Transcript for:
Pemberontakan DITII di Jawa Barat

Apakah kamu tidak tahu bahwa Jawa Barat ini sudah menjadi negara Islam? Bertobatlah kamu kapir-kapir! Kamulah seharusnya yang bertobat dan incaut! Ayo, angkat tangan! Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Intro Dalam catatan sejarah revolusi Indonesia, perselisihan dalam perbedaan pandangan ideologi dan politik selalu melahirkan berbagai konflik dan pemberontakan yang memakan banyak korban jiwa. Pada sepanjang akhir tahun 1949 hingga tahun 1962 misalnya, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Kelompok Darul Islam Tentara Islam Indonesia atau DITII di Jawa Barat. Perontakan yang dilakukan oleh DITII yang dipimpin oleh Skarmaji Marijan Kartoswirjo ini menurut beberapa peneliti sejarah terjadi akibat ketidakpuasan Kartoswirjo terhadap pemerintah Indonesia pada saat perjanjian Renville dengan Belanda. Perjanjian yang dilakukan pada tanggal 7 Januari 1948 ini telah memberi keputusan untuk memberikan daerah Jawa Barat kepada pihak Belanda. Akibat perjanjian Renville yang merugikan daerah Jawa Barat ini, Sekar Maji Marijan Kartoswirjo yang memiliki latar belakang agama yang kuat, pada akhirnya ia memproklamirkan NII atau Negara Islam Indonesia di wilayah Jawa Barat. Dalam pergerakannya untuk menggalang masa dan memusnahkan lawannya, DITII meneror sejumlah pihak yang tidak setuju dengan negara Islam Indonesia. Salah satu tempat yang menjadi sasaran teror kekejaman DITII di Jawa Barat yaitu di Desa Cibugel, Kecamatan Cibugel, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Dan pemberontakan yang dilakukan oleh DITII ini telah memakan ratusan nyawa rakyat Cibugel yang menjadi korban akibat kekejaman yang dilakukan oleh DITII Pimpinan Kartosuwirjo. Ini adalah Tugu yang berada di kantor desa Cibugel, kecamatan Cibugel, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Tugu dengan nama Tugu Syuhada dengan bentuk vertikal setinggi 5 meter ini merupakan Tugu untuk memperingati kekejaman yang dilakukan oleh Kelompok Darul Islam Tentara Islam Indonesia atau DITII yang terjadi pada tanggal 23 November 1959. Jibugel yang tercatat dalam tinta sejarah Indonesia karena adanya kejahatan terhadap rakyat yang datang dari manusia-manusia angkara yang iri dengki ini telah meninggalkan luka yang mendalam terhadap mereka yang menjadi korban. Sejak perang kemerdekaan antara tahun 1945 hingga tahun 1949 misalnya, desa Cibugel dikenal sebagai sebuah kota yang berbeda. sebagai basis pertahanan terkuat pejuang yang pro-republik di kawasan Priangan Timur. Ketika terjadi proklamasi NII atau Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan oleh Sekar Maji Marijan Kartoswirjo pada tanggal 7 Agustus 1949, kesetiaan warga Cibugel kembali ke kawasan Periyang Timur. kepada Republik Indonesia tidak berubah. Dengan tegas, mereka menolak memberikan bantuan apapun terhadap DITI dan tetap setia kepada Republik Indonesia. Bertobatlah kamu kapir-kapir! Karena penolakan mayoritas masyarakat Cibugel dengan adanya DITII ini membawa konsekuensi yang sangat berat. Karena hal itulah, desa Cibugel diklasifikasi dikasihkan oleh kelompok DITII sebagai Darul Hardi atau kawasan musuh atau wilayah perang sebagaimana yang termaktub dalam buku NII sampai JI menurut mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Negara Islam Indonesia atau NII, harta dan nyawa para penghuni Darul Harbi halal untuk diambil, sekalipun melalui cara kekerasan. Selama tahun 1950-an hingga tahun 1960-an, DITII kerap menjadikan desa-desa yang dianggapnya sebagai Darul Harbi di wilayah periangan timur seperti Tasikmalaya, Garut dan Sumedang sebagai salah satu sumber pemasukan dana mereka. Pegonimah dan Fai merupakan istilah yang digunakan oleh kelompok DITII untuk mendapatkan sumber dana, dimana ghonimah yang berarti harta rampasan perang sedangkan fa'i merupakan harta rampasan yang diperoleh tanpa melalui peperangan Sejak akhir tahun 1949 hingga awal tahun 1950-an, desa Cibugel, sebagaimana desa-desa lain di periangan timur yang telah dicap sebagai wilayah Darul Harbi, kerap diserang oleh kelompok DITII. Menurut Pinardi, dalam buku Skarmaji Marijan Kartoswirjo menyebutkan antara tahun 1949 hingga tahun 1962, Cibugel mengalami tidak kurang dari 50 kali penggarokan. dan pembakaran. Bahkan dalam kurun waktu 6 bulan, desa itu diserang sampai 16 