Transcript for:
Hidup dan Warisan Tan Malaka

Intro Di tengah percaturan politik nasional dan internasional yang serba tidak pasti dan mengkhawatirkan, menarik rasanya jika kita membahas satu tokoh revolusioner yang menjadi salah satu bapak rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, tokoh ini yang pertama kali membawa frase Republik Indonesia ke... Tataanan Internasional, jauh sebelum Soekarno dan Hatta memproklamirkan bangsa Indonesia.

Toko ini selalu berada di bawah tanah dan di balik layar. Namanya sama seperti kisah hidupnya, terlupakan dan kesepian. Namun, memang bukan untuk dikenal ia memperjuangkan nasib bangsa. Masanya, meski terbilang berjuang sendirian untuk memerdekakan Indonesia, dari mulai menulis buku, membentuk kesatuan masa, ikut langsung bertempur untuk mengusir penjajah, sampai akhirnya harus diasingkan, dipenjara berkali-kali, sampai menjadi burunan internasional.

Dalam masa pelariannya, tokoh ini punya lebih dari 20 nama samaran, ikut dalam pergerakan masa di berbagai negara, sebutlah China, Filipina, Thailand, Vietnam, bahkan Singapura. Dalam masa pelariannya juga tokoh ini bulak-balik ikut dan berpidato dalam forum internasional, untuk meminta dukungan kemerdekaan bangsa atas kecerdasan dan kelihayatnya berbahasa namanya sampai dikenal di petinggi komunis internasional dan berakhir menjadi daftar hitam Interpol dari negara-negara kolonial seperti Amerika, Inggris, Fransis, dan Belanda. Nama yang menjadi buronan para polisi internasional namun sekaligus menjadi idola bagi para pejuang awal kemerdekaan Indonesia adalah Tan Malaka.

Sebab dalam menjalankan perjuangannya, Tan Malaka tidak mendengar kata kompromi. Baginya memperjuangkan kemerdekaan harus total 100 tahun. 100% dan begitu juga dalam mempertahankan kemerdekaan. Haram baginya untuk berdialog dengan maling yang ratusan tahun menjara kekayaan bangsa Indonesia.

Namun atas keyakinannya ini Tan Malaka yang seluruh hidupnya dihabiskan untuk memperjuangkan bangsa Indonesia harus mati oleh timah panas dari tangan bangsanya sendiri. Maka untuk mengetahui bagaimana kehidupan Tan Malaka yang berjuang mati-matian sampai harus dibuang dan menjadi gurona internasional. Namun setelah bangsanya yang diperjuangkan mereka dan dalam pergolakan revolusi bangsa Tan Malaka dikorupsi. dalam eksekusi yang dilakukan tentara.

Untuk tahu itu semua, kita harus lebih dahulu mendalami pikiran dan kisah hidup tanpa melaka sedari ia baru dilahirkan. Tan Malaka lahir pada tanggal 2 Juni di tahun 1897 di negari Pandang Gadang, Suliki yang sekarang telah menjadi kabupaten 50 kota di Provinsi Sumatera Barat. Saat lahir sebenarnya Tan diberi nama Ibrahim namun karena keluarganya berasal dari semi-bangsawan yang turun dari darah ibunya maka seiring Tan Malaka tumbuh ia otomatis akan mendapatkan gelar kebangsawan dan bernama lengkap Ibrahim, gelar Datuk Sultan Malaka.

Ayah Tan Malaka bernama H.M. Rasad Chaniago dan ibunya bernama Rangkayo Sina Simabur. Ibu Tan Malaka adalah seorang putri dari tokoh terpandang di kampungnya dan ayah Tan Malaka adalah seorang mantri kesehatan yang pernah bekerja untuk memerintah daerah setempat dan mendapatkan gaji beberapa puluh gulden setiap bulannya. Di kantornya ayah Tan Malaka termasuk pegawai biasa-biasa saja. Tan Malaka lahir dalam lingkungan keluarga yang menganut agama secara puritan, yang taat pada perintah Allah serta senantiasa menjalankan ajaran Islam dengan sangat taat dan sesuai syariat.

Sejak kecil, Tan Malaka dididik oleh tuntunan Islam secara ketat Yang mana ini sebenarnya suatu hal yang lazim Dalam tradisi masyarakat Minangkabau yang amat religius Di tahun 1902 saat usianya 5 tahun Tan Malaka sudah tinggal di surau atau masjid kecil di kampungnya Dan tumbuh bersama anak-anak sebayanya Di surau itu selain mempelajari ilmu agama Tan Malaka juga mempelajari bela diri pencaksilat Di surau ini juga lah Tan Malaka sudah menampakkan Bahkannya sebagai seorang anak yang cerdas, periang dan berkemauan keras Dari tempaan agama yang dilakukan orang tuanya, menyebabkan Tan Malaka sudah hafal Al-Quran sejak kecil dan ia pun dapat menafsirkannya karena di usianya yang belum menginjak 10 tahun, Tan Malaka sudah mampu berbahasa Arab. Di usianya yang ke-11 tahun, Tan Malaka pun mendaftarkan diri ke Quick School, sekolah calon guru di Fort Decknock, sekarang bernama Kota Bukit Tinggi. Selama menjadi murid Quick School, Tan Malaka sangat menikmatinya, karena di sana terdapat fasilitas lengkap dan sangat memadai serta sistem sekolahnya pun menerapkan disiplin tinggi.

yang memang sudah menjadi gaya hidup Tan Malaka sejak kecil. Di Quick School, Tan Malaka sangat senang mempelajari pelajaran bahasa Belanda. Dan salah satu guru Belanda yang juga menjabat direktur dua di Quick School, bernama G.H. Horensma, mengetahui bakatnya dalam berbahasa memotivasi Tan Malaka agar kelak jadi guru bahasa Belanda.

Dalam hal olahraga, Tan Malaka juga dikenal sebagai anak yang sangat jago bermain sepak bola. Setelah 5 tahun bersekolah di Quick School, akhirnya pada tahun 1913, Tan Malaka dinyatakan lulus. Setelah lulus, Tan Malaka dianugerahi gelar datuk dan ditawari juga seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, Tan Malaka dalam gairahnya yang masih ingin menempuh pendidikan, hanya mau menerima gelar datuknya saja dan menolak tawaran gadis yang akan menjadi tunangannya. Di tahun 1913 pun, Tan Malaka resmi menerima gelar datuk dalam sebuah upacara tradisional, sehingga nama Tan Malaka yang pertamanya hanya bernama Ibrahim, menjadi memiliki nama lengkap Sultan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka.

Selain mendapatkan gelar kebangsawanan, Tan Malaka yang cerdas dan menjadi bintang di kampungnya pun dianggap sebagai aset kampung yang harus didukung pendidikannya. Hal ini sudah menjadi budaya di Minangkabau, karena dilihat dari sisi sosio-kultural Minangkabau yang keagamannya kuat, namun pada saat itu juga Minangkabau merupakan salah satu daerah di Nusantara yang pendidikannya sudah lumayan maju dan terkenal sangat kuat iklim pendidikannya. Maka orang-orang di kampung Tan Malaka, terutama kalangan Engku, atau kakek-kakenya patungan untuk mengumpulkan biaya agar Tan Malaka bisa melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda. Setelah biaya itu terkumpul, Tan Malaka pun dibantu oleh gurunya Horensma untuk mendaftar ke sekolah Belanda dan akhirnya Tan Malaka pun diterima.

di Ridgeway School, sekolah kejuruan guru kerajaan di kota Harlim, Belanda. Horensma pun ikut mengusahakan tempat yang efektif dan strategis untuk belajar bagitan Malaka di Belanda. Selain itu Horitzma juga yang mengurus dana perjalanan dan belajar Tan Malaka di Harlem. Pada tahun 1908 diwisanya ke 17 tahun, Tan Malaka berangkat dari Minang ke Belanda dan sesampainya di kota Harlem Tan Malaka belajar banyak mengenai filsafat ekonomi dan ilmu-ilmu sosial yang saat itu memang sedang berkembang dan digandrungi oleh pelajar-pelajar di Eropa. Arus perkembangan ekonomi dan sosial di Eropa ini disebabkan oleh arus panjang dari revolusi industri yang dimulai dari tahun 1750 sampai tahun 1850. yang dampaknya masih terasa di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Mengapa dampaknya masih terus dibicarakan pada tahun-tahun tersebut? Karena selain perkembangan teknologi dunia yang memang berkembang sangat pesat dari penemuan baterai, kapal uap, telegraf, telepon, mobil hingga pesawat terbang, tetapi di sisi lain dampak sosial yang terjadi sangat memprihatinkan. Mulai dari harga-harga barang yang jatuh drastis, banyak usaha kecil menengah yang bangkrut, serta upah buruh yang menjadi sangat murah, dan dampak dari itu semua terjadilah kesenjangan sosial antara pengusaha dan buruh. Fenomena ekonomi dan sosial yang berkembang begitu cepat di Eropa itulah yang membakar semangatan Malaka untuk semakin giat belajar kendati situasi keamanan di Eropa, khususnya di Belanda, sangat rawan karena Perang Dunia I yang sudah akan pecah.

