Halo semua. Halo Malakan. Baru-baru ini gua lihat berita soal Goto akan diakuisisi sama Grab. Grab yang dikabarkan akan mengakuisisi PT Goto Gojek Tokopedia Tbk dalam waktu dekat. Silakan perusahaan asal Singapura itu dikabarkan telah memulai proses du deligence dan menurut desas-desus yang beredar nilai transaksinya dikabarkan mencapai 7 miliar US dar atau kalau kita konversi ke rupiah itu sekitar Rp115 triliun. Dan ini jadi konsern sendiri buat gua. Kenapa demikian? Karena ini masalah, Pak, kalau terjadi dan jadi masalah publik gitu. Karena ini bukan sekedar transaksi bisnis antar dua perusahaan. Ada risiko ekonomi yang sangat besar yang perlu kita pahami dan sikapi dari transaksi ini. Oke, kita mulai dari goto dulu, Teman-teman. Goto itu kan brand lokal ya. Dan sejauh yang gua tahu dan sejauh yang gua paham dan sejauh yang gua lakukan ya salah satu brand favorit gua. Gua enggak dibayar untuk ngomong ini dan selama ini jadi satu-satunya aplikasi yang gua instal di handphone gua karena spiritnya lokal itu tadi karena dibuat emang dari Indonesia untuk masyarakat Indonesia ya itu sendiri. Dan gua pikir ini salah satu bentuk kontribusi yang bisa gua lakukan. Kecil tapi mungkin ya sedikit membantulah gitu. Stay dengan brand lokal ini. Walaupun sekarang perkembangannya sudah kayak gimana ya kita sama-sama tahu gitu. Tapi tetap aja dia lahir dari bumi pertiwi ya kan dari bangsa Indonesia gitu. Dan selama bertahun-tahun kita bisa bilang goto itu tumbuh jadi salah satu flagship brand teknologi di negara ini. Tentu saja sampai sekarang masih ada banyak celah dari layanan atau produk goto yang bisa kita kritik, kita tuntut, dan kita suarakan gitu. Terutama dalam konteks ini Gojek ya banyaklah ketidaksempurnaannya atau masih tertinggallah dari kompetitornya. Tapi so far ya balik lagi kayak gua bilang tadi, gua masih pakai Gojek Conry dan itu ada di handphone gua bisa dibuktikan gitu ya. Walaupun gua ngerasa selama gua pakai Gojek realibitasnya kurang, kadang aplikasinya lemot terus susah banget dapat driver dan lain sebagainya. Tapi satu hal yang mau gua tekanin, Teman-teman, mereka itu punya kompetitor yang enggak main-main. Goto itu sedang bersaing dengan raksasa teknologi regional. Dan di kompetisi itu the fact dengan segala problematikanya mereka masih survive sampai sekarang. Dan ini bisa kita bilang sebuah capaian yang luar biasa besar. Karena kita juga mesti pertimbangin nih, Teman-teman, betapa luasnya rantai pengaruh Goto dalam perekonomian masyarakat dengan asumsi setiap mitra UMKM GOTO itu mempekerjakan sekitar 2 sampai 3 pekerja. Itu berarti sudah ada sekitar 60 juta SDM produktif yang hidup dari ekosistem GOTU. Angka sebenarnya tentu bisa jauh lebih besar dari ini. Karena UKM sangat mungkin mempekerjakan lebih dari tiga karyawan. Itu baru UMKM belum drivernya. Mayoritas mitra drivernya Gojek itu biasanya kepala keluarga. Nah, dengan asumsi satu driver adalah kepala keluarga dengan empat tanggungan, ada sekitar 12 juta orang yang hidup dalam ekosistem GOTO ini. Dan kalau kita lihat data tahun 2022 itu menyebutkan bahwa nilai ekonomi yang berputar di ekosistem GOTO itu sudah mencapai Rp430 triliun. Semua angka yang fantastis. Dari situ kita bisa lihat, Teman-teman, apa yang terjadi pada Goto sebagai sebuah entitas private itu bisa berdampak ke puluhan juta manusia. Nah, sekarang kita masuk ke bahasannya. Terus kenapa kalau Goto diakuisisi Grab salahnya di mana? Ya tentu itu jadi pertanyaan teman-teman kan. Nah, mari kita perdalam lagi bahasannya karena mungkin di asumsi kalian wah Grab lebih murah kalau mereka aksisi GO ya. Kita akan dapat barang yang lebih murah dan lebih canggih. Pertanyaannya benarkah demikian? Mari kita throwback sedikit teman-teman. Sekitar 10 15 tahun yang lalu waktu masih banyak maskapai di Indonesia ini ya kan masih banyak merek Maskapai, masih banyak perusahaan maskapai, tiket pesawat itu sangat-sangat