Terima kasih telah menonton! Tahun 1973, Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan Fusi Partai Politik atau Penggabungan Partai Politik. Ide Fusi Parpol juga pernah disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pedatonya di Kongres PNI pada tanggal 11 April 1970 di Semarang.
Partai-partai Islam kemudian dilebur menjadi satu dalam Partai Persatuan Pembangunan atau P3. Sementara, partai-partai berhaluan nasionalis bergabung dalam naungan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI. PDI didirikan pada tanggal 11 Januari 1973. Partai ini merupakan fusi dari beberapa partai, yakni Partai Nasional Indonesia atau PNI yang didirikan oleh Presiden pertama Insinyur Soekarno, lalu Partai Musyawarah Rakyat Banyak atau Partai Murba yang didirikan oleh Bapak Republik Indonesia Tan Malaka, dan kemudian Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia yang didirikan oleh Jenderal Besar Abdul Haris Nasution. Selain tiga partai nasionalis tadi, Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik juga ikut bergabung bersama PDI. Mereka menolak untuk dimasukkan dalam golongan spiritual dan golongan karya.
Mereka lebih memilih untuk bergabung dalam golongan nasionalis di PDI. Pada awal berdirinya di tahun 1973, PDI dipimpin oleh Muhammad Isnaeni, salah seorang tokoh PNI. Berturut-turut kemudian digantikan oleh Sanusi Harja Dinata dan kemudian oleh Sunawar Sukawati.
Pada tahun 1986, PDI dipimpin oleh Suryadi, seorang tokoh angkatan 66 yang juga pendiri KNPI. Pada masa kepemimpinan Suryadi inilah nama Megawati muncul di kancah politik nasional. Tahun 1987, PDI berhasil merangkul Megawati masuk. Semua berawal di suatu sore di pertengahan tahun 1980-an. Di sebuah restoran di daerah Kemayoran, Sabam Sirait bertemu dengan Megawati dan suaminya Taufik Kemas.
Sabam mengajak keduanya untuk berkiprah di PDI. Megawati cuma tertawa mendengar tawarnya itu. Pada masa itu, mana mungkin keluarga Soekarno bisa berpolitik. Selain soal kesepakatan keluarga yang pernah dibuat, Pemerintah Soeharto juga melarang anak-anak Soekarno terlibat politik. Di era Orde Baru pimpinan Soeharto ada sentimen terhadap keluarga Soekarno.
Namun, Sabam tidak menyerah. Di lain kesempatan, ia kembali membujuk lewat Taufik Kemas. Megawati akhirnya menerima tawaran Sabam.
Dan hasilnya sungguh diluar dugaan. Megawati yang direkrut karena garis keturunannya sebagai putri Soekarno Dinilai mampu menarik pemilih Nama Megawati efektif menarik pemilih di Jawa Tengah Saat perempuan bernama lengkap Diah Permata Megawati Setiawati Soekarno Putri itu tampil di panggung kampanye Masa PDI selalu membludak Suara yang diperoleh PDI dalam pemilu pun meningkat Pada pemilu 1987 PDI meraih 10% suara dengan raihan 40 kursi di DPR Padahal pada 2 pemilu sebelumnya Pada pemilu 1977, PDI cuma berhasil meraih 8% suara dengan raihan 29 kursi. Sementara pada pemilu 1982, PDI hanya mampu meraih 6,66% suara dengan total 24 kursi DPR. Setelah Megawati bergabung, raihan suara PDI terus melejit.
Bahkan pada pemilu tahun 1992, PDI mampu meraih 14% suara dan meningkatkan perolehan jumlah kursi di DPR menjadi 56 kursi. Sebagai putri biologi Soekarno, Megawati secara otomatis memperoleh sumber daya politik bernilai besar. Puluhan juta rakyat Indonesia pengagum Soekarno akan dengan sukarela memberi dukungan kepada Megawati.