Mangkatan Malaka pun melaksanakan. melakukan penyesuaian yang ekstra. Karena selain harus menyesuaikan diri sebagai orang kampung dari negeri jajahan yang datang ke negeri penjajahnya, Tan Malaka juga harus berjuang menghadapi dinginnya iklim negara Eropa yang tidak bersahabat dengannya.

Dalam waktu singkat, ketidaksesuaian iklim tersebut membuat kesehatan Tan Malaka merosot dan menyerang paru-parunya. Dalam autobiografi yang Tan Malaka tulis dalam bukunya yang berjudul Dari Penjara Ke Penjara, Tan Malaka menunturkan bahwa 3 bulan sebelum ujian guru, Tan Malaka jatuh sakit pleuritus atau radang selaput dada pada tahun 1911. 1915. Sejak saat itu, Tan Malaka tidak pernah 100% sehat. Ditambah saat di Belanda, Tan Malaka tinggal di sebuah kamar sewaan, di kamar loteng yang sempit dan gelap, dan makanannya pun jauh dari kata sehat. Serta saat di Belanda, Tan Malaka enggan mengenakan jaket tebal, sehingga pada tahun 1916, kesehatannya semakin parah.

Dan dokter pun didatangkan untuk mengobati sakitnya. Dengan surat keterangan dari dokter tersebut, Tan Malaka diizinkan mengikuti ujian oleh Direktur Rizwexco. Namun sayang, Tan Malaka tidak berhasil lulus di semua mata kuliahnya.

malah keadaannya semakin memburuk. Sementara itu hutangnya semakin menumpuk, selamatan Malaka berada di Belanda. Ia banyak bergaul dan dari pergaulannya terutama dengan keluarga Induk Semangnya, sebuah keluarga buruh yang hidup agak kekurangan, membuatnya semakin respect pada perjuangan buruh, di samping bacaannya sendiri tentang perkembangan dunia saat itu.

Sementara itu fenomena ketimpangan sosial yang terjadi di Eropa, disambut dengan lahirnya pemikiran baru yang ditawarkan oleh para filsafat ekonomi dan politik, yakni ideologi sosialisme dan komunisme yang menawarkan keadilan bagi para buruh dan kaum tertindas. Ideologi itu semakin menumpuk, semakin berkembang setelah kesuksesan revolusi Bolshevik pada tahun 1917 di Rusia yang sangat menginspirasi gagasan komunisme. Hal itu membuat Tan Malaka semakin penasaran dengan gagasan komunisme dan melap habis buku Karl Marx, Friedrich Engels, Vladimir Lenin, dan lain-lain yang pada intinya menawarkan kestaraan hak ekonomi bagi masyarakat. Apa yang dialami Tan Malaka di Belanda sangat mempengaruhi perkembangan pemikirannya.

Di sana, Tan Malaka juga mulai mendatangi diskusi-diskusi perdebatan tentang perjuangan pembebasan bangsa tertindas. Dan di satu diskusi, Tan Malaka bertemu dengan Snokhor Grunby, seorang profesor besar dari Jerman yang sudah lama di Belanda. Dari pertemuan ini, Tan Malaka ditawarkan untuk menjadi guru untuk anak-anak Belanda.

Dan tawaran ini pun membuat bimbang Tan Malaka untuk melanjutkan pendidikannya. Hanya saja Tan Malaka teringat perjuangan engku-engku di kampung. dan perjuangan Guru Horensma dalam meberangkatkannya ke Belanda.

Mengingat hal itu, ia pun mengurungkan niat menerima tawaran Guru dari Snow. Dari diskusi-diskusi tentang ideologi dan pembebasan itu pula, pada tahun 1917, Tan Malaka bertemu dengan Suwardi Suryaningrat, yang sekarang dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, yang memintanya untuk mewakili... Indies Vereniging dalam Kongres Pemuda Indonesia dan Pelajar Ideologi di Defender Belanda. Di tahun itu, Suwardi Surya Ningratlah yang menjadi ketua Indies Vereniging atau National Indies Party. Namun, dari semua pertemuan dengan tokoh-tokoh pergerakan yang tak terjadi, Tan Malaka temui dari diskusi-diskusi di Belanda yang paling membuat Tan Malaka terkesan adalah pertemuannya dengan tokoh-tokoh komunis Belanda seperti Heng Sniflet dan Wezing.

Saat diskusi politik serta perjuangan kelas, kebetulan dalam pertemuannya dengan Sniflet, Sniflet baru saja pulang dari Hindia Belanda, tanah asal Tan Malaka. Dan di Hindia Belanda, Sniflet bercerita bahwa dirinya telah mendirikan Indi Social Demokratise Vereening atau ISDV atau Perkumpulan Sosial Demokrasi Hindia. yang nantinya menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia. Dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang diikuti Tan Malaka, lambat laun keinginan membebaskan dan memberdekakan bangsanya dari jajan Belanda pun muncul.

Selain itu setelah mengenyam pendidikan di Belanda selama 6 tahun dan dalam 6 tahun itu juga, pergulatannya dalam diskusi dan buku-buku kiri semakin membentuk kepercayaan Tan Malaka ke ideologi sosialisme dan komunisme. Akhirnya pada tahun 1919 datang tawaran dari Dr. Jensen Pendiri Sekolah Senembah di Perkebunan Buruh Kontrak di Tanjung Morawak, Delhi. Tawaran dari Dr. Jensen adalah meminta Tan Malaka untuk menjadi guru di sekolah yang didirikannya dan Tan Malaka juga akan disamakan statusnya dengan guru Eropa.

Karena Tan Malaka memenuhi kualifikasi seorang guru Eropa, terdorong melunasi hutangnya dengan guru Horensma, serta pertimbangan dapat mengajar anak bangsanya sendiri. Maka Tan Malaka dengan senang hati menerima tawaran tersebut. Maka setelah lulus sekolah di Belanda pada bulan November di tahun 1919, pulanglah Tan Malaka ke Indonesia dengan arah pelayaran ke Sumatera Timur.

Pada bulan Desember di tahun 1919, Tan Malka sudah kembali ke tanah asalnya dengan memegang ijasa Haupes atau ijasa diploma guru. Dalam hal ijasa, Tan Malka gagal mendapatkan ijasa Havdak yang adalah ijasa diploma guru kepala. Semua itu adalah ijasa Haupes. karena kondisi kesehatannya di Belanda. Namun itu bukan menjadi masalah bagi Tan Malaka karena dari 6 tahun pengalamannya belajar di Belanda.

Pemikirannya sudah tidak lagi seluas lembah, rawa, dan bukit-bukit di Tanah Minang, namun telah menembus horizon seantero Eropa. Dari pengalamannya itu juga, sekarang tujuannya kembali ke Indonesia adalah memperjuangkan kecerdasan anak bangsa dan membuat perubahan bagi bangsanya. Dan sebulan kemudian, tepatnya pada bulan Januari di tahun 1920, akhirnya Tan Malaka mulai mengajar di sekolah buatan Dr. Johnson.

Tan Malaka langsung mengajar sebagai seorang guru bahasa Melayu untuk anak-anak buruh perkebunan teh dan tembakau di Delhi, Sumatera Timur. Pengalaman mengajar inilah yang menjadi inspirasi pertama Tan Malaka. untuk memperjuangkan hak rakyat dari bentuk kolonialisme Belanda. Karena dari pengalamannya mengajar ini, Tan Malaka menemukan situasi yang berkebalikan dengan angannya. Tan Malaka melihat secara langsung penderitaan kaum buruh perkebunan teh yang diupah rendah.

Sering ditipu karena buta huruf dan tidak lancar berhitung. Diperas keringatnya habis-habisan di tanah mereka sendiri. Tan Malaka melihat sistem kapitalis yang diperaktekan di Delhi, di perkebunan itu, memperlakukan buruh kontrak dengan tidak wajar.

Tan Malaka menyebutnya sebagai tanah emas, surga untuk kaum kapitalis, tapi tanah keringat air mata maut untuk kaum proletar. Mereka mengadakan perjudian dan pelacuran sehingga sistem kapitalis itu membelenggu dan melilit para kulik kontrak yang pasrah pada nasib yang buruk, tidak berdaya dan tidak ada yang membela. Tarmalaka sebagai seorang inlander yang berpendidikan berniat melakukan perubahan-perubahan.

