Intro Ada sebuah penemuan dalam dunia kuliner yang pada awalnya dianggap sebagai penemuan ajaib. Sesuatu yang revolusiner. Tapi beberapa tahun belakangan malah menjadi sesuatu yang kurang baik dan cenderung dihindari.
Mengapa? revolusioner karena penemuan ini dianggap menyempurnakan rasa gurih tapi juga berharmoni dengan rasa lain pada sebuah masakan memudahkan proses dan mempersingkat waktu dalam kegiatan masak-memasak mengapa dihindari? karena penemuan ini seringkali dihubungkan dengan penyakit pencernaan, gangguan syaraf, obesitas, hingga merusak jaringan pada organ reproduksi dan mempengaruhi kesuburan.
Tapi, apakah benar demikian? Dalam video kali ini, kita akan membahas bahan masakan yang berasal dari Jepang yang telah mempengaruhi perkulineran dunia. Bumbu ajaib dengan nama singkat.
Satu kata, tiga huruf. MSG Monosodium glutamat, yang disingkat menjadi MSG, adalah zat penambah rasa yang memberikan rasa gurih pada makanan, atau yang juga dikenal sebagai umami. Zat ini tidak berbau dan tidak berasa, tapi ketika ditambahkan ke makanan, MSG akan mengeluarkan rasa umami yang khas, seperti kaldu atau daging. Rasa tersebut dapat dipecah secara kimiawi. Ketika MSG dimakan, Natrium dan glutamat terpecah di dalam air liur, dan glutamat bebas mengaktifkan reseptor rasa umami seseorang, sehingga menciptakan rasa yang sangat memuaskan dan gurih.
Sesungguhnya, umami juga ditemukan secara alami dalam beberapa bahan makanan, seperti tomat, asparagus, keju parmesan, jamur, serta di sebagian besar daging. Namun, Ekstrak umami dalam bentuk MSG baru ditemukan pada awal abad ke-20 oleh seorang profesor kimia di Universitas Kekaisaran Tokyo, Kikunai Ikeda. Menurut cerita, profesor Ikeda terinspirasi ketika sedang makan dashi, atau sup ikan katsuobushi, atau sup ikan cakalang buatan istrinya.
Saat itu, ia menyadari bahwa kaldu supnya terasa lebih enak dari biasanya. Ia kemudian bertanya kepada istrinya, Bubu, kenapa supnya terasa lebih enak? Istrinya menjawab, Aku cuma menambahkan kombu alias kelp atau rumput laut.
Dan seketika, Profesor Ikeda terinspirasi untuk mempelajari bagaimana dengan menambahkan kombu bisa menambah rasa umami pada sup dan mulai mempelajari struktur kimianya. Menurut Profesor Ikeda, rasa umami adalah rasa unik yang belum dijelaskan secara ilmiah pada saat itu. Sebuah rasa di luar empat rasa utama, yaitu manis, asin, asam, dan pait.
Umami berasal dari kata sifat dalam bahasa Jepang, umai, yang dapat diartikan dalam dua cara. Yang pertama memiliki konotasi hedonistik yang menyiratkan sebuah rasa yang lezat dan menyenangkan. Sementara yang kedua mengacu kepada aspek sensoris yang sebenarnya, yaitu sesuatu yang terasa seperti daging dan gurih. Kedua makna ini tidak hanya khusus untuk sesuatu yang gurih, tapi juga dapat diterapkan pada rasa yang lain. Jadi, untuk membedakan antara lezat dan gurih, Profesor Ikeda mengusulkan kata yang baru, yaitu umami, yang menggambungkan umai dengan mi, yang berarti esensi, esensial, atau cita rasa.
Profesor Ikeda menemukan cara untuk mensintesis molekul tersebut dengan mengisolasi rasa umami dari rumput laut dan menentukan bahwa rasa gurih tersebut datang dari asam L-glutamat, sejenis asam amino non-esensial. Untuk menentukan glutamat mana yang dapat menghasilkan rasa umami, beliau mempelajari sifat perasa dari berbagai garam glutamat, seperti kalsium, kalium, amonium, dan natrium. Dari garam-garam ini, natrium ternyata merupakan kombinasi yang paling mudah larut, terasa lebih enak, serta paling mudah dikristalkan. Ketika glutamat dikombinasikan dengan natrium, maka kombinasi ini menjadi monosodium glutamat, alias MSG.
