Birul Walidah ini, Ihsana, adalah dasar terciptanya proses pertunjukan ini. Naskah ayahku pulang bukan sekedar naskah. Ada nilai-nilai yang perlu kita ketahui bersama.
Ada renungan yang perlu kita resapi bersama, ada marah yang perlu kita pelajari bagaimana cara menerdamkannya. Ada rasa sakit, benci, luka, dan segala ras yang berkecamuk dalam dada yang perlu kita taklukan dengan cinta. Apapun yang terjadi, ayah tetaplah ayah, kapanpun dan dimanapun, bahkan selama-lamanya. Inilah pertunjukan ketujuh Tia Terza Iza dengan lakon Ayahku Pulang, karya Usmar Ismail. Pertunjukan ini murni lahir dari tangan-tangan santri, tentu dengan dampingan asatis yang kita cintai.
Sebagai bukti bahwa dari Al-Quala... suara oleh Ustadz Abdul Qadir, penata artistik panggung oleh Ustadz Tarmin Alamsyah, make up dan kostum oleh Ustadz Zawula dan Ustadz Zafini. Semua ini dikemas dengan apik oleh sutradara kita Al Ustadz Ahmad Mudur Al Farisi. Mari kita saksikan pertunjukan ketujuh teater Zahiza dengan panggung Ayahku Pulang. Selamat menyaksikan.
Allah Akbar, La ilaha Allah Akbar Allah berwalil, Allah berlah Alhamdulillah La Allah Baru Terima kasih. Ibu masih berpikir Saya pikir lagi Malam hari raya Narto Dengarlah suara beduk itu bersaut-sautan Pada malam hari raya seperti inilah Ayahmu pergi meninggalkan ibu Dengan tanpa sepatah kata pun Ayah Keesokan harinya, setelah selesai sholat hari raya, kumaafkan segala kesalahan ayahmu. Kenapa ibu masih mengingat masa yang lampau itu?
Mengingat orang yang sudah tidak ingat lagi kepada kita? Ibu merasa ayahmu masih ingat kepada kita, Narto. Minta resi kemana bu?
Mintar sih sedang keluar mengantarkan jahitan. Ia masih juga mengambil lupa jahitan. Bukankah seharusnya ia tidak usah lagi berjuang sekarang? Biarlah Narto. Karena kalau ia sudah kawin nanti, kepandainya itu tidak akan sia-sia.
Sebenarnya ibu mau mengatakan kalau gajiku tidak cukup untuk sekeluarga kan bu? Bagaimana dengan lamar mintarsi, Bu? Mintarsi nampaknya belum mau bersuami, Narto. Tapi dari pihak orang tua anak lelaki itu terus saja mendesak ibu.
Apa salahnya, Bu? Mereka kan uangnya banyak. Alah uang, uang, Narto. Maaf bu, bukan maksud aku ingin menjual adik sendiri. Aku jadi mata duitan bu, mungkin karena hidup yang penuh dengan penderitaan ini.
Ayahmu seorang hartawan yang mempunyai tanah dan kekayaan yang sangat banyak. Kaya di waktu kami kawin dulu, tetapi hubungan kami bagaikan pokok yang ditiup angin kencang, gugur semua buahnya, itu semua karena uang Narto. Oh ibu tidak mau adikmu minta sih, merasakan apa yang ibu rasakan. Biarlah Mintarsi menjadi gadis sederhana. Mintarsi mestilah bersuamikan orang yang berbudi tinggi.
Mesti itu mesti. Tapi Bu kalau bisa kedua-duanya ada harta ada budi. Mau dimana dicari Narto, Narto adik kau mintar si itu hanya gadis biasa.
Apalagi keadaan kita ini sedang susah, di rumah pun sudah tidak ada uang. Sebentar lagi pula tabungan ibu yang terakhir akan habis. Ini semua salah ayah bu, sehingga Mintarsi harus ikut menderita. Sejak kecil, ia telah merasakan pahit getirnya kehidupan.
Tapi bu, kita harus mengatasi semua ini. Harus. Aku sebagai abangnya, harus lebih keras lagi dalam berjuang.
Andai saja aku punya uang sejuta, Bu. Kalau untuk perkawinan mintar sih, 500 ribu rupiah saja sudah cukup, Narto. Setelah mintarsi nanti, datanglah giliranmu.
Aku? Kawin, Bu. Belum sempat aku memikirkan kebahagiaan untuk diriku sendiri. Sebelum saudara-saudaraku senang dan ibu pun mengecap kebahagiaan atas jeripayaku nanti.
