Transcript for:
Konsep Deep Learning dalam Pendidikan

Pusat Negeri Malang, Pak Profesor Haryono yang tadi sudah mengantarkan acara kuliah ini dengan sangat mendalam. Bapak-bapak para Wakil Rektor dan Guru Wakil Rektor, para adegan dan seluruh jajaran pimpinan Pusat Negeri Malang, para guru besar, dan juga sahabat saya Profesor Waras. Sebenarnya beliau yang lebih tepat menjelaskan di planning itu Prof. Waras, karena beliau yang menyusun naskah akademiknya itu. Saya sebagai Menteri enggak boleh nyusun naskah akademik, nanti menjadi staf saya kalau nyusun naskah. Karena itu Prof. Farah memang bertempat menjelaskan. Dan juga tentu saya didampingi oleh Pak Gogot Suarwoto, PhD, Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah. Ada staf ahli saya, Ibu Rita Pranawati, dan juga mungkin ada lagi yang belum saya sebut, mohon maaf. Intinya seluruh peserta kuliah. Yang pertama tentu saya menyampaikan terima kasih Pak Rektor sudah memberi saya kesempatan untuk bisa hadir dan berbagi pemikiran sederhana pada kesempatan ini. Dan ini satu kehormatan karena saya tahu Universitas Negeri Malang ini adalah salah satu dari universitas Indonesia yang memiliki tokoh-tokoh yang berkontribusi besar dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Yang kedua, saya terus terang saja awalnya tidak menyiapkan sama sekali, jadi ini karena ditugaskan Pak Waras jadi saya datang ke sini. Itu pun beberapa waktu yang lalu ketika saya ke Malang, Pak Rektor, saya dibisiki Pak Waras untuk karena tahu saya akan ke sini, sehingga saya ditugaskan oleh Pak Waras untuk ke sini menjelaskan apa yang sejumlahnya tugasnya Pak Waras untuk menyampaikan. Saya ingin menyampaikan tiga hal terkait-terkait deep learning ini yang sesungguhnya bukan konsep yang baru dalam dunia pendidikan. Kalau kita baca literatur tentang approaches to learning, istilah ini muncul tahun pertengahan tahun 70-an, terutama di negara-negara Skandinavia, dan tulisan-tulisan yang banyak berbicara tentang deep approach. Dalam pembelajaran itu, misalnya yang banyak mulai situ Martin Salyo dan tokoh-tokoh lain dalam dunia pendidikan negara Skandinavia. Tapi kemudian memang agak berkembang sampai tahun 80-an, 90-an ketika istilah ini mulai diresonansi oleh para proponen dari, dari sebutlah kita kelompok kognitivis, kelompok kognitivis yang memang Banyak mengangkat tema-tema ini dalam pembelajaran di dunia pendidikan. Tapi penguatan-penguatan dalam teori ini memang kalau kita tarik pada teori dan aliran pendidikan mungkin bisa ketemu dalam konteks awalnya itu pada aliran konstruktivis dan aliran information processing. Yang memang nanti dalam perkembangannya kita melihat bahwa deep learning itu ketika dikaitkan dengan Teori information processing itu berkaitan dengan deep level processing of information. Ini yang kadang-kadang ketika saya sempat mengembangkan istilah ini Pak Rektor, itu langsung kawan saya menyebut, mas deep learning itu kan artificial intelligence. Yang memang kalau kita lihat artificial intelligence itu basisnya adalah memang deep processing dan data storage yang sangat besar. Nanti kita akan bicara itu. Kemudian yang kedua adalah Teori konstruktivis yang menyebutkan bahwa belajar itu adalah proses di mana kita itu construct knowledge. Dan ini memang juga aliran yang agak banyak berkembang dan perkembangan itu paling tidak dipengaruhi oleh tiga hal yang melasari konteks pada saat gagasan dan konsep pendekatan ini mulai dikembangkan. Yang pertama adalah ketika ditemukan komputer. Yang sebenarnya dalam proses komputer itu ada proses yang sering disebut dengan proses di mana kita Menangkap informasi, menyimpan, dan kemudian menggunakannya. Nah tiga proses ini sering disebut, misalnya John Biggs menyebut ini dengan 3P, yang disebut dengan Pre-Such Process and Product. Yang bagaimana produk itu sangat ditentukan oleh the level of process that we implement for the acquisition of information. Kira-kira bahasa UNM-nya begitu. Jadi sejauh mana proses itu... kita gunakan dalam menangkap informasi. Dalam kaitan ini sebenarnya kita melihat the depth and the quality of the process. Bagaimana kedalaman dan kualitas proses itu akan menentukan bagaimana kualitas dari belajar dan ilmu yang kita hasilkan. Tentu banyak teori yang nanti bisa menjelaskan itu. Yang kedua adalah pemahaman manusia tentang otak. Tadi Pak Rektor sudah menyebutkan bagian-bagian otak manusia itu. Itu juga menjadi bagian yang memang berpengaruh dan kita juga baru sadar ternyata otak manusia yang sangat terproteksi luar biasa itu, itu kan kemudian memiliki bagian-bagian yang semuanya berkaitan dengan proses-proses bagaimana kita mengolah informasi, proses yang berkaitan dengan bagaimana kita menyimpan, menggunakan, bahkan proses-proses