Kombinasi tersebut lalu dikristalisasi sehingga mirip dengan garam dapur. Pada tahun 1908, Prof. Ikeda mematenkan produk jadi tersebut dan mulai memproduksi dan memasarkannya, tetapi masih dalam skala kecil. Pada awalnya, Prof. Ikeda menyebut produknya monosodium glutamat, tapi kemudian seorang pebisnis bernama Saburosuke Suzuki tertarik dan membeli hak patennya dan mulai memproduksi MSG secara komersial pada tahun 1909 dengan menggunakan nama Ajinomoto yang berarti essence of taste atau inti rasa. Pada awalnya, Ajinomoto kesulitan untuk mendapatkan perusahaan yang mau membeli produknya. Ini karena kebanyakan menilai produk Ajinomoto menjauhi nilai leluhur yang menjunjung tinggi proses dan tradisi.
Ajinomoto dicap terlalu modern dan terlalu kebarat-baratan, tapi mereka tidak menyerah. Setelah berkutat dengan kesulitan, Ajinomoto menemukan kesuksesan dengan menyesar target yang lebih spesifik, yaitu ibu rumah tangga. Ajinomoto membuat produknya terlihat lebih cantik, yaitu dengan mengemas MSG di dalam botol kaca yang terlihat lebih elegan, dengan bentuk botol seperti parfum dan memasarkannya secara khusus di sekolah-sekolah untuk putri-putri kaum elit di Jepang. Bubuk putih halus dalam botol ramping tersebut menarik minat ibu rumah tangga Borjuis yang lebih condong ke sains daripada tradisi.
Dan dengan meletakkan botol berisi bubuk ini di dapur, secara langsung menunjukkan kesan kebersihan dan modernitas. Dan pada akhirnya, pemerintah Jepang mengetahui dan juga membantu. Bumbu penyedap yang diciptakan oleh Profesor Ikeda ini memang memiliki kesan canggih secara teknologi, menarik perhatian para pejabat yang ingin memodernisasi Jepang melalui sains dan teknologi.
Hasilnya, Ajinomoto menjadi sangat populer di Jepang. Ketika Jepang menjajah sebagian besar Asia Timur pada awal tahun 1900-an, MSG menjadi bahan makanan yang beredar luas dan mungkin yang paling banyak dicari. Produk-produk Ajinomoto kemudian dikaitkan dengan imperialisme Jepang, khususnya di Cina.
Meskipun merupakan wilayah jejahan Jepang, banyak masyarakat Cina menyukai MSG, yang membuat makanan terasa lebih gurih. Bahkan, masyarakat Cina penganut buddhisme yang vegetarian sangat menyukai MSG, yang memberikan cara bagi vegetarian untuk meningkatkan cita rasa. Pada awal abad ke-20, Ajinomoto telah merambah ke Cina dan Taiwan.
Tapi karena harganya relatif mahal, orang-orang di Taiwan membelinya secara ketengan atau dalam jumlah kecil. Sejumput demi sejumput. Setidaknya cukup.
untuk makan malam. Melihat kesempatan ini, masuklah Wu Yunqiu, seorang ahli kimia Cina, yang berhasil merekayasa ulang bumbu putih kristal ini, dengan produk Tianqiu Vezin, dan segera mulai mendominasi pasar. Bisa dibilang Pak Wu adalah pionir industri MSG di Cina. Beliau menjadi tokoh besar, bahkan pahlawan nasional di Cina.
Dan nama besarnya membantu penjualan produk-produknya. By the way, kata micin dalam bahasa Indonesia berasal dari produk ini. Dari vetsin menjadi micin.
Pertarungan micin ini bersifat politis, karena tidak ada satupun referensi ke Jepang. Kata umami yang dicetuskan oleh Prof. Iqbal. Ikeda digantikan oleh kata dalam bahasa Mandarin, Shan Wei. Propagandanya sangat jelas untuk meruntuhkan pengaruh Ajinomoto di Cina. Sejarah MSG kini menjadi isu nasionalisme.