Ringkasnya, tanpa harus bekerja keras, Megawati telah menerima jumlah besar pendukung politik warisan Soekarno. Laporan Tempo 11 Desember 1993 mencatat bahwa pada mulanya Mega kalah pamur dari kakaknya. Guntur Soekarno Putra Dalam kampanye pemilu 1971 Guntur ikut berkampanye untuk PNI Dia ikut meramaikan kampanye Partai Besutan Ayahnya itu Ikut diarak untuk pengerahan masa Sasarannya tentu saja Agar partai itu mendapat dukungan Dari mereka yang masih ingat akan Bung Karno Namun ketika itu, putra sulung Soekarno yang tampang dan gaya bicaranya mendekati atau mirip dengan ayahnya itu tak mendapat izin ikut kampanye.
Guntur mengaku kerap mengalami tekanan dari rezim Orde Baru. Saat menjadi juru kampanye PNI, dia sering mendapat tekanan dan diusir oleh aparat. Sampai-sampai kemudian keluarga Bung Karno membuat kesepakatan untuk tak giat bergerak di bidang politik. Mereka akan menekankan kegiatannya di bidang sosial, bukan politik praktis. Kala itu, keluarga Soekarno menjadi korban ambisi Soeharto.
Upaya desokarnoisasi dilakukan dengan membatasi pergerakan putra-putri Soekarno, terutama dalam politik. Ketika akhirnya Megawati memutuskan bergabung dengan PDI dan terjun dalam kampanye pemilu 1987 sebagai calon anggota DPR, dia akhirnya memang berhasil masuk ke Senayan. Langkahnya diikuti oleh adik bungsunya.
Guru Soekarno Putra juga dikandang banteng yang menjadi anggota DPR sejak tahun 1992. Nampilannya selama kampanye pun selalu dihubung-hubungkan dengan nama besar almarhum ayahnya, Bung Karno. Menguatnya capaian PDI dan naiknya pamor keluarga Bung Karno itu tentu saja memicu kegusaran pemerintahan Orde Baru. Suryadi yang berhasil membawa Megawati masuk ke dunia politik kemudian dilengsarkan dari kepemimpinannya di PDI.
Rezim Orde Baru khawatir partai ini bisa menggoyang dominasi Golkar pada waktu itu. Kongres 4 PDI di Medan tahun 1993 Suriadi sudah dipastikan akan terpilih kembali untuk memimpin PDI Priode 1993-1998, mengalahkan Budi Harjono yang didukung oleh pemerintah. Namun, Kongres dibuat macet, sehingga dibentuk DPP PDI Kartekor dipimpin oleh Latif Pujo Sakti yang bertugas segera untuk menyelenggarakan Kongres Luar Biasa.
Kongres Luar Biasa pun diselenggarakan di Surabaya pada tahun yang sama. Pemerintah Orde Baru tetap menjagokan Budi Harjono Namun, Pemerintah Orde Baru kecelek Mayoritas peserta Kongres dalam penyampaian pandangan umum malah menyatakan dukungannya kepada Megawati Megawati menjadi bintang di Kongres PDI Surabaya Dia dielulukan dan menjadi penentu lancar tidaknya Kongres tersebut Tanpa kasak pusuk ke pejabat pemerintah atau pimpinan PDI, Megawati mampu mendapatkan dukungan emosional luar biasa dari peserta Kongres. Mereka dengan gegap gempita mencalonkan Mega menjadi ketua umum PDI. Sebagai politikus, saat itu Mega boleh dibilang baru dan tak begitu menonjol. Bahkan dia dikenal bukan sebagai politikus piawai dan jago berkasak pusuk.
Begitupun di Kongres Surabaya. Mega tak melakukan operasi khusus untuk memenangkan pemilihan ketua umum PDI itu. Dia memang termasuk anggota DPR yang tidak suka ngomong dan memberikan pernyataan yang menggebu-gebu kepada wartawan.