Selama ia bekerja di perkebunan di Delhi sampai tahun 1921, Tarmalaka banyak berselisih paham dengan orang-orang Belanda, khususnya tentang sistem pendidikan dan perlakuan yang ditentukan. pendidikan terhadap anak para buruh ketiga masalah tulis-menulis dalam surat kabar di Delhi serta keempat adalah hubungannya sendiri dengan buruh-buruh perkebunan Delhi melihat realitas seperti itu dan Malaka berkehinan untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak buruh kontrak perkebunan tersebut namun tan Malaka malah dianggap melakukan penghasutan kepada para kulit perkebunan apalagi saat orang-orang Belanda mengetahui risalah-risalah tan Malaka yang terbit pada koran Sumatra pos dalam kebimbangan ini sebenarnya tan Malaka tidak dari posisinya yang serba tanggung. Jika ia terlalu dekat dengan Belanda, maka ia bisa dianggap sebagai pengkhianat oleh kaum buruh. Sedangkan jika ia terlalu dekat kepada buruh-buruh perkebunan, maka ia selalu dicurigai oleh Belanda.

Ditambah Tan Malaka saat itu sudah memiliki hubungan khusus dengan pemimpin pemogokan Delispur. Berbekal dari semangat membela kaumnya ini, serta pengetahuan sosial politik yang Tan Malaka pelajari selama di Eropa, Tan Malaka memiliki pikiran untuk bergabung dengan organisasi ISDV. ISDV sendiri sebetulnya adalah organisasi bentukan para anggota partai buruh yang bermukim di wilayah Hindia Belanda. Pergerakan organisasi ISDV ini berbasis ideologi maksisme yang pada intinya memperjuangkan hak kepemilikan tanah dan alat produksi kepada rakyat agar tidak dimonopoli oleh kaum pemilik modal dan kolonial asing. Belanda sampai-sampai merekrut para tentara dan pelaut Belanda untuk angkat senjata melawan para komandan mereka sendiri.

Ujung-ujungnya pihak Belanda memenjarakan para pengkhianat tersebut sampai para pentolan ISDV yang adalah orang Belanda dalam hal ini termasuk Steve Leith dipaksa pulang ke negeri Belanda. Namun gerakan ISDV yang terang-terangan membela kaum tertindas ini tidak betul-betul mati sepenuhnya. Dalam proses bentrokan ISDV dengan pemerintah Belanda itu pun, ISDV sempat mendapatkan simpati para pemuda muslim di Serikat Islam, khususnya Serikat Islam Cabang Surabaya dan Solo. Yang pada saat itu Serikat Islam Cabang Surabayanya dipimpin oleh Semahum dan Serikat Islam Cabang Solonya dipimpin oleh Darsono. Lambat laun.

Gerakan ISDV ini semakin beralih dari organisasi orang Belanda pembela hak pribumi menjadi didominasi oleh kaum pribumi muslim. Sampai pada akhirnya di tahun 1920, ISDV resmi berganti nama menjadi Perkumpulan Komunis di Hindia. Akhirnya pada bulan Februari di tahun 1921, Tan Malaka memutuskan untuk meninggalkan Delhi untuk memulai perjuangannya ke Tanah Jawa.

Setibanya di Jawa, Tan Malaka mampir ke rumah guru Horensma di Jakarta yang sudah naik pangkat menjadi inspektur sekolah rendah Indonesia. Melihat kedatangan murid kesayangannya, Horensma langsung menawari Tan Malaka pekerjaan di Jakarta. Namun, tawaran dari Horensma untuk menjadi pegawai di Jakarta ditolak Tan Malaka. Dalam penolakannya tersebut, Tan Malaka menyampaikan bahwa dirinya hanya akan tetap melanjutkan niatnya untuk membuat perguruan. Setelah mengunjungi gurunya Horensma, Tan Malaka pun melanjutkan perjalanannya ke Semarang.

Namun sebelum ke Semarang, Tan Malaka terlebih dulu kejogoran. Yogyakarta untuk mengikuti Kongres Serekat Islam selama 4 hari yang dimulai dari tanggal 2 sampai 4 Maret di Kongres inilah Tan Malaka bertemu dengan Hos Cokroaminoto Agus Salim, Semaun dan toko besar lain di Serekat Islam saat di Yogyakarta ini juga Tan Malaka sempat dijanjikan oleh Sutopo mantan pemimpin Surat Kabar Budi Utomo untuk memimpin sebuah perguruan pendidikan akan tetapi tawaran itu pun ditolaknya karena Tan Malaka sudah lebih dahulu menerima tawaran dari Semaun untuk itu selesai mengikuti Kongres Serekat Islam Islam di Jogja, Tan Malaka melanjutkan perjalanannya ke Semarang. Karena di sana, Semon telah mempersiapkan sebuah bangunan untuk sekolah rakyat.

Menurut Noriaki Osikawa, salah seorang profesor di Daito Bunka University, yang juga meneliti kehidupan Tan Malaka, membenarkan hal tersebut. Karena dalam satu artikel panjangnya di Kompas, yang berjudul, Tan Malaka berpikir tentang nasib gagasan politik, mengatakan di Semaranglah, Tan Malaka mendirikan sekolah rakyat yang mulanya diperuntukkan bagi anak-anak serikat Islam di Semarang. Tercatat, anak didik Tan Malaka. maka di angkatan pertama sudah mendapatkan murid sebanyak 50 orang. Dalam sebuah brosur kecil yaitu tentang Serekat Islam Semarang dan Orderwits, Tan Malaka menguraikan dasar dan tujuan perguruan yang hendak dibangunnya, dan caranya mencapai tujuan tersebut.

Tujuan perguruan tersebut adalah, mendidik murid tidak untuk menjadi juru tulis seperti tujuannya sekolah gobernemen, melainkan selain untuk mencari nafkah untuk diri dan keluarganya. juga untuk membantu rakyat dalam pergerakannya. Pelan namun pasti, progresivitas sekolah model Tan Malaka cepat berkembang.

Banyak permintaan dari luar Semarang untuk mendirikan cabang sekolahan. Melihat banyaknya permintaan untuk membangun sekolahan dan kurangnya tenaga pengajar, akhirnya Tan Malaka membuka pendidikan kelas khusus bagi anak-anak kelas 5 yang dipersiapkan menjadi guru nantinya. Setelah dirasa tenaga pendidik mencukupi, akhirnya Tan Malaka membangun sekolah di Bandung yang mampu menampung kurang lebih 300-an murid.

Bangunan ini merupakan bangunan sekolah yang kedua yang diperlukan. dan hanya diperoleh dari bantuan anggota-anggota serikat Islam. Di Semarang, Tan Malaka ternyata tidak hanya menyibukkan diri hanya dengan mengajar dan mencerdaskan rakyat saja, namun juga ikut berjuang di serikat pekerja buruh di seluruh Jawa. Mulai dari serikat buruh tambang minyak, real kereta, sampai serikat percetakan. Semuanya diikuti oleh Tan Malaka agar hak para buruh dapat dibela oleh orang-orang terdidik.

Namun sayangnya, kolaborasi antara serikat Islam dengan Partai Komunis Hindia tidak berjalan harmonis karena banyak anggota serikat Islam terutama gerbong dari Agus. Agus saling berpikir bahwa pandangan politik sosialis dan komunis tidak selaras dengan syariat Islam. Sementara itu, Tan Malaka sendiri berpendapat bahwa hal itu tidak perlu dipersoalkan. Perbedaan pandangan ini pun tidak juga terjembatani.

Akhirnya pada Kongres Serekat Islam ke-6 memutuskan untuk Partai Komunis India keluar sepenuhnya dari kepengurusan Serekat Islam. Setelah menjadi organisasi mandiri, Partai Komunis India menunjuk Samoen sebagai ketua. Dalam masa kepemimpinannya, Samoen cenderung.

mengambil langkah hati-hati dan menghindari konflik dengan pemerintahan kolonial. Antara itu Tan Malaka adalah orang yang cenderung lebih provokatif dan frontal dalam melawan Belanda. Sampai akhirnya ketika Samoan harus meninggalkan Nusantara untuk menghadir konferensi buruh internasional di Moskow, Tan Malaka punya kesempatan untuk mengambil alih ke pemimpinan partai. Gaya kepemimpinan Tan Malaka pun sangat berbeda dengan Samoen.

Dalam mengarahkan partai, Tan Malaka cenderung mengambil jalur ke arah radikal dan tegas kepada penjajah Belanda. Tak lama setelah mengarahkan partai ke arah yang lebih berani berkonfrontasi, di penghujung tahun 1921, hanya Tan Malaka memimpin gerakan aksi demonstrasi para buruh dan pedagang kiosk pegadaian. Dari keberhasilan aksi ini, Tan Malaka berhasil mengambil kepercayaan masyarakat, terutama kaum pekerja, bahwa Partai Komunis India adalah mitra sejati kaum pekerja dan bersedia untuk membantu melawan penindasan. terhadap pekerja.

