Allahumma faqihna fi d-din wa'allimna at-ta'wil. Bismillahirrahmanirrahim. Ila hadratin Nabiil Mustafa Muhammad ibn Abdullah wa'alihi wa'azwajihi wa dhurriyatihi ajma'in. Al-Fatihah. A'udhu billahi minash shaitanir rajim.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirrabbilalamin. Ar-Rahmanirrahim.
Malik yawmiddin. Iyaka na'budu wa iyaka nasta'in. Ihdina shirata almustaqim. Shirata alladzina an'amta. yang disahabatkan di Al-Iram wa ila arwahul ulamai wal awliya wa syuhudah wal salihin wa bil khusus ila ruahi sahib warakat alimam al-haramin wa ila ruahi sahib mantumat al-warakat alimam al-amriti wa ila ruahi sahib awdahi turuqat Ya Muhammad wa Ibn Hamdawi, wa ila arwah jami'a satidatina wa mashayikhina, wa ila arwah ashtadina, wa jaddatina wa akarin al-amwad, al-fateha.
A'udhu billahi minash shaitanir rajim, bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi rabbil alamin, arrahmanirrahim. Maliki yawmid. Kala almuallifu rahimahullahu tabarakatuh wa ta'ala Shaykh Sarafuddin al-Amriti Babun Nahyi Wa kala Shaykh Amrid al-Amriti Rahimahullahu tabarakatuh wa ta'ala Naudhiman limassalahu imamul haramain Ilwaraqatuh pada pertemuan ini kita sampai pada bab an-nahyi yang artinya larangan.
An-nahyi atau larangan dalam bahasa Arab an-nahyu lughotan al-man'u larangan itu secara bahasa artinya al-man'u, mencegah. Jangan rasanya begitu. Seperti perkataan nahahu an-kada...
Artinya, melarang dari pengerjaan ini. Artinya, mencegahnya untuk terjadi perbuatan itu. Itu namanya an-nahyu.
Secara istilah usul fiqih, Imam Al-Umriti menazomkan daripada perkataan Imam Haromen. Tarifuhu adapun definisi dari An-Nahyu, istid'a'u tarkin, kot wajab, yaitu menuntut ditinggalkannya suatu pekerjaan. Kot wajab, maksudnya ala sabili'l wujud.
Tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan itu memiliki muatan harus, muatan wajib. Bil kauli, tuntutan untuk meninggalkan tersebut dilakukan dengan jaran al-kaul. Sebuah perkataan, sebuah ucapan. Ada yang memanahi bil isyaroh, pakai isyarat juga bisa. Maka tuntutan untuk meninggalkan tersebut bisa terjadi.
Meskipun lewat isyarah. Mimangkana duna mantolat dari atasan kepada bawahan. Kala sheikhuna kiai muhibbi hamzawi rahimahullahu tabarakatuh wa ta'ala.
Wa nafa'ana bihi wa bi'ulumihi wa bi'karamati du'ai amin. Wal ma'na. Maksud dari nadroman tersebut adalah Tarifun Nahyi Definisi daripada An-Nahyi Definisi adalah apa?
Tolabutarki bilkauli mimman huwaduna talibi ala sabi lilwujub Tuntutan meninggalkan sesuatu pekerjaan Dengan lesan, dengan ucapan Terjadi dari atasan kepada bawahan. Tuntutan ini memiliki muatan wajib, harus. Nah itu definisi yang disederhanakan oleh guru kita, Kiai Mohibbi dari baik tersebut.
Wahibi juga menyatakan bahwa ta'rif ini adalah ta'rif al-al-mashhur. Ta'rif tersebut adalah ta'rif yang cukup populer di kalangan ulama. Definisi yang populer penggunaannya di antara para ulama dan para santri. Oleh karena itu, definisi ini sering dipakai dari satu generasi ke generasi yang lain.
Makanya punya sifat al-al-mashhur. Kalau ulama fiqih bilang kata al-mashhur, itu artinya definisi ini atau hal yang dirucuk tadi, itu merupakan hal yang lumprah dan sering. digunakan oleh para ulama dalam fan tersebut.
Itu definisi al-mashur. Lain hanya istilah al-mashur di dalam ilmu hadis misalnya. Maka kata al-mashur dan ilmu hadis itu merujuk pada banyaknya periwayatan.
