Konflik ideologi dan politik di Indonesia sering memicu perpecahan dan pemberontakan.
Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DITII), dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartoswirjo, memberontak di Jawa Barat (1949-1962).
Ketidakpuasan terhadap Perjanjian Renville (7 Januari 1948), yang memberikan kontrol Jawa Barat kepada Belanda, memicu Kartoswirjo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Aksi DITII
DITII meneror dan menyerang pihak yang menentang NII.
Desa Cibugel, Sumedang, menjadi sasaran kekejaman DITII, menolak mendukung DITII dan tetap setia kepada Republik Indonesia.
Konsep Darul Harbi
Cibugel diklasifikasikan sebagai Darul Harbi atau wilayah musuh.
Harta dan nyawa warga di Darul Harbi dianggap halal untuk diambil oleh DITII.
Serangan ke Desa Cibugel
Serangan berulang oleh DITII (1949-1962), termasuk 50 kali serangan dan pembakaran.
Desa Cibugel membentuk Organisasi Keamanan Desa (OKD) dan dibantu pasukan Siliwangi.
Puncaknya, penyerangan besar pada 23 November 1959, mengakibatkan banjir darah di Cibugel.
Dampak Penyerangan
Penyerbuan mengakibatkan sekitar 100 korban jiwa, termasuk banyak wanita dan anak-anak.
Didirikan Tugu Syuhada di Cibugel untuk mengenang kejadian.
Akhir Pemberontakan
Pada 1962, DITII berhasil ditumpas; Kartoswirjo ditangkap dan dihukum mati.
Warga Cibugel mengungsi, kembali setelah wilayah dinyatakan aman.
Kesimpulan dan Pelajaran
Perselisihan ideologi dapat memicu perang saudara, merugikan rakyat.
Pemberontakan DITII menunjukkan bahwa perang atas nama agama dapat membawa kerugian bagi umat manusia.
Penghormatan
Masjid Asyuhada didirikan untuk menghormati korban Cibugel sebagai pahlawan tanpa suara.