Teman-teman, gimana kalau saya bilang bahwa emosi, sedih, senang, takut, cemas, kecewa, gelisah sebenarnya enggak nyata. Bersama saya drter Jimy Ardian, spesialis kedokteran jiwa. Selamat datang di kelas pakar. [Musik] Stay with me dulu. Enggak perlu kerigger. Kita jelaskan. Teman-teman, mari bedakan dua aspek yang terpisah dulu. Pertama adalah afek. Enggak familiar dengan kata-kata itu. Affek adalah sensasi yang memang kita rasakan terkait kejadian. Baik di luar misalnya ada macan, ada ular atau yang di dalam misalnya kita berpikir tentang makanan apa yang enak dimakan nanti malam. Affek adalah sensasi. Bisa bayangkan ada empat kuadran. Kuadran pleasure, unpleasure, nyaman, enggak nyaman, dan kuadran rousal, calmness. So, bisa bayangkan empat kuadran itu? Mari bayangkan ketika seseorang leha-leha di pantai di Bali, maka itu kuadran pleasure dan calmness. Dan kalau party, maka itu pleasure dan juga arousal. Bisa bayangin ya. Sementara ketika seseorang misalnya baru patah hati tapi diam di dalam kamar nyanyi lagu The Mas Masive, maka itu unpleasure dan calmness. Sementara ketika seseorang enggak nyaman sampai tantrum di dalam mall, maka itu unpleasure dan arous. Nangkap ya? Nah, afek ini sesuatu yang memang sudah kita miliki sejak bayi. Jadi, ketika bayi menangis atau bayi tersenyum itu bukan emosi, itu afek. Pertanyaan selanjutnya kalau gitu apa itu emosi? Bukankah sudah banyak peneliti let's say Paul Egman yang bahkan ada filmnya tuh La Tumi mengatakan bahwa emosi itu terjadi di semua orang, di semua populasi terlepas apapun budayanya dan mengekspresikan reaksi wajah yang sama. Joe itu gini, fear itu gini, anger itu gini. Dan banyak yang orang percaya. Makanya banyak tuh rak-rak di toko buku yang bicara soal body language. Seakan-akan emosi itu punya fingerprint-nya. Ada yang khas dalam bentuk emosi tersebut yang sama di semua orang. Kabar baiknya kalau itu benar, kita akan bisa menemukan spot-spot otak tertentu untuk menemukan emosinya ada di mana. Misalnya takut itu katanya ada di amikdala atau sedih itu adanya di sistem limbik. Peneliti sudah bertahun-tahun, ratusan tahun mencari fingerprint itu dan sayangnya tidak pernah ditemukan. Coba pikirkan baik-baik, Teman-teman. Kalau Teman-teman takut aja, kita bisa takut dengan lari, tapi kita bisa takut dengan diam atau kita bisa takut sambil senyum kalau itu ternyata atasanmu yang muncul di depanmu. Begitu kan? So, tidak ada bentukan body language yang sama. Semuanya selalu variasi. Dan variasi adalah normal. Sebenarnya sekalipun seseorang kehilangan amikdalanya, akan ada area otak lain yang mengkompensasi kehilangan tersebut sehingga seseorang tetap bisa merasakan takut. Ini disebut sebagai degenerasi. Artinya ada area-area otak yang sebenarnya bertanggung jawab menggantikan satu dengan yang lain. Kalau kenapa-kenapa. Saya enggak bilang semua area otak bisa saling menggantikan. Enggak juga. Tapi ada yang bisa menggantikan. Apa konsekuensinya terhadap emosi? Konsekuensinya besar artinya tidak ada fingerprint terhadap emosi. Yang perlu kita pikirkan kemudian kalau tidak ada fingerprint terhadap emosi, maka ini apa? Bukankah katanya emosi sama di semua populasi? Kenyataannya itu juga tidak. Makanya kalau teman-teman ngelihat di foto-foto lama senyumnya kan enggak ada yang gini. Karena itu semata-mata social gesture. Tidak ada gambar body language bentuk yang sama untuk semua emosi. Mungkin teman-teman juga pernah mendengar beberapa hormon. Misal serotonin itu yang bikin tenang atau endorfin yang bikin excitement seru. Iya betul. Tapi itu bukan emosi, itu afek. Kenapa seretonin bisa muncul di berbagai macam instance? Begitu juga dengan endorfinhin. Tidak semata-mata hanya ketika seseorang sedang bahagia saja atau joyful saja. Ada