Pesaingnya suka meledek Mega lebih cocok sebagai ibu rumah tangga, bukan politikus. Tapi faktanya, Mbak Mega begitu dia biasa disapa, mampu mempersatukan semua sumber daya dan kekuatan di Partai Demokrasi Indonesia itu. Lawan-lawan politiknya terkejut, apalagi rezim Orde Baru.
Bertahun-tahun meredam nama besar Bung Karno kemudian tiba-tiba mencuat melalui putrinya. Tentu saja ini membuat gusar pemerintahan Presiden Soeharto. Niat menjatuhkan Suriadi malah memunculkan singa betina bernama Megawati Soekarno Putri sebagai penerus Trah Soekarno. Akhirnya Kongres Surabaya juga dibuat ricu hingga tengah waktu izin habis.
Namun, dua jam sebelum izin Kongres berakhir, Megawati menyampaikan pernyataan pers bahwa secara de facto dia telah terpilih menjadi ketua umum PDI. Kemudian, dalam munas PDI di Jakarta tahun 1994, Megawati dikukuhkan sebagai ketua umum PDI. Pasca terpilih sebagai ketua umum, Megawati berkeliling Indonesia untuk konsolidasi dan menemui rakyat.
Ketidaksukaan pemerintahan Orde Baru akan popularitas Megawati justru membuat Megawati makin dicintai. Dia menjadi simbol perlawanan terhadap tekanan Orde Baru. Namanya bahkan sempat diusulkan sebagai calon presiden.
Pemerintahan Orde Baru yang mengendus ancaman ini segera merancang skenario untuk mengembosi kekuatan Megawati. Rezim Orde Baru Kemudian mendekati dan membujuk kembali Suryadi untuk mengambil alih kepemimpinan PDI dari Megawati dengan memfasilitasi Kongres Medan pada tahun 1996. Suryadi bersama sejumlah pengurus DPP PDI seperti Fatimah Ahmad menggalang penyelenggaraan Kongres. Kongres pun berlangsung di Asrama Haji Pangkalan Masyur Medan pada 22 Juni 1996, jauh sebelum kepengurusan kepemimpinan Megawati berakhir. Suriadi terpilih menjadi ketua umum disokong oleh pemerintah. Pemerintah yang mendukung Kongres Medan langsung mengakui kepemimpinan PDI pimpinan Suriadi.
Terjadilah dualisme kepemimpinan di PDI. Suhu politik nasional pun kemudian meninggi. Megawati tidak diam saja.
Dia juga melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan negeri Jakarta Pusat. Mega juga menggerakkan mimbar bebas di DPP PDI di Jalan Deponogoro. Mimbar bebas digelar setiap hari.
Lalu, terjadilah tragedi Kudatuli, atau kerusuhan 27 Juli. Pada Sabtu 27 Juli 1996, kantor DPP PDI di Jalan Deponogoro Menteng, Jakarta Pusat, diserbu masa pendukung Suryadi. Mereka ingin mengambil alih kantor pusat PDI tersebut.
Sekitar pukul 6.30 pagi, satuan tugas PDI yang berjaga semalaman masih tertidur ketika ratusan masa PDI Pro Suriadi berseragam kaos merah bertuliskan pendukung Kongres Medan dan Ikat Kepala Merah datang menyerbu kantor itu. Masa PDI pendukung Suriadi berteriak memaki-maki dan menghujani dengan batu para pendukung Megawati yang bertahan di kantor DPP PDI. Para penyerbu juga membakar sepaduk-sepaduk yang tertancap di sekeliling pagar.
Masa dengan leluasa menyerbu karena ratusan aparat kepolisian dan militer memblokir wilayah sekitar DPP PDI. Akibatnya, Satgas PDI yang jumlannya kurang dari 100 orang terkepung dan mempertahankan markas sendiri tanpa bantuan dari luar. Laporan Kompas mencatat selama 2 jam terjadi aksi lempar batu antara masa pendukung Suryadi dan masa Pro Megawati. Aparat keamanan pun turun ke lokasi. Kapolres Jakarta Pusat saat itu...