Banyaknya periwayatan yang dimiliki oleh sebuah hadis. Namun periwayatan tersebut... tidak sampai pada derajat mutawatir. Tapi banyak, tapi nggak sampai derajat mutawatir.
Maka itu disebut masyur. Maka setiap idea, setiap definisi, itu harus diterapkan atau diletakkan penggunaannya sesuai dengan fun ilmu yang dibicarakan. Jangan sampai campur aduk.
Kiyei muhibbi melanjutkan. Wattah kiku. Annahu la yushtaratu fil amri wannahi al'uluh.
Ay suduruhuma minal ali ilal adna. Walal istila. Ay suduruhuma mimman yadharu at'adhum. Alal matlubi minhu. Pendapat yang dipegang berdasarkan penelitian Qiyai Muhyiddin ini, wa'tahqiku, itu berarti yang benar, berdasarkan penelitian, pembacaan yang panjang oleh Qiyai Muhyiddin, disimpulkan, namanya wa'tahqiku.
Apa kesimpulannya tidak disyaratkan dalam hal al-amr perintah, maupun dalam hal an-nahyi larangan. tidak disaratkan apa? al-uluh, adanya ketinggian, gak mesti mau perintah, mau larangan itu dari atasan ke bawahan, gak mesti, gak usah pakai syarat itu, begitu pula gak usah pakai syarat al-istilah jadi di dalam memungkakan statement, baik itu larangan maupun perintah, harus ada nilai atahagum keagungan kehebatan, kewibawaan tinggi tidak usah, tidak ada syarat istilah ataupun syarat oluh itu pendapat dari hasil kajian guru kita, Kiai Mohibbi dasarnya apa Kiai Mohibbi begitu?
Kiai Mohibbi mendasarkan pendapat beliau ini bahwa baik Al-Amr Perintah atau andahi, enggak usah pakai syarat bahwa ini berasal dari atasan ke bawahan. Syarat ulu, enggak usah. Atau bentuk statementnya itu harus pakai kata ta'agum. Kata-kata yang hebat, wah, menuju keagungan, enggak usah. Itu enggak perlu.
Nah, G.I. Mohibbi berpendapat demikian karena G.I. Mohibbi memegang dalil. argumen, yaitu hikayatan an-Firaun khitoban di kaumihi, yaitu riwayat dalam Al-Quran Al-Quranul Karim meriwayatkan kisah Firaun dan Nabiullah Musa disitu Firaun Dan pengikutnya yang setia sama dia, Fir'aun mengatakan, Ini dari ayat Surah Al-A'raf 109-110 itu bisa dilihat. Itu ayat lengkapnya itu, Jadi para pembesar Fir'aun itu, Jadi pembesar Fir'aun itu, mengimpulkan, apa yang dilakukan Musa, itu merupakan magic, sihir, umum di kita ada sihir begini, nah itu kata, para pembesar dari kaum Fir'aun, bahkan di ayat yang lain, menyatakan bahwa, ini adalah perkataannya Fir'aun sendiri, Yuridu ayyukhrijakum min ardikum bisihrihi, famadha ca'murun. Jadi Feraun atau para pembesarnya ini berkata kepada bawahannya, Yuridu ayyukhrijakum min ardikum bisihrihi.
Musa dengan kekuatannya tadi itu ingin mengeluarkan kalian dari bumi kalian, melalui jalur sihir. jalur magic, lalu bilang famadha ta'murun maka apa saran kalian? Jadi kata takmurun, amr, perintah, itu malah dari bawahan ke atasan. Fama da takmurun. Apa yang tidak kalian perintahkan, jadi dari bawahan kepada atasan.
Jadi yang ngomong ini Firaun atau para pembesar kerajaan Firaun. Kata fama da takmurun, kata amr. Ternyata amr ini di dalam Al-Quran penggunaannya adalah bisa dipakai dari bawahan ke atasan. Maka menurut Qaymu Hibi, ayat ini, teks ini, menjadi dasar bahwa al-amr itu tidak pakai syarat al-ulu. Dari atasan ke bawahan.
Tidak ada syarat itu. Tidak harus. Begitu pula tidak harus adanya isti'ala.
Jadi dalam teksnya itu, dalam perintah atau larangannya itu ada nuansa keagungan, ta'adhum, kehebatan, itu tidak ada. Karena ternyata Al-Quran menggunakan kata seperti itu, فَمَاذَا تَأْمُرُونَ Inilah yang dipegang Qaymuhibbi, bahwa amr atau nahi tidak perlu berasal dari atasan kebawahan, atau teksnya itu harus kata ta'adhum. Ada nilai, ada nuansa keagungan atau kehebatan.