kompetitif dan bersaing. Siapa yang diuntungkan dari hasil kompetisi ini? Ya, kita masyarakat. Karena harganya jadi murah sekali. Gua masih ingat waktu gua kuliah itu dari Jambi ke Jakarta, gua masih dapati tiket harga Rp280.000. sekarang dari Jambi Jakarta. Waduh sangat-sangat beruntung kalau lu bisa dapati tiket di bawah Rp1.200. I banyak faktor yang mempengaruhi ini. Salah satunya jelas ya kompetisi yang dulu 15 sampai 20 tahun yang lalu itu sudah mulai hilang. Sekarang pemainnya ya tinggal dua entitas gede nih. Satunya BUMN satunya swasta. yang mana satu lagi itu udah sekarat banget kondisinya ya kan bisa kita bilang kita sudah tahulah pemenang dari kompetisi di dunia maskapai ini dan ini yang terjadi sekarang di kayak pesawat melambung tinggi dan itu jadi salah satu faktor kenapa karena ya market sudah dikuasai dan lu sudah enggak punya daya saing lu enggak punya pesaing lu enggak punya kompetitor dan harga udah lu yang tentuin sendiri either lu beli atau enggak gitu pilihannya kalau lu enggak beli ya lu naik bus atau naik kapal dan lain sebagainya. Nah, balik ke konteks ini teman-teman. Kalau Goto resmi diakuisisi sama Grab, secara praktis, Grab akan jadi pemain yang super dominan, tunggal bahkan dan enggak ada kompetitornya sama sekali. Indonesia akan menjadi negara kedelapan di mana Grab mendominasi pasar. Ketika ada pemain tunggal yang super dominan, konsumen dan mitra akan kehilangan suara karena mereka enggak ada pilihan. Kalau sudah begini, kualitas produk dan standar harga bisa sangat-sangat berpengaruh. Iya, take it or leave it, gitu loh. Kita ingat salah satu ini ee pejabat di sebuah maskapai bilang, "Ya maskapai pesawat kita memang jelek, tapi lu cuma punya itu." Oh, seram enggak? Nah, itu tah. Nah, kompetisi yang hilang ini bikin enggak ada insentif buat naikin kualitas dan enggak ada urgensi buat turunin harga. Kualitas barang akan stagnan, bahkan terus memburuk, harga bisa naik terus. Balik lagi ketika semua orang tidak punya pilihan berging position-nya jadi mutlak di tangan perusahaan yang dominan tadi. Contoh gampangnya bisa kita lihat di ekosistem Apple. App Store menjadi satu-satunya gerbang untuk masuk ke iOS. Dan karena enggak ada alternatif, Apple bisa seenaknya pasang V berapap pun bahkan sampai 30%. Developer enggak punya pilihan, mau enggak mau, suka enggak suka ya harus ikut, Teman-teman. Karena satu-satunya jalan mereka masuk ke IES ya lewat App Store ini tadi. Hal yang sama juga bisa berlaku di rate potongan mitra. Perusahaan yang dominan akan bisa secara mutlak menentukan rate secara sepihak tanpa bisa ada tekanan balik dari mitra. Kalau dulu mereka bisa hijrah, mereka bisa pindah karena mitra tidak punya pilihan. Kalau sekarang ya udah sudah diakuisisi gitu. Makanya hampir setiap negara maju itu punya regulasi buat ngatur dominasi pasar kayak gini. Uni Eropa misalnya mereka punya aturan yang namanya digital market arts. Aturan ini secara khusus ditujukan buat perusahaan-perusahaan digital besar yang terlalu dominan. Tujuannya supaya mereka enggak bisa seenaknya ngatur pasar gitu. Ngerugiin pesaing kecil atau ngeblok akses konsumsi ke pilihan lain. US juga punya yang namanya antiras law yang dari dulu emang dipakai buat ngebubarin monopoli supaya satu perusahaan enggak bisa kontrol penuh atas pasar tertentu. Dominasi pasar ini kalau dibiarin dampaknya sangat serius. harga naik, inovasi mandek dan konsumen enggak punya pilihan. Itu resiko serius pertama yang akan terjadi kalau akuisisi dilakukan. Suka atau tidak lu sama produknya Goto? Entah tu Gojek atau Tokopedia. Berikutnya kita masuk ke bahasan Goto sebagai perusahaan lokal dan Grab sebagai perusahaan luar. Tapi sebelum itu teman-teman kalian harus ingat dulu ada tiga pemain utama tuh di Indonesia. Grab, Gojek, sama Uber. Tapi sejak Uber diakuisisi sama Grab di sini ya dari situlah titik di mana kita mulai ngerasa hm kok lumayan mahal ya sekarang. Nah