Transcript for:
Pendidikan STEM dan Peran Akademi di Indonesia

Saya mau melihat ada peran bagi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk bicara duduk bersama dengan Presiden. Mengatasi masalah-masalah praktis yang merupakan realm dari masalah sains seperti polusi, seperti segala macam. Kalau tidak...

kebijakan kita akan reaktif dan lapas. Ketika saya pikir ada pendukung yang berdiri di atas, saya rasa banyak lagi diaspora-diaspora yang tentu akan terjun membantu. Tapi istilahnya mobilnya itu harus dibikin atau busnya harus dibikin dulu sama pemerintah lalu diasporanya tinggal ikut join busnya gitu.

Tapi kalau diasporanya disuruh bikin busnya ya itu tentu berat gitu ya. Kita selalu berpikir jangka pendek, kita pengen dapat fast return. Sementara research, research and development is never fast return.

Dan banyak sekali investasi yang mungkin gak balik. Tapi kalau we are not starting to think to invest ya gak akan pernah kita mulai dan gak akan pernah kita leading. Inilah Endgame.

Halo teman-teman, saya sudah sempat beberapa kali menyampaikan bagaimana pendidikan itu sangat penting. Bukan hanya untuk anak-anak kita, adik-adik kita, tapi juga untuk pentingan bangsa dan negara ke depan. Salah satu metrik yang mengukur sejauh mana kita tuh sudah mendidik anak-anak kita adalah bisa. Tentunya PISA ini merupakan manifestasi dari kapasitas anak-anak kita, adik-adik kita yang berumur 15 tahun dalam konteks profisiensi bahasa dan juga profisiensi STEM.

Sayangnya skor Indonesia itu masih bisa dianggap cukup rendah, kurang lebih 71 dari 78 negara yang diukur. Ini cermin kecil dari bagaimana kita harus menyikapi mengenai pendidikan STEM secara khusus untuk Indonesia ke depan. Tentunya ini berkorelasi dengan sistem pendidikan yang ada di rumah tangga, tapi juga sistem pendidikan yang ada di sekolah, apakah itu sekolah dasar sampai sekolah tinggi yang ada di Indonesia.

Nah tentunya kita juga harus ada keterbukaan mengenai bagaimana kita bisa meraih pendidikan, bukan hanya di dalam negeri tapi di luar negeri. Beberapa kali saya juga sempat menyampaikan, di luar negeri representasi Indonesia itu bisa dibilang cukup sangat minim. Di Amerika, di Australia, di Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Eropa, di lembaga pendidikan yang tinggi dan bermutu di masing-masing negara, Indonesia itu representasinya kecil sekali.

Di Amerika, contohnya itu tidak lebih dari 8.500. dibandingkan 400-450 ribu representatif dari Tiongkok. Sekitar 200 ribu dari India, 150 ribu dari Korea Selatan.

Kalau kita mengacu ke Inggris, representatif dari Indonesia, itu nggak lebih dari 4 ribu dibandingkan 200 ribu dari Tiongkok. Nah, kalau kita kupas lagi, ini lebih cukup mengkhawatirkan. dalam konteks STEM.

Saya juga sudah sempat menyampaikan beberapa kali bahwasanya peraih gelar S3 di STEM di Amerika Serikat di tahun 2021 itu gak lebih dari 82 orang dari Indonesia. Ini angka yang luar biasa besar kelihatannya atau kedengarannya tapi sangat kecil dibandingkan angka yang diraih oleh teman-teman kita dari Tiongkok yang kurang lebih 6.500, India 2.500. Korea Selatan 1.300, Turki 4.500. Ini saya rasa merupakan cermin dari bagaimana kita harus menyikapi mengenai pendidikan secara umum di Indonesia dan di luar negeri.

Tapi juga bagaimana kita harus bisa mengedepankan pendidikan dalam STEM atau Science, Technology, Engineering, and Mathematics. Ini penting sekali karena saya melihat bangsa dan negara dimanapun itu sangat bisa maju. Kalau beberapa metrik itu lebih diperhatikan.

Satu tentunya kapasitas warga untuk bisa berdongeng. Tapi yang kedua adalah metrik yang bisa mengukur sebagaimana warga dari negara manapun itu bisa menguasai sains. Dan sains itu sangat berkorelasi dengan kepentingan siapapun untuk meningkatkan. produktivitas. Nah kita diberkahi dalam episode yang akan datang ini dengan datangan tiga ilmuwan Indonesia.

Sastya Putri yang sudah memiliki posisi tenur di Osaka University, Bagus Mulyadi yang juga merupakan tenured professor di University of Nottingham, dan Haryadi Gunawi yang sudah memiliki tenured position di University of Chicago. Sasti ngajar bioteknologi, Bagus ngajar ilmu alam secara umum, dan Hariadi ngajar computer science. Dalam percakapan saya dengan mereka, ini sangat luar biasa. Karena mereka menyampaikan, atau akan menyampaikan, pesan-pesan terkait dengan bagaimana kita tuh bukan hanya bisa meningkatkan dan kualitas pendidikan dalam negeri, tapi bagaimana kita bisa melakukan hal tersebut dengan kolaborasi dengan institusi yang mana mereka ada, tapi juga bagaimana kita juga bisa meningkatkan representasi orang-orang Indonesia di sekolah-sekolah keren seperti di Osaka, di Chicago, ataupun di Nottingham.

Semoga episode ini akan bermanfaat at least untuk saya ini episode yang sangat cukup berarti untuk kepentingan kita mengedepankan pendidikan untuk anak-anak dan adik-adik kita ke depan. Terima kasih atas kehadiran teman-teman. Terima kasih telah menonton.

Kita udah secara terpisah ngobrol banyak mengenai kepentingan pendidikan. Saya mulai dengan Sastia deh. Ini topiknya kita bisa ngalurin dulu kemana-mana lah.

Tapi pandangan Anda tuh mengenai epistemologi gimana sih? Jadinya di Indonesia nih gimana untuk kita bisa lebih mengedepankan epistemologi? Jadi kalau menurut saya memang di Indonesia itu kita kurangnya numbers ya, numbers of specialists and experts yang menguasai satu bidang-bidang ilmu yang penting untuk drive innovation, drive the technology untuk bisa diaplikasikan untuk memecahkan masalah yang ada di Indonesia maupun masalah global. Dan Indonesia belum terdengar sepertinya di global map sebagai key player dalam hal tersebut. Kenapa?

Karena kita kapasitas SDMnya belum menyampai. yang kritikal menurut saya untuk bisa mengembangkan inovasi itu. Tapi gini loh, Anda tuh kan intinya berhadapan dengan beberapa kendala.

Satu, untuk pengedepanan sains kurang. Dan khususnya yang kedua nih untuk cewek. Iya.

Iya kan lebih masuk nih ke dimensi ini. Itu gimana tuh supaya Indonesia tuh skalanya tuh gede banget gitu loh untuk para... teman-teman cewek dan juga secara keseluruhan untuk gimana mereka bisa berduyun-duyun untuk belajar ilmu interis. Pertama-tama memang pendapat orang dari maksudnya pemahaman masyarakat, dari kita kecil, kita tumbuh berpikir bahwa sains itu gak keren.

Dan menempuh karir di bidang sains itu juga gak keren. Itu bukan pekerjaan yang lucratif. Jadi... Dianggap bahwa saintis itu adalah orang-orang yang terpanggil. Dan kita bekerja di jalan yang sunyi.

Yang benar, sebagian orang memang terpanggil dan memang memiliki satu ideologi, idealisme gitu. Untuk bisa mendedikasikan dirinya, mengkontribusikan kepakarannya untuk kebaikan yang lebih besar. Tapi seberapa banyak orang yang seperti itu. Kalau kita ingin bicara tentang nomor dan kita ingin bicara tentang nomor yang lebih besar. Bahwa ini harus ada satu promosi yang masif.

Untuk kita bisa meningkatkan jumlahnya. Berarti gimana? Kita harus mengubah dari persepsi masyarakat bahwa sains itu bukan hanya penting tapi itu penting.

Itu terakhir yang perlu. Negara kita tanpa sains, tanpa teknologi gak akan bisa bertahan. Gak akan bisa bersaing.

Dan sekarang itu masih menurut saya di level jargon. Gak benar-benar ada satu kegiatan yang masif. yang benar-benar fundamental bisa mengubah segala tatanan dari mulai pendidikan dasar untuk membuat anak-anak muda kita merasa terpanggil gitu.

Kalau saya ingin menjadi seorang ilmuwan suatu hari karena ini adalah sebuah karier yang sangat penting dan penting dan ini adalah sebuah karier yang lucratif di masa depan. Jadi dari pertama minat itu harus ada dan terakhir penyerapan juga harus ada. Jika kita ingin mengenai pasien mereka terhadap ilmuwan, Habis itu kita harus memberikan opsi-opsi karir yang memang lukratif.

Yang memang masuk akal untuk mereka pengen pursue a career in science. They know what they're going to do after they graduate. They're going to be able to have a good living being an academic. sekarang itu belum seperti itu di Indonesia gak tau kesannya itu kayak politik di rumah tangga itu kurang iya gimana bos?

epistemologi itu Pak Gita kan bagaimana cara kita tau apa yang benar dari apa yang salah epistemologi begitu dan itu kenapa dibutuhkan dalam semua level di sebuah negara terutama di kepemimpinan adalah supaya bisa menyelesaikan masalah-masalah praktis saya datang kemari agak sedikit Ilek karena udaranya agak kotor. Ini beberapa hari ini ya. Saya lihat komentar Anda di Twitter.

Itu masalah praktis yang kemudian orang bertanya, bagaimana cara kita menyelesaikan? Dan kebetulan masalah seperti itu adalah masalah saintifik. Gimana caranya kita memodelkan pollutant dispersion di city? Bagaimana caranya kita memberikan bukti bahwa tanam pohon itu punya perbedaan karbon, sink, segala macam.

Yang kita lihat di Indonesia terutama dalam kapasitasnya ketika diekspos ke masalah seperti ini adalah tidak adanya atau kurangnya para ilmuwan yang berbicara atau terlibatnya para ilmuwan berbicara, padahal ini masalah saintis masalah banjir segala macam itu masalah saintifik jadi kita harus mengarus utamakan pola pikir saintifik pola pikir saintifik itu seperti apa? pola pikir saintifik itu adalah Kalau pikir yang berbasis eksperimen, kalau pikir yang berbasis skeptisisme, kalau pikir yang tidak berkonklusi 100% Nah kalau di Inggris, pada waktu pandemi yang juga adalah event kritikal, disitu chief medical officer nya itu prov. chancelor University of Nottingham, namanya John Van Tham, dia bicara, dia punya otoritas sains di belakangnya Saya dokter, saya dokter medis Saya juga seorang profesor. Jadi, orang-orang tahu bahwa untuk segala hal yang dikatakan oleh orang-orang, ada pengetahuan sains di belakangnya.

Ada kertas yang kredibel di belakangnya. Jadi, ini adalah panggilan terbang, karena polusi itu adalah prekursor masalah yang lebih besar. Ada perubahan klinik dan segala macam, dan Indonesia harus fasih berbicara tentang kesehatan.

Yang semuanya adalah masalah sains. Jadi, saya lihat Jepang leading di... bidang-bidang yang sifatnya sustainable, di Amerika, di UK mulai berbicara tentangnya.

Yang kita coba lakukan disini adalah selain berbicara tentang hal itu, tapi juga membawa agar institusi dan institusi mulai bekerja sama. Kita membuka celah untuk mereka berkolaborasi, supaya riset itu mengarah ke penyelesaian masalah-masalah seperti itu. Itu masalah interdisipliner.

Masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya seorang mechanical engineering, epistemologinya mechanical engineering apa? Gak mungkin suruh nyelesaikan semua masalah kan? Jadi ini perlu ada dialog, dan bukan hanya antara akademisi, saya mau lihat bahwa di UK itu ada The Royal Society, The US National Academy of Science.