Letkol Abu Bakar Nataprawira berupaya melakukan negosiasi dengan wakil pendukung Megawati. Dia meminta kantor DPP PDI dikosongkan untuk diambil alih oleh polisi dan dinyatakan dalam kondisi status quo. Namun, masa PDI pro-Megawati menolak.
Mereka hanya mau keluar dari markas jika diperintahkan langsung oleh Mega. Tak butuh waktu lama kerusuhan itu kemudian meluas. Bentrok pun terjadi antara aparat keamanan dengan masa.
Masa mulai melakukan aksi pembakaran. Sedikitnya, 3 bus kota terbakar, termasuk 1 bus tingkat. Masa juga membakar beberapa gedung di Jalan Salemba. Karena situasi semakin tidak terkendali, sekitar pukul 16.35, 5 panser, 3 kendaraan militer khusus pemadam kebakaran, 17 truk, dan sejumlah kendaraan militer lainnya dikerahkan dari Jalan Dipenogoro menuju Jalan Salemba.
Sedikitnya, 5 orang tewas, 149 luka, dan 23 orang dilaporkan hilang akibat peristiwa berdarah tersebut. Pemerintah kemudian menuduh Partai Rakyat Demokratik atau PRD sebagai dalang dibalik kerusuhan tersebut. Menko Polkam Susilo Sudarawan mengatakan PRD menunjukkan kemiripan dengan PKI, terutama dari istilah-istilah yang digunakan dalam manifesto politik tertanggal 22 Juli 1996. Menurut Susilo, PRD hanya satu dari beberapa pihak yang disebut membonceng kerusuhan tersebut.
Budiman Sujatmiko, Ketua Umum PRD saat itu membantah tudingan tersebut. Dia menyebut kerusuhan itu merupakan reaksi balik dari masyarakat atas penyerbuan kantor PDI yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Suparno Putri oleh pendukung Suriadi yang ditenggarai dibakingi oleh order baru. Sejarawan Peter Kasenda dalam bukunya Peristiwa 27 Juli 1996 Titik Balik Perlawanan Rakyat mencatat bahwa mimbar bebas tersebut tak disukai Abri dan polisi.
Panglima Abri, Jenderal Faisal Tanjung bahkan menuduh mimbar bebas tersebut sebagai makar. Itu bukan bangsa Indonesia lagi, saya kira itu PKI, begitu kata Faisal. Tuduhan itu segera dibalas Megawati. Dia mengatakan mimbar digelar untuk menyalurkan suara rakyat yang terinjak-injak. Dia mengaku kegiatannya tak ditutup-tutupi dan tak ada agenda makar.
Kalau saya mau makar, tentu sudah saya lakukan. Kami hanya ingin menjaga harga diri warga yang porak-poranda dengan adanya Kongres Medan. Begitu kata Megawati di depan puluhan wartawan asing dan nasional di akhir Juli 1996. Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara, Asaat Said Ali dalam buku Perjalanan Intelijen Santri menyebutkan bahwa terdapat manuver intelijen militer dibalik pencalonan Megawati sebagai Ketua Partai Demokrasi Indonesia di era akhir Orde Baru. Upaya manuver ini menurut Asaat adalah otokritik yang muncul dari tubuh militer.
Asaat menyebut beberapa nama tokoh militer yang melakukan manuver. Baik secara langsung maupun tidak langsung pada pencalonan Megawati sebagai ketua umum PDI. Nama-nama dari kalangan Abri dan Purnawirawan Abri seperti Elbi Murdani, Samsir Siregar, dan Pangdam Limajaya saat itu Maijen Hindropriyono mencuat. Pada pemilu terakhir Orde Baru di tahun 1997 yang diakui pemerintah adalah PDI Suriadi. Para pendukung Mega pun mengalihkan suara mereka ke P3 dan membentuk slogan Mega Bintang.