Gerakan boykot terhadap produk-produk Jepang menjadi hal yang umum pada saat itu. Dengan demikian, MSG masuk ke dalam repertuar masakan Cina sebagai cara murah untuk membuat kaldu instan dan sebagai penambah rasa untuk makanan vegetarian. Statistik perusahaan dan buku masak populer menunjukkan bahwa MSG sudah menjadi barang rumah tangga umum di diaspora China sebelum Perang Dunia Kedua. Baik Ajinomoto maupun Tianqiu diekspor ke Hong Kong, Singapura, dan pusat populasi China lainnya di Asia, serta ke kota-kota di pantai barat Amerika Serikat. Setelah serangan di Pearl Harbor, kebencian masyarakat Amerika terhadap Jepang berlangsung cepat dan brutal.
Saking bencinya, Presiden Roosevelt saat saat itu memenjarakan lebih dari 100 ribu orang Amerika keturunan Jepang yang tidak bersalah di kamp-kamp interniran. Di lain sisi, masyarakat Amerika mulai bersimpati terhadap China, yang sebelumnya menderita di bawah jajahan Jepang selama beberapa dekade. Rasa simpati ini menyebabkan banyak orang Amerika mencoba memahami dan menjelajahi budaya China, termasuk mengunjungi Chinatown atau Pecinan dan makan di restoran China. Hasilnya, pada akhir tahun 1940-an, Chinese food yang kaya MSG mulai populer di Amerika Serikat. Melalui China, MSG pun masuk ke dalam masakan Amerika, bubuk putih misterius dari timur, begitu MSG disebut di Amerika Serikat.
Produsen makanan Amerika mulai diam-diam menambahkan MSG ke sup kalengan dan beberapa produk lainnya. produk lainnya untuk menambah cita rasa. Bahkan, pihak militer pun memasukkan MSG ke dalam ransum MRI tentara.
Semua happy karena MSG. Pada tahun 1950-an, MSG hampir bisa dipastikan dapat ditemukan di dalam makanan kemasan di seluruh Amerika Serikat. Mulai dari makanan ringan hingga makanan bayi. Produk-produk MSG dari berbagai merek pun mulai banyak bertebaran dan mudah didapatkan.
Kemudian, tibalah tahun 1960-an. Banyak media yang berfokus pada topik pesticida dan dampak buruknya bagi tubuh kita. Ini membuat orang waspada terhadap segala bahan kimia, termasuk pewarna, pemanis buatan, dan bahan tambahan makanan lainnya.
Di masa ketidakpercayaan dan kecurigaan masyarakat pada bahan kimia, produk asing seperti MSG menjadi sasaran empuk. Konsumen mulai khawatir dengan bahan tambahan kimia dalam makanan mereka. MSG Panic atau Kepanikan MSG bermula di New England pada bulan April 1968 ketika Robert Homan Kwok menulis surat kepada New England Journal of Medicine yang akan kita singkat menjadi NEJM.
yang menguraikan gejala-gejala yang sedang ia alami, seperti jantung berdebar, lemas, dan mati rasa pada jari-jarinya. Pak Kwok menunjuk tiga kemungkinan penyebabnya, mungkin karena garam berlebih, atau mungkin karena anggur yang digunakan untuk memasak, atau mungkin karena MSG. Pak Kwok mungkin hanya mencoba memicu diskusi yang hangat.
Beliau mungkin tidak menyangka kalau yang terjadi malah sebaliknya. Suratnya kepada NEJM ternyata memicu histeria nasional yang berlangsung selama puluhan tahun. Histeria terhadap salah satu bumbu dapur paling populer di dunia. Monosodium Glutamata atau MSG yang seringkali disebut sebagai racun yang mematikan. Sebulan kemudian, NEJM mencetak 10 tanggapan surat Pak Kwok dari dokter lain.
Sama seperti Pak Kwok, para dokter melaporkan ketidaknyamanan setelah makan Chinese. Baik yang mereka makan sendiri ataupun yang dimakan oleh teman atau pasien mereka. Tanggapan tersebut memberikan sugesti kepada banyak pembaca. Sehingga mereka turut menuliskan surat kepada NEJM kalau mereka juga memiliki gejala yang sama setelah makan Chinese food. Rasa ketidaknyamanan yang sama.
Sindrom restoran Cina pun lahir. Gejala yang dicantumkan dalam surat-surat tersebut meliputi kelelahan, kejang punggung, berkeringat, pusing, kusing, kulit memerah, dan rahang mati rasa. Tapi yang membingungkan, tidak ada dua penulis yang mencantumkan gejala yang 100% sama. Dan kemungkinan hubungan di antara gejala-gejala tersebut muncul pada waktu yang sangat berbeda atau jauh setelah mereka makan Chinese food.
