Majalah Tempo edisi 13 Desember 1986 menuliskan laporan panjang mengenai sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Topiknya spesifik, mengungkap kembali pendudukan Jepang. Dalam laporan itu, ada satu tulisan yang berjudul Kontroversi di Sekitar Proklamasi.
Apa isi laporan tersebut? Dan inilah Putar Balik. 16 Agustus 1945, sejumlah pemuda dari perkumpulan Menteng 31 yang terdiri dari Soekarni, Wikana, Aidit, dan Hairul Saleh menculik Soekarno dan Muhammad Hatta ke Rengas Dengklok, Jawa Barat.
Tujuan mereka adalah agar Soekarno dan Bung Hatta segera mengumumkan proklamasi. Sebetulnya, tanpa diculik pun, Soekarno dan Bung Hatta yakin Indonesia bakal segera terbebas dari pendudukan Jepang. Mereka yakin. Jepang akan mengabulkan janji yang diucapkan di Dalat, sebuah kota di Vietnam, 300 km dari Saigon. Ada apa di Dalat?
Cerita bermula dengan dibubarkannya Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada awal Agustus 1945. Panitia ini kemudian diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Soekarno dan Hatta jadi ketua dan wakilnya. Pada 9 Agustus 1945, Bung Karno, Bung Hatta, dan Dr. Rajiman Wedio Ningrat diutus pergi ke Dalat, Vietnam. Di kota itu, mereka menemui panglima seluruh angkatan perang Jepang di Asia Tenggara, General Terauchi. Sukarno, Hatta, dan Rajiman pergi ke Dalat ditemani Lieutenant Kolonel Nomura dari Gunseikanbu, Jakarta, atau Pusat Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia.
Pertemuan tiga bapak bangsa itu dengan Terauchi di Dalat dituliskan oleh Bung Hatta dalam memuarnya. Di sana, Bung Hatta menulis, Terauchi selaku wakil pemerintah Jepang memutuskan memberi kemerdekaan pada Indonesia. Bagi Bung Hatta, pertemuan itu istimewa. Ia menuliskan, Aku gembira luar biasa, sebab hari itu, tanggal 12 Agustus, hari ulang tahunku.
Sekembalinya Soekarno, Hatta dan Rajiman ke Indonesia, Sultan Syahrir memberi kabar bahwa Jepang sudah minta damai kepada sekutu. Syahrir pun mendesak agar pernyataan kemerdekaan tidak dilakukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sebab, kemerdekaan semacam itu bisa dicap oleh sekutu sebagai buatan Jepang. Hatta setuju dengan Syahrir, tapi ia sangsi apakah Bung Karno dapat melakukan hal itu. Sebab, bila Bung Karno bertindak begitu, menurut Hatta, Ia dianggap merampas hak panitia persiapan kemerdekaan Indonesia.
Benar saja, setelah ketiganya bertemu, Soekarno menolak desakan Syahrir. Saat itu, Bung Karno belum yakin bahwa sekutu sudah mengalahkan Jepang, tapi berbeda dengan Adam Malik. Menurut dia, Bung Karno justru gembira atas janji kemerdekaan yang diberikan Terauchi di Dalat. Dalam perkiraan Bung Karno, janji itu akan ditepati pada September 1945. Ada Malik yang waktu itu bekerja sebagai wartawan di kantor berita dome, tahu bahwa Jepang sudah kalah dari sekutu.
Apalagi sebelumnya, Hiroshima dan Nagasaki dibombardir oleh bom atom. Ada Malik dan sejumlah pemuda pun mendesak Bung Karno dan Muhatta segera memproklamasikan kemerdekaan lebih cepat di luar rencana Jepang. Akhirnya, para tokoh menyusun naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda di Benteng, Jakarta Pusat.
Bagaimana situasi penyusunan naskah proklamasi saat itu? Tempo merekonstruksi kembali peristiwa tersebut. Pembahasan naskah proklamasi dilakukan di ruang makan rumah Maeda.
Di situ terdapat sebuah meja bundar. Menurut pembantu dan penerjemah Maeda, Sige Tadanishijima, di meja bundar itu ada Bung Karno, Bung Hatta, Ahmad Subarjo, Maeda, Nishijima, dan seorang pejabat Angkatan Darat Jepang, Yoshizumi. Di luar rumah Maeda, para pemuda berkumpul.