Itu yang dipegang keimuahimbi berdasarkan ayat ini. Yaitu perkataan Fir'aun atau para pembesarnya Fir'aun tentang Nabiullah Musa. Yuridu ayyukhrijakum min ardikum bisihrihi famadha ta'murun. Surah Al-Araf 110. Itu Musa ingin mengeluarkan kalian. Dari tanahnya, dari tanah kalian, dengan jalur syihir.
Lalu, Maka apa yang hendak kalian amarkan, perintahkan, maksudnya dari bawahan ke atasan. Itu saran jadinya. Kalau bahasa Indonesia namanya saran. Tetap bahasa pakai al-amr. Nah ini terkait definisi al-amr dan an-nahyi.
yang oleh kemuhibbi dipegang. Tidak ada al-ulu dan tidak ada al-istikla di dalamnya. Lalu bagaimana esensi amr dan nahi ini?
Qala asyai syarafuddin al-umriti naziman lima qalahu al-imamul haramin fil warakat wa amruna bisyai'i Ada pun perintah kami, perintah kita maksudnya perintah dalam Al-Quran dan Sunnah tentang sesuatu maka perintah sesuatu itu berarti larangan yang dicegah dari kebalikannya begitu pula Maka larangan tentang sesuatu berarti itu perintah untuk melakukan sesuatu yang lain. Wal ma'na min haza. Qala kay muhibbi hamzawi. Wal ma'na min haza. Ma'na daripada baik ini.
Jadi maknanya adalah, an-nal-amroh, an-nafsi-bisya'i, perintah pada dimensi kesendiriannya terhadap sesuatu hal yang ditentukan. Jadi perintah terhadap sesuatu hal yang ditentukan, itu berarti nahyun maniun abdidi, berarti larangan. mencegah dari perbuatan lawannya. Jadi kalau ada perintah tentang suatu hal yang tertentu, maka berarti larangan bagi kebalikan. Bagaimana?
Artinya, anna ta'alluq al-amri bishshayyi, huwa a'inu ta'alluqihi. Pilkafi Anditihi Maka maksudnya perintah terhadap sesuatu, maka pada esensinya itu terkait dengan mencegah daripada melakukan selain itu. Wahid dan kanadidu, apakah itu lawannya itu adalah satu lawan satu? Kadid disukunin ladihu wa tahruk, seperti misalnya perintah. uskun, diem, diem berarti perintah diem itu merupakan larangan la tatah haram la tatah haram, jangan gerak jadi kata uskun pada a'innya, pada esensinya itu mengandung muatan la tatah haram, jangan gerak berarti kata uskun dengan la tatah haram Itu lawanan, satu lawan satu.
Lalu bagaimana dengan perintah kalau lawannya lebih dari satu? Misalnya apa? Kata al-qiyam, kum, berdiri. Kata kum artinya berdiri.
Maka di dalam kata kum itu... mengandung makna, la takut, jangan duduk, la tak taki, jangan sendir-senderan, la tas talqi, jangan menyandar. Nah, maka kata kum itu secara esensi.
Berdiri artinya, itu secara esensi, itu berarti larangan untuk duduk, larangan untuk senderan, dan larangan untuk menyandar pada sesuatu. Maka berarti lawannya itu lebih dari satu. Nah itu menurut bait ini, Maka al-amr itu adalah nahi, nahi adalah al-amr. Karena sifatnya adalah ayn. Jadi al-amru an-nafsi bishai, huwa aynun nahi an-nafsi an-didihi.
Nah itu pendapat daripada kemuhibi makna dari teks ini apa, baik ini. Dan pendapat ini... Itu merupakan pendapat jumhurul mutakalimin.
Jadi mayoritas para teolog itu, terutama Asyari Maturidi memegang ini. Nanti kita jelaskan lebih lanjut. Selain daripada itu, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa Kata Qayyim Mohibbi dijelaskan juga, wakila. Kata Qayyim Mohibbi menyebutkan kata wakila.
Ada pendapat lain. Padahal pendapat ini diikuti oleh banyak orang. Ibn Taymiyah mengikuti pendapat ini.
Syekh Ibn Taymiyah mengikuti pendapat ini. Para pengikut mazhab maliki, ashabu malik, mengikuti pendapat ini. Ini juga diikuti oleh Imam Al-Baqilani.