Nah, bagi Tan Malaka, karena dari demonstrasinya, lama-kelamaan, pemerintah kolonial Belanda merasakan juga dampak dari kepemimpinan Tan Malaka, yang sudah membuat situasi bisnis para kolonial kacau di mana-mana. Sampai akhirnya, pemerintah kolonial Belanda pun memberikan perintah untuk penangkapan Tan Malaka. Tidak lama setelah itu, Tan Malaka berhasil ditangkap di Bandung pada tanggal 13 Februari di tahun 1922. Sebulan kemudian pada tanggal 24 Maret, atas perintah Gubernur Jenderal Dick Fogg, Tan Malaka yang sudah berusia 20 tahun. 25 tahun diasingkan ke Belanda dengan tujuan agar Tan Malaka tidak lagi bisa menghasut dan memimpin para buruh di Nusantara.

Dalam masa pengasingan inilah, petualangan yang sebenarnya dari Tan Malaka dimulai. Karena 20 tahun masa pengasingan Tan Malaka di luar Nusantara, dihabiskan Tan Malaka layaknya agent intelijen yang terus-terusan berganti samaran dari satu negara ke negara lain. Karena selama masa pengasingan, nama Tan Malaka dihubungkan dengan negara lain. Tan Malaka semakin dikenal di seluruh pergerakan di seluruh dunia. Dan atas keradikalannya, Tan Malaka jadi burunan negara-negara besar dan sampai menjadi incara nomor satu oleh polisi internasional.

Karena sesampainya di Belanda pada bulan Maret di tahun 1922, Tan Malaka langsung masuk ke negara-negara besar. masuk dan disambut baik oleh Komunistis Parti Nederland atau Partai Komunis Belanda. Atas kecerdasan dan penguasannya mengenai teori Marxisme-Komunisme, di tahun itu juga saat ada pemilihan umum di Belanda, Partai Komunis Belanda langsung memasukkan Tan Malaka menjadi kandidat ketiga untuk duduk di Parlemen Belanda. Namun karena umur Tan Malaka masih setengah matang alias masih berumur 25 tahun, Tan Malaka gagal menjadi anggota Parlemen Belanda. Gagal menjadi anggota Parlemen, Tan Malaka mendapatkan informasi bahwa pasca Perang Dunia pertama, orang Orang-orang di Jerman sedang keranjingan ide komunisme.

Apalagi saat Perang Dunia Pertama, rakyat Jerman berhasil menggulingkan kekuasaan Kaiser Wilhelm II. Melihat ada kesempatan untuk mengembangkan ilmu serta merealisasikan idenya, atas paham yang Tan Malaka yakini, akhirnya di pertengahan tahun bulan Juli di tahun 1922, Tan Malaka memutuskan untuk pergi ke Berlin, Jerman. Sesampainya di Berlin, Tan Malaka bertemu dengan D'Arsono, yang pada saat itu sudah menjadi perwakilan komintern atau komunis internasional untuk kota Paris.

Dalam pertemuan inilah, D'Arsono mengajak Tan Malaka untuk mau bergabung menjadi anggota komentren dan pindah ke Moskow. Uni Soviet untuk dapat mengurus negara-negara timur termasuk Hindia Belanda. Tan Malaka pun menerima ajakan dari Darsono untuk masuk komentren dan pindah ke Moskow. Sebelum keberangkatan Tan Malaka ke Moskow, Darsono juga tahu ada Muhammad Hatta yang juga sedang berada di Hamburg, Jerman. Tidak lama, Darsono pun mengirimkan surat berisi pesan singkat ke Hatta untuk memberitahukan bahwa Tan Malaka sedang berada di Berlin.

Dan jika Bung Hatta ada waktu, datanglah melancong ke Berlin. Mengetahui isi dari pesan singkat Darsono yang mengatakan Tan Malaka sedang ada di Berlin sehari kemudian Hata berangkat ke Berlin. Dalam pertemuan inilah, Hata menanyakan kepastian Tan Malaka dalam kepindahannya ke Moskow dan menanyakan arti diktator proletariat yang dicita-citakan unisofia. Tan Malaka hanya menjawab bahwa yang ia yakini hanya kaum buruh yang akan menjadi perintis jalan menegakkan keadilan menuju sosialisme dan komunisme. Tan Malaka, Darsono, dan Bung Hata pun lima hari lamanya saling bertukar gegasan dan pikiran.

Setelah lima hari itu selesai. Bung Hatta kembali ke Hamburg, sedangkan Tan Malaka kembali berpetualang dan berangkat ke Moskow. Sesampainya di Moskow, Tan Malaka langsung mengikuti pendidikan Partai Komunis.

Setelah tiga bulan dalam pendidikan Partai Komunis pada Kongres Internasional Kominten keempat yang diselenggarakan pada tanggal 12 November di tahun 1922, Tan Malaka membuat geger para pemimpin-pemimpin komunis dunia, termasuk Vladimir Lenin dan Leon Trotsky. Karena dalam pidatonya, Tan Malaka menyampaikan pendapat bahwa Kominten sebenarnya bisa semakin kuat jika dapat bekerja sama dengan masyarakat. negara-negara Islam yang sama-sama memiliki tujuan untuk membela kaum tertindas.

Singkatnya, pidato Tan Malaka berkata, bersandingan dengan bulan Sabit, bintang Soviet akan menjadi panji perang Akbar untuk kira-kira 250 juta Muslim yang ada di Sahara, Arabia, Hindustan, dan Hindia kami. Dalam Kongres Provincen ini, mengusulkan untuk pertama kali agar sebuah konferensi buru angkutan di negara-negara Pasifik diadakan di timur jauh, terpilihlah kota Canton yang sekarang diperoleh. yang adalah kota Guangzhou di China untuk menjadi penyelenggara konferensi berikutnya. Untuk memastikan kelancaran di China, pemimpin tertinggi komenternya yang mengetahui kecerdasan dan pemahaman komunisme serta kepandaian Tan Malaka dalam berbahasa pada tahun 1923 menugaskan Tan Malaka menjadi ejen komitmen di Asia Tenggara yang bermarkas di Canton, China.

Dan disinilah Tan Malaka sebagai wakil komitmen untuk Asia Tenggara bertemu dengan salah satu revolusioner besar Asia, Sun Yat-sen. Yang dari buku-buku dan teori-teorinya Bung Karno dapat merumuskan panjangnya. Di Canton, Tan Malaka menyusun sebuah risalah masa depan bagi Hindia Belanda yang dia bukukan dengan judul Nar de Republik Indonesia atau Menuju Republik Indonesia. Buku yang disusun pada tahun 1924 ini menjadi tulisan pertama yang menuliskan frase Republik Indonesia. Ia mengacu pada perjuangan kemerdekaan Hindia Belanda dari kolonialisme.

Buku ini pun tak lupa Tan Malaka kirimkan khusus kebung hatan di Belanda. Buku ini berisi analisis Tan Malaka terhadap kancah politik dunia pada saat itu. Juga gagasan awal bagaimana perjuangan menuju negara bernama Indonesia itu direalisasikan.

Dalam buku ini, Jogetan Malaka berhasil menganalisis sekaligus meramalkan dengan cepat bahwa tidak lama lagi persaingan kekuatan ekonomi antara Jepang dan Amerika akan berujung pada meletusnya perang di Pasifik, di mana situasi kekacauan itu bisa jadi kesempatan bagi Indonesia untuk melakukan revolusi untuk melawan Belanda. Selain itu, tentunya buku inilah yang pertama kali menginspirasi kaum cendikiawan muda di tanah air maupun Belanda seperti Soekarno, Hatta, Amir Sarifudin, Nasution, dan tokoh pergerakan lain untuk ikut merealisasikan gagasan negara Indonesia agar dapat menjadi kenyataan. 16 tahun setelah buku ini dicetak, analisis Tan Malaka benar-benar terjadi. Perang Pasifik menjadi bagian dalam rangkaian Perang Dunia Kedua, sekaligus menjadi peluang bagi Bung Karno, Hata, Syahrir, dan yang lainnya untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Pada sekitar tahun 1925-1926, meski Tan Malaka tidak berada di Hindia Belanda, namun berpindah-pindah antara China, Manila, dan Singapura. Namun Tan Malaka terus membuka dan menjalin komunikasi dengan rekan-rekan seperjuangannya di Nusantara. Salah satunya ketika pada tahun 1925, saat Tan Malaka mendengar akan adanya pemberontakan yang tengah disiapkan oleh Partai Komunis Indonesia, mengetahui kondisi sosial dan perjuangan di Nusantara masih belum sebesar di Uni Soviet, Tan Malaka tidak sepakat dengan rencana pemberontakan tersebut.