Jika mau sinis, gejala tersebut cuma dibuat-buat dan terkesan mengikuti tren. Yang lebih aneh lagi, komunitas dokter menyatakan kalau sindrom tersebut hanya terjadi di lokasi geografis tertentu, yaitu di New York dan di California Selatan. Para dokter juga tidak dapat mencapai kesepakatan tentang apa bahan pemakaman. micunya. Satu dokter menyalahkan saus bebek, beberapa menyalahkan frozen vegetable atau sayuran beku, sementara yang lain menunjuk cabai, sup wonton atau racun ikan buntal.
Bahkan menyalahkan sumpit yang melalahkan fisik orang barat. Mengingat gejala-gejala yang tidak konsisten dan sifat anekdot dari surat-surat tersebut, sulit untuk memahami mengapa ilmuwan medis pada saat itu nggak engeh kalau sindrom yang muncul adalah fiktif. Malah, editor NEJM terkesan membesar-besarkan tentang sindrom restoran Cina ini.
Mereka mengabaikan tentang fakta penyebaran geografis yang aneh dan beberapa isu lainnya. Hingga beberapa pihak menyebutkan kalau NIJM cenderung rasis terhadap etnis Asia, khususnya Cina. Pada titik ini, sindrom restoran Cina masih dianggap sebagai hoax, dan tidak seorang pun yang menganggap MSG sebagai faktor penyebab utama. Tapi semua berubah pada bulan Juli tahun 1968. ketika serangkaian studi ilmiah dari Herbert Schomburg mulai muncul.
Herbert Schomburg adalah ahli saraf, dan ia telah menulis artikel di NEJM pada bulan Mei yang menyarankan orang-orang untuk tidak memandang buruk MSG, karena ia sendiri memasak dengan menggunakan MSG di rumah. Dalam artikel itu, Pak Schomburg juga menjelaskan bahwa sindrom tersebut memang ada, tapi bukan masalah yang besar. Gejalannya akan hilang dalam waktu 5 menit, dan ia selalu menjelaskan bahwa lalu menghabiskan makanan yang ia masak menggunakan MSG. Namun, tiba-tiba, Pak Schaumburg menulis artikel yang berbeda tentang MSG, yang didukung oleh beberapa eksperimen yang ia lakukan. Dalam eksperimennya, Pak Schomburg melaporkan bahwa ia telah mengunjungi restoran Cina setempat selama beberapa hari berturut-turut untuk sarapan, makan siang, dan makan malam, dan secara sistematis memakan semua yang ada di menu dalam upaya yang disengaja untuk mencari gejala.
Tentu saja, beliau menemukan apa yang beliau inginkan. Beliau kemudian menunjuk sup wonton dan sup asam pedas yang menjadi biang keladinya. Mengapa dan bagaimana beliau menentukan kedua makanan tersebut? menjadi tanda tanya besar. Pak Schomburg juga bereksperimen dengan memberikan MSG kepada tiga sukarelawan yang ditutup matanya.
Dan semuanya katanya bereaksi buruk. Namun lucunya, salah satu dari tiga sukarelawan ini adalah Pak Schomburg sendiri. sendiri.
Kemudian, Pak Sjomburg mengakui bahwa beberapa gejala yang ia amati seperti pingsan, jantung berdebar, mata berair, dan mual juga dapat disebabkan oleh kecemasan. Eee, ini berarti sugesti bukan? Sebulan kemudian, pada bulan Februari tahun 1969, Pak Schomburg dan tiga rekannya menerbitkan sebuah penelitian yang lebih formal, tetapi masih dinilai cacat oleh beberapa peneliti.
Yang pertama melibatkan enam relawan yang semuanya pernah mengalami sindrom restoran Cina sebelumnya. Dua orang dibawa kembali ke restoran dan segera mengalami gejala saat makan sup yang menggunakan MSG. Empat orang lainnya diberi bubuk MSG murni untuk dimakan dan juga segera mengalami gejala.
Timnya Pak Schaumburg kemudian menjalankan percobaan kedua yang melibatkan pemberian MSG bubuk kepada 56 orang yang sudah diminta untuk berpuas. Masa selama 6 jam. Masing-masing ditanya tentang 3 gejala utama, yaitu rasa terbakar pada tenggorokan, wajah memerah, dan nyeri dada. Jika ada salah satu gejala yang dirasakan para sukarelawan, maka itu dianggap sebagai tanda keracunan MSG. 55 sukarelawan mengaku merasakan salah satu gejala, tapi hanya segelintir orang yang mengalami ketiga gejalanya.