Di Indonesia ini ada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia. They have to start taking the lead role, they have to talk with... mereka harus mencari nasihat di bagian komunitas ilmiah, apa epistemologi baru yang akan bergerak ke depan? Gimana?

Kita tuh waktu itu ngobrol banyak mengenai betapa dikitnya orang dari Indonesia yang lulus dengan SDGari STEM. 82 tahun 2021 dibanding Tiongkok 6000-an, India 2000-an. Korea Selatan 1300, Turki 450, Ghana aja di atas Indonesia.

Nah ini satu challenge nya adalah untuk angka 82 itu bisa dinaikin, tapi yang kedua seperti bagus dan Sastri yang ngomong. Dimana itu bisa di inter atau multi disiplinerkan. Dan apa yang anda lakukan tuh mulia sekali karena anda tuh keluar dari bungkusan computer science aja.

Gak disitu aja. Tapi gimana untuk lu mau belajar di University of Chicago, di bidang apapun supaya bisa gitu. Coba deh. Ya, mungkin saya setuju apa yang Mbak Sastia, Mas Bagus katakan.

Lu gue aja kalian ketiga, usia kelompok umurnya nih lebih muda soalnya. Saya pikir ceritanya lengkap, saya tambahkan dikit saja memang kan ada satu kata, informasi itu kuat ya, baik di perbisnisan, Dan juga menurut saya di akademia juga sama sih menurut saya. Dan kadang memang menurut saya banyak sekali informasi global ya, opportunity-opportunity.

di luar negeri yang mungkin gak mengalir ke Indonesia tapi saya mungkin ingatkan mungkin adik-adik yang melihat kita bahwa ingat saya sekarang zamannya open information, open source, open data, I think everything is searchable in Google bahkan live in academic mungkin di Jepang, di UK, di US, I think semua sudah banyak didiskusikan online, jadi contoh misalnya Ketika kita bicara riset, kadang saya bicara dengan siswa, ada mungkin basic pertanyaan, tanya, Prof, di Amerika masih ada riset tentang microcontroller nggak? Ya tentu saya jawab, tapi dalam hati saya, that question you could find the answer by googling it. Jadi kadang menurut saya mungkin memang shift dikit mungkin dalam...

persiapan kita gitu, kita selalu perlu mencoba untuk mempersiapkan 2 atau 5 tahun ke depan gitu ya baik dari struktural, administrasi, baik individu gitu dan menurut saya kita harus persiapkan gitu banyak, semua pertanyaan yang kita ingin jawab kita terus tambah ke listanya dan mungkin suatu saran sederhana setiap 15 menit sehari ada kan termnya kebiasaan atomik, hanya menghabiskan setiap 15 menit Google, Youtube, apa saja pertanyaan yang Anda punya. Saya pikir selama satu tahun, semua orang akan memiliki pengetahuan. Jadi itu saja sih maksudnya saya bilang informasi di luar sebenarnya banyak.

Dan sebenarnya kalau kita ada mimpi, mau ke Jepang, mau ke UK, mau ke US, atau ke Australia, ke sekolah baik, saya pikir informasi itu ada di luar sana. Dan kita memang harus mencari jalan sendiri juga kadang. Gimana untuk budaya?

di Indonesia itu bener-bener rampan untuk menyadari bahwa pola pikir open source itu bisa menyongsong masa depan yang mana ya bukan satu aja di Nottingham, bukan satu aja di Chicago, bukan satu aja di Osaka tapi ada ya syukur-syukur 25 di Osaka, 25 di Nottingham, 25 di Chicago Tapi gimana nih untuk scale? Karena kita kalau melihat orang-orang dari Tiongkok, dari India, South Korea dan lain-lain kayaknya agak-agak tinggalan banget gitu. Iya.

Iya. Siapa nih yang mau? Kalau menurut saya pertama mungkin ini ya budaya baca buku kita itu sangat-sangat rendah literasi baca buku. Saya udah berbusa lah ngomongnya begitu.

Nah itu, tapi itu very fundamental di Jepang itu mereka sangat baca buku. Mereka diajarkan dari kecil itu. Ya anak saya sekolah gitu ya dari sistem pendidikan Jepang memang itu sangat diintegrasikan ke dalam kurikulum baca buku cari tahu sebelum bertanya.

Cari tahu sebelum bertanya itu adalah budaya yang menurut saya penting sekali. Kenapa? Karena kita diajarkan untuk siapkan diri dulu baru action.

Jadi tadi menyambung yang tadi disampaikan oleh Mas Har gitu. Kita kadang-kadang kan senangnya nanya dulu. menyerap segala informasi itu kadang-kadang gak di filter, kenapa? karena basic knowledge untuk memfilter analytical thinking untuk memproses informasi itu juga rendah menurut saya, jadi di era yang sangat banyak informasi yang tadi sudah disampaikan semuanya informasi bisa kita dapatkan tapi kalau tidak bisa dicerna, diproses, dianalisa dan akhirnya disintesa informasi itu tidak akan jadi apa-apa tapi begini loh Saz, anak anda tuh beruntung karena anda tuh meranggul budaya baca buku Jadi Anda ngajarin anak Anda untuk baca buku. Kalau Anda gak punya pemikiran kayak gitu.

Terus Anda tergantung guru aja di sekolah di Jepang atau apa. Masih ada kan kemungkinan dia gak baca buku kan. Iya bisa.

Karena memang pola pendidikan itu kan bukan hanya di sekolah ya. Pola pendidikan di keluarga, di masyarakat itu. It takes a village to raise a child gitu. Jadi memang secara koleksi. kita harus punya sistem yang siap gitu untuk mendidik generasi depan bangsa mungkin itu sedikit terlambat untuk generasi yang sudah pentas tapi, karena itu minat ya kalau misalnya orang udah di umur kita gitu ya memang dasar dari dulu kecil tidak suka membaca kita mendorong sekarang mungkin sedikit terlambat gitu tapi kalau misalnya kita bibitkan dari sekarang itu tidak terlambat, saya pikir 2045 kita punya bonus demografi yang baik, jangan sampai kualitas-kualitas SDM yang nantinya akan jadi bonus, bukan jadi bonus tapi jadi beban gitu.

Jadi gimana caranya kita harus mengingat sekarang. Ya. Terus Pak Kato, Pak Gita, saya juga pengen anak saya baca buku yang banyak. Anak saya bukan baca buku kalkulus, anak saya masih 2 tahun gitu kan. 8 tahun suruh baca buku mekanika fluida kan gak masuk. Dia baca cerita, dia baca kisah, ya tentu di UK kisahnya, ya kisah UK gitu kan.

Jadi dia tapi belajar etika dari situ, dia belajar tentang etos berpikir, tadi kita bicara scientific thinking. Itu di instil kebudayaannya terhadap anak kecil bukan dari buku pelajaran, tapi dari buku tentang kisah-kisah. Di UK itu ada kisah tentang, bahkan dibikin lagu gitu ya, lagunya itu mengingatkan orang kepada Black Death.

The Plague, itu kan. Jadi anak-anak dari kecil baca cerita tentang itu dia tahu gitu. Mungkin dari situ termotivasi untuk belajar bioteknologi segala macam.

Itu dari situ sebenarnya. Indonesia tuh gudangnya cerita sebenarnya. Banyak gitu ya.

Cuman saya belum melihat itu digunakan betul-betul sebagai ornamen untuk menginstil etos dari sebuah bangsa. Anak-anak tuh tumbuh menjadi orang yang berindonesiakan banget. di hati. Cerita itu sangat powerful. Tadi kita bicara sedikit tentang kirim orang ke luar negeri.

Anak-anak ini kan dewasa kirim ke luar negeri kan. Ngapain kita kirim orang ke luar negeri sebenarnya? Sebenarnya untuk memecahkan permasalahan bangsa. Memecahkan permasalahan bangsa karena ada masalah-masalah yang bangsa ini bisa pecahkan yang membuatnya bisa punya comparative advantage.

Bisa mendapatkan economical benefit. Bisa menjadi leading G4 country segala macam. Kita butuh expert seperti itu. Saya masalahnya, masalahnya itu hanya seorang kakak kecil di mesin besar. Tapi permasalahan bangsa itu interdisipliner.

Kita mesti bikin semacam kekuatan spesial dari ilmuwan Indonesia. Katakanlah tahun 2024 kita butuh 100, 1000, mungkin 1 juta. Tapi orang-orang ini harus dilatih untuk menargetkan masalah spesifik.

Dan masalah ini interdisipliner, mungkin mereka bisa ke grup yang Mbak Sasti bicara tentang bioteknologi disitu, mungkin ke Mas Harbicara komputer sains Tapi permasalahan apa yang dihadapi, oh masalah tentang geothermal energy di Indonesia, itu memanggil bioteknologi, memanggil komputer sains Oh masalah biodiversitas yang memang gudangnya ada di Indonesia, kemarin saya pulang dari Makassar, Walasea itu yang adalah cikal bakal Darwin theory Itu Adanya di Indonesia sebelah timur, di NTB, di Makassar, Mahara, segala macam. Tapi kita belum mengkultivasi itu. Karena balik lagi ke epistemologinya, cara berpikirnya belum ke situ. Jadi kita sporadik aja, ngirim atau gak kirim, atau ngirim harus balik, atau segala macam gitu ya.

Tanpa ada semacam kepemimpinan yang jelas, problemnya yang mau diselesaikan seperti apa, visinya seperti apa, kebijakan lintas kementeriannya seperti apa. yang mendukung pendanaan infrastruktur sehingga mereka bisa kembali. Seperti itu.

Kalau ada narasi yang kuat, ilmuwan Indonesia hebat-hebat. Cuma mereka gak dapat kesempatan. Kalau saya kan privilege aja gitu kan. Beruntung. Masar juga.

Tapi kalau mereka diberikan kesempatan, diberikan narasi, diberikan agenda yang kuat, dan semua instrumen di belakangnya mendukung, saya rasa itu bisa diterima dengan baik. Saya kalau inget cerita kalian masing-masing tuh sempet ngalamin episode yang mana IP kalian tuh gak oke banget gitu loh. Iya kan?

Common denominator kalian tuh itu. Tapi gimana bisa bangkit gitu. Semester pertama aja kalau saya pak. Saya semester pertama bukan sampai bagus sampai bagus. Sama nih sama.

Commentarernya sama. Tapi gimana bisa bangkit dari situ kan. Jadinya kita tuh kadang-kadang terjerumus atau terpojok.

Tapi sebetulnya jangan begitu. Kita bisa keluar dari lubang jarum ini. Gimana?

Kalau ambil cerita saya, tapi saya yakin similar, I think we are influenced by our environment. Jadi kadang ketika kita put ourselves dengan roommate-roommate yang 4.0 GPA, atau dengan Kalau saya pikir 2,7. Hahaha.

Saya pikir itu yang 4,1. Jadi, mungkin balik lagi tadi nyambung-nyambung ke sana kita gimana mau scale ya. Ya.

Saya pikir ketika kita bicara banyak diaspora yang sudah di Amerika, tapi kita untuk scale mungkin harus pakai power of two, right? Dari 2 ke 4, dari ke 8 gitu ya, moga-moga ya. Tapi, Ya saya rasa, jadi yang saya lihat memang balik lagi informasi nggak mengalir, jadi mungkin di environment mereka, mereka tidak melihat gitu, opportunity-opportunity yang ada.