Suara PDI Suryadi pun anjlok hanya menjadi 3%. Tahun 1998, Orde Baru runtuh. Soeharto digantikan B.J.
Habibie. Setahun kemudian, Habibie menggelar pemilu pertama era reformasi. Megawati mendeklarasikan pembentukan PDIP.
Tambahan P adalah kata dari perjuangan untuk membedakan fraksi partainya dari PDI yang lama. Megawati juga menjadi salah satu tokoh yang menggerakkan perjuangan reformasi. Dia menjadi satu dari empat tokoh deklarator Ciganjur. Bersama Gusdur, Amin Rais, dan Sultan Hamengkubwono X, dirinya mendesak reformasi total dengan menanggalkan segala unsur politik Orde Baru, menegakkan hukum, dan menghapus duifungsi abri.
Pemilu 1999 adalah tonggak sejarah berdiri kokohnya PDI Perjuangan. Saat itu, PDI Perjuangan menjadi partai pemenang pemilu. Dari 48 partai peserta pemilu, PDIP meraih perolehan suara sebesar 33,74% atau sebanyak lebih suara pemilik. 6 kali penyelenggaraan pemilu era reformasi, PDIP yang dipimpin Megawati hanya merasakan kekalahan 2 kali. Tahun 2004 kalah dari partai Golkar dan tahun 2009 kalah dari partai Demokrat.
Itu pun hanya dengan selisih suara yang ketat. Ketika pemilihan presiden 1999, Megawati yang memiliki suara terbanyak di DPR sudah hampir dipastikan akan menjadi presiden Republik Indonesia. Tapi langkahnya terhenti karena dijegal oleh lobby-lobby poros tengah yang dimotori oleh Amin Rais.
Isu penolakan presiden perempuan dari partai-partai Islam pun berhembus kencang. Akhirnya... Terpilihlah Gus Dur sebagai Presiden keempat Republik Indonesia.
Dalam pemilihan Presiden pada 20 Oktober 1999, Abdurrahman Wahid mendapatkan 373 suara. Dia mengalahkan Megawati Soekarnoputri yang mendapatkan 313 suara. Sebagai bentuk kompromi, Megawati ditawarkan menjadi Wakil Presiden.
Sehari setelah pemilihan presiden, Megawati memenangkan kursi wakil presiden pada 21 Oktober 1999. Dia mendapatkan 396 suara. Saingnya, yakni Ketua Umum P3 Hamzahas hanya mendapatkan 284 suara. Namun, belum genap Gus Dur setahun memerintah, kekuasaannya mulai di otak hati.
Ketengahan tahun 2000, Amin Rais menyatakan kecewa atas kinerja pemerintahan Gusdur. Dia menyatakan poros tengah siap berkoalisi dengan PDIP. Situasi politik di DPR pun berbalik menentang Gusdur. Ditandai dengan terbentuknya pansus DPR untuk menyelidiki Bulog GED dan Brunei GED.
Amin Rais sebagai ketua MPR juga ikut berbalik mendorong Gusdur lengser dari kursi presiden. Gus Dur akhirnya dibangzulkan lewat sidang istimewa MPR pada 23 Juli 2001. Di hari yang sama, Megawati dilantik menjadi Presiden Indonesia kelima dan ia menjadi Presiden Indonesia wanita pertama. Setelah secara resmi dilantik menjadi Presiden, Megawati melakukan konsolidasi kekuasaan dan ia menjadi salah satu pencetus pemilihan presiden secara langsung dan membidani lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Meski menjadi pencetus pemilihan presiden langsung, tapi faktanya Megawati kalah dalam dua kali pertarungan pemilihan presiden secara langsung itu. Keduanya kalah dari Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, bekas menteri yang juga salah satu orang kepercayaannya.