Yang mana al-Baghilan itu mengikuti pendapat yang awal. Yang saya sebutkan tadi itu. Tapi kemudian dia beralih pada pendapat yang kedua ini.
Apa pendapat yang kedua ini? Wakila. Gey Muhyibin menyebut kata waki, wakila. Nah ini hebatnya Gey kita.
Kenapa kok pakai kata wakila? Tidak menyebutkan saja orang yang berbeda itu ada ini, ini, ini. Tapi kata wakila.
Karena G. Muhyiddin punya tujuan bahwa kitab ini untuk orang-orang pemula. Kitab ini disederhanakan untuk umum. Sehingga jangan sampai fokus mereka itu kemana-mana.
Fokusnya ke satu saja. Tetapi mereka juga patut diberi pengetahuan. sedikit, tapi jangan fokus yang sedikit tadi, tapi fokus yang pokok Maka kemudian kata wakila.
Memakai kata waki-wakila. Wakila. Pendapat kedua mengatakan, Pendapat kedua menyatakan bahwa perintah terhadap sesuatu itu bukanlah intinya itu bukan secara lain, secara inti itu bukan larangan daripada lawannya, namun yata demmanu itu hanya muatan efek, ya memang seharusnya begitu, yang namanya yata demmanu yastalzimuhu efek, jadi bukan inti, kalau pendapat pertama kan Perintah terhadap sesuatu berarti intinya larangan terhadap lawannya.
Intinya. Ain. Tapi yang kedua enggak. Enggak, bukan intinya.
Tapi hanya efeknya. Nah ini pendapatnya Sheikh Ibn Taymiyah, Ashabu Malik, dan pendapat Al-Baghilani. Meskipun Al-Baghilani dulu pertama adalah mengikuti pendapat yang awal.
Yang bilang Ain tadi. Inti tadi. Itu pendapat yang kedua. Pendapat ketiga, yang ini adalah pendapatnya Mota Zilah. Tapi KMUHB tidak menyebutkan nama Mota Zilah di sini.
Hanya menyebutkan pendapat lainnya. Yaitu An-Nah-Yu-La-Isa. Aynu al-amr. Al-amr bishay laisa nahyu andiddihi.
Laisa aynu nahyu andiddihi wa lai yata dommanuhu. Enggak. Kata Mu'tazila, amr itu cerita beda, nahyu juga cerita beda.
Enggak usah digabungkan. Enggak usah di ini efeknya, ini-ini, enggak usah. Pokoknya dua-duanya jalan sendiri-sendiri. Itu pendapat Mu'tazila.
Wallahu'alam. At-tambihat. Di sini ada peringatan.
Nampaknya Qaymu Hibbi ini menggunakan argumen lain. Jadi kemohibbi itu lebih menggang pada pendapat ulama yang pertama. Itu pendapat Imam Syangkiti, Syafi'i, dan lain sebagainya. Yang mengatakan bahwa perintah terhadap sesuatu itu pada intinya larangan terhadap lawannya. Atau larangan terhadap sesuatu berarti perintah terhadap larangannya.
Intinya begitu. Aino ta'alukihi bahasanya. Kemohibbi menggang ini.
Logika bahwa teksnya memang berlarangan, tapi itu punya muatan, punya ta'aluk, perintah juga terhadap lawannya. Nah, Gai Muhyiddin menganalogikan seperti ini. Lihat misalnya, Al-Murad bil-amr wa nahyi'an nafsi.
Aikalamullah al-qadim alladhi laisa bi hurufin wa la aswatin ala stilahil mutakallimin addal al-amr bishay'awin nahyi'adhu Di sini ada yang disebut al-amr an-nafsi, ada juga an-nahyi'an-nafsi. Yang sifatnya, perintah ini adalah zatullah. An-nahi, an-nafsi itu zatullah.
Maksudnya, itu seperti kalamullah al-qadim. Kalamullah yang nempel pada zat Allah SWT. Di mana Allah punya sifat, Tidak ada sesuatu apapun yang serupa pada Allah.
Tidak butuh apapun dari makhluknya. Maka di situ kalamullah al-qadim itu tidak butuh pada huruf, tidak butuh pada suara. Karena huruf dan suara punya awalan, punya akhiran. Misalnya bak dimulai ketika ngomong Bismillahirrahmanirrahim.