lu bayangin dua pesaing aja dampaknya segitu besar apalagi tinggal tunggal. Tapi, Bang kan ada Maksim tuh kan ada apa gitu namanya ya kita bicara ya makro ya pemain besarnya ya. Kalau pemain-pemain kayak Maksim itu kan di daerah-daerah nih yang kecil-kecil dan mereka juga enggak punya kantor di sini. Mereka barangnya Rusia gitu setahu gua. Dan jelas itu enggak bisa jadi substitusi atau alternatif kayak yang kita rasain sekarang. Kayak gua bilang tadi, Goto itu bisa dibilang satu perusahaan dari sedikit sekali perusahaan teknologi lokal yang kompetitif. Suka atau tidak, kita harus akui itu. Nah, kalau akuisisi ini terjadi, kita lagi-lagi akan kehilangan kesempatan untuk ikut menjadi pemilih produk gitu. Dan ya balik lagi cuman jadi penim alias konsumen. Mungkin teman-teman mikir produk jangan dilihat soal asing atau enggaknya dong. tapi kualitasnya aja gimana gitu, bagus atau enggak gitu ya kan. Nah, Teman-teman di dunia ideal cukup banget kita berpikir seperti ini. Sayangnya kita enggak sedang hidup di dunia ideal. Kalau cara pikir itu benar, tentu negara-negara maju yang kuat dan sejahtera itu enggak perlu ngelakuin tindakan spesial untuk melindungi produk atau brand tertentu, ya kan? Bahkan Amerika Serikat pun melakukan itu. Contohnya ya kita lihat ajal yang dilakukan Singapura buat Grab. Lu tahu Singapura itu masih ngasih insentif pajak dan ngelindungi Grab dari kompetisi. Bahkan mereka sampai ngeblok masuknya kompetitor asing termasuk Gojek. Nah, Malaysia lebih ekstrem lagi. Tempat lahirnya Grab nih yang sangat ekstrem juga dalam hal perlindungan tersebut. Mereka bikin regulasi yang ngelarang kompetitor lain kayak Indrive dan Maxim buat beroperasi di Malaysia. Lu bayangin di Glab yang sudah sebesar itu aja dilindungin sama negaranya. Enggak dibolehin Gojek masuk di situ dan sekalinya Gojek masuk itu langsung diframing dan dibranding seburuk mungkin gitu. Sehingga masyarakat di sana pun ketertarikan pun enggak ada. Jadi karena tidak tertarik tuntutan pun enggak ada. Jadi teman-teman kadang kita memang enggak bisa mikir terlalu simplisistik kayak gitu. Nah buat gua sendiri yang paling penting itu kan konsumen dapat barang terbaik dengan harga termurah ya termasuk urusan TKDN kemarin gitu. Dan kalau kayak gini ceritanya ya tapi kan mekanisme pasar seharusnya seperti itu Bang ya. Enggak. Kalau ujungnya malah melahirkan monopolistik yang jelas akan menaikkan harga dan menurunkan quality control yang ada. Makanya harus ada sesuatu yang dilakukan dengan isu ini ya. Semoga ini enggak terjadi gitu. Tapi Bapak Ibu semua, kita perlu pertimbangan juga kesehatan ekonomi secara makronya gimana. Bisa jadi ada situasi yang enggak bisa sekedar diserahkan ke mekanisme pasar. Dan gua lihat masalah akuisisi GO oleh Grab ini menjadi salah satu situasi tersebut. Kenapa? Ngapain kita biarin dominasi asing untuk jadi pemain tunggal sementara kita masih punya perusahaan lokal kita sendiri yang bisa berjalan dengan baik? Balik lagi mungkin ada yang nge-challenge saya go enggak sepenuhnya punya lokal sekarang, Bang. Memang, tapi itu lahir dari Indonesia loh, Pak. Gojek itu emang lahir dari Indonesia loh. Dan masih masih dipegang juga oleh orang-orang kita gitu loh. Jadi kayak ya kali lu biarin mereka colollaps gitu aja. Mereka bukan BUMN, Pak. Mereka bukan perusahaan negara. Mereka bangkit dari awal seburuk-buruknya kayak gimanap pun juga. Lu kebayang enggak sih ini salah satu kebanggaan Indonesia dan di-take over gitu sama barangnya Malaysia ya kan. Kan lucu sebenarnya. Coba kita pikir pertama dari sisi kontribusi ke negara lah. Ketika pemain utama di sektor strategis kita adalah perusahaan asing kontribusinya cenderung lebih kecil. Karena secara hukum mereka itu beroperasi sebagai entitas luar. banyak aktivitas bisnis mereka yang secara legal diklaim dan dicatat di yuridiksi di luar Indonesia dan bahkan kantor pusatnya pun di luar. Dividen buat pemilik