emosional yang itu ternyata memang ada pada bagian-bagian dalam otak manusia itu. Tadi Pak Rektor sudah menyampaikan beberapa bagian yang berkaitan dengan bagaimana otak manusia itu berkembang dan bagaimana otak manusia itu berperan dalam proses pembelajaran itu. Yang kalau kita lihat bagaimana para konstruktivis ini menjelaskan fungsi otak itu juga hampir sama dengan teori komputer itu. Karena otak itu menangkap informasi dari indera manusia, apakah melalui penglihatan, pendengaran, kemudian... merabah, dan seterusnya itu. Kalau di teman-teman muslim sebagian malah ada indranya, indra ke-6 katanya, yaitu indra jati namanya yang ke-6 itu. Itu berpengaruh. Dan menarik, tadi Pak Rektor sudah memulai, dan saya izin untuk menggunakan ilmu saya sebagai orang UIN. Ketika orang itu melihat, sesungguhnya bukan fisikal proses yang terjadi. Tetapi melihat itu mesti di... melibatkan otak. Melibatkan otak. Karena itu, Quran itu menggunakan istilah a'yunun layupsiru nabiha. Mata yang tidak melihat. Karena apa? Melihatnya tidak menggunakan perhatian, tidak menggunakan pemikiran, dan tidak menggunakan keterlibatan perasaan ketika melihat sesuatu. Di sini sebenarnya, diprosesnya sudah dimulai. Karena itu kalau kita bicara mengenai teori-teori ini, mesti pintu pertamanya adalah attention, perhatian. Yang attention itu, kalau saya kutip orang kognitivis, itu menyebut allocatable mental resources. Sebenarnya proses mental yang bisa kita atur. Bisa kita atur. Karena itu pintu pertama untuk kita melakukan learning yang mendalam itu adalah attention, perhatian. Dan kalau perhatian ini terlibat dalam proses itu, maka... Otak kita terlibat, indra kita terlibat, dan kemampuan kita, pengalaman kita, pengetahuan kita memiliki juga terlibat. Disinilah kemudian kalau kita gali agak ke belakang, teori ini juga sebenarnya tidak jauh berbeda dan tidak punya kontradiksi dengan berbagai hal yang orang menyebut dengan quantum learning, quantum teaching, dan sejenisnya itu. Karena while we are listening to something, Ketika kita mendengar sesuatu, while we are seeing something, ketika kita melihat sesuatu, sesungguhnya otak kita itu tidak berhenti. Otak kita itu bekerja dan ada proses di mana yang kita lihat, yang kita dengar, yang kita rabah, yang kita rasakan itu dihubungkan dengan apa yang sudah kita ketahui sebelumnya. Sehingga di sini ada proses yang melibatkan pengalaman, pengetahuan, bahkan rasa ingin tahu yang lebih jauh. dalam kita melakukan proses belajar itu. Itu yang kedua. Yang ketiga adalah sebuah proses yang memang mendasari ketika orang itu mulai memahami sistem komputer itu, kemudian bagaimana cara kerja otak, kemudian dikatakan dengan bagaimana ilmu itu digunakan. Nah disinilah kemudian the usage of the knowledge, itu tidak sekedar A keluar A. Kata kunci dalam proses ini adalah transformasi, bukan transfer. Karena itu teori yang menyebutkan belajar itu proses transfer of knowledge, skill and values. Itu menurut saya adalah proses belajar yang saya menyebutnya dengan belajar yang tadi Pak Riton juga mengantarkan di depan. Proses belajar disebut dengan surface learning. Pembelajaran yang hanya di permukaan, yang orang itu tahu what, they know about what. Tetapi kadang-kadang know what what gitu. Gak ngerti apa-apa gitu. Dia belajar itu buat apa itu gak ngerti. Sehingga karena dia tidak mengerti, maka kemudian dia tidak menemukan meaning dari yang dia pelajari. Dan lagi-lagi ini orang konstruktifis yang sudah bicara begini. Karena learning is about finding meaning. Menemukan makna dan kita pelajari. Nah proses menemukan makna inilah sebenarnya proses yang membuat orang itu merasa gembira ketika dia belajar. Nah disini mungkin kita ketemu teori gestal. Yang ketika orang belajar itu menemukan insight. Insight itu kan menemukan pencerahan dari yang dia pelajari itu. Dan berbagai teori lain yang menjelaskan bahwa knowing something, mendapatkan sesuatu, mengetahui sesuatu adalah proses dimana orang menemukan apa yang baru dari yang dia pelajari. Nah mohon maaf kalau saya agak mengambil porsinya teman-teman dari Universitas Negeri Malang karena saya S1 juga tarbiah. Jadi saya agak mempelajari teori-teori ini semua. UIN itu hanya rumahnya saja, ilmunya kan hampir sama gitu. Mungkin kelebihnya plus ayat-ayatnya, itu memang agak berbeda. Nah... Karena itu, maka, ini dalam konteks ilmu didik Islam, Pak Rektor. Ketika orang memiliki ilmu, maka disebutkan ilmu itu cahaya. Ilmu nurun, ilmu itu cahaya. Nah, insight dalam bahasanya gestal sebenarnya. Bahasanya gestal itu kan insight itu. Oleh karena itu, maka mata itu melihat kalau proses-proses mental itu terlibat. Nah proses mental inilah yang menjadikan satu fungsi dasar bagaimana kemudian belajar itu terjadi. Nah