Bak mulai maka bak itu kemudian punya akhiran. Akhirannya bak diawali oleh sin. Sin berakhir jadi mim.
Ini adalah sifat berurutan memakan waktu. Waktu memakan dimensi. Dan Allah tidak butuh sama waktu dan dimensi.
Maka, Kalamullah an-nafsi laisa bi hurufin wa la aswad. Pun demikian, Ada yang disebut al-amr an-nahi al-lafdi. Yaitu larangan dan perintah yang sifatnya lafdi.
Tekstual. Maka di sini adalah yang kita tongkrongin, yang kita maknai. Yaitu kalamullahi almasturu fil masahif. Yaitu kalam Allah yang tertulis dalam mushaf. Ahrufatul makru'ah bil al-sinah.
Huruf-hurufnya dibaca. Secara lesan, lesan manusia ada awal dan ada akhiran. Al-faduhu ad-dalatu al-amri bishay'a win-nahyi.
Rafal-rafalnya, teks-teksnya itu menunjukkan pada perintah tertentu atau larangan terhadap sesuatu. Maka yang kita konsentrasi ini adalah al-amr wa-nahyi al-lafdi. Nah oleh karena itu, maka di sini mau amr dan an-nahi ini kita konsentrasi untuk kita maknai.
Selanjutnya, kemuhibbi seperti hendak mensinergikan tiga pendapat ini, yaitu Pada hakikatnya, perintah dan larangan itu adalah intinya larangan terhadap lawannya. Itu secara inti. Tetapi secara pemikiran, memang perintah dan larangan itu dua hal yang berbeda. Tetapi satu sama lain punya keterikatan efek berpikir. Maka ketika perintah sesuatu, maka efeknya adalah larangan terhadap lawannya.
Itu efek saja, istilzamnya. Ada pun, kalau mau lihat perintah dan larangan itu, sudah sendiri-sendiri saja, tidak ada kaitannya itu. Itu terkait dengan lafalnya. Kalau memang lafalnya larangan, ya sudah dimakni sebagai larangan. Itu apa adanya teks saja.
Kalau yang perintah, ya perintah. Ya sudah dimanai apa adanya itu. Karena memang teks lafalnya seperti itu.
Nah itu kurang lebih yang bisa kita pahami dari diskusi yang dipresentaskan oleh Kiai Muhyiddin Rahimahullah Taba Raka Wata'ala. Pengingat. At-tambihat as-saniyah. At-tambihat as-saniyah.
Pihak yang kedua. K. Muhyiddin memberi catatan.
As-koton naudhimu rahimahullah tabarakatuh ta'ala huna min kaulish syarih. Masalah. Ada satu persoalan yang si penadom yaitu Syekh Sardin Al-Omriti yang menadomkan ini, itu tidak membahas satu hal penting terkait bab ini.
Ada satu masalah yang tidak dia bahas. Apa itu? Menurut KMU Hebi, itu adalah yang tidak dibahas di sini, tapi ini penting.
Yaitu apa? Yadulun nahyu alafasadilmanhi anhu. Yaitu sebuah larangan, larangan yang muncul itu berimplikasi pada makna rusaknya perkara yang dilarang.
Jika ada larangan... A misalnya, itu menunjukkan bahwa perilaku A ini itu rusak, batal. Kemudian karena tidak disentuh pembahasan ini, maka G.
Muhyiddin menjelaskan, G. Muhyiddin menambahkan di sini. Qala kemuhibbi hamzawi rahimahullahu tabaraku wa ta'ala wa yadullun nahyul mutlaku ala fasadil man hi'anhu syara'an alal asah An-nahyu al-mutlak, larangan mutlak itu menunjukkan pada rusaknya hal yang dilarang setara syara'ini pendapat yang asah pendapat yang layak dipegang menurut siapa? Indah syafi'iyah Menurut madhab syafi'i, pengikutnya madhab syafi'i.
Wal-malikiya dan pengikut madhab maliki. Sawa'ungka'an al-manhi'an hu minal ibadat au minal mu'amalat. Baik perkara yang dilarang itu berupa hal-hal terkait ibadah maupun terkait mu'amalah atau transaksi. Misalnya.