kali. Setidaknya ada sebanyak 1.400 rumah yang telah dibakar oleh kelompok DITII di tempat-tempat yang mereka anggap sebagai Darul Harbi. Seiring berjalannya waktu, karena desa Cibugel yang dianggap oleh gerombolan DITII sebagai wilayah Darul Harbi dan sering mendapatkan serangan, karena kesetiaan warga Cibugel terhadap reputasi, Republik Indonesia maka untuk menjaga keamanan dan ketertiban di desa Cibugel akhirnya warga Cibugel berkoordinasi dengan militer Indonesia dan membentuk organisasi keamanan desa atau OKD. Selain OKD, desa Cibugel juga diperkuat oleh satu hingga dua regu pasukan Siliwangi yang datang secara bergilir dan ditempatkan di pos-pos yang rawan menjadi tempat pergerakan kelompok DITII. Walaupun penjagaan keamanan sudah dilakukan di desa Cibugel, namun karena keberingasan pasukan DITII tetap bisa menembus pertahanan yang telah dibuat dan tak jarang juga banyak warga Cibugel yang dihabisi oleh kelompok DITII. Dan puncaknya terjadi penghabisan warga Cibugel pada malam 23.00. dan November 1959 yang dilakukan oleh kelompok DITII atau Darul Islam Tentara Islam Indonesia. Sebelum terjadinya peristiwa kelam pada malam 23 November 1959 ini, pada awal bulan November 1959 juga terjadi sebuah kejadian di mana saat gerombolan DITI datang dan merampok salah seorang rumah warga di desa Cibugel yang merupakan seorang petani tembakau. Seketika itu terjadi perlawanan sengit antara salah seorang warga dan petani tembakau. dengan gerombolan DITII. Pada kejadian sengit ini, salah seorang dari gerombolan DITII tewas akibat hantaman pisau pencacah tembakau. Meskipun petani itu juga terbunuh, tidak urung kejadian itu akan menimbulkan balas dendam dari kelompok DITII. Senin 23 November 1959, menjelang tengah malam, gelap kulita membekap desa Cibugel, udara dingin terasa menggigit pori-pori. Tidak seperti biasanya, suara binatang malam seolah-olah libur bernyanyi. Sementara itu, warga Cibugel banyak yang berjaga-jaga di pos untuk keamanan desa. Saat tengah berjaga-jaga, tanpa disadari oleh warga, sontak ketika angin malam tengah menyapu dedaunan yang berjatuhan, suara tembakan terdengar dari arah utara. Tidak lama kemudian, setelah mendengar tembakan itu, banyak warga yang keluar dari rumah untuk melihat kejadian. Sebagai mana yang disarikan dari banjir darah di Cibugel, tulisan Hendy Johari, Historia.id, Rasidi, salah satu warga yang ikut keluar untuk mencari sumber suara. Misalnya, dia berlari kencang ke arah pos tentara yang terletak di Jaya Merkar. Saat di tengah perjalanan, ketika melewati sebuah kolam besar, dia terhenti sejenak. Dia melihat dua pemuda kampung yang sudah mengambang di kolam. Mungkin sama seperti Rasidi yang hendak ingin menuju post tentara, namun mereka tertembak oleh gerombolan DITII. Setelah itu, Rasidi kembali berlari dan sampai ke pos tentara. Alangkah terkejutnya saat sampai di pos, dia hanya melihat dua prajurit regu keamanan dari Batalion 232 Kodam Siliwangi yang bertahan di pos yang tengah siap siaga dengan senjata di tangan mereka. Ternyata sembilan prajurit yang lain tengah berpatroli di perbatasan desa. Kemudian Rasidi bersama dua prajurit Siliwangi bergerak mundur ke arah selatan desa. Mereka bergerak ke arah selatan melintasi pagar pembatas dan bertahan di sebuah hutan kecil. Sementara itu, pos-pos tentara yang kosong dibakar oleh kelompok DITII. Kini, desa Cibugel tengah dikepung oleh gerombolan DITII dari empat sudut. Martono yang merupakan anggota dari OKD atau Organisasi Keamanan Desa yang tengah melakukan patroli bersama komandannya dan lurah Cibugel terkejut mendengar adanya suara tembakan dari arah pos tentara dan langsung bergerak ke arah desa. Di tengah perjalanan, mereka bertiga terhenti karena melihat ratusan kelompok DITII yang datang dari arah barat. Karena kalah jumlah, mereka berputar arah ke wahangan Lego Cibiru yang merupakan sebuah lembah sungai yang membelah desa Cibugel. Di Legok Cibiru, sudah banyak warga yang tengah bersembunyi yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Mereka berlindung di balik batu dan pepohonan. Tidak lama kemudian, sekitar pukul 1.30 waktu Indonesia Barat, gerombolan DITII mengepung lembah dari ketinggian. Mereka berteriak memaki dengan menggunakan bahasa Sunda. Seketika itu juga, bersamaan dengan makian, kerombolan DITII mengokang senjata dan menembak membabi buka lembah dari ketinggian. Suara jerit dan tangis memenuhi seisi lembah begitu mendengar suara dan melihat percikan api dari tembakan yang berada di atas lembah. Kerombolan DITII terus berteriak sambil menghujani lembah dengan ribuan tembakan dari berbagai arah selama berjam-jam. Korban pun banyak yang berjatuhan. Di tengah desingan peluru, para perempuan dan anak-anak terjerembab bermandikan darah. Puluhan bocah sekarat di atas batu-batu sungai. Para ibu menjerit sekarat dan sebagian tewas dalam kondisi menyusui bayi. Banjir darah pun melanda desa Cibugel. Ketika hari menjelang subuh, suara tembakan dari gerombolan DITII masih terdengar sesekali. Beberapa anggota DITII mulai melepas lelah. Sebagian dari mereka menjarah barang-barang berharga dan makanan dari puing-puing rumah warga. Kemudian suara peluit panjang berbunyi yang menandakan kode dari pimpinan untuk memerintahkan gerombolan untuk mundur dan meninggalkan desa Cibugel. Kendati gerombolan DITII sudah meninggalkan desa Cibugel, warga yang masih hidup belum berani keluar dari persembunyiannya. Baru sekitar pukul 6.30 waktu Indonesia Barat, beberapa lelaki berani memberanikan diri untuk keluar. Setelah melihat situasi sudah aman, akhirnya warga yang masih selamat kemudian keluar dari tempat persembunyian. Sementara itu, beberapa warga yang bersembunyi di lembah Lego Cibiru dan selamat dari kejadian, mereka sangat histeris melihat di sekitar mereka yang penuh dengan mayat. Di balik bebatuan sungai, dilihatnya ratusan mayat bergelimpangan. Air sungai sudah berubah warna menjadi merah. Bau anjir darah bersanding dengan bau kayu yang terbakar dan sisa-sisa mesiu yang menyengat hidung. Seiring berjalannya waktu, sekitar pukul 9 waktu Indonesia Barat pagi hari, pasukan batalion 323 Kodam Siliwangi berdatangan dari arah Sumedang. Beberapa warga yang selamat termasuk lurah Cibugel, Suparma, Rasidi, dan beberapa anggota OKD lainnya, kemudian mereka membantu mengangkat jenazah-jenazah dari lembah Lego Cibiru dan membawa orang-orang yang terluka ke balai desa Cibugel untuk diobati. Banyaknya korban jiwa yang meninggal membuat banyak warga dari desa lain berdatangan untuk ikut membantu mengangkat para jenazah. Surat Kabar Pikiran Rakyat edisi 26 November 1959 melansir akibat penyerbuan DITII ini sekitar 100 orang. 20 warga Cibugel meninggal dunia dan 60 orang lainnya mengalami luka-luka. Sebagian besar yang meninggal adalah kaum wanita, anak-anak, dan para balita. Setelah dimakamkan, banyak jenazah yang dimakamkan dalam satu lubang. Sementara para sesepuh desa dan perangkat desa, mereka dimakamkan sendiri-sendiri. Untuk mengenang peristiwa dan menghormati para syuhada dari kebengisan kelompok Darul Islam DITII, pimpinan Kartos Wirjo terhadap warga desa Cibugel ini, akhirnya didirikanlah Tugu Syuhada di depan balai desa. Setelah peristiwa kelam yang terjadi pada malam 23 November 1959, hampir seluruh warga Cibugel mengungsi ke Sumedang selama kurang lebih satu tahun. Mereka baru kembali ketika pemerintah setempat menyatakan wilayah Cibugel sudah aman. Menyusul mulai menyerahnya sebagian geriliawan DITII pada akhir tahun 1960-an dan pada tahun 1962 DITII benar-benar berhasil ditumpas oleh militer Indonesia dengan berhasil ditangkapnya pimpinan DITII Sekarmaji Marijan Kartoswirjo dan dia dihukum mati. Kehidupan terus berjalan. Desa Cibugel mengalami berbagai perubahan. Misalnya, makam korban peristiwa Cibugel 23 November 1959 sudah tidak ada lagi. Sebagian dipindahkan ke keluarga masing-masing sebagai sebuah peristiwa. Bagian lainnya sudah berganti bangunan. Sebagai penanda atas pengorbanan warga Cibugel dan kebengisan DITII ini, di lokasi komplek pemakaman didirikanlah sebuah masjid bernama Asyuhada. Sementara para korban peristiwa Cibugel dikenang sebagai pahlawan tanpa suara. Berbagai konflik dan tragedik manusiaan yang terjadi akibat adanya perbedaan pandangan ideologi dalam bernegara melahirkan sebuah perang saudara yang mengingatkan kita bahwa setiap peristiwa yang terjadi akibat perang saudara, rakyat selalu menjadi pihak pertama yang menjadi korban. Pemberontakan Darul Islam, Tentara Islam Indonesia atau DITII yang mengatasnamakan agama ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua bahwa perang saudara hanya akan membuat kerugian sesama manusia. Salam mata hati pemuda, salam jas merah. Terima