disitulah nanti mulai dari proses attention, kemudian memory, dan seterusnya itu nanti berjalan lebih lanjut. Tapi core-nya adalah deep level processing. Yang kedua, ini yang mungkin tidak sama persis dengan teori deep learning yang ada di barat adalah, bagaimana belajar itu, menjadi proses yang memuliakan manusia. Di sini mungkin kita bicara teori humanisme yang menyebut bahwa manusia itu adalah unique individual yang dia tidak ada kesamaannya dengan siapapun dan siapapun juga apapun keadaannya harus kita lihat sebagai manusia yang memiliki sifat-sifat kemanusiaannya dan potensi-potensi kemanusiaannya. Yang oleh karena itu maka dalam kaitan ini, belajar itu harus memiliki dan berpihak kepada proses namanya diferensiasi. Ini yang kemarin agak dikumandangkan oleh para penggagas belajar merdeka. Sayangnya, mohon maaf, konstruk teorinya tidak dimulai dari situ. Kenapa kita harus memuliakan manusia? Karena manusia memiliki potensi-potensi yang dengan itu... memang manusia tidak sama satu dengan yang lain. Nah disinilah kemudian proses yang Pak Rektasi menyebut sebagai humanisasi itu menjadi dasar dalam kita ini belajar, orang tidak boleh dipaksa dengan target-target tertentu. Bahkan kalau orang humanis yang radikal, misalnya agak radikal, Karl Rodgers termasuk yang agak radikal itu, Bapak Humanistik itu, dia menyebutkan dengan freedom to learn, dengan bahagia. Agak radikal teorinya disitu, Rodjus itu menyebutkan, gak boleh orang itu belajar pakai jurusan-jurusan itu gak boleh. Suka-suka dia aja mau belajar apa. Cuma kalau itu dituruti nanti gak perlu ada fakultas. Repot nanti administrasinya kan. Tapi sebagai sebuah proses yang menurut saya perlu diketahui apa? Manusia punya cara belajar yang berbeda. Bahkan ketika saya belajar itu, cara berpikirnya pun juga berbeda. Sehingga style of thinking itu juga berpengaruh. Kita kalau kita boleh jujur, itu kan tidak terbiasa menulis dari kanan ke kiri. Bahkan menulis Arab sekalipun itu, pikiran kita masih kiri ke kanan. Padahal menulis Arab itu harus dari kanan ke kiri. Kita gak biasa membaca sesuatu dari tengah ke atas ke bawah, tapi selalu dari atas ke bawah. Karena itu kalau kita bicara pada bagaimana kita mengingat, itu yang diingat mesti yang di depan, yang paling atas, sama yang paling bawah, tengahnya lolos. Ini kan banyak cerita soal itu kan. Nah karena itu maka sebenarnya, humanisasi di sini dan juga humanisme di situ, itu memberi kebebasan orang. Kalau dia memang lebih kuat itu tangan kirinya, biarkan dia menulis dengan tangan kiri. Kecuali waktu makan karena menyangkut etika dan akhlak. Tapi soal nulis, kan gak apa-apa pakai tangan kiri. Karena ada hubungan antara motorik kita dengan otak kita. Ini kan sudah terungkap lama ketika orang mulai memahami mengenai otak itu. Dan oleh karena itu, maka kalau Bapak Ibu membedah lagi, konsep dasar misalnya quantum learning itu kan dimulai dari situ. Ketika orang itu sedang mendengarkan sesuatu, melihat, merabah, menangkap informasi, itu kan otaknya dia bekerja. Sehingga karena itu, maka ketika murid itu sedang belajar, dan kemudian dia tiba-tiba bertanya, itu jangan dihentikan. Karena kalau dihentikan, proses berpikir dia itu menjadi terputus, dan kalau nanti diminta bertanya, dia sudah lupa apa yang harus dia tanyakan. Nah, ini yang kedua. Nah, yang ketiga yang saya kira penting adalah, bagaimana kemudian kita mencoba melakukan evaluasi Atas proses yang sekarang ini berjalan. Pembelajaran kita itu kan memang masih service learning tadi. Know about what. Kalau kita kemudian kaitkan itu dengan bagaimana proses itu dilakukan, kita itu banyak melibatkan namanya proses declarative knowledge. Declarative knowledge itu pengetahuan yang isinya itu fakta-fakta. Isinya fakta-fakta. Yang fakta itu kadang-kadang terpisah dengan yang lain. Sehingga kemudian membuat orang itu tidak menemukan makna dari yang dia pelajari. Kalau orang bertanya ibu kota Jawa Timur Surabaya, itu kan fakta. Tapi untuk apa dia mengerti bahwa Jawa Timur itu ibu kotanya Surabaya, itu nanti bisa menjadi masalah kalau dia kemudian tidak menemukan makna, dibalik dia mengerti mengenai ibu kota Jawa Timur adalah Surabaya. Ketika orang mengerti wilayah di Jawa Timur, ada wilayah Malang, Tulungagum, Trenggalek, dan sebagainya. Kalau dia sudah mengerti itu, dan kemudian tidak menemukan makna dari situ, maka pembelajaran menjadi sesuatu yang menyiksa. Apalagi kalau itu nanti keluar dalam ujian, karena konsekuensi dari surface learning itu adalah reproductive learning. Belajar yang kita hanya mereproduksi apa sudah diajarkan, walaupun tidak tahu artinya, tapi bisa menjawab. Makanya ada anekdot, seorang anak habis ujian, ditanya ibunya, gimana tadi kamu ujiannya? Alhamdulillah baik bu, saya