Wafil ibadati sawa'un nahyun anha li'ainiha. Yaitu sebuah perkara ibadah yang larangannya itu terkait pada esensinya, ainnya. Seperti sholatnya orang haid dan puasanya. Kasolatil haidi wasomihah. Misalnya sholatnya orang haid itu tidak boleh.
larangan, larangan sholatnya orang haid itu larang, orang haid dilarang sholat kalau ia melakukan sholat maka sholatnya itu fasad rusak, batal, dasah dan ini karena aynnya, karena dirinya sendiri ada juga li amrin khori cin anha lazimin lah Atau larangan ini bukan karena dirinya, tapi karena faktor lain di luar itu. Seperti larangan puasa pada tanggal 10 Dhul Hijjah saat Idil Adha nyembeli. Karena larangan puasa ini Bukan terkait pada bab puasanya.
Terkait bab orang yang melakukan puasa, bukan. Tapi ini terkait dengan orang yang haji. Dia fatullah, tamu-tamu Allah di sana.
Faktor X. Nah ini di antara contoh-contoh bahwa larangan secara mutlak itu merusak pada pekerjaannya. Larangan orang haji... puasa, maka ketika orang had puasa, maka rusak sholatnya. Itu tambahan daripada gemohipi yang tidak tersentuh pada nathom ini. Begitu pula, tambahan lagi, wa'inkulna al-karoh Kaitannya ini itu, tapi makmurni tidak disukai.
Kenapa? Tidak mungkin. Ada perkara satu, satu perkara, ini satu, perkara ini diperintah, dalam satu waktu pula perkara ini dilarang. Tidak mungkin.
Maka ada sebutan yang disebut Karena orang yang mendatangi perbuatan yang dilarang, itu otomatis tidak bisa mendatangi perbuatan yang diperintah. Karena larangan menuntut ditinggalkan, sementara perintah menuntut terjadinya perbuatan. Oke, itu tentang Karoha Tanzieh.
Ada yang larangan, itu terkait dengan akad. Seperti hadis yang diriwatkan Imam Muslim. Naha Rasulullah SAW anbayil hasa waba'il ghurur.
Yaitu Rasulullah SAW melarang jual. beli melalui jalur lemparan kerikil yaitu menjadikan lemparan kerikil sebagai jual beli yang berdiri di atas akat jadi akatnya itu Berupa tindakan melempar. Maksudnya seperti apa?
Seperti, Aku akan jual sebagian kain ini, yaitu kain yang terkena lemparan. Lempar. Kain mana yang terkena lemparan? Nah itu maka, dia dijual.
Nah di sini dilarang. Kenapa? Karena ada nuansa ketidakjelasan. Bisa jadi tipu-tipu ini. Tipu-tipu.
Maka jual-belinya itu diletakkan, diikatkan pada sebuah lemparan kerikil. Ini semacam kayak undianin, maisir. Kalau di jalan-jalan itu pakai gelang. Jadi dia membayar berapa, nanti mana gelang yang nyampe pada botol, entah itu Coca-Cola, apa teh botol Sosro, apa-apa, apa Sprit, apa Fanta.
Mana yang kena gelang tadi, plung begitu, makanya dibeli. Nah seperti ini. Jadi jual-belinya itu berdasarkan remparan. Nah ini...
ada nuansa jahalah, ketidakjelasan. Itu adalah larangan yang kembali pada akat. Atau rojaan nahyu ila amrid dahilin fil akat. Yaitu larangan ini, itu kembali pada satu sisi dari akat. Seperti Naha Rasulullah An-Bail Malakih Yaitu jual-beli Janin yang ada di perut Pak itu kambingmu itu Sepertinya hamil itu Maka janinnya saya beli Anda boleh itu Kalau ini Masuk kategori An-Nahyu Prozion ila nafsil mabi, yaitu larangan terkait dengan benda yang dijual.
Saya beli itu. Misalnya saya beli janin yang ada di perutnya si hewan itu, si kambing itu. Nah, ini berarti larangan yang terkait dengan benda yang tidak dijual, yaitu janin yang ada di perut.
Maka ini tidak boleh. Larangan. Kenapa?
Karena terjadi ketidakjelasan. Ya kalau janinnya hidup, kalau mati ya rugi. Rugi untungnya ini nggak jelas dari awal kembali kepada salah satu rukun akat.
Salah satu dimensi akat itu, rukun akat itu diantaranya adalah kejelasan al-mabi'ah, kejelasan benda yang dijual. Nah kalau yang dijualnya problem, nggak jelas, kayak dalam janin, ya itu nggak bisa, nggak masuk. Hai teman-teman Wah, kau lagi muhibbi Hamzawi. Wah, tarozna bil mutlak.