Ibu sudah merasa bahagia kalau kau bahagia, Narto. Karena nasibku bersuami tidak baik benar. malam hari raya waktu ayahmu pergi dulu Tak tahu apa yang harus aku lakukan.
Tetapi... Maimun kemana, Bu? Maimun mungkin banyak kerjaan Soalnya katanya bulan depan dia bakal naik gaji Naik gaji? Maimun memang pintar bu Otaknya juga encer Tapi Sayang kita tidak bisa menyekolahkannya lebih tinggi lagi Tapi bu aku yakin Kalau ia mau berusaha Pasti ia bisa menjadi orang yang berharga di masyarakat Narto, siapa gadis yang sering kulihat bersepeda bersamamu itu? Ah ibu bisa aja, dia mah cuma temanku bu.
Tapi ibu rasa dia pantas untuk kau Narto. Ya meskipun ibu tau Derajatnya tidak sama seperti kita Tapi kan kalau kau suka Sudahlah bu Buat apa aku memikirkan kawin sekarang Mungkin 10 tahun lagi Itu pun kalau semua sudah beres Aku juga harus kawin Narto Masa sudah tua tidak kawin-kawin Waktu ayahmu pergi malam hari raya itu, aku peluk kalian anak-anakku, hilang akalku. Sudahlah bu, buat apa kita mengulang kajian lama itu?
Assalamualaikum, lama menunggu bu, bang. Waalaikumsalam. Dari mana saja Mun, kau sudah berbuka puasa.
Kerja lembur Bu, alhamdulillah. Tadi aku berbuka puasa bersama teman di kantor. Oh iya Bu, buat perkawinan mintarsi nanti...
Eh Bang, mintarsi mana Bang? Bu, Mintarsi mana ya Bu? Mintarsi sedang keluar mengantarkan jahitan.
Bang, ada kabar aneh nih bang. Tadi pagi, aku bertemu dengan bapak-bapak tua. Yang mirip sekali dengan ayah. Waktu Pak Tirto berbelanja di sentral tadi, tiba-tiba, ia berhadapan dengan bapak-bapak tua itu bang.
Pak Tirto kaget karena bapak tua itu seperti yang pernah saya kenal. Katanya sih bapak tua itu serupa sekali dengan Radin Saleh bang. Tapi setelah itu bapak tua itu menjegirkan diri lalu menghilang begitu saja di kerumunan orang banyak bang.
Mana mungkin dia ada di sini. Aku kira juga dia sudah meninggal dunia atau pergi ke luar negeri. Sudah 20 tahun yang lalu semenjak ia pergi malam hari raya itu.
Tapi bu ada yang mengatakan jika ia ada di Singapura bu. Tapi itu sudah 10 tahun yang lalu. Kata orang yang pernah melihatnya, ia mempunyai toko yang sangat besar di sana.
Dan hidupnya pun sangat mewah. Hidupnya memang mewah, tapi anaknya makan lumpur. Tapi setelah itu, tak ada lagi kabar dari ayahmu. Apalagi semenjak perang seperti saat ini.
Dimana lagi kita dapat bertanya? Bu, emangnya karakter ayah bagaimana sih bu? Waktu ayahmu muda dulu, ia tak suka belajar, tidak seperti kau Maimun. Ia hanya suka berfoya-foya.
Pada masa itu, ayahmu sangat disegani banyak orang. Ia suka meminjamkan uang kesana kemari, dan seperti itulah ayahmu. Maimun, selama hari raya ini berapa hari kau libur?
Dua hari bang. Oh iya, ada makanan yang ibu taruh di meja. Pak Tirto bertemu dengan orang tua itu kapan? Kemarin sore bang, kira-kira setengah lima.
Bagaimana pakaiannya? Pak Tirta bilang, pakaian yang bapak tua itu kenakan tak begitu bagus bang. Pakaiannya compang-camping, kopianya pun sudah hampir memutih. Kau masih ingat bang dengan rupa ayah? Tidak ingat lagi aku.
Semestinya kau ingat bang, karena umur abang pada waktu itu sudah 8 tahun. Aku saja masih ingat, walaupun samar-samar. Sudah ku bilang, tidak ingat lagi aku. Iya, iya. Habisnya Pak Tirto banyak tanya bang tentang ayah.
Ayahmu orang yang baik hati. Jika lo ia berada di sini, di rumah ini, besok hari raya pastilah ia bisa bersenang-senang dengan anak-anaknya. Jam berapa ini?
Seharusnya Mintarsi sudah pulang sekarang. Oh iya bang, ada kabarannya lagi nih bang. Tadi pagi aku bertemu dengan orang India bang.