Di luar sana, tentu yang tadi saya bilang informasi ada tapi harus Google, jadikan itu extra effort gitu kan Di akhir hari ini, saya inget mungkin di masa yang mungkin jaman saya 97 Saya tahu banyak lulusan SMA ke Amerika gitu kan, tapi kalau ditanya kenapa Amerika? Nggak ada jawaban logika sebenarnya, semua ngomong ikut-ikutan aja Jadi pada suatu titik ketika informasi itu sudah standar, sudah ngalir dan lain-lain, jadi kita bakal reach certain scale ketika ya kita istilahnya banyak siswa ikut-ikutan aja, dalam arti in a positive way gitu ya, menurut saya gitu, tapi kalau bicara, jujur tentu ketika kita mau scale, mau tidak mau, kita harus ada top down support ya, yang tadi seperti dibicarakan gitu, mau-mau dari pemerintah, dan kita saya sih optimis karena sudah melihat pemerintahan in the last 10-15 tahun, saya pikir kita bergerak ke arah yang benar, meskipun sedikit tapi menurut saya kita bergerak ke arah yang benar seperti contoh kan yang waktu itu saya bilang, saya waktu itu ketemu data ini cuma gak ketemu lagi kayak jumlah jumlah penduduk PhD dalam STEM di AS berdasarkan negara dari 1960, 1970, 1980, 1990 kita bisa melihat contoh Tiongkok gimana dari gak ada di top 10 sama sekali, itu kan pasti dari ada semacam top down support tidak kira-kira ada isu politik, tapi ada top down support yang bagus saya pikir saat ini juga misalnya investasi dalam AI, machine learning, itu top down support yang jelas saya pikir saat ada top down support, saya rasa balik lagi banyak diaspora-diaspora yang tentu akan terjun membantu gitu, tapi istilahnya mobilnya itu harus dibikin atau busnya harus dibikin dulu pemerintah lalu diasporanya tinggal ikut join busnya gitu, tapi kalau diasporanya disuruh bikin busnya ya itu tentu berat gitu ya, saya rasa ya itu satu elemen untuk skill. Saya mau jemput poin-poin kalian deh ya, bahwa gimana Indonesia ini kan bukan negara kecil ya, Sebentar lagi kita ekonomi terbesar nomor 4 atau 5. Sebentar lagi tuh ya 22 tahun lagi. Sebentar tuh untuk anak-anak yang masih nonton kartu network. Kenapa gak dibikin aja?

Kopassus, kopassus. Special forces. Iya kan? Masa sih kita gak bisa mikir, yaudah kita bimbelin aja nih.

Saya selalu ngomong, ya sempet ngomong sama temen-temen yang lain juga. Kita bimbelinnya 1 juta. anak-anak muda setiap tahun.

Iya kan? Untuk negara dengan 280 juta kayaknya bukan gak mungkin lah berapa persen dari 1 juta ini belajar biologi, computer science fisika dan lain-lain. Tapi bener-bener terstruktur gitu loh.

Iya betul. Dan ini mungkin perlu political leadership bukan hanya di pemerintahan aja. Oke di seluruh ekosistem sampai di rumah tangga. Betul, harus sampai ke situ pak karena kalau gak akan menyentuh ya. Dan saya benar-benar berpikir kalian tuh adalah dalam posisi yang tepat untuk menunjukkan kepemimpinan karena Anda telah menunjukkan diri sendiri ya kan untuk bisa masuk ke posisi itu yang mana gue aja dari KRI udah bisa ngajar sekarang di masing-masing kota dan ya masa lu gak bisa?

Caranya begini nih, nah bahkan gue sederhanain lagi nih, dulu gue mungkin makan waktu 7 tahun untuk bisa sadar bahwa apa yang gue lakukan selama 7 tahun itu salah, nah ini gue bikin 3 minggu. Iya. Gimana tuh? Dari pengalaman. Silahkan.

Dulu saya pernah tanya mengenai IPK itu pak, saya kan IPK nya 2,69 tuh. Ibu saya lah. Saya upgrade nya ke 2,7. Kenapa kamu IPK nya jelek?

Ya itu kan karena saya di ITB, kalau saya di UGM kan. Hati-hati. Tapi itu pertanyaan penting. Bagaimana Anda melihat para pelajar ini? Orang Indonesia yang mau diberikan investasi agar darinya keluar kompetensi baru yang memimpin Indonesia 2045 menjadi G4 ekonomi.

Mereka harus meningkatkan kapasitasnya. Karena itu salah satu dari tiga pilar knowledge based economy. carrier of knowledge orangnya Tapi mereka juga harus dilihat sebagai agent for knowledge exchange, itu pilar kedua knowledge chain nya. Selain ditingkatkan universitasnya, itu baru 3 pilar knowledge base. Orang yang dikirim ke luar negeri harus bisa menjadi jembatan untuk pulang.

Ada kemarin diskusi tentang beasiswa LPDP segala macam. Nomor satu saya bilang, orang yang harus taken contract sebagai consensual adult harus menepati kontrak itu. Kalau kontraknya harus pulang, harus pulang ya dia harus pulang. Itu masalah bukan masalah ideologi, itu masalah Menyokap orang tua untuk mengikuti kontrak Tapi poin saya adalah, belajar dari orang Cina Mereka pada tahun 1970-an kira-kira, mereka juga bertanya gitu Saya kirim orang jutaan yang balik cuma ratusan ribu, gak balik modal dia bilang Tapi sekarang mereka adalah kekuatan yang paling besar di luar AS dan Amerika Selatan dan Eropa Jadi permasalahannya adalah balik modal lengkap Itu permasalahan bisnis, itu permasalahan return of investment. Saya rasa Indonesia bisa sedikit berpikiran jauh.

Ada beberapa yang harus dikuatkan posisinya agar dia bisa menjadi jembatan. Ngomong-ngomong tentang jembatan, diaspora pun sekarang punya peran. Seperti tadi Pak Gita bilang, perannya itu adalah menjadi jembatan tersebut.

Untuk perkembangan di Indonesia supaya bisa sustainable. Itu gak bisa, ini saya bilang superman effect gitu ya, superman kompleks. Kita mengharapkan Mbak Sasti pulang ke Indonesia seorang diri, menyelesaikan seluruh permasalahan ini.

Gak begitu cara mainnya. Saya bagus apalah gitu, banyak yang profesor yang lebih bagus. Saya hanya seorang kecil.

Tapi kolaborasi yang sustainable itu harus bersifat institusional. Jadi para diaspora ini harus bisa meyakinkan institusi dimana mereka berada, bahkan negara dimana mereka berada untuk mendekat ke Indonesia, daripada ke Chile, daripada ke Meksiko, daripada ke mana-mana. Dia harus mendekat ke Indonesia, itu perannya ada di situ.

Nah kalau ini gayung bersabut seperti tadi Har bilang tentang Indonesia government, shipping in, itu baru bisa sustainable. Jadi saya ini pulang ke Indonesia banyak sudara sekarang. Pak Gita, saya kemarin ke Makassar, ke IPB, ke UGM, ke mana-mana, ke Pemprov, banyak saudara. Saya menyamakan denyut nadi dengan rekan-rekan di sini supaya tahu kira-kira masalah mereka apa, mau ke mana arahnya. Lalu kita kumpulkan universitas-universitas di UK agar mereka bisa memberikan kontribusinya langsung.

Di konsorsium yang kita bangun dengan 4 universitas Indonesia dan 3 di UK, itu kita yakinkan... agar universitas di UK itu memberikan kontribusi yang bergantian pemerintah Indonesia yang menjawab dengan baik mereka menemukan 44 juta rupiah untuk memperoleh universitas Indonesia untuk berkolaborasi dengan UK kita tidak mengambil uang sama sekali tapi kita mengikuti masalah masalah itu harus menjadi keinginan Indonesia maka itu diaspora perannya adalah untuk talenta yang diperoleh juga jadi institusi-institusi di seluruh negara Saya gak ngerti tentang EV, saya ngerti tentang geotermal segala macem. Tapi ada universitas di UK yang ngerti tentang itu.

Nah kalo jembatannya makin lama makin tebal, Sustainable Development Management, jadi seperti itu. Dan mereka yang dikirim pun tau mau dikirim kemana, karena jembatannya udah ada. Oh kalo bioteknologi pokoknya gue ke Osaka aja deh.

Computer Science pokoknya ke ini aja. Ya, seperti itu. Salah satu contoh waktu Pak Se pertama kali datang ke Departemen juga Pak.

Saya adalah pelajar Indonesia pertama. sekarang Indonesia nomor 1 dari jumlah jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di departemen kami itu 19 ya? 19 10 diantaranya 10 diantaranya orang Indonesia jadi berarti daripada saya pulang kalau saya waktu itu daripada saya pulang waktu itu saya tanya ke dekannya SITH Prof. Nyoman waktu itu daripada satu sasti pulang lebih baik stay di sana untuk bisa bikin 10, 20, 30 100 jadi itu adalah salah satu strategi untuk Membuat jumlah itu lebih banyak. Kita perlu. Tidak perlu 100% pulang.

Kita perlu beberapa untuk menjadi. Agen tadi ya. Bisa juga untuk.

Jadi hub. Bisa juga untuk itu. Menjadi tumbuhan perintis gitu. Anda ngeliat gak sih. Mungkin gak sih untuk.

Orang Indonesia ngajar seperti Anda. Oh mungkin sekali. 100 orang gitu ngajar di Osaka. Nah itu keinginannya juga dari Indonesia mungkin atau tidak mungkin tergantung negara ya.

Kalau Jepang itu kan sangat tertutup untuk orang asing dibandingkan berbagai negara Jepang masih termasuk lebih tertutup. Tapi mereka keinginan ada untuk membuka. Tapi apakah itu realistis untuk 100 orang Indonesia mungkin belum.

Kalau Jepang bukan karena orang Indonesia aja karena basically memang kulturnya seperti itu. Tapi kalau misalnya di negara-negara lain yang memang sangat membuka menurut saya kita harusnya bisa. Kendingan saya bukan untuk ngusir orang Indonesia keluar dari Indonesia. Tapi justru kalau ada seratus orang ngajar. Itu kan bisa puluhan ribu orang Indonesia diajarin.

Betul. Dan bisa pulang dan membangun negara kita. Tapi itu tadi seperti Bagu sampaikan.

Kita selalu berpikir jangka pendek. Kita pengen dapat fast return. Sementara research.

dan banyak sekali investasi yang mungkin gak balik, tapi kalau kita gak mulai berpikir untuk berinvestasi ya gak akan pernah kita mulai dan gak akan pernah kita leading tadi balik lagi dari pengalaman, Cina itu kan ada beberapa tahap pak, mereka gak tiba-tiba sekarang jadi bangun universitas yang kelas dunia, kita lihat tahun 70-an kenapa mereka harus kirim ke luar negeri karena untuk bisa train, untuk bisa bikin universitas kelas dunia mereka butuh orang-orang yang pernah kerja atau pernah berkarir pernah mengalami gimana caranya untuk ngebangun universitas kelas dunia tuh kayak gimana sih gitu gimana bisa tau kalau hanya dapat pengalaman 2-3 tahun kuliah gitu as a student beda banget sama kalau kita berkarir di universitas tersebut dan berkontribusi di dalam society as an expert gitu nah dari situ mereka kan rame-rame boyongan pulang bangun universitas di sana sekarang mereka gak perlu lagi kirim segitu banyak orang ke luar negeri karena universitasnya, ekosistemnya sudah siap berarti ada dua langkah bukan cuma kirim orang balik, kirim orang balik gitu tapi harus ada satu proses yang memang butuh long term tapi ya kita harus mulai berpikir dalam masa panjang karena kita gak akan bisa selalu membuat program jangka pendek nanti 5 tahun kemudian bikin lagi program jangka pendek lainnya terus akan ada di titik yang fundamental gak pernah berkembang, meningkat, atau mengupgrade gitu Anda ngeliat atau kalian ngeliat gak sih bahwa proses mendidik di Indonesia itu terjebak dengan proses politik? Oh yes. Dan mohon maaf kita tuh gak pernah mau ngobrol mengenai politik tapi ini untuk pendidikannya itu harus dilepas kalau menurut saya. Iya kan? Karena pendidikan itu perlu pemikiran jangka panjang sekali.

Tapi kalau kita terjebak dalam proses yang siklusnya itu per 5 tahun sulit kan? Gimana nih? Siapa yang mau?

Saya harus mengatakan dulu, saya memutuskan untuk, sangat sulit Pak Gita untuk seorang wanita bukan hanya orang asing untuk menjadi perisai di Jepang. Sangat sedikit rektor wanita di Jepang. Gila, ini mah gila nih.