Mereka adalah Herul Saleh, Adam Malik, dan Soekarni. Para pemuda meminta agar teks proklamasi itu bunyinya keras. Tapi ada cerita berbeda yang diungkap Sayuti Malik.
Menurut Sayuti, pada malam itu tak seorang Jepang pun yang hadir ketika teks proklamasi disusun. Aksamanamaeda hanya menyediakan tempat untuk mengadakan proklamasi. dan rapat. Menurut Bung Hatta, sebetulnya sudah ada teks proklamasi yang disusun pada Juni 1945, yang kemudian disebut Piagam Jakarta.
Tapi, kala itu tak seorang pun yang membawa teks tersebut. Bung Karno kemudian berkata, Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu, sebab bahasanya kuanggap terbaik. Sesudah itu, kita persoalkan bersama-sama. Dan akhirnya semua setuju.
Bung Hatta bilang, kalimat pertama naskah proklamasi itu diambil dari akhir alinia ketiga draft pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tapi, Ahmad Subarjo punya versi tersendiri. Menurut Ahmad, dialah yang mengucapkan kalimat kami, rakyat Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan kami. Ahmad Subarjo mengucapkan kalimat itu setelah ditanya oleh Bung Karno.
Masih ingatkah saudara teks dari bab pembukaan Undang-Undang Dasar kita? Sementara itu, Nishijima juga punya klaim tersendiri. Menurut dia, berkat campur tangannya lah, naskah proklamasi itu lebih lunak dan tak sekeras keinginan kelompok pemuda.
Di naskah itu, Nishijima menambahkan kata-kata pemindahan kekuasaan. Hal ini dilakukan, kata Nishijima, agar sekutu tidak marah. Belakangan, Pemerintah Belanda pun menuding naskah itu bikinan Jepang, karena di naskah itu keterangan tahunnya tertulis 05, bukan tahun 45, yang artinya mengacu pada sistem penanggalan Jepang. Pada Agustus 1945, ternyata Indonesia pernah berjalan tanpa Undang-Undang Dasar. Seperti apa penyusunan Undang-Undang Dasar 1945?
Pada 19 Agustus 1989, kisah ini dituliskan tempo dalam laporan berjudul Ketika Republik Berdiri. Isinya mengulas sejarah programasi kemerdekaan dan berbagai peristiwa di sekitarnya. Di edisi tersebut, terdapat artikel berjudul Konstitusi Kilat di Zaman Yang... Laporan itu berisi cerita penyusunan Undang-Undang Dasar 1945. 14 Agustus 1945, Kaisar Jepang Hirohito menyerah pada sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibombardir pada 6 dan 9 Agustus 1945. Kabar kekalahan Jepang itu sampai ke Indonesia.
Tiga hari setelah Jepang menyerah, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bangsa Indonesia Keputusan proklamasi kemerdekaan itu sangat cepat Sampai-sampai, para pendiri bangsa kita belum sempat menetapkan Undang-Undang Dasar Setidaknya, sampai satu hari setelah proklamasi kemerdekaan Kisah penyusunan Undang-Undang Dasar dimulai pada pertengahan 1944. Saat itu, Jepang mulai terpukul di banyak front pertempuran. Untuk memperoleh dukungan lebih besar dari rakyat Indonesia, Jepang menjanjikan kemerdekaan. Janji itu disampaikan Perdana Menteri Kuniaki Kaiso di Parlemen Jepang 7 September 1944. Namun Kaiso tak menyebut jelas kapan kemerdekaan itu akan diberikan.
Februari 1945, Amerika Serikat merebut Filipina dari tangan Jepang. Disusul perebutan Burma oleh Inggris, tiga bulan kemudian, wibawa Jepang di Indonesia mulai melorot. Sampai pada Februari 1945, terjadi peristiwa pemberotakan peta di Blitar. Gara-gara peristiwa itu, dua bulan kemudian, pada April 1945, Pemerintah militer Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia alias BPUPKI.
Badan beranggotakan 62 anggota itu dikukuhkan pada 28 Mei 1945. Ketuanya, Dr. Rajiman Wediodiningrat. Tapi, tokoh yang paling berperan di sidang-sidang BPUPKI adalah Soekarno yang kemudian menjadi presiden. Ada juga Prof. Aden Supomo. Ahli hukum adat terkemuka pada masa itu.