Ia mengejarkanku bahasa Urdu bang. Dan aku memberikannya pelajaran bahasa Indonesia bang. Dan ia pun sempat mengajariku cara bernyanyi ala-ala yang daya gitu bang. Yang kayak gini nih bang.
Boleh curian, boleh kanggana Hai menho gai, tere sajana Tere binjena, yalakda me temar gaya Leksa lecah Sonia lecah lecah Leksa lecah Lagi lagi lagi Leksa lecah Sonia lecah lecah Leksa lecah Mantep Mun, nanti kau ajarkan aku pula Apa tadi, lecah-lecah itu? Siap Bang Narto, Maimun, kalian ngapain sih? Nyanyilah Bu Daripada mikirin orang yang sudah hilang Pusing palaku Ya gak gitu juga kali Kalian itu laki-laki Jorok tau Terserah Ibu Assalamualaikum, sudah berbuka puasa semuanya? Waalaikumsalam Dari tadi kami menunggumu lama benar Maaf bu, tadi disana memang agak lama Jadinya nanti pulang terlambat Oh ya sudah makan dulu Minta sih Iya bu Apa yang kau lihat di luar sana?
Waktu mintasi lewat disitu tadi Bang! Bang Nato! Ih, dengerin mintasi dulu Malam lamun Aku denger Ada orang tua di ujung jalan ini Dari jembatan sana, melihat-lihat ke rumah kita, nampaknya seperti seorang pengemis. Orang tua, bagaimana rupanya? Hari agak gelap bang, jadi tidak begitu jelas kelihatannya.
Tapi orangnya itu... Coba aku lihat. Siapa, Mun? Tak ada orang kelihatannya, Bang. Waktu kami masih sama-sama muda dulu, kami sangat berkasih-kasihan.
Sejelek-jeleknya ayahmu, masih ada kenangan yang tak dapat ibu lupakan. Nak, mungkinkah ayahmu kembali lagi? Bu, yang lalu biarlah berlalu.
Jangan ibu ingat lagi masa yang lampau itu. Assalamualaikum Assalamualaikum Apakah benar disini rumah nyonyasale? Gunarto, Maimun, Mintarsi, apa kalian dengar?
Itu seperti suara ayah kalian. Tina, benarkah engkau Tina? Saleh, kamu benar-benar Saleh?
Iya Tina, benar. Aku saleh Saleh Marilah masuk dulu Apa? Bolehkah aku masuk Tina?
Tentu saja boleh Mari masuk duduk Mari ayah Mari ayah Hai Salleh kau banyak berubah ya Salleh Oh iya Tina 20 tahun perceraian kita telah banyak merubah wajahku Oh iya Tina, mereka semua anak-anak kita. Iya benar, mereka semua ini anak-anakmu Saleh. Pandangilah mereka.
Ternyata mereka dapat tumbuh dewasa, walaupun tidak didampingi dengan ayahnya. Engkau siapa namamu nak? Saya Maimun ayah Oh iya Maimun Dulu waktu aku pergi Engkau masih kecil nak Kakimu masih lemah Belum dapat berdiri Dan nona yang sama Satu ini siapa namamu nak? Saya Mintarsi ayah Oh Mintarsi Aku dengar dari kejauhan Bahwa aku mendapatkan seorang anak lagi Seorang putri Engkau cantik Mintarsi Sama seperti ibumu di masa muda Sekarang tak tahu apa yang harus kulakukan.
Aku pun tak tahu apa yang harus aku lakukan. Anak-anak semuanya sudah besar, sudah menjadi orang pandai. Gunarto dia sudah bekerja di perusahaan tenun.
Dan Maimun ini, ia tak pernah absen selama masuk kelas, selalu menjadi juara satu. Mereka sudah mempunyai penghasilannya masing-masing. Dan mintarsi itulah, dia yang selalu membantuku menjahit. Ah ibu, bisa saja.
10 tahun aku menjadi saudagar besar di singapur aku ayah ayah saya Aku menjadi kepala perusahaan dengan pegawai berpuluh-puluh orang banyaknya Namun malang bagiku toko itu itu telah habis terbakar lalu seolah-olah masih belum puas menyeretku ke lembah kesengsaraan saham-saham yang kubeli merosot semua nilainya Sementara aku sudah mulai tua, tak tahu apa yang harus kulakukan, lalu keluarga ku... Anak dan istriku Tergambar kembali Di depan mata dan jiwaku Kalian seperti mengharapkan Cinta dan kasihku Gunarto Maukah kau mengambilkan aku segelas air minum? Hanya engkau lah yang tidak... Narto... Ayahmu yang sedang berbicara itu...
Semestinya engkau bahagia, nak. Sudah sepantasnya ayahmu bertemu kembali dengan anak-anaknya... Yang sudah lama tidak...
bertemu tak apalah Tina bila Gunarto tak mau engkau lah Maimun maukah kau memberikan aku belas air minum baik ayah Maimun Kapan kau mempunyai seorang ayah? Gunarto Kami tidak mempunyai seorang ayah, Bu Kapan kami mempunyai seorang ayah? Gunarto, apa katamu?
Kami tidak mempunyai seorang ayah Kalau kami mempunyai seorang ayah Kenapa kami harus hidup sengsara seperti ini? Jadi budak orang Saat aku berumur 8 tahun, aku dan ibu hampir saja terjun ke dalam lautan. Untung saja ibu cepat sadar.
Dan kalau kami mempunyai seorang ayah, kenapa aku harus menjadi budak orang saat aku berumur 10 tahun? Kami tidak mempunyai seorang ayah, kami besar dalam kesengsaraan, tidak ada kebahagiaan dalam hati ini. Dan kau Maimun, apakah engkau lupa saat engkau SD, engkau pergi ke sekolah dengan pakaian... Yang robek, serta tambalan sana sini, itu semua terjadi karena kita tidak mempunyai seorang ayah. Kalian dengar, itu semua terjadi karena kita tidak mempunyai seorang ayah.
Kalau kita mempunyai seorang ayah. Mana mungkin kita harus hidup sengsara seperti ini Tapi bang, ibu saja sudah maafkannya Kenapa kita tidak? Ibu seorang wanita Saat aku kecil, aku pernah menangis menangis di pangkuan ibu dan ibu selalu berkata ini semua salah ayahmu ayahmu yang harus disalahkan lalu aku menjadi budak orang dan ibu menjadi babu mencuci pakai energi orang lain aku buktikan bahwa aku bisa memberi makan keluargaku tanpa seorang ayah Dan aku berteriak kepada dunia, aku tidak butuh bantuan orang yang telah meninggalkan keluarganya dalam keadaan sengsara.
Saat umurku 18 tahun, yang ada di otakku hanyalah gambaran ayah yang telah sesat. Ia kabur bersama wanita yang telah membawanya ke dalam lembah keturjanaan. Lupa ia kepada keluarganya, anaknya, istrinya, bahkan kewajibannya. Hartanya yang ditinggalkan bertumpuk-tumpuk. Sampai-sampai tabunganku sendiri hilang bersama ayah yang tidak tahu diri itu.
Jikalau aku memang mempunyai seorang ayah, maka ayah itulah musuh besar. Gunarto Bang Bang Lihatlah ayah bang Ayah sudah tua bang Ayah sudah tua Sering benar kau ucapkan kata ayah kepada orang yang tak berguna ini Hanya karena ibu Ia seorang tua yang datang ke rumah kita. Dan menyebut dirinya ayah kita.
Lalu kau sebut pula ya ayah kita. Padahal ia tidak kita kenal. Sama sekali tidak.
Bang Narto. Kita adalah darah dagingnya bang. Bagaimanapun buruknya ayah kita.
Kita tetap anaknya bang. Yang harus merawatnya. Jadi maksudmu ini kewajiban kita.
Setelah ia melepaskan hawa nafsunya di mana-mana. Dan sekarang ia kembali. kembali dalam keadaan tua dan kita harus merawatnya aku tidak sudi sama sekali tidak Nartu seganya kau berbicara seperti ini kepada ayahmu ayah kandungmu ayah kandung Memang Gunarto dulu mempunyai seorang ayah Tapi sudah meninggal 20 tahun yang lalu Dan Gunarto yang sekarang Adalah Gunarto yang dibangun oleh diri Gunarto sendiri Aku merasa Merdeka, semerdeka-merdekanya orang bu. Memang aku telah melakukan... Banyak kesalahan dan dosa kepada kalian Aku mengakui itu Dan sebab itulah Aku datang pada hari ini Pada hari itu aku Untuk memperbaiki Segala kesalahan dan dosa terhadap kalian Tapi Memang benar kata kamu benar toh aku aku adalah seorang yang tak harus diperlukan Aku hanyalah orang miskin dan aku tidak berkehendak mendorong-dorongkan diri agar diterima di mana tempat yang tidak aku kehendaki.
Baiklah. Aku akan pergi sekarang, tapi tahukah kau Narto betapa rasa sakitnya hatiku, aku orang yang percaya. dihormati aku orang yang pernah memiliki uang berjuta-juta banyaknya sekarang aku diusir oleh anak kandungku sendiri tapi biarlah dalam apapun aku terjerumus ke dalam kelembah sengsaraan aku tidak akan kembali lagi ayah tunggu dulu ayah Jika Bang Narto tidak ingin menerima ayah, aku yang akan menerima ayah. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Maimun, apa pernah kau menerima pertolongan darinya?
Dulu aku memang pernah menerima tamparan, tendangan, bahkan pukulan darinya. Tapi sepijijara pun... Aku tidak pernah menerima kebahagiaan darinya Tak apalah Maimun, biarlah aku pergi sekarang Jika aku kembali, aku hanya mengganggu kebahagiaan dan ketenangan kalian Sayang saja, memang inilah jalan terbaik untukku.
Tidak ada jalan untukku kembali. Ayah, ayah, tunggu dulu ayah. Apa ayah sudah makan?
Apa ayah punya uang? Kemana ayah akan pergi? Kepi jalan atau dalam sungai, aku hanya seorang pengemis sekarang. Memang sudah tiga hari aku berdiri di depan jalan sana. memang seharusnya aku malu untuk masuk ke dalam rumah ini lagi rumah yang dulu pernah aku tinggalkan aku Sudah mulai tua, lemah dan sadar.
Langkahku terayun kembali. Aku sudah tua dan... Salam! malam hari raya yang lalu ia pergi dan sekarang ia datang untuk pergi kembali bagaikan ombak yang dimainkan angin kencang seperti inilah nasib ibuna bang Bang Narto! Bang bagaimana ini bang?
Tidak bisa ke Abang maafkan Ayah. Esok hari Raya bang. Hari Raya Sudah sebatasnya bang kita saling maafkan Abang tidak merasa kasihan Kemana dia akan pergi selain itu bang Kemana Bang, sudah puas kamu setelah apa yang telah kamu lakukan kepada ayah?
Tidak ada rasa kasihan kamu bang, tidak ada rasa tanggung jawab terhadap adik-adikmu ini yang tidak memiliki ayah lagi. Dahlah mu jangan lepas seperti ini, abang suruh dia pergi. Dia itu ayah kita bang, ayah kandung kita sendiri. Jangan kalian lihat aku sebagai terdakwa Sudah lama aku mencoba untuk menghilangkan rasa itu Dan sekarang Kalian tinggal pilih Aku atau dia Tidak Tidak bang Aku akan panggil ayahku kembali Aku tidak peduli bang Apa yang akan abang lakukan kepada aku Tidak Kalau perlu bang bunuh saja aku bang Ayahku harus pulang bang Ayahku harus pulang Ayahku pulang Maimun Ayah Saul Ayah Saul Ayah Ayah...
Ibu, minta arsih, Bang Nardo, ayah bu, ayah, Bang Oh Maimun Ayah mana bang Ayah mana Maimun Dimana ayahmu Tidak aku dapat lagi bu Dimana ayah berada Maimun Bang Ayah bang Ayah Dimana kau dapatkan sarung dan kopiah ini? Dengan jebatan bang Lalu ayah? Bagaimana dengan ayah? Aku tidak tau lagi bang Dimana ayah berada? Aku tidak tau lagi bang Jadi ayah melonset ke langsungan Ayah Ayah Dia yang biasa diorban Dia yang awal Tidik!
Terima kasih. Di saat ku kehilangan arah, aku hanya mengingatmu, ayahku, dirimu. Tau tak pernah lelah, sebagai penopang dalam hidupku, rendahku semua yang terindah.
Menanggimpu, Ayah Di saat ku kehilangan Aku hanya mengingatmu, Ayah Jangan lupa SUBSCRIBE, LIKE, KOMEN dan SHARE... Mari kita panggil aktor-aktor kita. Inilah mereka. Alamanda Mutiara Pardian, kelas 5 IPA sebagai Tina.
Nisa Kuroto Ayun, kelas 4 Biologi sebagai Bina. Tarsi, Gibran Willy kelas 5 bisnis sebagai Maimun, Maulana Syahrin Al-Gifari kelas 3 bisnis sebagai Salem, dan inilah aktor utama kita, Serif Asraf Kelab tempat bisnis sebagai Gunarto Dorif adalah salah satu santri yang bisa dibantukan sebagai pisang kelas 3 semester 2 tahun kejaran 2018-2019 Berikan tepuk tangan yang beriah kepada mereka