Berbanding dengan Indonesia, ITB, UGM, UNPAD, Anda benar-benar adalah model rol untuk anak saya. Dan budaya Jepang itu mohon maaf agak-agak syuvenistik, ya kan? Ya, agak-agak.

Kami adalah contohnya di Indonesia. Manajemen riset di UK itu salah satu hal yang kita ingin tularkan walaupun ada buruknya. Bukan hanya sekedar riset koraborasi.

Tapi seluruh ekosistemnya bisa diambil yang baik dan ditolak yang buruk. Di UK untuk riset, saya nggak tahu kalau di Jepang atau di Amerika, tapi kelihatannya sama di Amerika. Pemberi dana riset, pelaku riset.

dan yang memutuskan kemana arah riset itu harus pergi dan asesmen kualitas riset itu seperti apa itu biasanya tiga bidang badan yang berbeda kenapa? itu adalah esensi demokrasi disitu demokrasi itu check and balance oke, UKRI, UK Research and Innovation itu gak melakukan riset dia cuma pegang duit yang melakukan riset segala macem itu universitas dan hal-hal lain Indonesia harus pergi ke arah yang mana, saya bukan bilang UK itu bagus, karena di China nggak begitu. Dan sukses. Chinese Academy of Science itu judge, jury, executioner. Bisa sukses nggak?

Bisa aja. Cuman kita ini negara apa? Itu poinnya ada di situ. Itu pertanyaan ideologis yang harus dijawab dulu. Kalau kita konsen dengan demokrasi, maka politisasi riset dan perguruan tinggi itu sangat rentan kalau tidak ada check and balance.

Di UK... Saya mau naik pangkat, itu prerogatif universitas. Saya mau jadi rektor, itu prerogatif universitas. Di Indonesia, ada sedikit banyak konflik of interest. Karena cara kamu berkembang melalui rangka akademis Diterima oleh pemerintah sentral Apakah itu buruk, apakah itu baik Belum tentu sama dengan konteks di Inggris Inggris itu universitasnya cuma sedikit Indonesia universitasnya ada 4.000 Jomplang kualitasnya, dibiarkan jalan sendiri bisa gak?

Belum tentu Gitu ya Pemerintah sentral, mungkin berguna untuk konteks Indonesia Tapi kita harus sadari bahwa tidak mungkin Maksudnya gimana ya, seperti Turki voting for Christmas. Untuk akademisi Indonesia untuk menyuarkan hal-hal yang sifatnya bertentangan dengan insentif mereka sendiri ketika berada di dalam universitas. Karena karir mereka bergantung kepada memberi dana hibah dan kontrol.

Jadi disinilah letak potensi politisasi edukasi. Kalau misalnya seperti Pak Gita bilang, ada rencana yang di luar. Periode yang 5 tahun segala macam supaya ada grand naratif yang tidak diganggu-gugat walaupun Pak Menteri atau Bu Menterinya ganti ataupun Presidennya ganti. Baru kita bisa mengarah ke demokrasi.

Yang jelas anggaplah Tiongkok ya. yang bisa dianggap secara ideologi itu sebagai otokrasi. Tapi mereka bulet semenjak 78-79, mendemokratisasikan talenta. Memeritokratisasikan talenta.

Jadinya interseksi antara power dengan talenta itu jelas. Jadi itu mungkin paradoks mengenai apa yang sudah dilakukan oleh Tiongkok. Banyak negara yang ngaku sebagai demokrasi.

Tapi mereka tidak mendemokratisasikan talenta, justru mengotokratisasikan talenta. Atau menderitokratisasikan talenta. Betul sekali.

Iya kan, gimana Har? Agak semakin ini ya. Iya saya loncat-loncat dikit, seru juga soalnya tadi kita bahas banyak term-term ideologi, filosofi ya.

Saya, saya, terlalu berat buat saya juga. Jadi saya mungkin turun dikit ke pragmatik karena tadi Pak Gita mention Kopassus lah ya. Jadi kan kalau kita lihat in general Kopassus kan yang bimbingan belajar, nyamung ke bimbingan belajar berarti kan intinya semua Kopassus harus bisa push up. Semua Kopassus harus bisa punya stamina kuat. Jadi dalam arti kita analogikan berarti...

Harus bisa Inggris, basic skill, deep science. Tapi akhirnya untuk bisa sukses, Mungkin ada yang jadi sniper. Untuk sniper harus latihan special. Atau bomb diffusing dan lain-lain. Jadi itu menurut saya, Jadi ada generalisasi dimana Itu role pemerintah untuk kayak ya, terus push, semuanya bisa bahasa Inggris, semuanya bisa sains dasar, dan lain-lain yang tadi Pak Gita bilang tentang bimbingan belajar nah tapi menurut saya ketika kita bicara per area spesialisasi disinilah menurut saya peran diaspora penting dan harapan saya adalah ini Mas Bagus ini hebat banget capek-capek dia yang menggulung semua orang gitu ya jadi kan intinya mungkin Mas Bagus yang menggulung semua orang istilah celahnya bagaimana sih bekerja sama dengan UK gitu, karena kerjasama dengan UK mungkin beda dengan US, dengan Jepang.

Jadi harus spesialisasi negara, belum lagi spesialisasi area. Jadi yang waktu itu saya juga bilang, kalau kita nggak bisa spesialisasi, tapi kita punya birokrasi, policy, di dalam mempersiapkan siswa ini adalah generik, dan kita nggak bakal bisa skill. Mau kita siapkan sebagus-bagusnya, juga belum tentu bisa masuk celahnya, bagaimana masuk celah ke computer science. Waktu itu kita sudah bicara tentang, bahkan di computer science, termaksud di area lainnya juga, kan ada sub-sub bidang lagi.

Yang saya waktu itu cerita, untuk masuk ke machine learning, ke systems, ke teori, itu persiapannya beda lagi. Jadi balik lagi ketika kita bicara mungkin politisasi atau birokrasi, mungkin yang saya lihat, Jadi kadang ada policy yang dibikin sama semua, jadi akhirnya kita gak bisa tembus ke spesialisasi itu atau bisa skill ke spesialisasi itu. Itu yang saya lihat gitu ya. Tapi ketika kita bicara Birokrasi juga, saya juga kadang bingung untuk pinpoint problemnya gitu ya, karena ketika kita bicara semua pihak, saya pikir mereka semua orang baik gitu, tapi mungkin karena birokrasinya terlalu, istilahnya ada grup yang ingin maju, tapi mungkin grup lainnya tidak supportif gitu, mungkin ada isu-isu, tapi kedua sisi, semua sisi sebenarnya, saya merasa mereka orang baik, tapi makanya di sana, Saya bilang mungkin ada sedikit harus ada top down push.

Ya. Ya, you know, enough, apa, dispute dan lain-lain. Oke, let me pick up on this.

Ya. Kalau kita sangat tergantung dengan top down, it may take a long time. Iya kan?

Dan kalian tuh contoh dari yang tidak tergantung dengan top down approach. Udah serut inisiatif. Kalian telah mendemokratisasikan proses. Dan kalian tuh, Ya saya pengen yang nonton ini sadar bahwa untuk dapet tenur di masing-masing universitas yang ada itu Hampir tidak mungkin, dan kalian sudah mencapainya.

Dan kalian tuh gak terjebak dengan birokrasi atau politisasi. Kalian keluar dari situ, sekarang yang saya mau cari tahu adalah gimana untuk ini bisa di scale up. Dengan proses yang lebih demokratis.

Gimana untuk kita keluar dari jebakan ini, ya syukur-syukur yang ini bisa berkembang secara positif, top-down approach-nya. Tapi saya merujuk ke apa yang Anda sampaikan beberapa waktu yang lalu, 80% dari pendanaan untuk S3 di Amerika untuk STEM, itu dari institusi pendidikannya, bukan dari pemerintah. Jadi itu memberikan optimisme untuk siapapun yang minat. melihat google, minat baca buku, minat belajar untuk bisa dapet pendanaan, ini kalau menurut saya yang harus dipatahkan pertama kali baru kita bisa mengkopasuskan dengan budaya-budaya leadership yang ada di kalian saya sedikit pengen tambahkan karena tadi disampaikan juga sudah sama mas Bagus, Pak Gita juga sudah bilang bahwa kita butuh stability dan predictability Apapun ide yang terlahir dari round table ini dari kita ngobrol-ngobrol itu sebetulnya sudah tercetus. Over and over and over.

The point is we're always coming back ke ide pelaksanaan awal. Abis itu nanti ide yang sama dalam bentuk format atau program yang berbeda balik lagi ke ide mentah lagi. Jadi salah satu menurut saya privilege yang luar biasa sebagai peneliti di Jepang adalah a sense of stability itu luar biasa.

Ecosystem yang stabil, yang certain, dan productive. Predictable, baru dari situ kita bisa bikin long term plan Tanpa itu Everything is gonna be a mood point Akhirnya tetap aja akan mentah lagi Siapa yang akan bikin Satu sistem yang stabil ini Apakah kita rely on Misalnya government yang selalu berganti Dan Stabilitasnya saat ini masih sulit Dalam hal program-program yang akan terus Diikuti secara konsisten Secara stabil, atau kita dari Grassroot initiative Hmm Misalnya udah dari kampus, dari kampus misalnya akademisian form misalnya kayak seperti union atau society kita sepakat gitu akan menerapkan sistem yang sifatnya long term. Kalau memang ekosistem stabil itu tidak bisa diraih apapun program yang akan dicapai sekarang nanti bisa jadi akan berganti atau dimentahkan atau completely gone dan bikin lagi program yang baru lagi 5 tahun lagi 10 tahun lagi. Dan kita akan terus berjalan di tempat gitu.

Gini loh, saya punya naluri ya. Kalau Anda udah bisa membimbing 100 orang Indonesia, saya punya keyakinan, top down-nya bakal kejadian. Karena orang pasti bakal, loh-loh-loh, bisa.

Gue kayaknya ketinggalan nih pada begini tuh nanti. Terus hari ini, tiba-tiba dia membimbing 50-100 di University of Chicago. Dan dia targetnya sampai 100. Bagus ngebimbing 100 orang Indonesia.

Saya gak tau gimana analurinya kalo udah masing-masing dari kalian bertiga udah bisa ngebimbing 100 orang Indonesia masing-masing. Jadi itu barang, policy will follow. Iya, iya.

Iya kan? Kita bisa kerja dulu sendiri buktikan. Betul. Jangan menganggap remeh kontribusi dari seorang individu.

Bukan kepada kita maksudnya ya. Saya tadi bilang memang kita small cock in a big machine, tapi seorang individu, saya merasa sekarang there's great power. There's absolutely great power.

Bola salju nya udah terasa. Bola salju nya udah terasa ketika saya merasa pemerintah Inggris. mulai mendukung saya melalui representasinya di Indonesia. Ketika kita hadir di Makassar, Jawa Barat, segala macam, membangun jembatan dengan bukan hanya kementerian, tapi pemerintah regional.

Mereka hadir di situ dan mereka mendukung 100%. Itu kekuatan. Jadi di sana itu kita bisa melakukan peran-peran yang non-tradisional akademik sebenarnya. Bukan hanya untuk merespon kemungkinan yang sudah ada. Tapi juga menciptakan opportunity baru baik di bidang pendanaan.

Seperti yang saya bilang. Saya di konsorsium yang kita tadi sebut, UKCIS, di Indonesia tadi ada pendanaan dari LPDP. Untuk sisi dari Indonesia. Itu dengan otomatis menekan pemerintah Inggris. Untuk memberikan matching contribution.

Sehubungan dengan pentingnya peran Indonesia bagi Inggris secara keseluruhan. Itu adalah pertandingan. Influensi dan persahabatan dengan negara tetangga itu mahal harganya. Dosen di universitas Inggris itu ketika dia di Indonesia dia bukan hanya bagus pemegang paspor hijau bukan. Bagus ini adalah Universitas Nottingham itu sendiri.