Pada eksperimen ketiga, timnya Pak Schomburg mengundang 9 sukarelawan yang semuanya memiliki riwayat sakit kepala dan meletakkan 3 mangkuk sup ayam di depan mereka. Salah satu mangkuk berisi MSG, 2 mangkuk lain hanya diberi garam. Hasilnya, hanya 2 dari 9 sukarelawan yang melaporkan gejala sakit kepala.
Banyak pihak yang menilai kalau penelitian yang dilakukan oleh Pak Schomburg cacat dan tidak akurat. Eksperimen pertama dan ketiga memiliki ukuran sampel yang sangat kecil, yaitu hanya 6 dan 9 orang. Eksperimen kedua juga sama, karena MSG yang menjadi subjek penelitian seharusnya disamarkan untuk memperoleh hasil yang fair. Apalagi para sukarelawan mengkonsumsi MSG saat perut kosong.
Jangankan MSG, mengonsumsi bumbu apapun dalam jumlah banyak saat perut kosong akan menyebabkan ketidaknyamanan, mual, atau mah. Kemudian, timnya Pak Schomburg tidak selalu menggunakan sampel yang representatif dan tidak mengadalikan faktor psikologis secara memadai. Misalnya, pada eksperimen pertama, mereka membawa orang-orang yang pernah mengalami serangan atau gejala di restoran yang sama.
Ini secara psikologis dapat memicu trauma ringan. Pada eksperimen ketiga, mereka menggunakan orang-orang yang sudah memiliki riwayat sakit kepala. Dan bahkan dengan celah tersebut, hanya 2 dari 9 orang yang menunjukkan gejala.
Ini mungkin karena sukarelawan ditutup matanya, sehingga mereka memberikan testimoni yang fair dan memadai. Yang terburuk dari semuanya adalah pada eksperimen kedua, dimana 56 sukarelawan sudah mengetahui kalau mereka mungkin menelan zat yang berpotensi berbahaya, yang secara terakhir, secara otomatis menyebabkan kecemasan. Ini menunjukkan kalau kekuatan sugesti itu nyata. Meskipun eksperimennya terkesan ingin menjatuhkan nama MSG, Pak Schomburg berisi keras kalau MSG bukanlah zat yang sepenuhnya berbahaya. Namun muncul dokter lain yang secara keras mengklaim bahwa MSG menyebabkan kerusakan otak dalam sebuah penelitian yang rada mengerikan yang diterbitkan pada bulan Mei tahun 1969. Penelitian tersebut dilakukan oleh Dr. Olney, seorang psikiater di Universitas Washington di St. Louis.
Kenapa penelitian dokter Olney mengerikan? Karena beliau menyuntikkan anak tikus albino dengan larutan 4 mg MSG per gram berat badan. Mencit atau anak tikus tersebut kemudian diutanasia dan melaporkan adanya lesi otak ketika dibedah. Coba dipahami dengan baik, anak tikus disuntikan MSG lalu dibedah.
Sudah? Kalau sudah, kita ke eksperimen beliau yang kedua. Dalam eksperimen kedua, Dr. Olni menyuntikkan 20 tikus lagi dengan konsentrasi MSG yang lebih tinggi, yaitu hingga 7 mg per gram berat badan dan mengamati mereka hingga dewasa.
Tikus-tikus ini kemudian dibandingkan dengan 18 tikus yang tidak menerima suntikan. Dr. Olni melaporkan bahwa tikus-tikus MSG tersebut mandul dan terhambat pertumbuhannya. Nafsu makan menurun, tapi berat badannya bertambah cepat. mereka juga terlihat lesu dan memiliki rambut yang tidak sehalus tikus normal berdasarkan temuan ini dokter Olni dengan tegas menyatakan bahwa ibu-ibu yang sedang hamil harus menghindari MSG karena berpotensi membahayakan janin banyak dokter lain yang menurut saya menganggapi penelitian Dr. Olni dengan beberapa kritik yang memberatkan. Pertama, jumlah MSG yang disuntikan Dr. Olni sangat berlebihan.