insyaallah bisa menjawab semua, kecuali satu yang saya ragu. Ada pertanyaan, ibu kota Jawa Timur itu mana? Nah, sang anak menjawabnya Bandung. Ibunya menjawab, oh salah nak, itu yang betul Surabaya. Akhirnya sang anak berkata, ya Allah pindahkanlah ibu kota Jawa Timur dari Surabaya ke Bandung. Sehingga mengerjakannya itu fill in the blank aja Isilah titik-titik yang kosong itu Reproduktif semua Sehingga orang itu menghafal Tanpa tahu mengapa dia harus menghafal Dan bagaimana caranya harus menghafal Karena itu maka dalam deep learning ini Perlu meningkat Dari declarative knowledge ke arah procedural knowledge Knowledge tentang how Yang how itu sebagian dibangun dari Meaningful fact, fakta-fakta yang bermakna. Jadi kalau kemudian itu menjadi fakta bermakna, orang mau pergi dari Malang ke Surabaya, dia lewat mana? Kalau dia tidak mengerti map, tidak mengerti peta Jawa Timur, mana yang bisa dilewati dari Malang ke Surabaya? Maka tidak menemukan makna dari situ. Tetapi ketika dia mengerti nama-nama kota di Jawa Timur, dan dihubungkan dengan how do you go to Surabaya from Malang? Maka fakta itu menjadi punya makna. Jadi ilmunya banget ya Pak. Padahal saya mau tidak begini Pak. Saya mau tetap jadi menteri Pak. Tidak mau jadi profesor di sini Pak. Karena biasanya menteri itu bicaranya anggaran Pak. Apalagi sekarang sedang efisiensi macam-macam itu. Maunya begitu Pak saya itu. Tapi tidak apa-apa mumpung di sini. Jadi saya biar jadi profesor di sini. Nah, kemudian yang berikutnya adalah Bagaimana menghubungkan itu? Bagaimana fakta-fakta itu dihubungkan? Nah disitu sebenarnya selama proses berjalan, maka otak kita bekerja, ilmu yang kita miliki bekerja, dan kemudian ilmu yang kita miliki ditambah. Karena sesungguhnya banyak fakta dalam kehidupan itu tidak berdiri sendiri. Nah kembali disini masuk pada pelajaran agak teknikal adalah, deep learning itu dimulai dari mind map. Ini teori Tony Bozon itu, yang sebelum Bozon itu mengumumkan mind map itu dalam psikologi dikenal namanya skimata. Yang menggambarkan betapa ilmu yang kita pelajari, ilmu yang ada di otak kita itu terkoneksi antara satu dengan yang lain. Terhubung dengan satu yang lain. Sehingga menjadi jejaring. Menjadi jejaring, yang jejaring itu dalam setiap jejaring ada namanya node. Satu lingkaran konsep bahkan fakta, tapi dia terhubung dengan yang lain. Yang semakin banyak yang kita ketahui maka dia tidak berdiri sendiri sebagai sebuah. knowledge atau pengetahuan itu. Nah, kalau sudah begitu, lalu bagaimana deep learningnya itu terjadi? Proses yang mendalam itu terjadi ketika orang itu belajar, tidak hanya orientasinya sebagai accumulation of knowledge, tidak sekedar mengumpulkan, tapi menemukan makna dari ilmu itu. Kemudian yang berikutnya, proses itu berjalan ketika dia bisa bisa Menemukan sesuatu yang baru dari yang dia pelajari. Disinilah kemudian dalam deep learning itu, ada tiga pilar yang melekat di dalamnya. Pak Faras menggunakan istilah pilar atau fondasi Pak? Hampir sama ya. Hampir sama. Belum menyebutnya prinsip. Oke, saya setuju dengan Pak Faras karena beliau yang merumuskan. Dan merumuskannya dengan waras pak, merumuskannya dengan waras. Artinya dengan sadar gitu. Yang pertama itu mindful. Mindful itu maknanya ada tiga. Kalau kita coba buka dalam kamus bahasa Inggris itu, mind itu kan kesadaran. Jadi proses itu berlangsung dengan penuh kesadaran ketika dia terlibat dalam semua proses itu. Makanya tadi dimulai dengan attention dan macam-macam itu. Yang kedua, mindful itu artinya penghormatan. Di sinilah sebenarnya pengertian memuliakan tadi itu sudah mulai masuk. Karena itu maka murid itu apapun keadaannya itu harus kita fully respect. Tidak boleh ada murid yang kehadirannya di kelas, itu tidak kita pernah ketahui sama sekali atau kita abaikan sama sekali. Karena kecenderungan mengajar itu kan cenderung berpihak pada yang paling menonjol. Paling menonjol itu kemungkinan. Pertama, paling pinter. Yang kedua, yang left behind, yang terlambat. Slow learners itu. Nah yang ketiga itu yang spesial secara penampilan. Guanteng sekali atau cantik sekali. Atau nuakal sekali Pak Rektor. Jadi kalau kita jadi dosen itu, itu kadang-kadang yang dilihat itu, ini kok guanteng, ini anak Sopo. Itu mesti anaknya Pak Rektor. Makanya biasanya dosen itu, dosen di tempat lain tidak di sini. Itu biasanya sudah terpesona oleh mahasiswa karena penampilannya. Mahasiswa yang cantik itu jauh dapat nilai bagus dari dosen yang bujang. Tapi tidak di sini Pak, di tempat lain. Ini kan sama-sama dosen lah kita ya Pak. Jadi, Tidak boleh ada negligen, tidak boleh seseorang itu diabaikan. Semuanya harus diberikan perhatian yang penuh oleh gurunya. Tidak boleh dia dilukai perasaannya dan tidak boleh dia tidak dihargai