Hari ini adalah Universitas Chicago itu sendiri. Ketika mereka melihat kita, ini orang Indonesia. Mereka adalah entitas Brita. Jadi ketika kita di sana, kita bisa melakukan hal-hal yang secara tradisional itu polisi luar negara, burokrasi tidak bisa ditentukan. Karena mereka bukan bagian dari.

Tapi kita bagian dari situ. Kita coba untuk memajukan interest Indonesia di situ supaya soft power Indonesia itu makin meningkat lewat diplomasi sains. Diplomasi sains ini adalah hal baru yang baru saya sadari sebenarnya Pak Gita. Jadi saya gak pernah berpikiran ngapain riset polisi demokrasi, diplomasi. Pada waktu Yuki Cis dibentuk, menteri dari kedua belah pihak hadir disitu.

Karena isunya bilateral disitu. Jadi God knows, di masa depan kita bisa emulasi hal-hal yang lebih besar lagi, bahkan di skala global. Ya, jadi ini menarik sekali ya ketika kita bertemu diaspora dari... berbeda benua dan lain-lain, baik lagi approach-nya beda-beda jadi saya terkesan sekali dengan UK, maksudnya mas bagus bisa masuk ke bahkan mendapatkan berkat dari pemerintah UK di Amerika, saya gak bisa masuk ke sana itu sangat berdasarkan fakultas, sangat terang, fakultas membuat pilihan fakultas individu membuat pilihan makanya jadi approach-nya yang saya pernah ceritakan ini sangat terang Jadi tadi yang seperti Pak Gita bilang, oh kalau bisa saya bimbing 100 orang, gak usah saya sebenarnya.

Banyak sekali fakulti-fakulti di seluruh top 100 universitas, Anda bisa mencari mereka. Siapa pun di dunia sebenarnya bisa mencari mereka dan bilang, hey saya mau kerjasama. Jadi ini makanya yang tadi saya bilang menarik sekali.

Ini susah banget ya untuk setiap negara beda, setiap bidang beda. Tapi ya itu PR berat kita gitu untuk bisa scale, untuk jadi banyak spesialis-spesialis itu. Lalu saya juga ingin, oh saya tambahkan tentang scaling ya. Tentu kita bisa gitu, walaupun let's say tanpa bantuan dari top-down dan lain-lain, kita bisa scale tapi scalenya capek-capekan. Istilahnya yang saya bilang, saya balik lagi orang yang cukup pragmatik, jadi prosesnya, pay attention di detail strateginya ya, contoh kita ngomong lah, kenapa gak banyak siswa yang bisa masuk STEM PhD di Amerika gitu balik lagi, expertise saya hanya di computer science karena untuk bisa masuk di luar ambil kelas-kelas pas S1, itu harus melakukan riset, 2 tahun 20 jam per minggu, untuk bisa masuk itu masuk mungkin top 20, top 30, untuk masuk top top ten, top one, Berkeley itu, mungkin itu harus 4 tahun.

Jadi kalau kita pay attention to those details, kita butuh policy-policy seperti misalnya MBKM. Karena yang saya lihat 10-20 tahun lalu, siswa gak mungkin ada waktu untuk bisa memikirkan sesuatu di luar kelas. Itu udah sibuknya gila-gila urusan kelas. Jadi pas saya dengar MBKM, saya secara dari diaspora spesifik di Amerika, saya happy banget. Sekarang saya cuma kuping, ganti pemerintah, ganti menteri, saya gak tau nih nasib siswa-siswa di kampus bagaimana gitu.

mereka tetap di support, diberikan, bisa mengambil SKS di luar apa, bidang-bidang mereka atau bisa melakukan riset dan lain-lain nah disitulah Pak Gita, kita butuh bantuan sedikit apa, bantuan dari kaki baik di kampus, baik di pemerintah untuk mendukung hal-hal seperti itu gitu, kalau enggak ya balik lagi yang seperti saya cerita, you know, 5-10 tahun lalu, sangat berat gitu, banyak yang Gak mungkin, pada akhirnya waktu itu komoditas yang terbatas. Jadi walaupun teman-teman itu ingin, ingin bercita-cita lanjut luar negeri. Kalau sedangkan pada saat yang sama dia harus bisa lulus di universitas mereka, S1 dan lain-lain. Itu berat untuk mereka. Jadi kita butuh mereka semua.

Sedikit soal grassroot initiative. Pak Gita menyampaikan bahwa individuals ya, contribution itu penting tapi wadah juga penting nah kita sesemua diaspora di seluruh dunia ini sebenarnya udah ada wadahnya Pak namanya Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional I4, kita punya pengurus di masing-masing region di seluruh dunia global, jadi masing-masing memang sangat aktif, ada individual-individual yang aktif, tapi untuk kita berpikir ke skala global, ini harus dikumpulin kan, orang-orang yang saat ini membuat maksimum individual effort gimana kita bisa nanti bersatu dan amplify jadi saat ini udah ada lebih dari seribu orang diaspora bergabung seperti yang kita-kita ini ada banyak Pak sebetulnya, masing-masing punya kontribusi yang nyata di bidangnya masing-masing aktif gak pembicaraannya? aktif, kita punya kita punya ini, kita punya organisasinya ilmuwan diaspora dan kita punya member juga di Indonesia, jadi grassroots initiative collaboration itu sudah terbentuk Gimana dari seribu kita bisa convince another 2000, 3000, 5000 yang ada di luar sana untuk mau bergabung.

Karena gak semua ilmuwan diaspora itu juga mau fokus ke Indonesia kan. Ada yang benar-benar fokus ke risetnya masing-masing, sudah menetap di luar negeri, dan dia continue untuk karir pasnya di luar negeri, gak mesti berkontribusi ke Indonesia atau bekerja sama dengan Indonesia. Ada juga yang demikian. Nah kita perlu nih terus gitu ya mengajak teman-teman supaya momentum itu bisa ada, bisa terjalin. Kenapa saya bilang demikian?

Karena kadang-kadang melihat satu problem nasional dari kacamata global, itu sangat powerful. Seperti saya melihat misalnya saat ini kita punya masalah tentang prevalensi prediabetes yang luar biasa tinggi. Ini Indonesia tidak sadar kalau ini mungkin akan menjadi time bomb yang luar biasa.

Dan effort ke situ dilakukan... Makanya jangan makan nasi. Betul, betul. Sama dessert.

Betul, itu effortnya seperti itu. Masing-masing kementerian punya program yang sangat bagus. Tapi tidak lintas kementerian. Tidak multidisipliner. Kita belum mengaitkan misalnya.

Kenyang itu tidak harus nasi. Yang program yang ada mungkin di kementerian. Kamian, misalnya di Bapanas.

Dengan kementerian kesehatan punya program. Nah kadang-kadang kita dari luar ini bisa melihat. Ini harusnya nyambung gitu.

Dan di dalam kadang-kadang karena terlalu fokus dengan. Apa namanya sekat-sekat. Birokrasi itu sulit gitu.

Nah kita kalau di luar bekerja sama terkadang itu memungkinkan sekat itu lebih luas, lebih mengalir sehingga kerja sama interdisipliner itu bisa terjadi. Itu salah satu effort yang saya lagi coba sebagai ilmuwan dari luar negeri mengajak kementerian-kementerian terkait duduk bareng. Saya mau tarik lebih jauh nih, Anda ngerasa bahwa ini kayaknya oke banget kan percakapannya kan. Tapi kalau yang disini nih ngajak yang disini, yang di Indonesia, gimana tuh percakapannya? Ini kan di kalangan diaspora aja kan?

Iya. Tapi dengan ilmuwan yang ada di Indonesia, pernah gak dilakukan percakapan? Iya, sangat intensif justru.

Mereka kerinduannya akan bagaimana kita bisa berkoneksi ya. Kadang-kadang kan suka ada gap untuk misalnya mereka pengen mengontak ilmuwan yang punya ekspertis sesuatu gak tau gitu. Tapi kita punya database. Jadi tinggal kontak satu pintu, database ilmuwan Indonesia. Ada keterbukaan?

Ada keterbukaan justru itu adalah. misi kita adalah untuk mengeningkatkan konektivitas ilmuwan Indonesia dimanapun berada. Nah itu yang akhirnya dimanfaatkan juga saat ini sudah banyak kementerian-kementerian stakeholders terkait menyadari ada wadah ini, mengakses kita, mengajak kerjasama dan kontribusi, responnya sangat positif. Jadi menurut saya kalau respon positif ini terus dibina, siapapun yang nanti akan jadi leadernya, nantinya akan ada terjalin satu konektivitas, kita bisa ngobrol bareng bagaimana... kekuatan diaspora ini bisa dimanfaatkan optimal untuk yang tadi bilang special forces, untuk bisa bikin program jangka panjang, dan kita bisa make sure the sustainability dari program tersebut.

Karena gini loh, kalau percakapan yang di kalangan diaspora ini keren banget. gak semestinya lebih keren daripada percakapan yang di dalam negeri tapi kalau yang ini menyambut, ini kan kolam yang bisa ngirim kan special forces nya kan, nah ini kalau menurut saya ini keren banget nih kalau ini bisa diamalgamasikan atau bisa disinergikan antara dua kelompok ini kan, yang selama ada keterbukaan sering kali dua kelompok tuh gak mau bicara karena tidak ada keterbukaan di salah satu atau di dua-duanya, nah itu yang saya mau coba ukur sudah ada keterbukaan ya kalau ini ranking 5 ini ranking 10, ini harus lebih terbuka untuk belajar dari sini kan, tapi kalau ini ranking 1, ini ranking 200 ya ini harus lebih bisa menunjukkan keterbukaan nah kadang-kadang saya tuh agak-agak bingung gimana nih? Sebetulnya peran diaspora disitu adalah untuk membuka pintu itu terkadang ada gap kultur ada gap komunikasi juga ada juga gap ego misalnya, contohnya gitu dulu sebelum saya masuk Jepang itu terus terang sangat Europe dan Amerika pengennya kerjasama sama negara-negara maju yang mungkin lebih dari Jepang atau setara gitu kan ya kenapa harus kerjasama sama Indonesia.

Pola pikirnya mungkin dulu tahun 80 ya awal 80 ketika Jepang sangat maju tahun 2000an mereka berpikir kerjasama sama kita itu lebih membantu. Jadi lebih ke assisting tapi gak ada mutual benefit. Nah sekarang Indonesia itu sudah punya banyak kapasitas gitu loh untuk bisa. Duduk dalam satu meja negosiat kita punya benefit dan itu Jepang mulai sadar saya berusaha untuk terus Merapatkan misalnya Jepang itu supaya mereka akan mengerti potensi Indonesia dan mereka kita itu adalah mitra yang sangat penting Untungnya Jepang sama Indonesia kan memang sudah akrab ya banyak sekali program-program yang sudah terjalin jadi tidak terlalu susah Sebetulnya untuk ikhlaq tapi yang saya pengen sampaikan adalah di Indonesia itu butuh kolaborasi interdisipliner itu Pak yang sangat terbatas gitu komunikasinya karena ego sektoral itu ada dan kadang-kadang kalau misalnya kita masuk dari kacamata betul silo seperti itu abadi betul dari zaman purba sampai sekarang selalu ada iya kan nah gimana kita bisa memberdayakan apapun yang ada saya melihat kita dari luar mengajak kolaborasi partisipasi itu responnya lebih baik daripada teman-teman dari dalam negeri berusaha untuk menyatukan Di dalam, dari dalam. Jadi mungkin itu adalah salah satu hal yang bisa kita coba gaungkan gitu ya.

Sebagai kita dari luar mengajak partisipasi melihat dari kacamata global bahwa satu tim. Ini kita di Jepang udah interdisipliner kita udah praktek kemi. Kita kerjasama saya food tech. Saya kerjasama sama human sciences sama juga medical doctor. Di Indonesia juga dong gitu.

Kementerian berarti bukan cuman kementerian terkait yang ini sama ini. Tapi harus bareng untuk kita bisa koneksikan. Untuk tadi problem driven.

Apa yang mau kita pecahkan bersama. Benang merahnya apa. Disitu ternyata misi-misi yang mereka ingin jalankan.