Ini setara dengan manusia dewasa yang memakan 450 gram MSG sekali caplok. Berapa banyak 450 gram? Sase kecil Ajinomoto adalah 7,5 gram. Berarti sama dengan menenggak 60 sase kecil sekaligus.
Gimana gak modar? Ingat! Segala apapun yang berlebihan tidaklah mengandung kebaikan.
Selain itu, kita tidak menyuntikkan MSG di kulit, kita memakannya. Tidak secara murni, tapi sebagai campuran masakan, yang pada akhirnya dipecah oleh asam dan enzim di perut kita. Lagipula, jangankan MSG atau garam, menyuntikkan cairan yang tidak berbahaya sekalipun masih dapat menghancurkan atau merusak organ yang rentan. Kritik lain dari para dokter adalah, Pertama, tikus bukanlah manusia. Kita nggak bisa begitu saja mengekstrapolasi satu spesies ke spesies lainnya.
Kedua, dokter Olney tidak dibutakan dan mengetahui dengan jelas tikus mana yang menerima suntikan MSG dan tikus mana yang tidak. Hal ini dapat menimbulkan bias dalam mengukur ukuran subjek atau menentukan apakah salah satunya mengalami perubahan tertentu. Ketiga, Dalam merumuskan peringatannya kepada ibu hamil, Dr. Olney mengabaikan kemungkinan bahwa placenta pada ibu hamil serta pembatas darah dan otak dapat menyaring MSG dengan baik dan mencegah kerusakan. Faktanya, penelitian modern telah menetapkan bahwa hampir tidak ada glutamat atau MSG yang tertelan yang berpindah dari usus ke darah, dan tidak ada MSG yang berpindah dari placenta ibu ke janin.
atau melewati pembatas darah dan otak. Sayangnya, bukti sahih dan penelitian medis yang akurat tidak akan menghalangi orang-orang yang ingin memberitakan sesuatu yang buruk secara spektakuler. Begitupun dengan media. Kita bisa tebak cerita mana yang akan lebih banyak diberitakan dan lebih banyak dibaca. Sesuatu yang telah kita makan sepanjang hidup adalah benar-benar aman atau ancaman obesitas, mandul, serta kerusakan otak bayi yang dipicu oleh zat kimia asing.
Akibatnya, kepanikan MSG atau sindrom restoran Cina terus meningkat. Padahal sejak tahun 1960-an, banyak penelitian lanjutan terhadap MSG yang sebagian besar membuktikan kalau MSG tidak berbahaya. Terlebih, jika MSG memang benar zat yang merugikan tubuh, kenapa cuma orang Amerika saja yang merasakan gejalanya?
Katakanlah, orang Amerika mengonsumsi sekitar 500 mg MSG per hari. Sementara orang-orang di Indonesia tidak. di negara Asia mengonsumsi 1700 mg per hari lebih dari 3 kali lipatnya tapi kenapa orang-orang di Asia tidak mengalami sakit kepala?
jawabannya sebenarnya sederhana karena mereka tidak mengharapkannya dan tidak pernah diberitahu kalau mereka harus sakit kepala kemudian MSG disebut sebagai korban rasisme ini karena orang-orang di Amerika Serikat sesungguhnya telah mengonsumsi MSG dalam sup kalengan dan makanan lain selama beberapa dekade kadil tanpa masalah. Hanya ketika MSG dikaitkan dengan masakan Cinalah, orang Amerika menjadi panik. Poin ini juga meruntuhkan anggapan kalau MSG sebagai penyebab sebenarnya sindrom restoran Cina.
Karena menurut penelitian mutakhir, rasa tidak nyaman yang datang setelah makan Chinese food adalah kandungan garam yang tinggi. Tapi kalau garam adalah biang kela di sindrom restoran Cina, pepperoni dan keju juga mengandung banyak natrium alias garam. Tetapi, kenapa tidak ada ada yang namanya sindrom restoran Italia.
Ketakutan terhadap MSG memang masih terus bergema di dunia maya. Tapi sebagian besar sensasi negatif telah meredah. Namun sepertinya kita harus kembali merenungkan tentang bagaimana jika sains yang buruk menjadi sebuah artikel dalam media besar, dipercaya dan diaplikasikan dalam kehidupan. Pak Kwok, Dr. Schaumburg, dan Dr. Olni mungkin memang dengan tulus ingin membantu dengan diskusi dan serangkaian penelitian.