pendapatnya. Itu mindful yang kedua pengertiannya itu. Kemudian yang ketiga adalah proses reflektif. Itu yang kemudian disebut dalam teori belajar yang lain itu proses metakognisi. Dimana dia itu knowing about learning, dia tahu mengapa dia belajar itu dan bagaimana cara dia mempelajari sesuatu itu. Sehingga ketika kita mengajar, kita tidak sekejar menyampaikan materi tetapi juga memberikan murid itu ruang untuk bagaimana cara mempelajarinya. Kalau dia memang harus menghafal. Itu diajari bagaimana cara menghafal. Yang cara menghafal dalam ilmu sejarah itu berbeda dengan cara menghafal dalam bahasa Indonesia atau kimia. Sangat berbeda. Dalam matematika orang bisa hafal rumus-rumus matematika. Tetapi tidak mengerti bagaimana menggunakan rumus itu ketika logiknya itu tidak masuk di dalamnya. Karena itu maka... Dalam deep learning itu, dengan mindful itu, semua diajak untuk terlibat dalam pembelajaran. Semua pengalaman yang dimiliki pengetahuan sebelumnya itu dieksplorasi, diberikan ruang. Yang dengan itu, nah ini ketemu dengan teori yang agak klasik yang disebut dengan CTL itu, Contextual Teaching Learning, di mana kita mencoba untuk mengetahui sesungguhnya, murid-murid kita ini sudah mengetahui tema itu sedalam apa, sebesar apa. Yang bisa jadi dalam proses ini, guru tidak perlu pakai buku teks. Dia tinggal mengeksplorasi apa yang ada di dalam kelas sambil mengarahkan supaya tetap sesuai dengan tema. Sehingga sebenarnya semua orang itu merasa punya kontribusi dalam pembelajaran. Dia merasa terlibat, dia merasa dihormati. Karena apa? Dia tidak undermine, tidak direndahkan oleh gurunya. Nah, ini mindful. Yang kita maksud dalam diploning itu. Begitu kita sudah mengabaikan pendapat murid, dan kemudian kita langsung vonis, itu salah, itu keliru, sudah selesai. Besok tidak berangkat dia. Tetapi ketika kemudian kita coba, tidak usah kita salahkan, walaupun pendapatnya sama sekali, tidak ada hubungannya, tapi dia sudah berpendapat yang kita perhatikan, kita cepat mengatakan mungkin, oh iya coba ada lagi yang lain, tanpa mengatakan dia salah. Maka dia tetap merasa dihargai, karena pendapatnya didengar. Nah itu yang pertama. Yang kedua, meaningful. Menjadi bermakna. Nah kalau kita orang Islam itu kan selalu berdoa supaya diberikan ilmu yang bermanfaat. Bahkan diantara doa yang kita itu diselamatkan itu kan min ilmin layang fa. Dari ilmu yang gak bermanfaat. Ilmu yang tidak bermanfaat itu ilmu yang dia tidak mengerti mengapa dia mempelajari itu. Karena itu dia harus menemukan meaning. Saya belajar to be, dalam bahasa Inggris misalnya, he is, itu untuk apa saya mempelajari itu? Bagaimana saya bisa menggunakan to be itu secara maksimal? Sehingga yang dipelajari hanya to be, hanya is saja. Tapi objek di depan sama belakang, subject sama objeknya itu berbeda. Itu menjadi sangat kaya. Dan dia didorong untuk bisa menggunakan is itu dengan sebanyak-banyaknya. Termasuk is three, is four, dan seterusnya itu. Nah selama ini kan kita belum begitu. Kalau contohnya itu misalnya he is a professor. He is a student. Maka sudah selesai disitu. Tapi ketika kita hanya menekankan titik tekannya ini adalah to be. Bagaimana murid menggunakan kata-kata is to be is itu. Tapi di depannya diganti subjeknya. Kemudian diganti profesinya, predikatnya. Maka dia bisa membuat sekian banyak contoh kalimat. Dia menemukan oh ternyata dari is itu banyak sekali ya gitu. Kira-kira begitu. Jadi meaning itu dia temukan dari dia punya kesempatan menggunakan itu. Sehingga mungkin di depan diganti dengan misalnya apa? Kalau misalnya tadi nama orang mungkin diganti benda, cat, kucing. Kan bisa juga kan? Kemudian nanti apalagi? Yang makhluk binatang apa selain kucing? Apalah gitu. Biasanya kucing dan anjing itu kan... Sudah gak berlaku tuh musuhannya itu, karena sekarang gak berlaku juga. Tom and Jerry juga sudah rukun itu. Sama-sama main film juga. Jadi diberi kesempatan itu. Ketika orang mengerti rumus segitiga. Setengah alas kali tinggi. Setelah dia tahu setengah alas kali tinggi itu menggunakannya bagaimana, itu nanti menjadi menarik. Dibuat contoh, Pak Rektor memiliki gedung yang bentuknya segitiga. Berapa? Dicontohkan real, konkret begitu. Sehingga dia menemukan bahwa ternyata belajar setengah alas kali tinggi itu gunanya banyak. Tapi lebih bermakna lagi kalau kemudian dia menemukan makna itu dalam kaitan dengan dia bisa mempelajari sesuatu yang lebih dari itu. Sehingga meaning itu Tidak sekedar berkaitan dengan artinya apa, tapi manfaatnya apa. Dan kemudian saya bagaimana bisa meningkatkan itu. Nah kalau itu semua sudah berjalan, mindful dan meaningful itu, maka pembelajaran mesti akan menyenangkan, akan joyful. Saya sengaja tidak menggunakan kata fun. Karena teori yang banyak dipakai