Itu sebenarnya kan sangat terkorelasi ya. Tapi masih mungkin belum terkoneksi. Saya mau tambahkan itu poinnya bagus sekali.

Dunia ini digerakkan oleh self interest. Kesan lagi. Pak Gita bicara tentang keterbukaan tadi.

Saya mau terbuka sama orang yang punya gunanya buat saya. Sedikit banyak ada itu. Ya kan? That's how business is done. Iya.

Oke? Permasalahannya adalah komunitas akademik itu gak punya konstituensi. Gak punya suara dalam politik. Oke? Berapa banyak ilmuwan Indonesia Mbak Gita bisa bawa, Mbak, sorry Mbak Sasti, bisa bawa ke Senayan.

Iya. Poinnya ke situ. Ya kan?

Saya, Keterbukaan betul antar komunitas itu sangat diperlukan. Saya mau melihat ada peran bagi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk bicara duduk bersama dengan Presiden. Mengatasi masalah-masalah praktis yang merupakan realm dari masalah sains seperti polusi, seperti segala macam. Kalau tidak, kebijakan kita akan reaktif dan lelapah. Indonesia ini punya comparative advantage yang sangat besar.

Indonesia adalah negara kepulauan. dari segi planologi, kewilayahan, kita mengambil Qiblat kontinental approach. Laut itu dilihat sebagai pemisah, bukan penghubung.

Seperti itu kan. Kebijakan, tadi dibilang makan nasi segala macam, suasana pada pangan. Itu masih belum menghormati Indonesia sebagai negara bahari. Di Sumbawa, 20 tahun terakhir, itu 20 ribu kali luas lapangan bola. ekvivalen hutan habis, karena ditanamin jagung.

Itu adalah isu saintifik di situ. Sungainya kecil, pendek, banjir, dll. Imigran yang bikin jagung di situ akan mulai mempengaruhi sosiologi yang membentuk madu Sumbawa dan peternakan Sumbawa itu tadinya sangat bergantung padanya.

Hal-hal seperti itu, kita harus punya narasi sendiri, sains menurut Indonesia. Bidang saya ilmu bumi, Pak Gita. Ilmu bumi itu berhutang banyak pada Kesultanan Jogja, pada Jawa Tengah pada waktu itu.

Jadi ketika para ilmuwan kolonial datang ke Indonesia, tangannya dituntun oleh ritualis, okultis, bahkan Kesultanan Jogja untuk mengambil tempat. mengambil data di tempat-tempat yang ada ritualnya disitu. Ketika konsepsi deterministic science seperti ilmu bumi itu mulai berlandaskan seismologi segala macem, orang-orang Jawa itu menganggap Volcano, Gunung Berapi itu entitas yang hidup tuh.

Dimana kegiatan tektoniknya adalah detak nafas. Nyanyi Rorokidol itu bukannya hidup di dalam laut, dia adalah laut itu sendiri. Ada kesehatan yang berat antara Kesultanan Jogja dengan proses geologis. Yang ini adalah cikal bakal ilmu bumi yang saya nikmati di Imperial College di London. Di Royal School of Mines.

Tapi dunia gak tau itu. Karena kita latah berkebijakan, kita gak tau bahwa konsepsi ilmu bumi itu berhutang banyak dari Indonesia. Orang bicara tentang medisi kanker baru, itu harus tau dari mana dia dapat alge-alge yang... Hidup di sekitaran coral reef.

Kemarin kita bicara ada berita tentang. Pulau yang mau dijual di New York. Di so to be. Tapi isu yang ramai di masyarakat. Adalah nasionalisme.

Bukan isu bahwa coral reef itu harus diperhatikan. Australia dan Indonesia. Itu dua negara yang coral reefnya sangat-sangat intact. Dan bagus.

The new medicine comes from there. Semua penelitian tentang bioprospek, kemudian kemudian kemudian dari Indonesia. Isu tentang social studies misalnya, Indonesia adalah tempat dimana ada 700 bahasa. Di NTT, NTB, itu adalah tempat dimana bahasa Austronesia itu bertemu disitu. Sangat sulit untuk membawa multi bahasa dalam satu umbrella politik stabil.

Saya pernah bilang bahwa Belgium punya 4 bahasa, ada vakum kekuasaan selama berapa tahun dari tahun 2010. Kenapa kita bisa dan kita tidak bagi ilmunya pada dunia? Ada brand kita sendiri, supaya kita tidak latah berkebijakan, kita atur negara kita sendiri. Kenapa kita konsentrasi pada land based electric vehicles?

Kita negara pulauan, kenapa kita tidak invest banyak ke perahu listrik? Atau short haul domestic aircraft in electric, seperti itu. sepanjang seru nih saya tambahin lagi saya again saya come dari bottom up nya ya the devil in the detail karena kan konsepnya bagus memang kalau bisa ilmuwan yang di luar yang di dalam negeri sebenarnya keinginan dari individu itu ada Tapi balik lagi, ini saya kasih contoh beberapa, saya yakin, Pak Sastie, Mas Agus, ada bahan bagus banyak cerita-cerita juga. Tapi saya kasih contoh ya, di Computer Science, kita mau research kolaborasi nih. Lalu saya baru visit satu universitas di Indonesia, bilang, Prof. Hayradi, actually kita ada funding nih dari rektorat nih, untuk bisa kolaborasi bareng.

Dan sekarang kita udah ada hubungannya, bukan sama saya, bahkan ada profesor Amerika Serikat di tempat lain tapi publish-nya harus di jurnal dan mungkin dalam satu tahun harus ada that's not how we work, right? jadi contoh misalnya computer science di Amerika kita somehow lebih ke conference dibanding ke jurnal, karena conference prestijnya lebih besar somehow historically, right? jadi langsung ya uang itu nggak bisa kepake nggak bisa support researcher berarti kalau gak ada uang gak ada waktu jadi as simple as that jadi yang saya lihat tuh banyak hal-hal semacam gitu jaringannya ada individu-individunya sangat bersemangat tapi balik lagi mentok-mentoknya yang tadi saya bilang gitu policy yang disejajarkan ke semua bidang gitu jadi gak ada fleksibilitas tidak ada alayan gitu saya gak tau sekarang tapi ini cerita 8 tahun lalu misalnya kayak sama gitu dana-dana funding di computer science, kalau kita di US, kita lebih banyak berpakaian untuk membayarkan researchernya.

Kita tidak perlu beli alat-alat mahal, tidak seperti di fisika. Saya pernah bicara, saya nggak tahu sekarang ya maaf ya, tapi contoh inilah 8 tahun lalu saya tanya. Ada dana gak sih dari riset pemerintah?

Ada. Tapi kenapa Anda gak tulis proposal? Males, karena dipaksa 50% harus beli barang, sedangkan kita perlu lebih banyak dana untuk orang-orang.

Jadi kebentur palsi-palsi, detail-detail gitu. Ntar kalau kita ngobrol ini gak akan selesai, sampai ayamnya berkukuk besok juga gak akan ini. Intro Kalau saya lihat kalian bertiga itu kalian tuh pendongeng yang keren banget Iya kan? Di masing-masing sekolah, masing-masing kampus Daya tarik kalian tuh udah luar biasa tinggi Sekarang saya mau tanya yang pragmatis aja deh Berapa lama lagi sih?

Saas, Anda bisa membimbing 100 orang? Saya 25 tahun lagi masih ada waktu ya karir sampai pensiun. Dan targetnya... Udah ada target. Udah ada target nih.

Jadi maksudnya itu long term ya. Saya punya jangka panjang kan 25 tahun. Saat ini sudah meluluskan 8. Berarti target saya mungkin sekitar 10 tahunan.

100 bisa? Bisa. Secara kumulatif atau in one go? Oh enggak, secara kumulatif karena ada keterbatasan juga. di Manpower karena kan bidangnya bioteknologi, analisa, jadi kalau saya sendiri dan dalam 10 tahun ke depan ini kira-kira berapa yang bisa Anda clone untuk ngajar di Osaka?

sekarang ini di departemen saya sendiri sudah tambah satu jadi lulusan dari program kita sudah punya satu asisten profesor yang dulu juga saya rekrut dari instansi yang sama di Indonesia, terus sekarang dia sudah dapat pekerjaan dalam 10 tahun bisa berapa? dalam 10 tahun 5 wow, bagus banget ada 5 profesor di Osaka harus ada banyak, jadi dalam 4 cewek lagi ya? Departemen kita aja tuh, Pak kita cuma punya fakulti asing itu cuma punya 3 dan 2 diantaranya orang Indonesia dalam Departemen saya itu hal-hal gini ya di Jepang itu tidak terlalu banyak memang asing tapi dari Dua diantara tiga itu orang Indonesia itu progres yang sangat besar.

Karena dari situ akan menjadi magnet untuk bisa menarik orang Indonesia, untuk bisa mengembangkan kolaborasi dengan Indonesia. Kita butuh lebih banyak representatif. Kalian dalam 10 tahun ke depan bisa memimpin berapa orang?

Walaupun selama belakangan satu jam kita banyak keluar kelas, saya berterima kasih karena saya rasa kita bergerak ke arah yang benar. Saya harap begitu. sudah mulai banyak mendengar masukan diaspora, lalu banyak program-program baru yang menuju spesialisasi dan lain-lain jadi setidaknya di computer science kuncinya yang tadi saya bilang Pak Gita ini bukan hanya sama saya aja tapi dengan lain setidaknya tahun ini dari salah satu program pemerintah kalau tidak salah biasa di inisiatif saya sebelumnya mungkin tiap tahun saya cuma bisa bantuin tiga yang ke Amerika sekarang tahun ini tahun depan Desember ini ada 25 jadi lumayan lah.

STG semua? Iya langsung ke PhD, kombo, S2, STG. University of Chicago?

Enggak, enggak, enggak. Enggak mungkin, kita enggak mungkin bisa absorb segitu banyak tapi intinya peluang-peluang banyak kok. Kita bicara top 50 US schools ya tapi belum lagi proses ya kita semoga. semua berhasil gitu ya tapi ya semoga dari situ ya harapannya ya dalam 10 tahun berapa?

ya agak-agak ngimpi dikit lah bagus lagi mikir nih angkanya berapa tadi kan yang kita bicara kalau di area, di STEM lah kan 6.000 I think kalau dari 80 kita bisa masuk ke 800 per tahun 1000 lah ceceng boleh buletin di atas Korea 1300 Turki 450, masa kita gak bisa 1000, tapi balik lagi sama seperti narasi yang tadi Pak Sastia, Pak Sastia Bagus bilang bahwa jangan sampai narasinya kita ulang lagi, pemerintah baru kita harus ulang lagi, riset lagi dari makanya kita harus sadar ini kita gimana untuk bisa mendemokratisasikan proses ini with or without Iya, iya kan, syukur-syukur with, ya kalo gak, kalo without ya kita tetep bisa jalan ada sustenance gitu loh dalam proses ini, jadi berapa harga dalam 10 tahun? Ya 100 bisa. Bisa ngegolein 5. Untuk DCS aja.

Iya dong. Ya masa ngomong biologi. 100 sampai 200 per tahun lah.

Saya rasa. Untuk. Di seluruh Amerika. Atau di top 50 universitas di Amerika. Top 50 I would say.

Pertahunnya ya. I think. Saya 200, 300. Udah bisa sampai segitu. Maksudnya udah bagus. Yang mana dalam 6-7 tahun.

Jadi. Setiganya. Iya kan? Jadi 100-200 mulai per tahun untuk program S3.

Ambitius tapi keren. Ntar malem dia mau ambok. Amin, amin.

Saya salah hitung nih. Nanti sudah edit. I'll hold you to it. Ini saya kalau ditanya soal angka, mesti mikir dulu karena judulnya matematika wantrapan. Saya pernah bilang dulu, saya kalau ditanya prediksi angka di masa depan, saya paling ekstrapolasi metodenya.