Namun, kisah mereka menunjukkan bahwa bahkan ilmuwan sekalipun masih rentan terhadap fitnah, rumor, histeria, dan urban legend yang menentang akal sehat. Jadi, apakah MSG buruk? Tidak.
MSG aman dikonsumsi selama penggunaannya dalam jumlah wajar dan selama digunakan sebagai bahan penambah rasa masakan. Tidak dimakan mentah, apalagi disuntikan. Saya tidak ingin memaksa teman-teman untuk menggunakan MSG.
Saya hanya mencoba meluruskan stigma negatif yang terlanjur melekat kepada MSG. Jika kamu sudah nyaman menjalani hidup tanpa MSG, silakan lanjutkan. Tapi perlu diketahui, tidak ada dampak buruk yang mengerikan yang datang dari penggunaan MSG sehari-hari pada masakan. Ketakutan terhadap MSG disebabkan oleh media yang memanfaatkan kegemaran netizen untuk menjadi yang pertama dalam menyebarkan berita menakutkan. Meskipun mungkin memang lebih baik untuk menghindari atau mengurangi makanan yang mengandung MSG, menurut artikel di Harvard Health Publishing, MSG sebenarnya dapat membantu kita mengurangi jumlah natrium yang dikonsumsi saat memasak di rumah.
Karena meskipun mengandung natrium, MSG hanya mengandung 12,28 gram natrium per 100 gram. Itu sekitar 1 per 3 dari natrium yang ditemukan dalam garam dapur. Jadi, jika kita mengganti setengah sendok teh garam dapur dengan jumlah, MSG yang sama, maka kita akan mengurangi kandungan natrium dalam masakan sekitar 37% tanpa kehilangan banyak rasa. Ini berarti, MSG dapat membantu meningkatkan persepsi rasa asin, sekaligus mengurangi kandungan natrium dalam masakan. Tapi pilihan saya serahkan ke teman-teman.
Akhir kata, MSG bukanlah racun yang selama ini digembar-gemburkan. Ketakutan ini adalah buah dari berbagai berita yang ditulis tanpa bukti dan sumber yang kredibel. Dan penyebaran rasa takut ini mengakibatkan stigma di masyarakat.
yang semakin khawatir terhadap apa yang mereka konsumsi. Hingga absennya MSG kini menjadi sebuah standar sehat dari sebuah makanan. Bahkan ketika sainsnya sudah jelas sekalipun, masih diperlukan banyak hal untuk menghapus stigma tersebut. Karena pada akhirnya, stigma MSG menjadi lebih besar dari sekedar bahan makanan. Pendanan video alam semenit, sebagian berasal dari para donatur di Saweria.
Carmilla Jo USA, Mainpixeler24, Aura Istri Siroj, Bapak Tiga Bocil, Kuli Proyek, Hadi Akstar, Kiwahirsuta, Si A, Bahri Saja, Donikova, Kecotar Bang, Apa Bisa Dimakan Bang? Senisa dan Twins Maymunah Yusuf Matinul Wolverine Revenge Agung Sulistianto Kamat underscore R.I.D.S. 01 Ayo laundry di warung Denmas Rin lagi skripsi Sisi Tegang Buetri Soleh Sayapudin Arnold Suwardiningrat Chandra Salai Dan Juragan Muntois barman Junun Atikah Fawki monet kena copet Rosadi family ndut giri aja farasyah make up Jogja farasyah make up Jogja Joe Biden Sigma mewing I love you Gina jahro yumna sate marangi terasate Bogor Bapak tiga anak Bapaknya aksya Bapaknya Syam Bapaknya haki mts rids danawari Tegal Marko that doa Indian kuliah diunpat bayu pertama bocil I love alam semenit pipi un kaka in pipi kakalen semangat Bang dan Steven Siegel Terima kasih telah menonton sampai menit ini. Saya sangat-sangat menghargai segala dukungan yang teman-teman berikan kepada Alam Semenit. Jika ingin tahu lebih banyak tentang subjek pembahasan dalam video ini, cek deskripsi video. Di sana teman-teman bisa menemukan segala jurnal, literatur, dan referensi saya dalam menyusun naskah.
Jika suka dengan pembahasan dari Alam Semenit, like video ini dan share. Karena like dan share dari kamu akan membantu perkembangan channel ini. Ikuti perkembangan semua hal yang aneh, menjijikan, dan indah yang mengundang rasa ingin tahu kita semua.
Sampai jumpa di video selanjutnya.