Walaupun kalah dalam pertarungan presiden melawan Yudhoyono, tapi posisi Megawati dipercaya. PDIP tak tergoyahkan, bahkan dia mampu menjadi kingmaker dalam dua pemilu berikutnya. Dia sukses mendudukan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7.
Tahun 2014 memang Joko Widodo adalah media darling dan sangat disukai rakyat Indonesia. Iprahnya di Solo dan Jakarta menjadi perhatian publik. Tapi tanpa hak prerogatif Megawati sebagai ketua umum PDIP yang menentukan itu semua, bisa saja Jokowi tidak pernah menjadi presiden. Megawati yang tertempa puluhan tahun tentu saja lihai berpolitik.
Dengan mencalonkan Jokowi yang sedang naik pamor, otomatis suara PDIP pun terjauh krak naik. Dari sebelumnya, di tahun 2009 berada di posisi ketiga di bawah Demokrat dan Golkar, Maka di tahun 2014, partai ini melejit menjadi partai pemenang pemilu. Sosok Jokowi saat itu memang menjadi magnet bagi para pemilih PDIP. Meski begitu, Megawati tetaplah Megawati.
Dia bukan saja memegang kata putus atas siapa calon presiden dan wakil presiden dari partainya. Namun, dia juga mengunci posisi sebagai satu-satunya patron partai di Indonesia yang begitu kuat. Megawati juga selalu menunjukkan kekuatannya.
Bahkan dalam berhadapan dengan Presiden Jokowi Dodo sekalipun, dia memosisikan Jokowi sekedar petugas partai. Ada banyak alasan mengapa Megawati begitu teramat kuat. Sejarah sudah membuktikan bahwa dirinya tenyang dihajar oleh pemerintahan Soeharto, koros tengah dan bahkan militer di zaman Orde Baru. Bagi pengikutnya, situasi ini memantapkan Megawati sebagai simbol perlawanan. Megawati membangun legitimasi bukan saja dari ideologis nasionalisme yang diwariskan oleh ayahnya, tapi juga karena kegigihannya melawan represi Soeharto.
Di PDIP sendiri tidak ada figur sekuat Megawati yang mampu menggantikan dirinya. Jokowi sendiri sudah membuktikan. Bahkan dirinya bisa dipecat oleh Megawati sebagai kader PDIP. Ketika banyak orang melihat sinis bahwa posisi Megawati tak tergantikan oleh minimnya kaderisasi di PDIP, pertanyaan yang muncul adalah kaderisasi sedah sehat apa yang mampu menciptakan sosok super power seperti Megawati?
Nyaris mustahil. Dalam beberapa puluh tahun ke depan akan sangat sulit menemukan politikus perempuan sepertinya. sekuat dan seberpengaruh Megawati.
Dia kuat karena sosok ayahnya. Dia juga kuat karena kenyang di tempat badai politik. Dan dia juga kuat karena mampu mengatasi berbagai krisis di tubuh partainya.
Yeni Wahid atau Kahiyang Jokowi mungkin punya kesempatan bisa menjadi kuat seperti Megawati. Sama-sama punya modal nama besar ayah handanya sebagai presiden republik ini. Tapi apa?
Apakah mereka mampu melewati jalan terjal seperti yang dilalui oleh Megawati? Jawabannya adalah belum tentu. Bahkan ketika para politikus sekelas Gusdur dan SBY kelimpungan digoyang di partainya sendiri, Megawati mampu menjaga stabilitas partainya.
Dia juga mampu menjaga loyalitas kader-kader PDIP. Megawati adalah satu-satunya figur politikus dengan rekam jejak, eksperimentasi politik paling panjang dia kenyang dalam mengelola resiko kooptasi negara atas partai sebagaimana yang ia alami sejak 1990-an akan sangat sulit menggoyahkan singgah sana ketua umum PDIP dari Megawati, bahkan oleh Joko Widodo sekalipun