Kita bikin Indonesia Doctoral Training Partnership disitu untuk menampung mahasiswa Indonesia yang hadir di Nottingham. Ada 12 PhD student dari Indonesia sekarang disitu, bisa dilihat website nya, kerjaannya ngapain aja. Sebagian diantaranya saya supervisi.

Saya bagikan sedikit gimana caranya supervisi itu berlangsung di UK ya. Semua student itu harus disupervisi oleh minimal 2 supervisor. Kenapa? Karena mobilitas akademik di UK itu sangat tinggi.

Saya bisa aja tahun depan pindah ke Chicago. Atau ke Imperial atau segala macem. Kalau diterima tentu. Apa yang terjadi kalau misalnya saya lagi supervisor dia tahun kedua ketiga terus saya pindah. Itu resiko.

Jadi ada resiko disitu. Jadi kita kalau melihat. seperti Pak Gita sudah sampai di Nottingham sendiri infrastrukturnya sudah kita buat sehingga Indonesia menjadi central policy bagi Nottingham sekarang sehingga staff yang bisa menjadi co-supervisor itu sudah mulai melihat Indonesia sebagai potensi good students to come 100 itu hanya sebatas seberapa cepat pesawatnya bisa sampai sebenarnya karena infrastrukturnya sudah dibuat yang mahal itu infrastrukturnya alat-alatnya sudah dibuat tergantung fokusnya mau di bidang apa Jadi kalau ditanya kapan, secepat mungkin pesawat bisa ke UK, 100% pasti. Karena infrastrukturnya sudah dibuat. Tapi kalau saya boleh tutup secara sedikit lebih diplomatis, yang saya impikan itu ada 100 orang Inggris belajar di UGM, atau di ITB, atau di UNHAS.

Itu infleksi tuh. Kita harus mengarah ke sini. Oke, dalam 10 tahun bisa berapa tuh bagus di Norim?

Kalau kita lihat. Perkembangannya itu linear maka bisa seribu Keren Tapi saya belum tentu yakin Bahwa seribu orang di Nottingham itu hal yang Betul-betul bagus buat bangsa Karena Nottingham punya keterbatasan ekspertis Oke Nottingham gak mungkin sebagus Chicago dalam mungkin bidangnya masyarakat Jangan modis Iya deh lebih bagus Tidak, tidak masalah Setiap universitas memiliki keuntungan yang kuat Ada poin kuat Tapi kita tarik dari awal Ntar kita ukur aja kesiapannya gimana. Saya tuh pernah cerita ke 2 dari 3 kalian, gimana saya tuh ketemu sama pimpinan salah satu universitas di Singapura.

Dia tuh dengan bangganya cerita dia baru dapat pemenang Nobel. Biaya berapapun dia fasilitasi, terus ditanya, lu targetnya berapa? Lu targetnya 20-25 menang Nobel. Dibeli dari seluruh dunia.

Terus penjelasannya dia ya kalau kita gak begini secara organik gak akan bisa punya 100 pemenang Nobel di kampus kita. Kalau MIT tuh udah punya 100, anggaplah kita 1 per tahun. Kita perlu 100 tahun, ya kita gak bisa nunggu 100 tahun. Saya dari situ aja, ini lagi ngobrol santai, dari situ saya bisa ngukur. Negara sekecil 5,5 juta, itu udah mikirnya kayak begini.

Gak bayang gak kalau salah satu rektor di universitas di Indonesia tuh udah mikir kayak begitu? Dengan keyakinan lagi. Do you envision that? Kita bener-bener perlu bergerak ya. Karena sekarang ini kan sudah ada ya sistem PTMBH gitu.

Jadi gak terlalu tergantung sama APBN. Udah banyak bisa kampus-kampus di Indonesia secara mandiri menentukan polosinya. Hiring staff mereka sendiri.

Cari sumber dana sendiri. Itu sudah ada sistemnya dimungkinkan dulu kan gak bisa pak. semuanya sangat-sangat tergantung sama pemerintah utama dan swasta apakah mungkin gitu ada kita beralih ke edukasi itu memang investasi bisnis dimanage secara bisnis-like Perspektif gitu, dan kayaknya di Singapura, di Australia itu memang universitas dinilai sebagai Entity, bukan untuk mencerdaskan rakyatnya aja gitu, bukan cuma untuk edukasi Tapi itu dinilai sebagai instansi yang bisa money making, profit oriented juga gitu Nah kalau seperti itu, kalau kita akan mulai berpikir seperti seorang bisnis Berarti kan kita harus mengikuti para eksperti yang terbaik Nah apakah di Indonesia peraturan ini memungkinkan untuk bahkan meng-hire dosen asing? Bapak mungkin inget ada rektor asing aja itu sangat ditentang, dosen asing juga di Indonesia diterima.

Terus saya gak ngerti itu. Jadi apakah ekosistemnya memungkinkan untuk kita berpikir se-progressive itu? Itu aja belum mungkin.

Karena banyak tadi keterbatasan hiring segala macam masih diatur di apa namanya aturan-aturan yang sangat ketat gitu ya. Jadi bahkan kita aja diaspora untuk di hire balik ke Indonesia kadang kita harus mulai dari bawah. Nggak ada sistem kesetaraan, sistem itu ada tapi begitu pas pada prakteknya banyak sekali teman-teman yang bilang kalau itu tidak berhasil. Cuma sampai ke level regulasi tapi belum bisa keimplementasi. Nah kalau misalnya kita mau berpikir seprogresif itu pertama kita harus melihat apakah kita mau fokus Indonesia menjadikan universitas itu di...

Kelola secara profesional, bisnis-like. Dimana investasi yang besar-besaran itu dimungkinkan karena nanti dipikir itu akan return. Atau kita ingin mengelola universitas memang unggul atau universitas yang bagus untuk mencerdaskan bangsa.

Direksinya mau kemana? Kayaknya kita harus pilih, Pak. Karena gak bisa dua-duanya.

Kalau misalnya semua universitas-universitas di Amerika yang luar biasa itu semuanya kan dikelola secara bisnis. Betul. Jadi memang mereka...

incubate the university untuk unggul hire the best experts bangun fasilitas akomodasi untuk lecturersnya dari seluruh dunia bisa datang mereka nyaman mereka mau datang sama Singapura mereplikasi seperti itu dia bisa hire orang dari seluruh dunia sistemnya memungkinkan nah kalau Indonesia mau berpikir seperti itu harus dilepas dari belenggu keterbatasan yang ada sekarang mungkin Rektor-rektor di Indonesia punya pemikiran seprogresif itu. Tapi apakah itu visible? Sangat tidak visible saat ini.

Kita terbelunggu dengan segitu banyak peraturan dan limitasi. Dan penolakan juga. Begitu asing masuk itu sangat bertentang.

Jadi gimana kita mau menjadi pool of global talents kalau kita berpikir global talents itu tidak boleh masuk ke Indonesia. Itu kayaknya yang harus kita diskusikan sebelum kita berangkat. Anda menyanyikan kepada kue. Tapi ada perkecualian juga di dunia, namanya India. Tapi mereka sudah bisa membuahkan banyak sekali produk-produk pendidikan bahkan ada joke lah di kalangan teman-teman orang India saya tuh yang mana yang ke Amerika, ke Inggris, ke Imperial, ke Princeton dan segalanya itu KW2 nya.

Bukan KW1 nya. Pantesan. Tapi ya yang ke sekolah-sekolah yang keren banget lah. Di Amerika, di Eropa, dimanapun. Itu KW2, KW1 nya tetap di India.

Tapi mereka terus-menerus bisa menunjukkan kekerbukaan. Siapa aja yang paling keren ngerti mengenai bidang ini. Pokoknya lu go nang untuk ngajar.

Nah itu kalau menurut saya penting sekali. Untuk kita bisa mendemokratisasikan. Iya kan? Konsep belajar.

Nah itu yang saya kadang-kadang. Agak gimana gitu lu disini? Memang perubahan itu tidak nyaman ya.

I think related to this universe yang terbuka global. Waktu itu saya juga memang sempet interview juga di NUS sama NTU gitu. Lalu salah satu dosen NTU di Singapura cerita dulu di NTU mungkin ya either 60 atau 70 rektore bilang, it's time everybody, semua dosen harus bisa ngomong Inggris. Ya terjadi kemarahan, banyak yang gak mau ngomong Inggris, tapi at the end that's their policy, dan at the end kita bisa lihat NTU sekarang bagaimana.

Jadi memang mungkin memang harus ada masa ketidaknyamanan demi keindahan di masa depan istilahnya. Tapi harus ada keterbukaan dari pemimpin ataupun kepemimpinan dalam dimensi apapun. Saya pernah kerja di Perancis, Perancis itu gak money oriented.

Gajinya kecil disitu. Pertama di field medalist, merupakan sebuah Oscar di bidang matematik. Itu di Perancis banyak sekali, termasuk di institusi dimana saya bekerja disitu.

Gajinya lebih kecil dari UK, apalagi dibandingkan US. US punya banyak uang. Saya ajang di Virginia Tech sebenarnya. Virginia Tech itu gaji terbesar pegawainya itu 3 juta dolar. Itu tapi bukan akademik.

pelatih football team money everywhere ekonomi universitas jadi di Jerman juga sebenarnya gak money oriented kita harus melihat pendidikan itu itu hak berkewarganegaraan atau tidak itu poinnya disitu, atau itu adalah komoditas seperti komoditas yang lain dan maka itu perlu diregulasi oleh pasar, maka di US itu poinnya adalah, oh itu komunitas di pasar. Tapi orang yang minta loan itu dilindungi. Uang sekolahnya pun karena langsung punya direct accountability dengan pasar, naik tinggi.

Kayaknya kan uangnya banyak berada di situ, orang masuk ke universitas di US, itu melihatnya sebagai investasi. Balik modal gak nih? Di UK pun to some degree kayak begitu. Makanya di depan universitas di Nottingham ditulis gaji rata-rata lulusan Nottingham itu segini. Berani gak kita pasang di situ?

Bahkan kalau dilihat dari segi pasar, kalau misalnya saya ngambil pinjaman ke bank begitu besarnya, saya investasi bukan hanya duit tapi waktu saya 5 tahun. Saya keluar gak bisa dapat kerja selama 5 tahun, bisa gak saya nuntut pemberi jasanya, universitasnya? Kan mikir tuh kan, itu konsekuensi kalau pendidikan adalah komoditas ekonomi, seperti itu. Di Perancis, Jerman gak begitu, itu adalah hak segala. Bangsa, jadi segala warga di bangsa tersebut.

Jadi dia gaji segala macam itu diatur oleh pemerintah, uang sekolah di cap. Di Inggris itu hybrid modelnya. Jadi di cap.

Indonesia mau yang mana? Nah, bicara tentang keterbukaan. Keterbukaan itu butuh otoritas.

Seorang pemimpin universitas harus punya otoritas dulu baru dia bisa terbuka. Gitu kan? Gimana dia bisa terbuka kalau otoritas belum 1% di tangan dia? Di UK tadi saya bilang, jadi rektor itu prerogatif universitas di Indonesia jadi rektor itu 30% suara menteri yang harus terbuka bukan hanya rektornya, menterinya juga harus terbuka gitu loh, kalau ada sinergi antara mereka baru kita bisa berjalan sama-sama, jadi kita harus bukan hanya memikirkan solusi bagi pendidikan, kita bahkan belum sampai ke tahap diagnosa, kita bahkan belum tahu sakitnya apa, gitu kalaupun ada sakitnya, maka itu Perlu universitas-universitas di, gini pak ya, ini orang melihat kita diaspora, diaspora itu kadang-kadang dilihat sebagai satu unit.

Padahal hard, sasti saya itu jalan hidupnya sangat berbeda, konteks di universitas masing-masing sangat berbeda. Kita bersama-sama itu mau mencoba agar Indonesia itu bukan menjadi komoditas. Jadi sasti bilang, masuk.