Untuk itu, saat Tan Malaka berada di Tokyo, ia menerbitkan risalah yang diberi judul Semangat Muda. Untuk memberitahukan strategi yang harus dimiliki terlebih dahulu jika ingin mengadakan pemberontakan besar-besaran, dan saat pemberontakan semakin tidak bisa dikendalikan, pada tahun 1926, saat Tan Malaka berada di Manila, ia kembali menerbitkan risalahnya yang berjudul Masa Aksi. Dua risalah ini ditujukan kepada perjuangan Indonesia yang harus terarah dan terorganisir dengan baik. Selain itu, risalah ini juga ditujukan kepada alimin dan musuh.

selaku pimpinan PKI yang akan memberontak kepada Belanda pada November 1926 dan Januari 1927. Namun, naskah tersebut disabutase oleh Alimin dan Musso, dengan dalih karena Tan Malaka tidak memiliki garis lurus dengan partai yang akan melakukan pemberontakan. Ketidaksetujuannya Tan Malaka sebenarnya sangat beralasan, dikarenakan strategi dan taktik yang akan dipakai sangat tidak tepat, sebab tidak melihat kondisi-kondisi yang dapat mendukung berhasilnya suatu revolusi. Bagi Tan Malaka, Suatu perjuangan politik memerdekakan bangsa dan tanah air hanya mungkin berhasil jika mendapat dukungan kuat dan besar dari masa rakyat.

Dengan demikian, diperlukan persatuan serta kerjasama yang kuat dari semua kekuatan yang ada dan relevan dalam masyarakatnya. Arti yang lebih luas dari pokok pikiran masa akti bahwa dalam sebuah gerakan revolusioner harus terkoordinasi secara rapi. Koordinasi tak akan terbentuk tanpa adanya persatuan antar kekuatan dan antar elemen, sedangkan persatuan tidak akan tercapai. Jika masing-masing organisasi dan partai kekuatan mendahulukan kepentingan golongan yang bersifat sepihak. Sehingga dengan koordinasi tersebut, pola yang ditonjolkan adalah gerakan serentak untuk melumpuhkan.

Koordinasi mempunyai peran sebagai kontrol sekaligus tali busur sebagai tenaga pendorong panah revolusioner. Untuk mencapai keadaan tersebut, hal pertama adalah dengan mengkondisikan masa. Artinya, membebaskan masa dari pikiran-pikiran primordial serta apatis lewat jalan pendidikan, menariknya ke dalam organisasi-organisasi patriotik.

Selain itu, di bukunya Bima Satria Putra yang berjudul Perang Tidakkan Dimenangkan, menginformasikan bahwa Tan Malaka menyampaikan dari Manila bahwa rencana pemberontakan tersebut tidak siap, bahwa keputusan ini diambil di perambanan bertentangan dengan aturan komunitas. Rencana pemberontakan ini pun sudah diketahui lebih dahulu oleh pemerintah kolonial. Banyak pesan rahasia dan pengirimnya sudah diketahui oleh polisi kolonial.

Selain itu banyak juga anggota PKI yang sudah ditangkap sebelum pemberontakan terjadi. Mata-mata pemerintah Hindia Belanda di Singapura mengetahui bahwa Alimin dan Muso telah memesan senjata ke Filipina. Semuanya berjumlah 2000 pistol, dengan masing-masing 500 ditujukan ke Surabaya, 300 ke Aceh, dan sisanya ke Medan.

Sementara di Manila, Ada 2000 pistol dalam pesanan untuk dikirim ke Padang. Karena Tan Malaka tidak mendukung pemberontakan dan merasa dikhianati, Tan Malaka menolak menerima peralihan senjata yang dibiarkan menumpuk di Tanjung Pagar, Malaya, yang niatnya akan diteruskan ke Hindia. Dan seperti apa yang sudah diperingatkan Tan Malaka, pemberontakan PKI pada penghujung tahun 1926 itu pun tidak maksimal dan berujung gagal. Semua pemimpin PKI diasingkan dan partainya benar-benar dihancurkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Namun dalam pemberontakan itu ada beberapa andayan. Anggaplah Tan Malaka membantu mengkoordinasikan senjata-senjata tersebut dan sampai di Hindia Belanda. Karena mengingat besarnya jumlah pesanan senjata tersebut, bisa jadi pemberontakan ini mempunyai alur sejarah yang lain.

Namun setelah kejadian pemberontakan yang dilakukan PKI itu dapat dihancurkan dengan cepat oleh pemerintah kolonial. Dan otomatis di Indonesia tidak ada lagi partai yang beraliran kiri. Setahun kemudian, tepatnya pada bulan Juli pada tahun 1927 saat Tan Malaka berada di Bangkok, Thailand. Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia. Meski Tan Malaka menjalankan partai ini dari jauh, namun Tan Malaka berhasil mendirikan perwakilan di berbagai daerah di Indonesia dengan bantuan rekan-rekan anggota PKI yang masih ada di Indonesia.

Selain itu juga pada tahun 1927, ia banyak menuliskan risalah-risalah untuk meninjau kegagalan pemerintahan PKI dan menganalisis apa yang harus disiapkan untuk perjuangan ke depan. Di antaranya menulis Manifesto Bangkok, Paris dan Internasional, Paris dan PKI. Juga menulis Paris. dan National Eastern. Setelah lama tinggal di Bangkok, pada tahun 1932, Tan Malaka kembali pindah ke Singapura.

Dan di Singapura inilah, Tan Malaka lumayan menetap lama. Diperkirakan, Tan Malaka menetap selama 10 tahun sampai pada tahun 1942. Hampir 20 tahun melanglang buana, menjadi buronan dan berganti-ganti penyamaran. Mulai dari benua Eropa sampai Asia, akhirnya Tarmalaka pada tahun 1942 nekat memutuskan untuk diam-diam masuk Indonesia.

Dalam hal ini, pilihan rasional Tarmalaka adalah karena pada tahun ini juga Jepang tengah melakukan penyerangan ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini terjadi pada tanggal 1 Maret di tahun 1942. Saat itu tentara Jepang berhasil mendaratkan pasokannya di Pulau Jawa. tepatnya di tiga tempat sekaligus yaitu Teluk Banten, Eretan Wetan di Jawa Barat, dan Keranggan di Jawa Tengah.

Selain itu, pasukan Jepang juga mendarat di kawasan Indramayu dan Tuban. Hal ini tentu diluar dugaan Belanda. Perubahan situasi politik ini kemudian memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jarja van Starkenborg Stannhauer menyerah tanpa syarat pada sebuah pertemuan di Kalijati di tanggal 8 Maret di tahun 1942 terhadap tentara Jepang pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Kesempatan inilah yang dipakai Tan Malaka.

Dan saat kepulangannya ke Indonesia, Tan Malaka pulang dengan naik perahu kecil secara rahasia. dengan menyeberang melalui Selat Malaka dengan tujuan Sumatra. Sesampainya di Sumatra, Tan Malaka singgah sebentar ke Padang dengan mengaku sebagai Ramli Hussein.

Pada bulan Juli di tahun 1942, Tan Malaka akhirnya berangkat ke Jakarta, daerah pusat percaturan dan pergolakan politik di Indonesia. Di Jakarta, Tan Malaka menyamar menjadi pegawai Dinas Kejahteraan Sosial dan tinggal di daerah Rawajati dengan menyewa sebuah bili kecil yang terletak di dekat pabrik sepatu. Meski pada tahun-tahun ini Jepang sudah berhasil menguasai Indonesia, Namun karena hasil kebiasaannya dan kuas padannya kepada polisi rahasia, Tan Malaka terus menyembunyikan jati dirinya.

Pada saat di Jakarta inilah, Tan Malaka mengkonsentrasikan untuk menyelesaikan Magnus Opusnya, Materialisme, Dialektika, dan Logika, atau yang kita kenal dengan Madilok, yang diselesaikan Tan Malaka hanya dalam waktu 720 jam. Titik tolak Madilok adalah mental bangsa Indonesia pada umumnya yang terbiasa dengan sistem perbudakan. Indonesia yang lebih dari abad di bawah kolonialisme, secara berangsur-angsur memiliki mental budak di samping pikiran-pikiran yang mistik dan tidak rasional. Akibat pekatnya pikiran mistik yang banyak meliputi pikiran rakyat Indonesia inilah faktor yang dengan mudah dapat dieksploitasi oleh orang-orang yang berpikir aktif dan rasional. Maka revolusi secara total bagi Tan Malaka dapat diartikan sebagai kondisi yang telah merdeka diri secara total baik itu politik, pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya maupun mentalnya.

Sedangkan mental yang perlu dimiliki bangsa Indonesia adalah mental yang mengandung nilai-nilai yang dapat mendorong orang untuk menjadikan otaknya bekerja aktif dan dinamis sehingga ia menjadi manusia yang rasional yang percaya pada dirinya sendiri. Dalam Adilog yang paling esensial adalah keperluan untuk memiliki dan mengembangkan cara serta pola berpikir baru yang aktif dan rasional. Sehingga ini masuk sebagai materialisme, tidak lain adalah cara berpikir realistis dan pragmatis serta fleksibel dalam usaha pemecahan suatu masalah.

Selain itu, dalam buku Madilok berisikan banyak bahan yang aktual pada masanya, karena banyak analisis Tan Malaka dalam buku ini merupakan hasil penglihatan sekian tahun lamanya Tan Malaka saat berkeliling dunia. Pada awal-awal Tan Malaka di Jakarta, Tan Malaka merasakan ada banyak perubahan di dalam negaranya. Karena itu, saat pertama di Jakarta, dia merasa perlu kembali mempelajari keadaan yang tengah berubah drastis saat itu.