banyak aspek. Dan bahkan di satu kata bahagia itu macam-macam. Seseorang bisa bahagia ketika dapat gaji, bisa bahagia ketika dapat pasangan yang dia inginkan, atau bisa bahagia ketika orang lain menderita. Yang mana kemudian body language, bentuk, rasa, semuanya berbeda-beda. Kalau gitu emosi itu apa? Kita akan masuk ke dalam bahasan yang mungkin tidak familiar. Bagaimana kalau kita melihat emosi konstruksi? Kita sering menganggap kalau ada ular maka saya takut. Seakan-akan saya objek pasif saja di sana yang harus merasakan emosi tertentu ketika ada objek datang. Bagaimana kalau enggak? Bagaimana kalau saya adalah pemeran aktif di sana yang dengan atau tanpa saya sadari membentuk konstruksi rasa takut terhadap ular tadi? Think about this. Bagaimana kalau seorang anak punya pengalaman tertentu terhadap ular dalam bentuk ayahnya sering ngajak dia jalan-jalan ke Car Freeday buat ngelihat ular di kelompok hobi reptil. Apa yang dilakukan ayahnya? Ada ular eksotik diulus-ulus foto bareng digendong. Ada ular yang gede antusias. Kira-kira apa perasaan anak ini? Apa emosi anak ini kalau ngelihat ular? Takut enggak? Happy. Mungkin mungkin dia jadi peneliti ular nantinya. Kenapa? Karena emosi sebenarnya adalah konstruksi. Konstruksi yang dibangun oleh ayahnya adalah ular itu menyenangkan. Memori yang dipunya tentang anak ini, ular ini menyenangkan. Sampai datang pengalaman lainnya, misalnya dia digigit ular, maka baru emosinya bisa bergeser-geser sesuai konstruksi yang dia punya. Tapi bukankah itu berarti kita juga pengamat pasif saja terhadap pengalaman-pengalaman lalu kita jadikan konstruksi? Enggak selalu. Karena bagaimanapun juga ini bukan hanya tentang pengalamannya, ini tentang bagaimana orang-orang di sekitar, let's say kelompok penghobi ular tadi mempersepsi ular. Bagaimana struktur sosial tertentu mempengaruhi cara saya melihat, cara saya berpikir yang mempengaruhi emosi saya. Lebih jauh lagi, bagaimana kalau ketika saya makan citato? Pernah makan citato kan? Mungkin pernah ngalamin juga ketika Anda menyadari tinggal satu chips di sana dan ada beragam perasaan yang muncul. Ada perasaan bersalah karena udah ngabisin satu bungkus cepat. Ada perasaan sedih karena aduh tinggal satu. Ada perasaan takut gimana timbangan saya. Bagaimana kalau saya menyebut nama emosi ini adalah Chitatolessness? Kehilangan Citato. Chitatessness ini saya bagikan ceritanya pada teman saya. Let's say Kania. kan ya, aku merasakan citatessness. Jika ada dua orang punya pendapat yang sama tentang citato ini, maka kan akan bisa merasakan emosi citatessness ini dengan seluruh spektrumnya, perasaan bersalahnya, takutnya, dan lain sebagainya. Bisa bayangkan itu? Salah satu kekuatan manusia adalah bahasa. Dan bahasa memungkinkan kita untuk bertukar informasi dan membuat konstruksi bernama emosi ini. Jangan salah. Bukan berarti emosi ini tidak valid. Dia valid tapi dalam bentuk konstruksi sosial. Dia valid sama seperti uang itu valid. Kita sepakat bersama-sama uang adalah alat untuk bertukar. Tapi sebenarnya dia cuma kertas bergambar orang yang sudah meninggal bertuliskan angka tertentu. Pada hakikatnya dia enggak ada apa-apa. Tapi kita sepakat kalau itu alat tukar emosi itu nyata dalam konteks seperti uang itu nyata. Kita bersama-sama sepakat. Tapi dia bukan nyata sebagai pohon itu nyata atau baju saya itu nyata. Ngerti ya maksud saya ya? Kalau konteksnya begitu maka kita tidak bisa sepenuhnya memvalidasi emosi yang tidak kita periksa. Setelah kita periksa, baru kita tahu itu valid atau tidak. Jangan salah, mungkin sensasinya nyata, afeknya nyata. Tapi soal emosi nanti dulu. Kita bukan semata-mata objek diam yang ditrigger saja. Kita adalah tuannya. Kita yang membentuk realita dengan atau tanpa kita sadari.