Tujuan pembentukan BPUPKI sebetulnya agak buram. Bekas anggota BPUPKI, Kiai Haji Maskur, bercerita, kami ditunjuk Jepang begitu saja, tanpa alasan jelas. Dalam dua kali sidang BPUPKI, pada akhir Mei dan Juli 1945, sidang BPUPKI digelar di Gedung Vox Rat.
yang sekarang jadi Gedung Kementerian Luar Negeri. Di sidang itu, para tokoh lebih banyak membicarakan soal bagaimana agar Indonesia bisa lebih cepat merdeka. Desakan ini muncul dari Soekarno, yang memimpin tim untuk menyiapkan rancangan Undang-Undang Dasar.
Nah, di sidang BPUPKI juga, sempat muncul dua usulan dasar negara, yakni Islam dan Kebangsaan. Para anggota BPUPKI segera melakukan pemungutan suara. Hasilnya, 15 suara mendukung dasar negara Islam, dan sisanya 45 suara memilih kebangsaan. Meski sudah kalah dalam pemungutan suara, dorongan agar Islam sebagai dasar negara tetap muncul dalam banyak perdebatan di badan konstitusi ini.
Pada sidang 31 Mei 1945, Kahar Muzakir menyampaikan pidato tentang pentingnya dasar negara Islam untuk Indonesia. Dua tokoh Kristen, Latuh Harhari dan Ratu Langi, langsung memprotes keras, sembari menyatakan akan meninggalkan dan tak lagi mengikuti rapat BPUPKI. Malamnya, Kiai Maskur, Muzakir, dan Wahid Hasim bertemu Soekarno di rumah Muhammad Yamin.
Mereka membahas peristiwa tadi. Di sana Soekarno menyampaikan lima asas negara yang akan disampaikannya pada sidang 1 Juni. Lima asas itu yang kemudian kita kenal sebagai Pancasila.
Soekarno menyebut lima asas ini bisa menjadi jalan tengah bagi semua kelompok. Maskur dan kawan-kawan menerima lima asas itu dengan syarat. Setelah asas ketuhanan, ditambahkan kalimat Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Soekarno sempat berjanji akan mengusahakannya. Janji itu memang dipenuhi oleh Soekarno.
Dalam buka dimah undang-undang dasar yang disusun tim 9, tercantum 7 kata yang diinginkan golongan Islam, yang kemudian terkenal sebagai piagam Jakarta. Piagam itu dimasukkan dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang disahkan pada sidang terakhir BPUPKI 16 Juli 1945. Tapi, satu bulan kemudian, dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, piagam Jakarta dicoret dari konstitusi. Pasalnya, sejumlah tokoh khawatir piagam Jakarta malah akan menimbulkan perpecahan.
Bagi para bapak bangsa kita, kemerdekaan adalah di atas segalanya. Karena itu, tidak boleh ada perpecahan. Ini perubahan yang maha penting, menyatukan segala bangsa, kata Bung Hatta.
Soekarno, dalam pidatonya mengatakan, bahwa konstitusi yang mereka buat itu adalah undang-undang dasar sementara. Nanti, kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, Kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna. Itu kata Soekarno. Hari itu juga, Soekarno dan Hatta secara aklamasi dipilih PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Siang harinya, setelah sidang PPKI, Soekarno pulang.
Di tengah jalan, Bung Karno bertemu dengan seorang tukang sate ayam yang tak memakai baju. Soekarno memesan 50 tusuk sate dan menyantapnya di tepi jalan, dekat got yang bau. Ku makan sateku dengan lahap, dan inilah seluruh pesta atas pengangkatanku sebagai kepala negara, kata Soekarno dalam buku Bung Karno, Penyambung Lindah Rakyat.
Dalam perjalanan Republik selanjutnya, Undang-Undang Dasar 1945 sempat diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada Desember 1949. Lalu ada Undang-Undang Dasar Sementara pada Agustus 1950. Setelah pemilu 1955, Konstituante yang dilantik Presiden Soekarno mulai bekerja menyusun Undang-Undang Dasar. Tapi, sampai Februari 1959, Konstituante tak berhasil menyelesaikan tugas tersebut. Sempat kembali muncul perdebatan penentuan dasar negara antara kelompok Islam dan nasionalis. Kesatuan bangsa sempat terancam.
Sampai akhirnya, pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret. Isinya, Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.