Bahkan dalam bukunya dari penjara ke penjara, Tan Malaka menulis, bayi yang baru saja saya tinggalkan selama 20 tahun, kini sudah menjadi orang dewasa dan teman pergerakan sudah menjadi orang tua. Kota Jakarta sendiri sudah bertukar rupa. Selain itu, Tan Malaka menyampaikan bahwa kehidupan masyarakat seperti di Rawajati ini, dia gunakan kembali untuk mengenal kembali Indonesia yang telah lama ditinggalkan. Di Rawajati inilah, Tan Malaka bekerja bagaikan seorang peneliti dan pakar etnografi yang dengan teliti mempelajari setiap gerak kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Di Rawajati ini, kebutuhan hidup cukup murah, sehingga Tan Malaka bisa membelanjakan uangnya dengan lebih efisien. Setiap bulan, Tan Malaka hanya menghabiskan uang sebesar 6 rupiah untuk sewa rumah serta untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. 6 rupiah itu dengan perincian 2 rupiah untuk sewa rumah, kemudian untuk makan dan minum hanya 13 sen. Selama keluar rumah dan berpergian, Tan Malaka tidak pernah mengendari beca atau trem.

Apa yang diceritakan oleh Tan Malaka di awal-awal penjejahan memang nampak baik-baik saja. Artinya... Meski di bawah penjajahan Jepang harga barang-barang kebutuhan pokok cukup murah, terutama beras sebagaimana yang diutarakan oleh Tan Malaka dalam bukunya, namun kondisi murah pangan itu hanya sementara. Pada tahap selanjutnya, rakyat Indonesia banyak yang menderita kelaparan. Penjajahan Jepang, meski hanya tahun, bisa dibilang lebih sadis dari Belanda.

Selama kurang lebih setahun Tan Malaka di sana, sambil mengamati perkembangan politik di bawah kekuasaan Jepang, Pada suatu ketika di tahun 1943, saat Tan Malaka sedang asing membaca buku di perpustakaan rumah Arca Gambir, Jakarta. Ada seorang pegawai bernama Dr. Purbo Coroko. Perpustakaan meminta tolong untuk menerjemahkan naskah bahasa asing yang sulit dimengerti. Dr. Purbo Coroko pun heran karena Tan Malaka bisa menerjemahkan dengan lancar. Ia lantas menawari Tan Malaka pekerjaan sebagai pegawai di pertambangan batu bara yang dikelola oleh perusahaan bayah Kozansamitomo Kubisiki Kaisa di bayah, kawasan pantai selatan Jawa Barat.

Terdorong keuangan yang semakin menipis, Tan Malaka akhirnya menyanggupi tawaran tersebut. Begitu tiba di Bayah pada bulan Juni di tahun 1943, Tan Malaka harus mengisi formulir terlebih dahulu. Untuk menghindari kecurigaan Jepang, namanya diubah menjadi Ilyas Hussein, seorang berpendidikan mulo yang pernah bekerja sebagai krek atau jurutulis di Singapura. Besoknya, Tan Malaka bersama 29 orang lainnya yang juga diterima bekerja, berangkat ke Bayah dari stasiun Tanah Abang. Setelah sampai di Malimping, Tan Malaka dan pekerja lainnya melanjutkan perjalanannya menggunakan truk, untuk sampai ke bayah.

Bagi Tan Malaka, bayah lebih mengenaskan daripada Tanjung Morawa. Banyak pekerja yang mayoritas adalah romusa menderita penyakit yang tidak pernah diurus oleh pihak perusahaan. Sedangkan yang menderita penyakit dan mendekati ajal, banyak berceceran di jalan. Bahkan lebih dari 10 mayat terpaksa dimasukkan ke dalam satu liang kubur.

Karena kurangnya pengali kubur dan sikap masa bodoh penduduk bayah. Situasi di bayah adalah lebih dari sekedar tempat penyiksaan bagi rakyat Indonesia. Bayah semakin padat oleh Romusa.

Sebab pemerintah Jepang menuntut dari setiap daerah di Jawa agar disediakan sejumlah Romusa tertentu. Karena ketelitian, ketertiban kerjanya, dan kerapian catatan kearsipannya. Setelah 6 bulan lamanya bekerja, Tan Malaka akhirnya dipindahkan ke bagian kantor. Di sini Tan Malaka mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan Romusa. Neknya Tan Malaka menempati bagian kantor merupakan pekerjaan baru baginya.

Meskipun demikian, pekerjaan inilah yang ia sukai. Karena selain mengurusi segala keperluan Romusa, Tan Malaka juga mendapat tugas mencari sebab dan celah-celah agar bisa memelihara kesejahteraan kaum buruh tambang dan memberi dukungan yang tepat pada keluarganya. Hal ini dilakukan Tan Malaka lantaran, melihat banyaknya Romusa yang melarikan diri dari pertamaan batu barabayah.

Banyak yang mati sehingga mengharuskan pergantian yang cepat. Selain itu kantor Tan Malaka mengurusi pengaturan dan pemeriksaan kesehatan kaum buruh yang lama dikembalikan ke desa asalnya. Memberikan penghasilan yang tepat bagi kaum buruh yang mempunyai pendidikan dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Sikap empati Tan Malaka terhadap para Romusa membuatnya dihormati. Perhatiannya kini semakin meluas terhadap masyarakat bayah.

Saat Tan Malaka ditunjuk menjadi wakil sementara ketua badan pembantu prajurit Tan Malaka. Memanfaatkan hal ini dengan menjalin hubungan dengan para pengurusnya di seluruh cabang bayah. Tan Malaka juga berhubungan dengan tentara pembelatan air atau PETA dan membentuk gerakan gotong royong dengan rakyat dan pemuda di sekitar bayah termasuk membantu keluarga-keluarga dari para-para jurid PETA hingga HEIHO. Selain itu Tan Malaka juga mengadakan dapur umum, kebun sayur, orkestra sampai mendirikan klub sepak bola dan sandiwara yang bernama Partai Selatan.

Semua hal yang dilakukan Tan Malaka ini adalah upaya memperbaiki keadaan para romusa dan masyarakat tani di Bayah memasuki tahun 1944. Para pekerja Romusa sibuk membangun jalur kereta api sepanjang 89 km dari Seketu di Pandeglang menuju Tambang Batubara di Bayah, Banten Selatan. Tidak lama tersiar kabar bahwa Bayah akan kedatangan dua bung besar, ini Bung Karno dan Bung Hatta. Tan Malaka, yang dalam kondisi ini menyamar dengan memakai nama Ilias Hussien, terpilih untuk menyambut keduanya bersama beberapa pegawai lainnya. Awal tahun 1944, benar saja dua bung besar itu datang ke Bayah.

Bung Karno seperti biasa. Berpidato dan dalam catatannya Tan Malaka menuliskan isi pidato Bung Karno tidak jauh berbeda dengan yang sering didengarnya dalam rapat raksasa, radio maupun surat kabar. Setelah kedua bung besar itu selesai berpidato, panitia penyambutan mempersilahkan hadirin untuk bertanya. Saat Tan Malaka sedang menyiapkan kue dan minuman, terdengar jawaban-jawaban yang diisi dengan candaan kepada para penanya. Selain itu, dalam pidatonya juga Bung Karno dengan tegas menyatakan, bahwa Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan sekutu dan setelah itu Jepang akan memberikan kemerdekaan untuk Indonesia.

Mendengar hal tersebut, dengan tergesa-gesa, Tan malah akan meletakkan hidangan dan mengajukan pertanyaan. Kalau saya tidak salah, bahwa kemenangan terakhir Jepang akan menjamin kemerdekaan Indonesia, apakah tiada lebih tepat, bahwa kemerdekaan Indonesia lah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir? Bung Karo menanggapinya dengan mengatakan bahwa jika Jepang memberikan kemerdekaan sekarang juga, maka dirinya tidak akan bersedia menerima kemerdekaan itu, tanpa lakandak melanjutkan perdebatan, namun tidak diberikan izin untuk berbicara oleh panitia. Memasuki tahun 1945, Tan Malaka terpilih sebagai perwakilan pemuda dari Bayau untuk berangkat ke Jakarta, guna mengikuti perkumpulan pemuda dalam masa gejolak menjelang kemerdekaan. Untuk itu, pada tanggal 6 Agustus di tahun 1946, Tan Malaka berangkat ke Jakarta dengan harapan akan mendapat ikut berperan di tengah perkembangan merebut kemerdekaan.

Sesampainya di Jakarta, Tan Malaka menemui B.M. Diah, ketua pemuda radikal yang tergabung dalam angkatan baru. Kalau menemui Diah, Tan Malaka masih menggunakan nama samaran Ilya Susan sebagai utusan pemuda dari Bayah. Dalam pertemuan ini, Tan Malaka bermaksud mengetahui jalannya rapat organisasi pada tanggal 6 Juli sebelumnya. Selain itu, Tan Malaka juga menyatakan dukungannya terhadap gerakan pemuda.