saham juga dibayarin keluar. Artinya pemasukan negara kita dari sektor itu ya kecil banget. Padahal yang kerja, yang pakai aplikasi, yang nyoba data itu kita. Nah, sekarang dari sisi perputaran uangnya. Kalau tenaga kerja banyak yang base-nya di luar negeri atau kantor operasional yang ada di luar negeri dan semua untungnya juga dibawa ke luar negeri, maka perputaran uang di dalam negeri kita jadi makin kecil. Padahal uangnya muter di dalam negeri. Itu penting buat kesehatan ekonomi negara. Kedua, dalam konteks produk teknologi ada juga masalah kedaulatan data, Teman-teman. Dan ini sangat-sangat krusial. Tanpa kepemilikan perusahaan teknologi lokal, kedaulatan data kita itu benar-benar hilang. Sekarang aja kita udah ngap-ngapan kan. Kita sudah ngerasa oke, kita enggak punya sepenuhnya data kita sendiri. Apalagi dengan situasi di mana semuanya dimiliki oleh perusahaan asik. Kita harus paham data itu bukan lagi sekadar informasi, statistik atau angka di atas kertas. data itu bentuk baru dari sebuah kedaulatan. Data kita yang isinya informasi soal mobilitas, konsumsi, transaksi keuangan, bahkan pola hidup harian itu sudah jadi kayak tambah embas boleh ya. Nanti dipergunakan untuk kepentingan bisnis dan politik berbagai pihak. Nah, kalau kita enggak punya akses itu sama sekali, ya kita jadinya cuma jadi objek data buat negara-negara lain. Dan itulah resiko serius yang muncul dari isu akisisi yang terjadi. Terakhir, Teman-teman, tanpa pemain lokal yang kuat di sektor teknologi, kita enggak punya daya tawar untuk mendorong perlindungan data pengguna dan enggak punya wadah buat ningkatin kapasitas generasi baru buat jadi inovator di masa depan. yang ada kita cuma jadi buruh digital di platform ngasih tenaga, ngasih waktu, ngasih data, tapi enggak punya kuasa gitu. Jadi ya buat [Musik] apa industri itu enggak berkembang secara tiba-tiba. Mereka perlu modal dalam berbagai bentuk, termasuk pengalaman pengguna. Masalahnya kalau setiap produk lokal yang baru mulai dipakai langsung dilibas habis sama pemain asing yang sudah lebih dulu gede, ya kita enggak akan punya kesempatan buat bangun sesuatu itu sendiri. Nah, ini ini gua tuh enggak pro 100% proteksi ya. Tapi kalaupun proteksi harus dilakukannya di di hal-hal seperti ini nih, bukan memproteksi hal yang sebelumnya tidak ada atau akal-akalan ini jelas ada gitu loh. Apalagi kalau kondisinya itu diakuisisi oleh perusahaan asik di mana kemungkinan besar kita bakal masuk ke pasar yang cuma punya satu pemain alias single player market. Enggak, kita enggak perlu jadi anti asing lah. Gua justru penginnya kita itu bisa bersasing sehat gitu. pintu dibuka selebar-lebarnya untuk bersaing dengan pemain-pemain dari luar. Jadi kualitasnya yang kekontrol karena kita lawan dengan mutu dan harga terbaik. Tapi kalau kompetisinya sama sekali hilang ya ini jelas enggak sehat gitu. Dan dari situ bukan cuma produk lokal yang mati tapi kesempatan kita buat punya kedaulatan teknologi, buat ngembangin talenta kita sendiri, buat punya industri yang tahan lama juga ikut hilang. Menurut gua, pemerintah Indonesia perlu hadir di sini kalau mereka memang mau hadir, pemerintah harus berani untuk mengambil kebijakan intervensi untuk memastikan aksi korporasi sebesar ini yang menyangkut hajat hidup orang banyak. yang mana hal tersebut enggak ngorbanin kepentingan nasional dan kita semua sebagai warga negara. Ya, kita bisa berkaca pada Malaysia dan Singapura. Mereka tegas masang pagar buat menjaga ekosistem domestik mereka bahkan sampai ngeblokir pemain luar untuk masuk. Dan itu enggak bisa kita bilang sebagai antiglobalisasi. Mereka ambil langkah itu di konteks sejauh yang diperlukan. Gua rasa ini penalaran yang sangat wajar ketika kita mempertimbangkan untuk enggak membiarkan barang dari luar masuk dan memonopoli seluruh lapangan. Oke, itu aja dari gua. Semoga konten ini bermanfaat. Sampai jumpa di konten selanjutnya. See ya.