Uang sekolahnya tuh mahal ke US, apalagi ke UK, saya gak tau, UK tuh mahal sekali. Jadi bagi universitas di UK, banyak, tadi bilang seribu masuk ke UK, welcome. As long as you can pay and pass the quality assurance. Jadi gak ada pertanyaan bagi mereka mau atau tidak dari segi finansial. Permasalahannya apakah bisnisnya itu menguntungkan dua pihak atau tidak.

Peran diaspora disini adalah untuk menjamin, setidaknya mencoba menjamin agar any deal with Chicago, Osaka, Nottingham itu punya Indonesia interest. Ya seperti itu. Ini udah hampir satu setengah jam nih, tapi enak banget dengerin cerita kalian.

Kalian tuh adalah pendong yang kalau menurut saya kalau bisa diviralkan ke jutaan. Ya kan? Mudah-mudahan lah. Saya berdoa dan saya berharap. Kalau saya melihat Indonesia itu ke depan tuh kita harus bener-bener bisa membuahkan banyak sih tapi dua hal yang menurut saya penting adalah kapasitas berdongeng.

Betul. Story telling, penting sekali. Dan story telling dengan cara yang sangat bisa dipertanggung jawabkan.

You back up your bullshit, intinya. Iya kan? Yang kedua, ini gimana kita bisa lebih bisa bersaing.

Persaingan tuh metriknya banyak, tapi kalau yang paling simpel untuk mengukur persaingan atau daya saing itu adalah produktivitas dan produktivitas itu nyambung banget dengan STEM kalau kita secara sains kita gak keren ya kita gak bisa tuh menjahit baju seperti apa yang dilakukan di Tiongkok dan di negara-negara lain seproduktif seperti mereka Nah pertanyaan terakhir saya adalah, kalau kalian tuh mau milih apa aja di STEM yang harus digeluti oleh anak-anak Indonesia ke depan supaya kita bisa menjadi negara yang sangat keren, apa aja sih? Dia pasti jawab komputer science, coba agak sedikit open minded ya, apa aja? Tapi ini beneran ya?

pembuahan marginal productivity yang benar-benar sangat bisa ditanggung jawabkan kalau menurut saya yang paling penting itu memang kita bisa mengolah biodiversitas kita, karena itu strength Indonesia, plain and simple apa sih kekuatan Indonesia dibandingkan negara lain yang negara lain gak punya kita punya mega biodiversity jadi kita harus punya kemampuan untuk mengolah itu, jadi bioteknologi, bioproses, engineering itu menurut saya kunci that's it Ya karena kalau misalnya kita gak bisa mengolah. Tapi itu bagus. Itu sangat penting.

Karena tadi Bapak menyampaikan bahwa gimana kita bisa meningkatkan produktivitas. Belum sampai produktivitas, bagaimana kita bisa mengolah itu dulu. Baru dari kita bisa-bisa mengolah, kita bisa skill up. Jadi dari situ kita butuh juga chemical engineering, bioproses engineering. Tapi knowledge on biodiversity.

Jangan sampai kita memanfaatkan hasil alam kita dengan cara yang merusak lingkungan. Kita juga harus mikir planetary health. Kita juga harus membangun dengan memperhatikan sustainability. Jadi hal-hal seperti itu menurut saya sangat penting untuk ke depannya kita bisa menjadi leading country.

Memanfaatkan apa yang ada locally untuk kepentingan globally. Menurut saya itu. Ya. Tidak ada jawabannya yang mudah.

Kalau saya kadang melihat major atau itu adalah alat. Tapi. Ada masalah yang lebih besar seperti tadi, bahasa asli saya bilang biodiversitas ya Tapi saya setuju banget setiap negara itu ada Kalau bisa ada keuntungan kompetitifnya dan fokus di sana sangat penting gitu Seperti yang sama di CS Samsung, penelitiannya terutama pada Atau perangkat penyimpanan dan lain-lain, Taiwan Semiconductor dan lain-lain gitu ya Ya tentu, saya pikir Apapun yang saya ngomong sekarang mungkin 5 tahun lagi berbeda gitu.

Jadi makanya it's important to just. Sama anak saya juga udah masuk SMA 1. Saya bilang daddy doesn't know. I only know CS gitu.

Tapi you need to start googling gitu. Career path in this area. Saya juga ngeliat interdisciplinary.

Tapi dari kacamata anda kalau anda ngeliat Indonesia ke depan. Apa yang kita perlu tekuni untuk kita tuh bisa keren? Dalam konteks STEM. Ya tentu data science, AI, I think everybody mau anda di psikologi, mau anda di dokter, we need to know AI.

We need to adapt gimana AI bisa help again it's of our occupation atau problem dan lain-lain gitu. Memang ada issue AI bakal replace jobs, but at the same time kita harus lihat bagaimana AI bisa solve. Jadi mungkin kalau, maaf, jadi limited saya di data science. Kalau kita lihat major data science kan sepertiga kurikulumnya bilang bebas.

Anda mau ambil psikologi, mau ambil fisika, mau ambil public policy terserah. Dan itu the beauty of data science major yang sekarang lagi bertumbuh sekali di US. Hampir setiap uni create a new major gitu. Belum lagi mungkin a new department gitu.

ini pertanyaan yang susah banget karena harus tau dulu tujuan pendidikannya apa sebenarnya karena kan orang masuk ke instrumen formal education itu dia berinvestasi selama 4-5 tahun dunia seperti apa yang akan dihadapi ketika dia lulus 4-5 tahun, siapa yang tau jadi permasalahannya adalah dunia makin bergerak makin volatil dulu kira-kira tahun 90an automotive industry butuh ya Banyak orang tenaga kerja dia berinvest ke universitas bikin teknik mesin. Makanya saya masuk teknik mesin. Ibu saya tanya ngapain masuk teknik mesin?

Ya biar bisa benerin mesin. Mesin apa? Ya benerin karburator motor.

Sekarang motor kemarin saya dari Jawa Barat dibuka jadi electric vehicle. Gimana tuh? Investasi saya abis dong duitnya kan.

Nah yang kita hadapi sekarang investasi untuk jangka panjang yang besok pun dunia seperti apa kita gak tau. Kita melihat ini bener lulusan Nottingham. Itu jadi entrepreneur yang mencetak organ tubuh pakai 3D printing.

Karena pertanyaannya dibalik. Dia harus belajar apa supaya sukses? Dia harus belajar engineering, dia harus belajar desain, dia harus belajar bioteknologi, atau semuanya. Kalau ada atau, biasanya multiple choice itu dipilih. Jadi itu pertanyaan real kan.

Jadi kalau saya ditanya, jurusan apa, jurusan itu nggak relevan. Sekat-sekat disiplin itu makin nggak relevan. Take geothermal misalnya, untuk tahu panasnya ada di bawah kaki saya apa, orang geologis yang belajar itu. Untuk minjem ke duit ke bank, bank pasti nanya, kapan balik modalnya? Ya butuh komputer saintis, kayak besar.

Untuk tahu supaya dia bisa compute gitu. Nah butuh chemical engineer untuk mengkuantifikasi reaksi working fluid sama batu-batuan ya. Karena bukan kayak minyak dipindahin, panas harus ditukar.

Social scientist perlu nggak perlu? Siapa yang mau ada geothermal exploration di belakang rumah tuh? Gitu kan, kalau mereka nggak tahu. Jadi pertanyaannya jurusan apa yang penting?

Nggak tahu, tapi kalau Indonesia konteksnya, nah Indonesia dia harus mulai dari grand narrative. Kalau dia mau berpake ideologi... comparative advantage, karena belum tentu orang pakai comparative advantage, kalau dia mau berpikir comparative advantage, dia berpikir renewable energy, dia bikin blueprintnya saya butuh 10 orang di bidang matematik, saya butuh 10 orang di bidang geologi, saya butuh orang di bidang tapi kalau kita lihat sekarang jurusan apa di Indonesia di STEM semuanya masuk, blueprint dari riset Indonesia itu, mau cari apa juga ada disitu, itu poinnya tidak adanya ketegasan bagi keadaan problem apa yang mau diselesaikan, membuat jurusan apa yang harus diprioritaskan tidak tahu.

Kalau bagi saya, personal pribadi, jurusan teknik kimia dong. Supaya paper saya makin banyak. Kan begitu kan?

Tapi apakah itu yang terbaik buat bangsa? Belum. Pertanyaannya lebih dalam konteks, jika Anda berusaha untuk mengatur perjalanan kita ke depan.

menuju 2045. Apa aja nih, kita pengen anak-anak kita belajar apa aja. Supaya kita tuh ya gak malu lah, bikin kita bangga semua. Yang paling dipentingkan, kita tuh jelek sekali skor PISA kita. Ya.

Ya termasuk diantara matematik. Matematik itu sangat penting, walaupun di Indonesia orang udah tau matematik itu penting. Saya tuh kalo dapet nilai baca puisinya bagus gak bangga orang tua saya tuh.

Lalu matematiknya dapet C digebukin. Matematik itu mengajari kita berpikir rasional. Berpikir tentang apa itu yang namanya proof of evidence atau bukti.

Banyak sekali translasi antara cara berpikir matematis dengan cara berpikir saintifik dan epistemologi yang saya bayangkan. Indonesia harus mumpuni di bidang matematik, itu jelas. Tapi dia juga harus mumpuni di bidang sosiologi yang bisa mengemas.

Matematik itu relevan bagi bidang-bidang yang lain. Saya dulu matematiknya empat nilainya, saya pajang lagi di Instagram dulu kan. Empat nilai matematiknya, karena cara berpikir kami, saya, sangat berbeda dengan cara berpikir orang.

Saya berpikir secara visual, saya ngeliat rumus kagak ngerti artinya apa. Saya harus bayangkan, makanya geometri, matematik yang berpikir seperti itu. Gurunya Pak Gita, kalau saya dalam tangan, gurunya harus dikuatkan supaya bisa mengemas matematik itu. dengan cara yang tidak conformist.

Yang terjadi di Indonesia adalah conformitas. You either follow the standard or you're out of the hierarchy. Saya out of the hierarchy.

Kalau saya masuk dalam hierarchy mungkin udah jadi entrepreneur besar, saya gak tau. Justru karena gak dapet itu, makanya terbuang jadi dosen. Poinnya disitu kan.

But mathematics is very important for me. Ada pesan akhir? You go ahead. Saya pikir kita bergerak di arah yang benar, walaupun sedikit pincang-pincang. Semoga kita tidak mereset lagi narasi kita, tapi kita maju terus bersama.

Terakhir, tapi tidak terakhir. Halo dari saya, semoga untuk yang nanti nonton, tergerak juga untuk bergabung dengan inisiatif. Jadi karena kita butuh nomor, kita butuh orang yang bekerja bersama untuk nantinya bisa meraih. meraih critical mass, jadi untuk make a change, we need to do it together not sporadically, gak individually tapi kita butuh make a dent ya, untuk bikin impact untuk bikin impact, we have to work together so I hope everyone hearing this will join this initiative and let's make a better Indonesia ini tahun politik kok Gita kita melihat, walaupun tadi ada banyak pesan-pesan negatif gitu, yang berdalandaskan kasih sayang, karena itu yang kritis gitu Tapi saya melihat ada momentum yang besar buat Indonesia ke depan.

Terutama di 2024. Karena Indonesia itu akan maju. Karena pemerintah atau walaupun pemerintah, gak terbendung. Indonesia akan maju dengan sendirinya.

Harus walaupun. Baselinenya walaupun. Upsidenya karena. Kalau kita bisa masukkan meritokrasi, kita bisa masukkan epistemologi sains di dalam kepemimpinan.

Maka kita tidak akan terbendung disitu. Bisakah kita mengintegrasikan itu, ada banyak perantasan birokratis. Tapi kalau publik yang tertarik, mereka adalah konstituensi dari yang akan membuat kebijakan.

Sains harus mainstream, cara berpikirnya pun harus mainstream, baru kita bisa bermimpi akan perubahan yang tanggung. Top. Teman-teman itulah diskusi mengenai epistemologi dan lain-lain dengan para ilmuwan Indonesia yang keren banget.

Termasuk Sastia, Aryadi, dan Bags. Terima kasih banyak.