Cukup mendapatkan informasi dari Jakarta, Tan Malaka kembali ke Banten pada tanggal 8 Agustus pada tahun 1945. Sehari kemudian pada tanggal 9 Agustusnya, Tan Malaka berpidato dalam rapat rahasia perwakilan pemuda Banten. Dalam pidato ini, Tan Malaka menceritakan pengalaman revolusi di negara-negara lain. Semua ini bertujuan untuk membakar semangat para pemuda di Banten karena Tan Malaka. Tan Malaka sudah memprediksi bahwa dalam waktu ke depan, Jepang akan mengalami kekalahan.

Setelah pidato ini, dia kini berhasil membakar semangat para pemuda Banten untuk memerebut kemerdekaan. Dua hari kemudian, Tan Malaka berangkat kembali ke Jakarta. Dan pada tanggal 14 Agustus di tahun 1945, dengan tetap memakai identitas Ilyesusen, Tan Malaka menemui Sukarni, tokoh yang dipercaya dapat menggerakkan kaum pemuda.

Dalam pertemuan ini juga, Tan Malaka memberitahukan bahwa proklamasi kemerdekaan semakin dekat. Menurut Heri Apoize, peneliti Belanda. Anda yang hampir 40 tahun meneliti kehidupan Tan Malaka dalam salah satu bukunya berjudul Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 1 menuliskan bahwa sepanjang pertengahan bulan Agustus tahun 1945, Tan Malaka banyak menemui para pemuda lain yang memimpin gerakan seperti Khairul Saleh, Subarjo, dan Khalid Rashidi yang merupakan aktivis pemuda Menteng 31. Selain itu juga Tan Malaka menemui kakak beradik Anwar dan Harsono, Cokro Aminoto. Atas motivasi dan provokasi Tan Malaka juga lah, para pemuda seperti Soekarni berada di kota Tan Malaka. berani menculik Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Jepang dibumi hanguskan sekutu dan Amerika.

Setelah proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno di rumahnya di Pegangsaan Timur, Tan Malaka terus bergerak, berjuang, dan membangun gerakan bawah tanah meski nyata-nyata sejarah tidak memberi ruang baginya untuk terlibat dalam proklamasi kemerdekaan. Namun itu bukan menjadi masalah bagi Tan Malaka. Dan untuk memperpanjang perjuangannya, Tan Malaka memulai tur keliling Jawa untuk menyampaikan kabar gembira atas merdekanya Indonesia, sekaligus membakar semangat rakyat untuk studi mempertahankan kemerdekaan sampai status kemerdekaan bangsa baru bernama Indonesia ini diakui secara internasional. Pada saat keliling Pulau Jawa ini, Tan Malaka melihat sendiri, bahwa ternyata rakyat menyambut kemerdekaan ini dengan semangat yang luar biasa, untuk mempertahankan tanah airnya dan sampai rela mengorbankan nyawa.

Namun di sisi lain, Tan Malaka justru melihat pergerakan pemimpin negara seperti Bung Karno, Hatta, dan Syahriah cenderung lembek dan terlihat disetir oleh orang barat. Supaya negara ini mendapat pengakuan oleh masyarakat internasional, Tan Malaka berpendapat bahwa kemerdekaan ini sudah diraih sepenuhnya dan kita tidak perlu lagi melakukan jalur perundingan apa-apa lagi. Karena nanti khawatirnya, isi perjanjian tersebut akan merugikan bangsa Indonesia di kemudian hari. Dalam ujung tur keliling Jawa tersebut, Tan Malaka juga sempat bergabung dalam perjuangan rakyat Surabaya untuk secara langsung berjuang mengusir tentara Belanda atau Allied Force for Netherlands East Indies yang dipimpin oleh Lord Mountbatten dan wakilnya Brigadir Aubertine Walton Sultan Melebi dalam upayanya ingin mencengkram kembali Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan juga lah, identitas Tan Malaka dimunculkan. Sebab dalam satu memoirnya, Tan Malaka menyatakan setelah kemerdekaannya, dia ingin bergerak di atas tanah. Maksudnya adalah, Tan Malaka ingin berkenalan dengan para tokoh pergerakan dengan menggunakan identitas nama aslinya. Maka setelah nama Tan Malaka diungkap ke publik dan sampai ke Soekarno, Soekarno langsung menyuruh Sayuti Melik untuk segera mencari Tan Malaka.

Ada yang menarik dalam pertemuan Soekarno dan Tan Malaka karena dalam pertemuan di bulan September 1945 ini pertemuan diadakan amat rahasia. siang. Bahkan Soekarno harus meminjam rumah khusus seorang dokter yang bernama R. Soeharto.

Dan dalam pertemuan itu Soekarno meminta selama perbincangan dirinya dengan Tan Malaka lampu-lampu di rumah harus dimatikan. Benar saja, obrolan Soekarno dan Tan Malaka memang membicarakan hal yang serius. Dan dari obrolan inilah kita mengetahui testament politik yang isinya. Bila Soekarno Hatta tidak berdaya lagi, pemimpin perjuangan akan diteruskan oleh Tan Malaka, Iwakusuma, Sahriyat, dan Wongso Ndorong. Selain itu juga setelah Tan Malaka membuka identitasnya banyak para pemimpin yang meminta saran arah perjuangan kepada Tan Malaka.

Salah satunya disampaikan oleh menurut Hadi Jojo yang menyatakan bahwa Tan Malaka mengusulkan diadakan demonstrasi yang lebih besar. Aksi masa besar ini digunakan untuk mengukur seberapa besar rakyat mendukung proklamasi kemerdekaan. Ide Tan Malaka inilah yang kemudian melahirkan Rapat Akbar di lapangan Ikada, rapat raksasa yang dihadiri oleh ribuan rakyat Indonesia. Tan Malaka benar-benar menjadi sorotan setelah itu.

Ini terbukti karena pada tanggal 23 September... 1945 saat rapat digelar di rumah Ahmad Subarjo, Hatta menawari Tan Malaka untuk ikut dalam pemerintahan. Namun Tan Malaka menolak dengan menyampaikan tidak, Soekarno dan Hatta sudah tepat, saya bantu dari belakang saja.

Setelah penolakan ini, datang kembali tawaran sebulan kemudian. Namun sekarang tawaran itu datang dari Syahrir yang meminta Tan Malaka pada tanggal 23 Oktober tahun 1945 untuk bersedia menjadi ketua Partai Solidaritas Indonesia. Namun sama halnya dengan tawaran Hatta, tawaran Syahrir pun ditolak oleh Tan Malaka.

Atas pertanyaan, penolakan Tan Malaka untuk tidak mau berada di pemerintahan dan menjadi elit politik di depan layar pun membuat pertentangan di petinggi pemerintahan pun semakin tajam. Ditambah saat itu Syahrir diangkat menjadi Perdana Menteri dan mengubah sistem politik dari presidensial ke parlementer. Atas keputusan ini, Jenderal Sudirman pun geram dan kemudian merapat ke kubutan Malaka untuk berjuang langsung dengan rakyat. Akibatnya muncullah fraksi-fraksi baru dalam kepemimpinan Indonesia yaitu Soekarno-Hatta, Syahrir Amir dan Sudirman Tan Malaka.

Dari sinilah kemudian kubutan Tan Malaka dan Jenderal Sudirman mengambil jalan perjuangan sendiri dengan mengadakan Kongres Pemuda di Purwokerto yang diselenggarakan oleh Tan Malaka dan Sudirman yang berlangsung pada tanggal 1 Januari 1946. Organisasi ini terdiri atas 132 partai, laskar rakyat, organisasi masa yang radikal dan militan yang akhirnya jadi sebuah perkumpulan dengan nama Persatuan Perjuangan. Perkumpulan ini adalah sebuah manifesto dari kekecewaan rakyat Indonesia terhadap keputusan pemerintah Republik Indonesia yang pada saat itu cenderung untuk menempuh jalur perundingan. untuk mendapatkan pengakuan internasional.

Ironisnya, pendirian kelompok yang bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan inilah yang nantinya membuat Tan Malaka terbunuh oleh bangsa sendiri yang ia perjuangkan mati-matian. Sebab meski memiliki banyak dukungan dari rakyat, kepentingan para elit politik di Jakarta untuk meminimalisir konflik dengan pihak barat terus mengintervensi perjuangan lapangan yang dilakukan oleh Tan Malaka. Saat berada dalam puncak perjuangannya pada pertengahan tahun 1946, Kabinet Syahrir melalui Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin menganggap ulah Tan Malaka dan pengikutnya membahayakan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Persiapan untuk menangkap Tan Malaka pun dilakukan.