kan, belajar menyenangkan dengan fun learning itu, dimaknai fun itu funny learning. Padahal yang funny itu belum tentu menyenangkan. Yang funny kadang-kadang nyebelin. Karena kadang-kadang guru itu memaknainya, melujunya itu fisikal. Eh si Blacky kesini dong. Maunya meluju, tapi body shaming. Akhirnya besok dia beli pemutih. Supaya gak dipanggil blackie gitu, gak boleh begitu. Jadi joy, kesenangan itu ditemukan ketika dia menemukan tadi, dia merasa dihargai, dia merasa bisa melakukan sendiri, dia bisa menemukan sesuatu yang baru, dan kemudian mendapatkan makna dari yang dia pelajari itu. Karena itu maka dalam deep learning itu tidak sekedar achievement motivation learning. Belajar yang orientasinya hanya lulus. Achievement itu diatasnya surface. Tetapi kalau sekedar lulus, maka dia hanya akan mempelajari apa yang nanti ditanyakan dalam ujian. Yang tidak kira-kira keluar dalam ujian tidak dipelajari. Itu tidak berlaku di sini saya kira. Mahasiswa UN malah enggak begitu ya Pak ya. Enggak, itu zaman saya dulu begitu. Makanya sampai malam itu mencoba mencari kira-kira besok yang keluar itu apa. Oh enggak, jawabannya berbeda. Sampai kemudian mengumpulkan itu. Apa namanya, jawaban singkat. Jangan bilang contekan lah, enggak enak. Jadi, karena orientasinya itu, kemudian dibuat ranking-ranking. Dibuat ranking-ranking, kamu ranking berapa nak? Alhamdulillah, pu, ranking satu. Muridnya berapa? Cuma tiga. Jadi satu dari tiga, ya hebatlah satu dari tiga. Yang ribet itu ranking satu dari satu. Kan ranking itu kan relatif. Karena itu sebenarnya tidak perlu dibuat pemeringkatan seperti itu, walaupun tidak perlu ada nilai. Tetap saja, karena itu nanti harus ada memang administrasinya. Sehingga dalam kaitan ini, deep learning itu menisayakan proses yang tadi saya sebut dengan... Meta-cognitive process, dan kemudian learner self-direction. Dia memiliki kemandiran yang tinggi untuk belajar. Sehingga evaluasinya itu adalah evaluasi yang sering kita sebut dengan SOLO. SOLO itu Self-Observed Learning Outcome. Jadi kalau murid sudah mengerjakan suatu tugas, kemudian oleh guru itu dianggap tidak benar, maka tidak langsung itu yang benar apa, tapi mungkin diberi tanda saja. Coba kamu pikirkan lagi, kamu lihat lagi coba. Dan ketika itu ditemukan, tidak langsung diberikan jawabannya juga, tapi mungkin diberikan referensinya. Coba kamu baca lagi buku ini, halaman sekian. Coba kamu lihat lagi teori ini, kemudian kamu bandingkan teori itu dengan jawaban atau dengan tugas yang sudah kamu buat. Jadi didorong untuk seperti itu. Dengan cara seperti itu, maka dia akan belajar banyak hal. Sehingga deep learning itu bisa berjalan, kalau bagian terakhir Pak Rektor, materi yang dipelajari tidak terlalu banyak. Materi yang dipelajari tidak terlalu banyak. Tetapi sedikit yang dipelajari itu adalah yang most essential. Yang most essential itu dia meaningful, karena bisa ditransformasikan dalam berbagai konteks. Disinilah kemudian kalau ini nanti sudah mulai berlaku Pak Rektor. Kami akan melakukan perubahan muatan materi pelajaran. Sekarang kami sudah mulai tugaskan kepada BSKAP untuk melihat muatannya itu. Karena banyak yang mengkritik muatan materi pelajaran kita itu meyek-meyek. Meyek-meyek itu bahasa Jawa Timurnya apa ya? Ya overload itu, overload. Saya pernah mendampingi ponaan saya, kelas 5 SD. Harus mengerjakan LKS tentang konferensi meja bundar. Kenapa tidak meja segi empat, enggak tahu juga saya. Dan gurunya enggak pernah menjelaskan kenapa meja bundar. Dia hafalkan saja itu, untuk apa? Bisa menjawab LKS itu. Banyak hal yang kita ajarkan itu lepas maknanya, sehingga menjadi fakta-fakta yang kadang-kadang itu ditangkap keliru oleh murid kita. Cerita Singosari, kerajaan Singosari, keres empu gandring itu. Itu kan ketika saya belajar dulu kan hanya cerita bunuh-membunuh dimulai dari rebutan istri. Oke Pak, keresnya sekarang dimana ya Pak itu ya? Ada di musim mana itu keresnya Ken Arok itu Pak? Keresnya Tunggu, siapa namanya Pak yang buat keresnya itu? Empu gandring, empu gandring, rebutan Ken Arok sama Tunggul Ametung memperbutkan Ken Dedes. Kalau hanya itu yang disampaikan, kemudian tidak ada value, tidak ada nilai yang kita tekankan ketika dia belajar peristiwa sejarah itu, maka murid bisa menangkap sejarah bangsa ini adalah sejarah pertumpahan darah dan bunuh-membunuh. Inilah kenapa kemudian nilai itu harus melekat pada semua mata pelajaran dan nilai itu yang membuat yang dipelajari menjadi bermakna. Nah karena itu dalam deep learning itu, selain aspek knowledge-nya, aspek skill-nya, value-nya juga harus ada di dalamnya. Saya sering mencontohkan ini, mohon maaf Bapak Ibu, kembali contohnya itu matematika. Jadi ada, ini logika matematika saja. Misalnya ada seorang guru