dianggap sebagai dewi. Seneca bilang gini. "Gua selalu curiga sama dewi keberuntungan." Lucu, ya? - Kenapa, tuh? - Iya, sifatnya kecurigaan. Karena kata dia, Dewi Fortuna itu 'fickle'. 'Fickle' itu apa, ya? Kalau orang itu tiba-tiba bisa berubah moodnya, gitu. Jadi hari ini Dewi Fortuna lebih baik sama gua, gua curiga sama dia. Itu kata Seneca gitu. "Ok." - Karena gua tahu, mungkin besok lu tiba-tiba bete sama gua, ngambek sama gua, dan lu merenggut semuanya. - Oh gitu. Iya. Dan dia bilang saya memperlakukan semua keberuntungan saya seperti barang pinjaman. Dari si Dewi Fortuna itu. Karena sifatnya barang pinjaman, dia bisa ambil lagi dong, kapan saja. Saya pikir sebagian dari kita kan bilang itu pinjaman dari Tuhan. Tidak penting lu menyebutnya apa. Pokoknya peringatan diri sendiri bahwa ini barang di luar kendali gua saat ini. Gampang direnggut lagi. Gitu. Ngga usah terlalu sombong. Ya, dan lu, karena lu ngga terikat, lu ngga obsesif. Mungkin itu bikin lu kurang rawan ke guncangan pasar. Soalnya lu kan tenang. "Portfolio gua ga boleh jatuh." Terus lu dengar cerita. Lu sudah tambah stres, gara-gara stres lu meninggalkan strategi Anda. Iya, kan. Lu jadi jual panik. Tambah ngga karu-karuan. Soalnya investor tenang menurut gua itu adalah yang terbaik. Jadi ya, bercurigailah sama si Dewi Fortuna ini. Karena dia bisa sangat ngga ketebak, deh. Dikasih, dikasih. Dia bete, direnggut. Keterikatan terhadap kekayaan Anda. Tadi baru baca berita si founder-nya, apa ownernya, Patagonia. - Wah, itu luar biasa. - Melepaskan semuanya. - Nah, itu contoh orang yang sudah di atas sana, ya. - Ya, Patagonia. Wow. - Ya, walaupun tabungannya pasti banyak, sih. Gua yakin. - Mungkin. Ada investasi lain sebenarnya, tenang saja. - Menarik. Terakhir buat keuangan. - Silakan. Karena gua selalu mencoba untuk bisa mengaitkan ke berbagai lapisanlah, orang. Karena gua juga pernah di posisi yang... Ya gua bisa bilang lumayan ngga terlalu berhakkeistimewaan. Selama bertahun-tahun, karena berjuang ya, bisa di posisi yang lebih berhakkeistimewaan. Tapi, yang saya tanyakan adalah, salah satu ditulis di Filosofi Teras... Gua takut salah. Ada yang namanya 'prefered indifferent'. Itu kayak, hal-hal yang sebenarnya ngga mengaruh. Tapi kalau ada ya, bagus. - Betul. Contohnya harta benda, kesehatan, kecantikan. - Lalu ada 'unpreferred indifferent'. Artinya hal-hal yang sebenarnya ngga mengaruh, tapi kalau ngga ada bagus. - Iya. Misalnya lu ngga sakit, jangan sampai reputasi buruk. Tapi, kalau soal harta itu ngga penting-penting banget sebenarnya, terus bagaimana buat mereka yang masuk dalam kategori miskin? - 'Underprivileged' lah. - Ya, kan. Sementara... Bagaimana, ya? Bagaimana caranya gua bisa stoik di saat gua makan besok susah, gitu. Bagaimana menjadi setenang itu? Kita bicara dulu ya, soal 'preferred indifference' sama itu, ya. Jadi... Soalnya ini ada penjelasannya dulu, gitu. Kenapa disebut indifferent. Jadi semua hal yang di luar kendali itu oleh kaum Staa itu dibilang 'indifferent'. 'Indifferent' artinya terjemahan gampangnya itu 'ngga mengaruh'. Tapi kita harus ngerti dulu maksudnya ngga mengaruh itu apa. Maksudnya ngga mengaruh adalah begini. Ngga ngaruh untuk menentukan hidup kamu itu baik atau tidak. Saya ulangi, ya. Apa arti indifferent dalam konteks filsafat Stoa? 'Indifferent' itu artinya hal-hal yang masuk kategori 'indifferent' itu tidak menentukan Anda memiliki kehidupan yang baik atau kehidupan yang buruk. Artinya... Apa saja tadi yang masuk ke hal-hal di luar kendali? Kekayaan, reputasi, jabatan. Itu mereka masuk ' indifferent' yang artinya kita tidak menggunakan ini untuk menilai hidupmu baik atau tidak. Kalau gitu, hidup yang baik atau tidak hanya bisa dinilai darimana? - Yang paling adil hal yang di dalam kendali. - Ya tadi, ok. Adil, dong? Logikanya orang Stoa. Lihat orang Stoa, dia bilang begini. Sekarang saya melihat ada orang berhakkeistimewaan, misalkan, kan? Kaya, rumahnya besar, mobil banyak. Apakah hidupnya baik? Kata orang Stoa, kalau menilainya dari hartanya, belum tentu. Harta kan di luar kendali dia. Mungkin warisan, mungkin koneksi, mungkin hak istimewa. Ya, kan? Apapun itu. Sebaliknya. Saya melihat orang yang miskin. Apakah berarti hidupnya tidak baik? Kata orang Stoa, "Ngga juga." Karena kemiskinannya dia bisa jadi struktural. Akibat ketidakadilan sistem. Ya, kan? - Masa lu bilang orang ini hidup buruk hanya karena dia miskin? Dia miskin belum tentu salah dia, kok. - Di konteks itu, ya. Di konteks itu. Jadi filsafat Stoa itu, hidup baik atau buruk, harus dilihat dari hal-hal yang di bawah kendali dia. Gitu. Jadi, "Oh dia miskin, tapi dia jujur. Maka dia mempunyai hidup yang baik." Gitu. "Dia mungkin pangkatnya rendah. Tetapi dia tidak mau korupsi." - "Dia memilih tidak korupsi walaupun godaan itu ada." Dia mempunyai hidup yang baik. - Kesempatannya ada. "Dia mungkin masuk penjara, tapi  dia masuk penjaranya karena ngga, ketidakadilan," gitu. Atau karena dia membela yang benar. Karena dia aktivis. Iya, dia masuk penjara. Tapi di mata Stoa, dia mempunyai hidup yang baik. Karena dia, pilihan-pilihannyalah yang menentukan dia baik atau buruk. Makanya orang-orang Stoa ini cukup  menjengkelkan di zaman dulu. Karena ngga terlalu hormat sama kaisar. Makanya banyak yang dihukum mati kan, karena mengesalkan, gitu. Karena mereka ngga... "Terserah," gitu, kan. "Kalau lu punya jabatan, gua ga silau. Bodo amat." "Yang gua lihat pilihan-pilihan Anda." "Tindakan lu itu lebih penting." Bahkan pahlawannya... Jadi salah satu tokoh yang dipandang oleh para filsuf Stoa itu belum tentu orang Stoa. Contohnya mereka menjadikan 'biogenous', si aliran 'cynic' sebagai pahlawan. Jadi ada aliran lagi namanya, aliran filsafatnya namanya 'cynicism'. Tapi ini beda sama sinis kayak yang kita mengerti sekarang, ya. 'Cynic' itu dari kata 'cynicus' artinya anjing. Kenapa? Karena praktisi filsafat ini hidupnya kayak anjing. Jadi mereka ekstrim. Mereka anti kekayaan. Jadi mereka 'hardcore'. Kalau Stoa itu ngga apa-apa dengan kekayaan. Kalau aliran 'cynic' itu menggelandang. Mereka, "Ih, kekayaan." Itu benci banget. Anti banget. Nah, itu ada kisah. Di Wenes itu, dia hidupnya di jalan, tinggal di tong. Tapi kan dia terkenal, karena dia bijak. Suatu hari Aleksander Agung. Pernah dengar dong, Aleksander Agung. Di masa jayanya dia menguasai Raja Makedonia. Menguasai belahan Eropa. Berkunjunglah gitu kan, untuk menghormat kepada dia. "Wah, ini filsuf, orang paling bijak." Jadi dia datang gitu kan. "Bapak Guru, Yang Maha Bijak," gitu, ya. "Guru Filsafat, saya Raja Alexander Agung." Dia lagi di jalan, ya. "Apa yang bisa saya berikan? Apa yang bisa saya lakukan kepada Bapak Guru?" Apa jawabannya? "Anda bisa meminggir, sih. Karena Anda menghalangi sinar matahari. Saya lagi jemur." Itu kisah itu klasik, banget. "Bisa meminggir ngga? Saya lagi berjemur dan kamu tutupi matahari." Nah itu, cerita semacam itu untuk tunjukkan. - "Aduh, gua ga peduli lu punya apa." - Sistem ini, ya. Iya. Nah, ini saya balik. Jadi, buat orang yang susah gitu, ya. Kekayaan itu ngga apa-apa gitu. Dan silakan di, apa ya? Diperjuangkan, gitu ya. Silakan, gitu. Tokoh-tokoh Stoa itu sangat beragam, ya. - Yang paling kaya itu mungkin Seneca. Kaya banget tapi akhir hidupnya tragis. - Sampai gelandangan, ya, kalau ngga salah? Ya. Bukan gelandangan. Mantan budak. Ada Kaisar Markus Olivius.   Kaya, tapi ya, dia jadi kaisar kan karena nasib. - Keturunan. - Keturunan gitu, ya. Tapi di suatu spektrum lain kamu ketemu orang kayak Epictetus. Budak. Bekas budak. Jadi lihat  spektrumnya, mereka ngga anti kekayaan. Jadi, harus ga memperbaiki nasib?Ya, haruslah. Orang itu disukai, kok. Oh, ya. Ada 'preferred', ada 'unpreferred'. Jadi walaupun dia 'indifferent', walaupun dia tidak bisa dipakai untuk menilai hidup kita baik atau ngga, ... tapi mereka cukup logis, gitu. Mereka bilang, yang namanya sehat sama punya uang, tentu saja disukai. Jadi kan mereka ngga gila. Kenapa? Karena mereka argumennya begini. "Karena dengan kesehatan dengan kekayaan, kamu bisa berbuat baik. - Iya, betul. - Logikanya gitu saja. Anda bisa melakukan lebih. Jadi logikanya dia pun untuk berbuat baik. Bukan untuk... Jadi balik ke kebajikannya lagi. Ya. Balik ke kebajikkan. Begitu juga orang sakit parah, hidupnya ngga bisa dibilang ngga berkualitas. Tapi tentunya lebih baik ngga sakit. Karena kalau ngga sakit, Anda bisa melakukan lebih. - Bisa berguna untuk orang. - Jadi artinya, mau jadi kaya boleh ngga? Boleh, boleh banget. Tapi harus sampai mengorbankan kebajikan Anda ngga? Apakah mengejar kekayaan yang sebenarnya 'indifferent' ini terus merusak hal-hal yang di bawah kendali lu? "Gua akan korup demi kekayaan." Ya sudah, lu sebenarnya kerugian. Katanya gitu. - Menjawab pertanyaan lu ga? - Menjawab, menjawab. - Jadi memperaiki nasib itu silakan. Ngga anti sama kekayaan. - Saya suka itu. Ini akhirnya membawa saya ke pertanyaan terakhir. Omong-omong gua suka banget jawabannya. Terima kasih banget, terima kasih banget. Itu kecepatan yang terbaik dari tadi. Jadinya apakah Filosofi Teras ini juga bisa membantu kita untuk menemukan cukupnya kita? Dan, kalau ada, ada pengalamannya ngga? "Oh, gua akhirnya ketemu cukup gua karena bedasarkan yang saya baca, gua ketemunya gini." Gua agak susah karena, gua mencoba untuk mencerna bahwa, tadi sudah dibilang bahwa duit itu ya disukai. Tapi ngga berkontribusi kepada hidup baik. Tapi di waktu yang sama, gua juga pengen punya angka cukupnya gua. Menjadi realistis. - Menarik kalau yang namanya motivator finansial suka menggunakan kata kebebasan, betul? - Ya. - Kebebasan finansial. - Kebebasan finansial. Kata yang bagus dan bisa jadi dimaknainya salah. Karena begini. Lu ngga punya kebabasan nyata lagi ketika apa yang lu punya itu malah menjadi beban. Benar ngga, sih? Maksud gua, buat gua kata ke itu punya makna fisik. Artinya kebebasan ini gua, kalau gua harus makan gua bisa beli makan, kalau gua pengen jalan-jalan gua bisa beli. Bisa beli tiket dan lain-lain. Gua bisa berlibur, ok. Lu bebas melakukannya. Tapi di waktu yang sama, lu juga harus bebas dari, apa ya, kekuatiran. Bebas dari kecemasan. Analoginya gini. Kalau gua punya duit, misalnya ya, gua mengambil angka doang. Kalau gua punya duit 50 juta, dan di uang 50 juta itu gua senang dan tenang, maka mungkin 50 juta juta ini lebih bagus daripada gua punya 500 juta atau 5M tapi gua mulai cemas. Lihat ngga bedanya? Ada harganya, nih. Dan apakah Anda kehilangan kebebasan Anda dengan punya 5M ini? Jadi lu punya duit tapi takut terus ini hilang. Gitu, kan? Dibandingkan orang yang punya sedikit tapi dia senang, gitu. Dia, itu. Nah, menurut gua nih, dia ketemu cukupnya gitu. - 50 [juta] itu? - Iya, mungkin gitu. Kebebasan yang sejati. Dan gua mau pinjam lagi kutipan dari salah satu filsuf Stoa. Saya lupa ini siapa yang omong. Oh, Seneca kayaknya. Dia bilang, "Lu lihat deh, orang-orang kaya," kata dia. "Kalau mereka stres pikirin kekayaannya, untuk apa?" kata Seneca. Ya, kan? "Orang-orang dengan jabatan tinggi," kata dia. Ups. Orang-orang yang berjabat tinggi. Dan ini kita bicara konteksnya ini dunia politik rumah, ya. Di mana lu tuh harus menjilat gitu. Jadi dia konteksnya tuh zaman dulu ngga bedanya sih, sama sekarang. Kalau pengen sukses, lu harus menjilat. Lu menjilat senator, senator menjilat kaisar, tidak kelar-kelar, tuh. Terus kata dia, "Lihat deh, perilaku mereka dengan jabatan setinggi itu. Mereka tidak bebas." Karena dibayangi ketakutan "gua akan kehilangan jabatan gua, maka gua harus menjilat, atau gua harus ini". Dan, ini mungkin agak bergeser, ya. Siapakah orang paling kuat sedunia menurut lu? Orang paling kuat sedunia. - Presiden Amerika Serikat. POTUS. - Setuju. Saat ini gua akan bilang presiden Amerika Serikat. Dia punya kebebasan ngga untuk jalan-jalan seenaknya naik ojek ke mana-mana sendiri? Punya ngga? Tidak ada kebebasan. Dan gua terinspirasi melihat videonya Obama waktu itu, belum lama gua lihat di TikTok sampai dia cerita. - Bagaimana dia naik mobil, setir mobil sendiri aja ngga bisa. - Ngga boleh. Bahkan setelah dia sudah ngga presiden lagi, ya. Manusia paling kuat sedunia, ngga bisa jalan-jalan. Tidak punya kekuatan untuk menyetir mobilnya sendiri. Lu anak konglomerat, menurut lu, anak konglomerat Indonesia menurut lu bisa jalan-jalan seenaknya ke Blok M atau apa? - Kalau lu ngga takut diculik lu dijaga pengawal di mana-mana. - Ya, misalnya gitu, ya. Jadi ketika kita bilang kebebasan finansial, apakah Anda benar-benar mempunyai kebebasan? Gitu, loh. - Itu sangat bagus. - Apakah Anda benar-benar mempunyai kebebasan? Nah, mungkin ini membantu menjawab lu cukup. Menurut gua cukup itu adalah ketika kekayaan Anda itu sampai di tingkat yang memberikan Anda kebebasan. - Tapi kalau lu super kaya, ada di Cayman Islands tapi takut dicolong. - Ketahuan korupsinya. "Nanti gua ketahuan sama auditor, sama KPK." Kayak, apakah Anda bebas? - Tidak juga. - Gitu. - Pengalaman ada momennya di saat--- - Terima kasih untuk itu. Ini berkaitan banget, ya. Terima kasih jawabannya. Ada momennya di saat kalau gua mau kerja teruskan di satu, ...jalan yang tadinya gua mau tentukan, salah satu kebebasan yang gua hilang adalah waktu dengan keluarga saya. Jadi, gua tau, nih. Gua pasti kalau... Misalnya politik. Waktu itu pernah organisasi lah, ya. Kalau dipanggil malam-malam ketemu ini, berangkat. Karena dia yang dorong gitu, misalnya. "Kayaknya ngga, deh. Kayaknya gua masih pengen..." "...Ok, kalau jam segini gua mau sama anak gua, mau sama keluarga gua. Kebebasan waktu, itu yang gua kejar. Ok. Ya sudah, gua cukup dengan ini." - Sambil bisa sama keluarga. Itu yang mungkin salah satu contoh lainnya, dari situ, ya. - Iya. Benar. Dari gua, gua senang banget jawaban-jawabannya. Terima kasih banget, jadi menjawab semua salah tangkap atau pertanyaanlah setidaknya tentang stoik ini. Dan tadi di awal juga sempat mengobrol sama Henry sebelum memulai bahwa, ... "Iya, gua setuju banget untuk tidak... Dasar-dasarnya stoik ini. Tapi gua ngga tahu kalau namanya stoik." Gua ngga tahu ini namanya apa, filsafat apa, segala macam. Tapi banyak banget yang mungkin lurus. Dan kita tuh, sebenarnya ngga harus tiba-tiba, "Oh, ini stoik, kita harus jadi stoik." Atau, "Oh, ini filsafat lain harus ini." Itu, boleh kalau iya. Kalau mau silakan dibaca bukunya. Tapi, selama itu memberi Anda pimpinan atau tujuan, atau kebajikan lu cocok, ya namanya apapun itu. - Siapa yang peduli? - Siapa yang peduli sebenarnya? - Apapun yang berjalan. - Lu mau stoik perjuangan, ternyata ada bedanya sedikit. - Stoik perjuangan. - Lambangnya beda dikit, ya. Lambangnya beda dikit. Siapa yang peduli? Jadi, ini adalah dasarnya mungkin untuk salah satu kalian pendengar, penonton, bisa pelajari. - Ya. - Jadi dari situ, mau dikembangkan, "Oh, ini cocoknya kalau gua yang orangnya begini," silakan. Silakan banget. - Ngga ada, buku ini atau Henry tidak memaksa untuk harus "ini ngga boleh salah". - Ngga dogmatis atau apa. Karena pada dasarnya, tujuannya adalah memperbaiki. Henry juga berdasarkan pengalamannya sendiri. Memperbaiki hidupnya dan semoga memperbaiki banyak hidup orang lain. - Kalau tinggal disesuaikan, sesuai keinginan Anda. Silakan banget. Dan gua senang banget sama jawaban-jawaban hari ini. - Terima kasih. Terbuka banget. Bukan berarti gua langsung gua stoik besok. Gitu bukan. Tapi banyak banget yang, "Oh, gitu. Oh iya, dan gua setuju kebanyakannya." Dan gua suka banget. Terima kasih banget sudah hadir. Bukunya keren banget. Dan Ruby kalau mau menambahkan, silakan. - Mungkin cuma mau bilang ada alasan buku ini masuk sampai cetakan ke-40 sekian. - Betul. Dengan tidak diduga-duga mungkin, dari sebuah hikmat yang 2300 tahun yang lalu ternyata adalah hikmat yang kita butuh di waktu seperti ini. Sekarang dengan ramainya inflasi, naiknya BBM, saya yakin teman-teman juga melihat masa-masa sulit di depan. Jadi, gua sudah kebayang banget kalau episode ini mungkin ngga jadi salah satu episode yang teman-teman perlu simpan. Baik di Apple Podcast kalian, Spotify kalian, Youtube kalian. Suatu hari, kalau lu lagi di jalan kena macet, lu dengarkan Henry barusan bicara, ya. Jadi, bisa mulai untuk tadi. Tujuannya adalah nalar yang sehat. Menurut gua itu yang luar biasa banget, bukan si efek sampingnya, regulasi emosi. Dan tadi dampaknya juga soal, bukannya soal macet, tapi juga soal keuangan dan, semuanya ternyata terpakai. - Jadi, terima kasih banget. - Terima kasih sudah mengundang saya, ya. Senang sekali. - Diapresiasi. - Katanya cuman podcast ketiganya dia nih, kalau ga salah. - Wow. Dengan itu dalam pikiran, kalau teman-teman dapat manfaat dari episode ini, mohon berterimakasih kepada Henry. Ya, kan? - Bisa dengan beli bukunya atau berikan 'shoutout'. - Di Twitter. Dia lebih aktif Twitter, ya? - Masih, ya. Ini TikTok gua belum bisa joget soalnya. Gua menghindari. - Apa akunnya? - @newsplatter. - Kalau di Instagram? @hmanampiring. Dan juga bisa colek-colek kita @thirtydaysoflunch, atau Ario di @sheggario, gua di @fellexandro. - Terima kasih banyak sudah menonton. - Sampai jumpa di makan siang berikutnya.