Ada pengecualian yang terkait an-Nahyu al-Mutlak. Amma ilaq tarobabihi mayak tadi. Ada malfasat. Ada larangan yang dia tidak merusak pada manhyadu, tetapi...
mendekati rusaknya manhi andu. Mendekati. Tapi tidak merusak, tapi mendekati rusak.
Kata kayak muhibi. Kayak muhibi kan, an nahyul mutlak, yak tadi fasadal manhi andu, atau ya dulu ala fasad manhi andu. Kalau udah nahyul mutlak, maka pekerjaan tersebut rusak. Manhi andunya rusak. Nah di sini, ada pengecolian.
Ada nahy andu. ada nahi tetapi tidak menyebabkan rusaknya mandihan tetapi mendekati rusak kata Qayyim Mohibib mendekati rusak, contohnya apa? kal wudui bima'in magsubin, liatla fimalil ghair alhamil bi ghairil wudu, orang wudu pakai air yang gosok Jadi airnya itu air orang yang digosop. Air ini itu dipakai bukan untuk wudhu, tapi untuk misalnya untuk ternak, untuk dia minum. Eh, digosop sama dia.
Untuk dipakai wudhu. Maka wudhunya tetap sah. Padahal gosop itu larangan loh, larangan.
Tetapi apakah wudhunya jadi rusak? Jawabannya tidak. Tidak rusak, tetap sah.
mendekati rusak, artinya esensi wudunya itu bermasalah. Paham ya? Wudunya tidak rusak, tapi mendekati rusak.
Kenapa? Karena nilai wudunya itu jatuh. Kenapa?
Airnya air, hasil gosok. Milih orang, diambil tanpa izin. Dan peruntuknya air ini bukan untuk wudu asli, tapi untuk minum, untuk ternak.
Tampaknya dia pakai untuk wudu. Maka disebut sebagai al-wudu bima'in mangsub. Apakah batal wudunya?
Tidak. Meskipun airnya itu adalah air gosok yang dilarang oleh agama. Meskipun tidak itu, tapi mendekati rusak berarti apa?
Nilai kualitas daripada wudunya tadi bermasalah. Contoh lagi, As-salat fi'il mak'an il-makruh aw al-maksub. Nah, seperti...
Seperti orang melakukan sholat di tempat yang tidak diizinkan untuknya. Misalnya ada orang disuruh untuk menaruh uang di kamar berangkas. Nah ruangan itu memang untuk uang. Karena itu ruangan milik bank misalnya. Uang.
Di situ keperluannya ya hanya untuk naruh uang, keperluannya hanya untuk sesuai SELP lah. Eh ternyata tempat itu dipakai sholat, tanpa izin. Maka sholatnya tetap sah, tetapi itu mendekati rusak. Artinya ada nilai-nilai penting dalam sholat yang ternodai.
Ini yang hal yang dikecualikan dari an-nahyul mutlak. Ini yang dikecualikan. Meskipun demikian, ya, menjelaskan.
Menurut Imam Haromen, Al-Ju'ini, dan yang kedua Imam Ahmad, itu tidak ada pengecualian. Kalau larangan, yak tadil fasad. Kalau ada larangan, maka otomatis perbuatan itu berarti wudhu pakai air gosok, maka wudhunya batal.
Menurut Imam Ahmad dan Imam Haramain. Tapi menurut Qayyim Mohibbi tidak, tidak batal. Cuma nilainya ini bermasalah. Karena mendekati rusak, tapi tidak rusak.
Kata Qayyim Mohibbi. Tapi menurut Imam Harumain, enggak. Al-aslu an-nan-nahya kon. Bahwa larangan itu bisa menyebabkan kerusakan sebuah amal secara mutlak, absolut, tanpa terkecuari. Orang wudhu, pakai air hasil gosok, maka wudhunya batal.
Nah itu menurut Imam Ahmad dan Imam Haromen. Kalau menurut Imam Mohibbi, tidak. Yang Yang cuma dia berdosa.
Nilai wudhunya berkurang. Tapi wudhunya pada dasarnya sah. Wallahu'alam biswa'ab.
Subhanakallahumma wabihamdika. Ashadu an la ilaha ila anta. Astaghfiruka wa tubu ilaik.
Wallahu'l mu'afiq ila akwamit tariq. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.