membuat tulisan Pak Rektor, membuat garis gitu, membuat garis. Masih pakai papan tulis, sekarang ini guru zaman dulu. Guru sekarang yang enggak lagi pakai papan tulis kan, pakainya powerpoint kan. Yang kadang-kadang enggak ada power dan enggak ada point, cuma tayangan aja gitu. Cuma tayangan aja powernya apa, poinnya apa juga gak ngerti juga yang bikin itu. Repotnya karena ada yang membuatkan staffnya. Sehingga ciri-ciri yang bikin powerpoint sendiri dan dibuatkan itu kalau bagian terakhir itu. Kalau dia dibuatkan itu terus begitu, tapi ternyata munculnya terima kasih. Berarti dia gak bikin itu. Kalau dia bikin mesti tahu itu urutannya, mana yang terakhir, mana yang awal. Karena dia gak bikin, dibuatkan oleh staffnya itu, maka terus-terus-terus ternyata terima kasih. Nah, untung saya tidak begitu, Pak. Saya niru Pak Daud Yusuf itu. Pak Daud Yusuf itu, Pak Menteri Pendidikan kita itu kan salah satu pendidikan yang top itu ya. Itu beliau itu tidak pernah bikin pidato yang dibuat oleh anak buahnya. Beliau bikin sendiri naskah pidatonya itu, Pak. Semua sambutan beliau bikin sendiri. Karena itu tahu betul apa yang dikatakan, tahu betul apa yang ditulis. Nah, itu yang sekarang membuat... Staff saya itu mulai agak ringan tugasnya. Karena gak pernah membuatkan naskah pidat itu gak pernah. Karena dibuatkan pun gak saya baca juga. Terima kasih staff saya sudah bersabar. Nah, poinnya apa? Value ini harus melekat. Dan karena value itu harus melekat, maka tadi kembali ke guru matematika. Guru mengatakan, guru ini membuat garis sepanjang 100 cm. Kemudian guru itu, Memerintahkan kepada muridnya, siapa di antara kalian yang bisa membuat garis ini lebih pendek. Jadi perintahnya begitu Pak Rektor. Siapa yang bisa membuat garis ini lebih pendek. Nah murid itu maju kan, murid maju. Garis yang 100 cm itu, dia bikin 80 cm. Lebih pendek ya Pak Rektor ya? Lebih pendek. Maju lagi, karena yang tadi tidak disalahkan, maju lagi, dia bikin lagi garis yang sudah tinggal 80 cm menjadi 70 cm. Sampai terakhir tinggal 10 cm. Tapi sudah ada murid yang kesekian, yang dia maju, membuat garis 120 cm. Dengan garis 120 cm itu, maka garis yang 100 cm menjadi lebih pendek. Ya kan? Itulah logika matematika, itulah menemukan meaning. Nah belajar kita tuh seringkali gak begitu Pak Rektor. Mikirnya tuh motong-motong itu. Bahasa sekarangnya efisiensi. Makanya saya gak pakai kata dipotong Diefinisiasikan, bahkan saya bilang Direalokasikan, saya bilang begitu Sama dengan ketika kantor itu Udah jadi tiga pak Pak rektor ada yang menyebut sekarang Dipecah jadi tiga menteri, enggak Dipecah, saya bilang direorganisasi Menjadi tiga menteri Dari dulu mendikbut ristek, sekarang menjadi direorganisasi menjadi Menteri Dasar Menengah, Dikti Saintec, dan Kebudayaan. Direorganisasi saja. Menterinya gak boleh dipecah-pecah. Malah tadi ada kawan yang WA saya, saya cerita. Gak apa-apa mukti nanti 2029 juga digabung lagi. Kata kawan saya yang di WA itu Pak. Nah, karena itu kita harus mengajarkan itu kepada anak-anak kita itu. Sehingga tidak boleh ada materi pelajaran yang minus value. Disitulah kenapa Pak Rektor kami mulai menegankan setiap mata pelajaran harus ada pendidikan nilainya. Yang pendidikan nilai itu tidak selalu dalam pelajaran agama. Saya berikan contoh dalam pelajaran olahraga sekalipun itu juga harus ada nilainya disitu. Kita bisa mengajarkan karakter lewat olahraga. Bagaimana orang itu mau mengakui keunggulan lawan, itu kan harus berolahraga dulu. Nah kita itu kan hanya diajari siap menang, tidak siap kalah. Karena achievement tadi orientasinya malah untuk bisa menang menghalalkan segala macam cara. Ini yang kemudian seringkali harus kita perbaiki, karena itu maka kalau materinya dikurangi, maka kemudian kesempatan anak untuk mengkonteksualisasikan yang dipelajari dalam kehidupan sehari itu menjadi penting. Yang super terakhir misalnya saya berikan contoh dalam konteks tadi. Menghubungkan antarilmu. Nah supaya saya tetap sebagai orang UIN saya berikan contoh. Misalnya matematika dengan sholat. Kalau ini kan agak gampang ya, rokaat sholat itu kan matematika gampang. Karena waktu saya sekolah itu Pak, saya punya tiga nilai merah di semua jenjang Pak. MI saya punya nilai merah satu. Matematika Pak, waktu saya kelas lima itu. Sanawiyah pernah punya nilai merah 1 waktu saya kelas 1 Sanawiyah. Alia saya punya nilai merah 1 waktu saya kelas 2. Jadi matematika terus Pak yang merah itu. Tapi ketika di MI itu guru saya menghibur saya. Mokti gak usah sedih. Matematika itu tidak menjadi pertanyaan kubur. Itu cara guru saya menghibur saya begitu Pak. Bahkan kemudian dikatakan, di akhirat itu tidak ditanya matematika itu. Ya karena dulu saya anak MI kan, dan kalau nanya mesti di-blaming, kamu jangan