Menurut Amir, dirinya sudah mendapatkan surat perintah dari Syahrir dan mendapat persetujuan Soekarno. Maka, menjelang rapat akbar Persatuan Perjuangan di Madiun pada bulan Maret 1946, semua gerak-gerik Persatuan Perjuangan selalu diawasi. Ditambah di radio, ada pengumuman bahwa Tadil, Tan Malaka telah gagal melakukan kudeta. Selama itu Tan Malaka menghadapi situasi yang sulit, yang ia sendiri tidak mengerti pokok permasalahan yang sebenarnya. Dan karena kondisi yang tidak pasti, Tan Malaka pun diungsikan secara rahasia oleh pengikutnya.

Penangkapan terhadap Tan Malaka dan para pemimpin persatuan perjuangan pun dilakukan pada tanggal 17 Maret di tahun 1946. Dalam hal ini Tan Malaka menjelaskan dalam memoarnya, Pihak Republik Indonesia tidak menangkap saya dengan surat perintah yang beralasan pelanggaran atas sesuatu undang-undang yang pasti yang sudah disahkan pula dan dilakukan oleh instansi yang sah pula. Saya diajak berunding dengan Presiden oleh anggota Persatuan Indonesia dan tiba-tiba dimasukkan ke dalam tahanan dengan cara tipuan. Setelah kira-kira bulan lalu, Pengumuman resmi dari pemerintah Republik membiarkan saja berjalannya tulisan, pidato yang membahayakan diri saya selama berada dalam tahanan. Menengertan malahka ditangkap Jendral Sudirman, selaku panglima besar menyuruh anak buahnya untuk membebaskannya.

Namun pembebasan itu pun gagal. karena dapat dipatahkan oleh pemerintahan Soekarno. Setelah kurang lebih selama 2 tahun di penjara tanpa proses, tepatnya pada tanggal 16 September 1948, Tan Malaka akhirnya dibebaskan dari penjara.

Setelah keluar dari penjara, Tan Malaka berusaha mengumpulkan pengikutnya lagi untuk membangun kekuatan kembali. Dan bersama pengikut setianya, Soekarni, pada tanggal 7 November di Yogyakarta, Tan Malaka membentuk Partai Murba, Partai Musyawarah Rakyat Banyak. Dalam situasi saat itu, hal yang benar-benar ditakutkan Tan Malaka saat pemerintahan Indonesia melakukan bukan perundingan benar-benar terjadi.

Selain dalam perjanjian Rinfel yang menyatakan bahwa Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia dan untuk itu diciptakan sebuah garis demarkasi atau batas teritorial yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda. yang otomatis membuat TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah yang masih diakini adalah jejak Belanda seperti di wilayah pendudukan Jawa Barat dan Jawa Timur. Dan setelah perjanjian Renville yang jelas merugikan Indonesia, Soekarno membekukan pemerintah Republik dan menggantinya jadi pemerintah darurat Republik Indonesia dengan pusatnya di Bukit Tinggi.

Dan pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali menyerang Indonesia dengan agresi militer keduanya. Nah, bersama dengan itu akhirnya Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sejak awal tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. pemerintahan Soekarno dan Syahrir bergabung kembali dengan Tan Malaka, melakukan gerilya melawan agresi Belanda di Yogyakarta.

Namun tidak lama, mereka berdua pun akhirnya berpisah karena penyerbuan tentara Belanda. Sudirman masuk ke hutan ke Jawa Tengah untuk melanjutkan gerilya, dan Tan Malaka berangkat ke Kediri, Jawa Timur, dengan dikawal pasukan Jenderal Sudirman. Mereka menaiki kereta api khusus di Kediri, Tan Malaka bergabung dengan pasukan Sabarudin, pemimpin Divisi 6 TNI. Di markas pertahanan Belimbing Kediri, Tan Malaka sempat mendirikan gabungan pembelajaran. pembela proklamasi yang kemudian menjadi gerilya pembela proklamasi di Kediri tan Malaka dan Syahabarudin menghimpun rakyat melakukan gerilya dalam situasi genting dan Malaka berbicara di radio dari daerah Kediri untuk tetap melanjutkan perjuangan dengan cara tidak mengakui perjanjian linggar jati dan renfyl menghancurkan negara boneka bentukan Belanda mengambil alih semua wilayah Indonesia yang masih dikasih oleh Belanda mengambil alih semua aset Belanda dan Eropa lainnya mengembalikan harga diri rakyat Indonesia mengabaikan seluruh ajakan perundingan Tidak menyutuhi perjanjian apapun yang tidak menyebutkan bahwa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan terakhir menyatukan seluruh partai dan badan keamanan rakyat.

Himbawan inilah yang membakar semangat rakyat, tapi juga sekaligus menyebabkan Tan Malaka dianggap sebagai pemberontak yang dianggap berbahaya oleh pemerintahan Perdana Menteri Muhammad Hatta. Ditambah saat itu Tan Malaka mengkritik sikap Kolonel Sungkono yang pengecut dan tidak memperdulikan kepentingan rakyat. Mendengar kritikan itu, Kolonel Sungkono, selaku pimpinan Divisi Jawa Tengah, Jawa Timur memerintahkan kepada Surahmat menyelesaikan persoalan ini, yang langsung diteruskan kepada semua anak buahnya.

Sejak saat itulah Tan Malaka diburu oleh tentara negara, yang dia bela mati-matian selama 30 tahun terakhir. Pasukan Tan Malaka yang kocar-kacir karena serangan Belanda, mereka akhirnya mundur bergerak ke arah selatan, melewati batalion sikatan, yang mana wilayah ini ada di bawah penguasaan kolonel Sungkono. Akhirnya pada tanggal 19 Februari tahun 1949, di selopanggung Jawa Timur, Tan Malaka dan pasukannya bertemu dengan Regu Sukojo.

Di sini, Inilah tragedi kematian Tar Malaka bermula. Tar Malaka mati ditembak oleh tentara Republik Indonesia. Tar Malaka ditembak Regu Sukojo dan jenazahnya tidak diketik keberadannya sampai sekarang.

Ada yang menyebutkan Tar Malaka dikubur secara rahasia. Ada juga yang menyebutkan mayatnya dihanyutkan dikali berantas. Namun atas tragedi kematian Tar Malaka, membuat Hatta kemudian memberhentikan Sung Kono sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan Surahmat sebagai Komandan Brigade. 14 tahun setelah kematiannya, tepatnya pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno mengangkat perang.

nama Tan Malaka sebagai pahlawan nasional Indonesia. Muhammad Yamin, sejarawan dan pakar hukum Indonesia mengatakan bahwa sudah seharusnya Tan Malaka mendapat gelar tersebut karena Tan Malaka lah yang mengkonsep tentang Indonesia dan bentuk republik 20 tahun sebelum Indonesia merdeka. Dalam pembelaannya, Muhammad Yamin di salah satu koran Yamin menggambarkan Tan Malaka sebagai bapak rakyat Indonesia yang tahu banyak daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaan tercapai atau sebagai Rizal Badifakio meramalkan Republik Filipina sebelum revolusi Filipina pencah. Namun, tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1966, setahun setelah pembantaian besar-besaran atas orang-orang kiri, Soekarno turun dari jabatannya sebagai presiden dan digantikan oleh era Orde Baru.

Dan pada masa Orde Baru, Sebaru, nama Tan Malaka kembali disembunyikan dari sejarah Indonesia. Dan bahkan tidak pernah disebutkan dalam daftar nama-nama pahlawan nasional di sekolah seluruh penjuru Indonesia. Selama puluhan tahun, bahkan mungkin sampai sekarang. Dalam hal ini, alasannya hanya karena keterlibatan Tan Malaka yang sangat kena.

dengan gerakan kiri, sosialis, atau komunis yang menjadi musuh besar pada era pemerintahan Orde Baru. Namun meskipun Tan malah pernah menjadi ketua komunis, namun banyak tokoh yang menganggap dia adalah tokoh Islam. Salah satunya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang kita kenal sebagai Buya Hamka. Dalam kata pengantarnya untuk buku Tan Malaka yang berjudul Islam dan tinjauan Madilok, Hamka menyatakan bahwa Tan Malaka mempunyai keberpihakan yang jelas terhadap Islam.

Pandangan Hamka ini didukung dengan fakta-fakta sejarah yang sangat sulit untuk disangkal. Di antaranya Hamka mengungkapkan tentang pembelan Tan Malaka terhadap Islam di Kominten Moskow. Juga bagi Hamka, Tan Malaka telah membukakan cakrawala berpikir tentang logika dialektika yang sangat dibutuhkan masyarakat modern untuk memperkuat iman dan Islam. Dan berikutnya, Benar saja, meski Tan Malaka dibuat mati dan disingkirkan keberadaannya dalam sejarah, karya-karya Tan Malaka terus dicetak ulang dan pikirannya terus dibicarakan.

Tan Malaka selalu menjadi idola bagi golongan pemuda dan mungkin sampai masa mendatang. Hal ini seperti juga yang pernah Tan Malaka yakini menjelang eksekusi kematiannya. Ingatlah bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi.