Transcript for:
Eksplorasi Prabu Brawijaya dan Majapahit

Salam budaya, selamat berjumpa kembali dengan channel Heri Purwanto 81 Kali ini kita akan melakukan kupas tuntas terhadap Raja Legendaris Majapahit yaitu Prabu Brawijaya Karena nama Brawijaya tidak pernah ditemukan dalam prasasti manapun Prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit tidak ada yang menyebut nama Prabu Brawijaya Sehingga ada pihak-pihak yang menyebut Prabu Brawijaya itu adalah toko fiktif Dalam video kali ini akan kita bahas apakah benar Prabu Brawijaya itu tokoh fiktif. Lalu kita juga akan membahas tentang Bre Kertabumi yang selama ini sering diidentikan dengan Prabu Brawijaya. Juga akan kita bahas apa hubungan antara Bre Kertabumi dengan Girindrawardana Diyah Ranawijaya. Oke teman-teman, video ini sebagai jawaban atas beberapa komentar yang masuk dalam video sebelumnya.

Yaitu pada video ke-31 kita telah Melakukan kupas tuntas terhadap dua Naskah kuno yang menjadi sumber Rujukan sejarah Majapahit yaitu Nagara Kertagama dan Pararaton ketika saya sajikan Daftar Raja-Raja Majapahit Menurut naskah Pararaton Ada yang komentar Loh apa berikerta bumi itu bukan Raja Majapahit kok tidak ada Nah kemudian ada yang komentar seperti tadi ya Brawijaya itu toko fiktif ya Kok tidak ada di daftar tersebut Nah ini saya jawab disini ya Bahwa sebenarnya Bre Kertabumi itu ada di Naskah Pararaton Disebut seperti ini Bre Pandan Salas Anjeneng Eng Tumapel Anuli Prabu Isyaka Brahmana Naga Kaya Tunggal Prabu Rong Tahun Tumulisah Saking Kadaton Putra Nira Sang Sinagara Bre Koripan Bre Mataram Bre Pamotan Pamungsu Bre Kertabumi Kapernah Paman Bre Prabu Sang Moktaring Kadaton Isyaka Sunya Norayuganing Wong Jadi Dalam naskah Pararaton, Brekerta Bumi hanya disebut satu kali. Apakah Brekerta Bumi ini Raja Majapahit atau bukan? Nah, akan kita bahas dalam video kali ini. Sebelumnya, saya jawab komentar juga ya.

Ada yang mengkritik saya bahwa saya keliru menyebut Tumapel. Yang benar katanya Tumapel. Mohon maaf, saya membaca Tumapel itu ada dasarnya.

Bukan ngarang ya. Jadi, penulisan yang ada di Prasasti itu menggunakan aksara pa diberi sandangan pepet. Sehingga harus dibaca Tumapel.

Kalau Aksarapa di Britaling itu bacanya Tumapel, tapi kenyataannya di Prasasti tertulis Tumapel. Meskipun banyak yang membaca Tumapel, ya mungkin mereka belum pernah baca Prasasti, tapi saya kan tidak ikut suara terbanyak, karena kebenaran sejarah itu bukan ditentukan oleh suara terbanyak, tapi ditentukan oleh sumber yang lebih mendekati kebenaran. Jadi yang benar itu Tumapel, bukan Tumapel.

Oke teman-teman, kita lanjutkan. Jadi, Brekerta Bumi dalam Pararaton itu hanya disebut sekali, sedangkan Brawijaya sama sekali tidak ada. Hal ini sudah kita bahas dalam video nomor 20, 21, dan 31 bahwa nama Brawijaya itu sumbernya dari naskah-naskah tradisional atau naskah-naskah babat yang ditulis oleh Pujangga Keraton era dinasti Mataram Islam.

Misalnya dalam babat Tanah Jawi. Itu disebutkan bahwa Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Sesuruh Sedangkan Raja terakhir bernama Prabu Brawijaya Tapi cara bacanya menurut Ejaan Mataram Itu dibaca Prabu Brawijaya Meskipun tulisannya pakai A Tapi dalam Ejaan Mataram itu dibaca O Sumber tradisional lainnya berjudul Serat Kondo Serat Kondo ini lebih detail daripada Babatan Najawi Karena dilengkapi dengan sengkalan tahun juga ya Misalnya disini Disebutkan bahwa Raden Sesuroh itu naik tahta menjadi Raja Majapahit pada sengkalan Selomungal Katon Tunggal. Atau Syaka 1221. Itu kalau dikonversi ke Masehi menjadi 1299. Ini konversi sederhana ya.

Konversi sederhana seperti ini. Sebenarnya ada yang lebih rumit lagi. Nah, kemudian digantikan putranya Raden Kumoro.

Bergelar Prabu Bro Kumoro itu pada sengkalan... Mukokalih Tingalmoto Kemudian Prabu Ardi Wijoyo naik tahta pada Wani Tigo Tingalmoto Kemudian Raden Adhaningkung bergelar Prabu Bro Wijoyo Kolomisani Pada sengkalan Muluk Toto Tingaling Nerpati Kemudian digantikan putrinya bernama Dewi Kenconowungu yang bergelar Prabu Kenyo Itu pada sengkalan Wikuretu Tingalwani Kemudian Dewi Kenconowungu menyerahkan tahta kepada suaminya bernama Raden Damarwulan bergelar Prabu Mertowijoyo Browijoyo pada Sengkalan Nirgurnito Sembahiro Prabupati. Kemudian digantikan putra mereka yaitu Raden Alit bergelar Prabu Browijoyo, Browijoyo yang terakhir, pada Sengkalan Putra Mumbul Pigunanyo Sri Bupati Kemudian pada Sengkalan Mukoterus Lenonoto Kerajaan Majapahit direbut oleh Demak Raja Demak ini bernama Raden Patah Putra dari Prabu Brawijaya sendiri Kemudian Prabu Brawijaya tadi pindah ke Sengguruh daerah Malang Mendirikan benteng pertahanan di sana Lalu pada Sengkalan Sirno Ilangkertaning Bumi Sengguruh berhasil direbut oleh Demak Dan Prabu Brawijoyo mengungsi ke Bali Jadi selama ini sering dipahami mengatakan bahwa Sierno Ilang Kertaning Bumi itu runtuhnya Majapahit Bukan ya, Sierno Ilang Kertaning Bumi itu adalah sengkalan Prabu Brawijoyo Terusir dari Sengguruh mengungsi ke Bali Itu kalau menurut Serat Kondo Tapi meskipun Serat Kondo ini lebih detil daripada Bapak Tanah Jawi tetap saja Dua-duanya adalah naskah tradisional yang ditulis ratusan tahun sesudah Majapahit runtuh. Valid atau tidaknya itu perlu diuji lebih dahulu.

Nah, pada video sebelumnya telah kita bahas bahwa sarjana yang pertama kali meneliti para raton adalah sarjana Belanda, yaitu Dr. Jan Laurens Andries Brandes. Saya ulangi ya, yang meneliti bukan yang membuat para raton. Nah, dalam meneliti para raton, Dr. Brandes itu...

menggunakan babatanah Jawi dan serat kondo sebagai perbandingan. Secara kebetulan, sengkalan Prabu Brawi Joyo mengungsi ke Bali, yaitu sirno ilang kertaning bumi, itu mirip dengan Bre Kertabumi yang disebut dalam Pararaton, sehingga Brandes menafsirkan bahwa Bre Kertabumi adalah Raja Terakhir Majapahit Yang kalau dalam Pararaton disebut sebagai Bre Prabu Sang Muktaring Kadaton Isyaka Sunyanurayuganinguwang Jadi dalam Pararaton disebut pada Syakasyunyanurayuganinguwang itu ada Raja Majapahit yang meninggal di dalam Kedaton Dan itu ditafsirkan sama dengan Bre Kertabumi Secara kebetulan, sengkalannya pun sama, ya nilainya, yaitu 1400 Syaka. Itu sama dengan Sireno Ilangkertaning Bumi dalam Serat Kondo, yang juga 1400 Syaka.

Jadi, Raja-Raja Majapahit menurut tafsir Brandes itu seperti ini. Bre Pandan Salas menjadi raja hanya 2 tahun, kemudian tumuli sah saking Kedaton, lalu digantikan Bre Kertabumi, yang akhirnya meninggal dalam Kedaton pada Syaka 1400. Tapi dalam para raton tidak dijelaskan. Raja yang meninggal dalam Kedaton itu kenapa?

Karena diserang siapa? Apakah diserang demak? Tidak, tidak ada keterangan dalam Pararaton ya. Pararaton sama sekali tidak menyebut tentang demak.

Tentang Raden Patah juga tidak ada. Raden Patah itu sumbernya dari naskah tradisional seperti Babat Tanah Jawi dan Serat Kondo. Kemudian setelah Brandes meninggal, penelitian sejarah Jawa Kuno dilanjutkan oleh Nikolas Johannes Krum. Pada persoalan Majapahit akhir, Krum berpendapat bahwa Majapahit tidak runtuh oleh serangan demak, melainkan oleh serangan Prabu Girindrawardana Diyahranawijaya. Alasannya apa?

Alasannya ada Prasasti Petak. Prasasti Petak ini dikeluarkan pada 1408 Syaka atau 1486 Masehi oleh Raja bernama Sri Batara Prabu Girindrawardana Diyahranawijaya. Dia meneguhkan anugerah Raja sebelumnya. kepada Sri Brahma Raja Ganggadara yang telah memberikan bantuan demi kemenangan Sang Mungwing Jinggan Do Ayunayunan Yudo lawan Majapahit ketika berhadapan-hadapan perang melawan Majapahit.

Jadi Prasasti Petak tahun 1486 itu menyebut ada raja bernama Girindrawardana Diyahranawijaya yang berperang melawan Majapahit. Nah, dari sini Krum menyimpulkan bahwa Yang menyerang Majapahit itu bukan demak, karena demak pun tidak ada dalam pararaton. Jadi yang menyerang Majapahit itu ini, buktinya adalah prasasti petak. Jadi, sarjana yang pertama kali berpendapat bahwa Majapahit itu runtuh bukan karena demak, bukan karena serangan pasukan Islam, itu adalah orang Belanda bernama Krum.

Selain itu ada Prasasti Jiutiga yang mengisahkan ada Raja bernama Sri Maharaja Batare Kling, Sri Girindrawardana, Sri Singawardana, Diyahwijaya Kusuma. Nah Prasasti Jiutiga ini juga dikeluarkan oleh Prabu Sri Ranawijaya. Jadi pada era Majapahit akhir muncul dinasti baru bernama Girindrawardana yang menumbangkan kekuasaan Prabu Brawijaya alias Brekertabumidi.

Majapahit. Tapi, Pendapat Krum Indu tentu saja tidak diterima begitu saja oleh para sejarawan lainnya ya. Pro kontra selama bertahun-tahun, puluhan tahun itu tetap ada. Hingga akhirnya ada Profesor Selamat Mulyono yang tetap meyakini bahwa Majapahit runtuh karena diserang demak.

Nah, yang menjadi rujukan Profesor Selamat Mulyono itu adalah naskah kronik Cina yang berasal dari Klenteng Sampokong. Dalam... Naskah tersebut disebutkan bahwa Raja Majapahit terakhir bernama Kung Tabumi yang diserang oleh anaknya sendiri bernama Jinbun kemudian ditawan ke Demak.

Setelah itu Majapahit menjadi bawahan Demak dan pada 1488 diserahkan kepada Adi Ipar. Jinbun yang bernama Pabutala, jadi Pabutala ini menantu Kung Tabumi. Nah, Profesor Selamat Mulyono itu menafsirkan bahwa Kung Tabumi itu sama dengan Brekerta Bumi, sedangkan Jinbun itu sama dengan Raden Patah, karena Raden Patah itu dalam babatan Najawi disebut bergelar Senopati Jimbuningrat, sedangkan dalam Serat Kondo bergelar Panembahan Jimbun, sedangkan Pabutala itu ditafsirkan sama dengan Girindrawardana Diyahranawijaya.

Jadi Girindrawardana Diyarana Wijaya itu ditapsirkan sebagai menantu Bre Kertabumi. Akan tetapi, buku Profesor Selamat Mulyono ini sempat dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru. Kenapa? Karena buku ini menyebutkan bahwa Wali Songo sebagian itu berasal dari Cina.

Antara lain, Sunan Ngampel itu disebut memiliki nama asli Bong Sui Ho. Sedangkan putranya yaitu Sunan Bonang itu punya nama asli Bong Ang. Kemudian Sunan Kalijogo itu disebut punya nama asli Gansi Chang. Nah, buku ini terbit pertama kali tahun 1968. Sedangkan waktu itu hubungan antara Indonesia dengan Cina sedang buruk ya setelah peristiwa G30S-1965. Kemudian setelah Orde Baru Tumbang, tahun 2005 buku ini kembali diterbitkan sehingga kita bisa membaca penafsiran Prof. Selamat Mulyono terhadap kejadian di...

Era Majapahit akhir Sebenarnya bukan soal Wali Songo berasal dari Cina saja sih Buku ini juga mengundang keberatan Dari para sejarawan lainnya Kenapa? Karena Profesor Selamat Mulyono Itu merujuk kepada Naskah Sampokong Sedangkan beliau belum pernah membaca langsung naskah tersebut Tetapi mengutip dari Lampiran buku Tuanku Rao Ya, cerita tentang Kronik Sampokong kronologisnya tadi itu dikutip dari buku ini, Buku Tuan Kurau, Karya Mangaraja Onggang Parlindungan. Tapi di sini pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia rangkumannya. Jadi Profesor Selamat Mulyono itu belum pernah membaca langsung Kronik Sampokong. Beliau mengetahui adanya naskah tersebut itu dari buku ini.

Sedangkan, MO Perlindungan juga tidak menuliskan dalam bahasa aslinya, hanya berupa rangkuman saja. Naskah tersebut ada atau tidak banyak sejarawan yang meragukannya. Naskah Sampokong itu naskah fiktif atau naskah nyata, benar-benar ada atau tidak itu juga masih perdebatan.

Ada yang mengatakan itu diangkut ke Leiden, tapi ada yang mengatakan naskah itu tidak ada. Ya, mohon koreksi ya bila saya salah. Kemudian ada teori lain lagi yang disampaikan oleh Prof. Hasan Jafar. Dalam skripsinya ketika beliau masih kuliah S1 tahun 1975. Skripsi tersebut diterbitkan dalam buku tahun 1978. Apa isinya? Pak Asan Jafar berpendapat yang selaras dengan N.J.

Krum yang menyebut Majapahit runtuh oleh serangan Girindrawardana biar ranah wijaya, bukan oleh Raden Patah. Bedanya kalau Krum menyebut Girindrawardana sebagai dinasti baru yang berasal dari Kediri, sedangkan Pak Hasan Jafar itu menyebut Girindrawardana bukan nama dinasti, melainkan hanya nama gelar saja. Girindrawardana artinya keturunan Girindra, atau penerus Girindra. Lalu siapakah yang dimaksud dengan Girindra, itu bisa kita baca di Nagarakertagama. Pada pupuh 40 itu terdapat kalimat saksat dewat maka Yonija Tanaya Tekap Sri Girindra Parakasya.

Nah jadi, Pupuh ini atau Bait ini menceritakan tentang kelahiran Sri Ranggah Rajasa yang dalam pararaton sama dengan Ken Angrok disebut sebagai Putra Sri Girindra. Jadi Ken Angrok atau Sri Rajasa itu adalah Putra Sri Girindra. Sehingga dinasti Rajasa itu otomatis sama dengan dinasti Girindra.

Dengan kata lain, Girindra itu adalah nama lain dinasti Rajasa, bukan dinasti baru seperti yang disebut oleh... N.Y.Krom. Nah, Pak Hasan Jafar juga mengambil contoh lain, yaitu gelar para Raja Majapahit yang memiliki makna mirip dengan Girindrawardana.

Misalnya, Girishawardana. Itu berasal dari kata Girishawardana, artinya keturunan penguasa gunung. Sama dengan Girindrawardana, artinya keturunan raja gunung.

Girishawardana itu kan identik dengan Brayang Purwawisesa, yang disebut dalam Pararaton Memerintah Majapahit pada 1456-1466 Kemudian ada Diasura Prabawa yang bergelar Giripati Prasutabupati Yang bermakna pemimpin keturunan Raja Gunung Selain itu ada juga kalimat dalam Kakawin Siwaratri Kalpa Karyamputanagong Yang menyebut nama Sri Adi Suraprabawa dipuji sebagai Sirabupati Sapala Girindrawangsaja Jadi Girindra itu nama wangsa yang sama dengan dinasti Rajasa sebenarnya. Nah, dari sini Pak Hasan Jafar menafsirkan bahwa Girindrawardana Diyah Rana Wijaya bukan orang luar, tetapi keturunan dari Sri Rajasa juga. Lalu bagaimana silsilahnya? Itu dilakukan cross-check dengan Prasasti Jiud. Dalam Prasasti Jiud 3 disebutkan bahwa Sri Girindrawardana Diyah Wijaya Kusuma itu memberikan anugerah kepada Sri Brahma Raja Ganggadara yang telah membantu proses pelaksanaan Upacara Serada, 12 tahun meninggalnya Sri Paduka Batara Ring Dahanapura Sang Mokteng Indrani Bawana.

Nah, karena Girindrawardhana Diyahwijaya Kusuma meninggal, maka anugerah diresmikan oleh Batara Prabu Sri Ranawijaya. Prasasti Jiw 3, angka tahunnya tidak bisa dibaca ya, karena sudah aus. Tetapi dari Prasasti Jiw 1 diketahui bahwa upacara Serada tersebut diadakan pada 1408 Syaka atau sama dengan Lapanah Masehi.

Ini apabila dikurangi 12 tahun, itu akan ketemu 1474 Masehi. Nah, siapa yang meninggal di tahun 1474 ini? Pak Hasan Jafar melakukan cross-check dengan prasasti pamintihan yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Diraja Sri Singhawi Kramawardana di Surabaya pada 1473. Jadi tokoh inilah yang dianggap sama dengan Batara Ringdahanapura Sangmuk.

Teng Indrani Bawana. Nah, Diasura Prabawa yang mengeluarkan Prasasti Pamintian itu cocok dengan Prasasti Waringin Pitu tahun 1447 Masehi. Ketika dalam Prasasti Waringin Pitu yang menjadi raja adalah Diyah Kertawijaya.

Sedangkan Diasura Prabawa waktu itu jabatannya masih sebagai Paduka Batara di Tumapel. Masih sebagai Raja Bawahan. Nah, ini cocok dengan Pararaton bahwa... Sebelum menjadi Raja Majapahit, Bri Pandan Salas pernah menjabat sebagai Bri Tumapel.

Selain itu ada Prasasti Trawulan III yang menyebut Batare Tumapel Diasura Prabawa itu memiliki istri bernama Diasri Pura yang bergelar Sri Raja Sawardana Dewi yang menjabat sebagai Batare Singapura. Jadi ini cocok dengan para raton yang menyebut Bri Pandan Salas punya istri. Menjabat sebagai Bre Singapura Setelah itu Pak Hasan Jafar menafsirkan penutup para raton Diterjemahkan seperti ini Bre Pandan Salas menjadi Raja Bawandi Tumapel Kemudian menjadi Raja pada Syaka 1388 Hanya menjadi Raja 2 tahun kemudian pergi dari istana Nah jadi kemudian siapa yang menggantikan yaitu Putra Sinagara yang bungsu bernama Bre Kertabumi Terhitung sebagai Paman menjadi Raja yang meninggal di Kedaton pada 1400 Syaka.

Nah, kemudian kita kembali lagi pada Prof. Selamet Mulyono yang pada 1968 bukunya dilarang beredar oleh pemerintah Orde Baru. Kemudian pada 1983 beliau menulis buku lagi yang berjudul Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Dalam buku ini, Prof. Selamet Mulyono tidak lagi menggunakan kronik Sampokong sebagai rujukan. Bahkan beliau sudah tidak setuju.

Raja terakhir Majapahit adalah Brikerta Bumi. Menurut beliau, Raja terakhir Majapahit adalah Diasura Prabawa. Jadi, yang disebut dalam Pararaton meninggal di dalam Kedaton atau meninggal di dalam istana itu adalah Diasura Prabawa. Kemudian pada 1478, Diasura Prabawa digulingkan oleh Girindrawardana Diyah Rana Wijaya yang ditapsirkan sebagai putra Batarekling Girindrawardana Diyah Wijaya Karana.

Sedangkan tokoh yang diperingati dengan upacara seradab pada 1486, yaitu Paduka Batara Ringdahanapura Sang Mukteng Indrani Bawana itu ditapsirkan sebagai perempuan, yaitu istri dari Girindrawardana Diyahwijaya Karana. Kenapa demikian? Karena secara harfiah itu artinya ialah Paduka Batara di kota Dahana yang berpulang ke Kahyangan Indrani. Siapakah Indrani?

Indrani adalah julukan untuk Dewi Syaci, istri Batara Indra. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang berpulang ke kayangan Dewi Syaci itu seorang wanita. Dalam hal ini Profesor Selamet menafsirkan bahwa dia adalah ibu dari Girindrawardana Diyarana Wijaya atau istri dari Girindrawardana Diyarana Wijaya Karana. Pendapat Profesor Selamet Mulyono itu didukung sekaligus dikoreksi oleh sejarawan perempuan bernama Nia Kurnia Solihat Irfan.

Nah Bu Nia Kurnia ini setuju bahwa yang diperingati dengan upacara syrada adalah perempuan bukan laki-laki. Namun beliau tidak setuju Girindrawardana Diyah Rana Wijaya adalah putra Girindrawardana Diyah Wijaya Karana. Menurut pendapat Bunia, Girindrawardana Diyah Rana Wijaya adalah putra Rajasawardana Diyah Wijaya Kumara alias Sang Sinagara.

Apa yang menjadi rujukannya? Rujukannya adalah buku ini, yaitu Sumak Oriental. Buku ini berisi catatan perjalanan seorang Portugis bernama Tome Pires yang mengunjungi berbagai negeri di Asia. Salah satunya adalah Jawa. Jadi pada 1513 Tome Pires datang ke Jawa dan mencatat bahwa yang menjadi raja di Jawa pada saat itu adalah Batara Fodjaya.

Ya ini tentang Jawa ada di halaman ini. Nah Batara Fodjaya ini raja sebelumnya bernama Batara Mataram. Kemudian sebelum Batara Mataram adalah ayahnya yang bernama Batara Sinagara. Dari sini diketahui bahwa raja Jawa pada 1513 adalah keturunan.

Batara Sinagara alias Raja Sawardana bukan keturunan dia Suraprabawa. Jadi kalimat dalam para raton yang berbunyi seperti ini ditapsirkan oleh Ibu Niakurnia. Tapsirnya seperti ini. Bri Pandan Salas alias Suraprabawa menjadi Raja di Tumapel kemudian menjadi Raja di Majapahit pada 1388 atau 1466 Masehi. Kemudian menjadi Raja dua tahun lalu pergilah dari istana.

anak-anak sang sinagara, jadi yang pergi dari istana adalah anak-anak sinagara bukan Brekoripan dan Salas, kalau tafsir Profesor Hasan Jafar tadi yang pergi dari istana adalah Surabrabawa tapi tafsir Ibu Nia yang pergi dari istana adalah anak-anak sinagara, kenapa? karena mereka kecewa, mereka lalu membuat basis pertahanan, dipimpin oleh Brekoripan, kemudian adiknya Bremataram, Brepamotan, dan yang bungsu Brekertabumi, terhitung paman mereka yaitu Bre Prabu yang meninggal di Kedaton. Siapakah Bre Prabu yang meninggal di Kedaton? Yaitu Bre Pandan Salas alias Surah Prabawa. Jadi yang ditapsirkan meninggal di Kedaton pada 1400 itu adalah Surah Prabawa.

Kenapa? Karena diserang oleh anak-anak Sinagara. Jadi seperti ini ya, kronologisnya. Surah Prabawa diserang oleh 4 anak Sinagara.

4 anak Sinagara ini yang dua dicocokkan dengan Prasastiwaringin Pitu, yaitu Samarawijaya dan Wijayakarana. Nah, sedangkan yang dua ini, Bre Pamotan dan Bre Kertabumi dicocokkan dengan prasasti Jiutiga, yaitu Wijaya Kusuma dan Rana Wijaya. Jadi, Girindrawardhanadiyah Rana Wijaya menurut tafsir Niyakurnia Solihat Irfan itu sama dengan Bre Kertabumi.

Nah, sekarang mari kita bandingkan, teman-teman. Jadi, tafsir Raja-Raja Majapet menurut Hasan Jafar seperti ini, menurut Niyakurnia seperti ini. Mari kita bandingkan yang lebih mendekati kebenaran yang mana.

Kertawijaya digantikan oleh Raja Sawardhana putranya, sedangkan kalau Pak Asan Jafar digantikan oleh adiknya. Nah, menurut para raton, Kertawijaya adalah putra bungsu Brahyangwisesa atau Wikramawardhana. Sehingga, kalau putra...

Bungsu otomatis tidak punya adik Dalam hal ini, Tapsir Niakurnia lebih mendekati para raton Sedangkan Tapsir Hasan Jafar Kertawijaya punya adik Raja Sawar Dana Sinagara Ini kan tidak cocok dengan para raton Kemudian Raja-Raja Jawa pada 1513 itu ketika Tome Pirs datang ke Jawa itu berasal dari galur Sinagara. Sedangkan Tafsir Hasan Jafar itu berasal dari galur Surabaya. Nah yang lebih cocok dengan Sumak Oriental adalah Tafsir Niakurnia.

Nah kemudian Brikerta Bumi itu ditafsirkan sama dengan Girindrawardana Diyah Ranawijaya. Nah, sedangkan Pak Hasan Jafar menafsirkan berikerta bumi ini digulingkan oleh Girindrawardhana Ranawija. Jadi mereka musuh, bermusuhan.

Sedangkan Niakornia menganggap mereka orang yang sama. Nah, menurut saya, saya cocok dengan tafsir Niakornia. Kenapa?

Karena dalam berita Cina, Tahun 1495 itu ada Raja Jawa bernama Bula Gedaname yang mengirim duta ke Cina. Nah, 1495 dengan 1486 itu kan tidak jauh. Jadi, Bula Gedaname dalam berita Cina itu cocok dengan Bre Kertabumi dalam Pararaton. Jadi, tidak benar Bre Kertabumi digulingkan oleh Girindrawardana Ranawijaya pada 1478 karena dia terbukti masih berkuasa di...

1495 dan mengirim duta ke Cina Sedangkan 1495 itu dekat dengan 1486 Jadi, tafsirnya Berikerta bumi sama dengan Ranawijaya itu masuk akal Jadi, demikian teman-teman Kenapa dalam Video ke-31, saya membuat daftar Raja-Raja Majapahit menurut para raton hanya sampai beri pandan, salah saja. Kenapa? Karena saya cocok dengan teori Niakurnia bahwa beri kerta bumi itu...

bukan Raja Majapahit. Karena saat itu Majapahit sudah runtuh dan pusat kekuasaan dipindahkan ke Keling, yang kemudian pindah lagi ke Daha. Jadi dalam Prasasti Jiutiga disebutkan bahwa ibu kota itu ada di Keling. Brekerta Bumi, karena sama dengan Ranawijaya, maka Brekerta Bumi ini bukan Raja Majapahit, tetapi Raja Keling.

Kemudian menurut Sumak Oriental itu, Ibu kota sudah pindah lagi ke Dayo. Dayo itu ditapsirkan sama dengan Daha. Jadi pada saat Tome Pires datang ke Jawa tahun 1513, ibu kota sudah pindah ke Daha.

Nah ini cocok dengan babat Sengkolo. Dalam babat Sengkolo disebutkan bahwa pada 1527, Daha direbut oleh tentara Demak yang dipimpin oleh Sultan Trenggono. Jadi begitulah teman-teman, peristiwa sejarah di masa lalu terjadi hanya sekali, namun tafsir atas sejarahnya bisa berbagai versi.

Sejarah Majapahit akhir pun demikian, ada bermacam-macam versi. Versi tradisional mengisahkan Raja Terakhir Majapahit bernama Prabu Brawijaya dikalahkan oleh putranya sendiri yang bernama Raden Patah dari Demak pada 1478 dengan sengkalan yang sangat populer yaitu Sirno Ilang Kertaning Bumi. Sengkalan ini memunculkan dugaan bahwa Prabu Brawijaya sama dengan Bre Kertabumi dalam Pararaton.

Kemudian ada versi Pak Hasan Jafar tahun 1975 yang menyebutkan bahwa kisah keruntuhan Majapahit tidak berjalan linier seperti yang dikisahkan dalam versi tradisional. Mula-mula Surabrabawa yang baru dua tahun bertakta di Majapahit digulingkan oleh Bre Kertabumi yang terhitung pamannya pada 1468. Suraprabawa lalu pindah ke Daha, mengeluarkan prasasti pamintihan pada 1473, kemudian meninggal pada 1474. Putra Suraprabawa yang bernama Rana Wijaya bergelar Girindrawardana balas membunuh Brekerta Bumi pada 1478. Sementara itu, putra Brekerta Bumi yang bernama Raden Patah menyatakan perang terhadap Rana Wijaya. Akhirnya Rana Wijaya berhasil dikalahkan oleh putra Raden Patah yang bernama Patiunus pada 1519. Teori Pak Hasan Jafar ini sangat populer dan banyak dipakai di mana-mana, namun sesungguhnya masih bersifat tafsir.

Tidak ada satupun prasasti atau lontar kuno yang menyebut Ranawijaya adalah putra Suraprabawa. Semuanya berawal dari tafsir atas prasasti Jiutiga tahun 1486 tentang Girindrawardhana Diyar Ranawijaya yang mengadakan upacara serada 12 tahun meninggalnya pada Raring Dahanapura Sang Mokteng Indrani Bawana. yang diduga sama dengan Surah Prabawa. Kemudian ada versi lainnya yaitu teori Niakurnia Solihat Irfan yang memperbaiki Tapsir Profesor Selamat Muliana tahun 1983. Disebutkan bahwa Raja Terakhir Majapahit adalah Surah Prabawa.

Ketika baru dua tahun ia bertahta, empat keponakannya yaitu anak-anak sang sinagara pergi meninggalkan istana pada 1468. Mereka adalah Bre Kahuripan, Bre Mataram, Bre Pamotan, dan Si Bungsu Bre Kertabumi. Mereka membangun basis perlawanan di Jinggan, sehingga Breka Huripan dikenal dengan julukan Sang Mungwing Jinggan. Pada 1478, Sang Mungwing Jinggan menyerang Majapahit, menyebabkan Surah Prabawa tewas di dalam istana. Namun Sang Mungwing Jinggan juga ditapsirkan meninggal sehingga Bremataram yang mewarisi kerajaan.

Ibu kota kemudian dipindahkan ke Keling tidak lagi di Majapahit. Pada 1486, si Bungsu Brekerta Bumi naik tahta setelah Tiga kakaknya meninggal semua. Ia mengadakan upacara serada untuk ibunya, yaitu istri Raja Sawardana Sang Sinagara yang bernama Manggalawardani Diasuragarini, yang memiliki nama Anumerta Batara Ringdahanapura Sang Mokteng Indrani Bawana.

Teman-teman kalau saya ditanya apakah Brawijaya itu tokoh fiktif saya jawab tidak Brawijaya itu tokoh nyata Buktinya apa? Apakah ada prasastinya? Ada Prasastinya adalah prasasti petak ini Prasasti petak ini dikeluarkan oleh Sri Batara Prabu Girindrawardana Diyahranawijaya Batara Prabu Girindrawardana Diyahranawijaya ini apabila disingkat menjadi Batara Wijaya Buktinya apa? Buktinya adalah Sumak Oriental menyebut Raja Jawa bernama Batara Vojjaya. Itu adalah ejaan Portugis untuk Batara Wijaya.

Nah, Batara Wijaya dalam tradisi Jawa Pertengahan itu bisa disingkat menjadi Brawijaya. Kemudian Brawijaya pada era Mataram itu mengalami perubahan bunyi, ejaan menjadi Browijoyo. Karena pada era dinasti Mataram itu sejarah Majapahit sudah kabur, sudah terkuk. Sudah dilupakan orang sehingga dibuatkan versi baru seperti ini ya.

Prabu Brawijaya ini keturunan Raden Sesuruh. Padahal sebenarnya Brawijaya ini adalah keturunan Raden Wijaya. Oke teman-teman, itu saja yang bisa saya sampaikan dalam video ini.

Terima kasih teman-teman sudah menyaksikan. Sampai berjumpa di video selanjutnya. Salam Budaya!