banyak nanya seperti Bani Israel gitu. Jangan beri tanya juga Pak gitu. Tapi lama-lama setelah saya itu kuliah, setelah saya ini kok kayaknya Pak Guru itu tidak benar deh gitu. Kenapa begitu? Matematika itu, itu ilmu yang di dunia dan di akhirat masih berlaku Pak. Nanti di akhirat itu ada namanya Yaumul Kisab. Itu hari dimana amal kita itu dihitung. Itu kan matematika itu. Matematika ilmu fikir itu gak ada lagi. Batalnya wudhu, tayamum itu gak ada. Yang ada matematika Pak yang masih berlaku Pak. Jadi penting matematika itu. Nah yang kedua. Kalau orang itu sholat. Dia harus menghadap kiblat. Menghadap kiblat itu kalau gak ngerti matematika itu kiblatnya keliru. Bagaimana arah kiblat dari auditorium Usas Jenggir Malang ini ke arah Mekah itu harus dihitung berapa derajat. Kalau gak ngerti hitung-hitungan matematika sinus, kosinus, tangen, kotangen itu gak ketemu kiblatnya itu. Gak ketemu kiblatnya itu. Jadi kalau ingin jadi orang muslim yang benar kiblatnya itu lurus. Jadilah ahli matematika. Aku dianggap gak penting matematika itu. Jadi ada koneksi itu. Matematika itu penting untuk ngitung warisan. Betul gak pak ya? Kalau matematika gak pinter, keliru bagi waris itu. Cuma problemnya itu di Quran itu yang dicontohkan itu suami mati istrinya satu bagiannya begini punya anak begini Tidak muncul kalau suaminya istrinya dua gimana matematikanya itu lebih komplek lagi itu Ini kok jadi sampai disini ya. Poin saya saya ingin menunjukkan betapa dengan deep learning itu ilmu itu tidak ada yang dipisah-pisah. Terapan matematika itu, itu bisa untuk bagaimana kita bisa beragama dengan benar. Bagaimana kita bisa berbagi dengan benar. Dan bagaimana bisa berakhlak dengan benar. Nah ketika kita bicara air misalnya. Kita pakai, misalnya guru menulis tentang air. Lingkaran di papan terus air. kemudian note ya, dibuat note dalam lingkaran, kemudian dikaitkan, coba siapa yang kalian tahu tentang air? Mungkin kalau ditanya Joshua, dia bilang air ada banyak, itu kan. Itu kalau Joshua zaman masih kecil, setelah gede dia enggak gitu lagi, karena sudah makin tahu itu. Yang lakunya di obo-obo itu Pak. Mungkin dia akan menyebut itu air macam-macam. Kemudian coba air dikatakan dengan agama, oke ini ada namanya air mutlak. Oke contohnya lagi apa? Ini air mustakmal. Contohnya lagi apa? Ini air yang sudah kotor. Coba air mustakmal apa contohnya? Kelapa. Ketemulah dari air itu, nanti mutlak mustakmal kelapa. Coba yang kamu tahu tentang kelapa. Nanti kemudian tahu lagi. Kelapa itu termasuk jenis tumbuhan apa? Nyambung semua sebenarnya ilmu itu. Dan ini yang bisa dilakukan kalau diploning itu diterapkan. Ya kalau tidak, tadi yang nyebut Bapak atau siapa tadi? Pak Muhajir tadi nyebut pendapatnya Pak T. Yaakob itu. Kalau Anda menjadi orang yang spesialis, gak mengerti apa yang Anda hubungkan satu dengan yang lain, maka Anda menjadi, tadi istilahnya apa Pak? Fak idiot. Fak idiot itu bahasa lainnya itu berpikir kayak kacamata kuda itu. One single perspective. Lihat segala sesuatu dari sudut pandang. Dengan deep learning, orang itu menjadi berwawasan luas. Karena segala sesuatu terkoneksi satu dengan yang lainnya. Tidak kemudian terjadi proses diskresi satu dengan yang lain. Itu arahnya nanti ke situ. Kemudian yang berikutnya, dengan itu, maka, mohon maaf, tidak lagi membeda-bedakan ilmu. Karena semua ilmu itu saling berhubungan. Tadi saya contohkan ekstrim antara tadi, matematika dengan arah kiblat, dengan warisan. Belum lagi yang lain-lain. Nah, karena itu maka materi nanti kita kurangi. Nah, soal saya sering ditanya Pak Rektor. Ini nanti hubungannya apa ini dengan K-13 dan Merdeka? Saya bilang gak ada hubungan. Yang Merdeka-Merdeka, yang K-13-K-13 gitu. Karena apa? Kalau kita berusaha menekankan deep learning pada outcome based learning, itu ya ketemunya Merdeka. Tetapi kalau penekannya pada thematic learning, itu ketemunya K-13. Nah ini dimana-mana. Makanya saya ditanya banyak wartawan apakah nanti itu dirubah. Saya gak berpikir merubah, saya cuma berpikir ini diterapkan. Walaupun nanti ujung-ujungnya itu memang ada yang berubah. Tetapi urusannya Pak Waras itu nanti. Urusannya Pak Waras. Sehingga karena itu, outcome base itu kan sebenarnya kamu belajar ini, yang harus kamu capai itu ini, kamu sampai dimana, itu kan outcome base. Tetapi kalau tematik, karena yang diajarkan itu adalah kompetensinya, maka satu tema itu bisa dibahas dalam banyak sudut pandang keilmuan. Itu kan sangat K-13. Tapi saya harus berhenti sampai di sini, sebelum saya membuat Bapak-Ibu semakin tersiksa dengan yang saya sampaikan ini, karena makin dijelaskan makin enggak paham saya juga dengan yang saya sampaikan sendiri itu. Saya kira demikian, terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.